etnografi

Suku Baduy, Masyarakat Adat di Lebak, Banten

Suku Baduy menempati wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Komunitas adat ini dikenal dari cara berpakaian, penampilan serta kearifannya baik kearifan dalam kehidupan maupun kearifan yang berhubungan dengan alam.

PublishedJanuary 21, 2013

byDgraft Outline

Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).

Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.

Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu Siliwangi.

Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam

Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy

Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua

Artinya : “jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan“

Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo (Baduy Dalam) dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.

Versi lain menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya.

Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajuritnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai, maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan.

Konon keturunan dari rombongan istana itulah ang kini menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampung Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara (hanya seperlunya), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih (blacu) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua (diatas lutut)

Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melanggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu

Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar ke beberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur ke hutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampung Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri

Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak.

Orang Baduy dikenal dengan ciri-cirinya; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena mereka masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.

Suku Baduy berasal dari daerah di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda.

Sebutan bagi suku Baduy terdiri dari:

  1. Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu (Kepuunan) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
  2. Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikat oleh Hukum adat di bawah pimpinan Puun (kepala adat).
  3. Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan perilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.

Table of contents

Open Table of contents

Sunda Wiwitan; Sistem Kepercayaan Suku Baduy, Banten

Masyarakat Baduy atau Kanekes adalah suku yang tinggal di daerah provinsi Banten. Komunitas ini merupakan salah satu suku adat yang masih ada di Indonesia.

Masyarakat Baduy memiliki “keunikan” sebagai suku adat. Keunikan tersebut adalah suku Baduy diantaranya mayoritas memiliki agama kepercayaan yaitu Sunda Wiwitan meski ada beberapa masyarakat Baduy yang sudah memeluk agama Islam atau Budha.

Keberagamaan dalam memeluk agama pada masyarakat Baduy merupakan bentuk ketaatan terhadap nilai-nilai dan pandangan hidup yang diturunkan nenek moyang yaitu agama apapun yang yang menjadi ajaran dalam masyarakat Baduy mengajarkan bahwa semua hal yang berkaitan dengan pola kehidupan mereka tidak boleh atau pantang untuk diubah.

Sunda Wiwitan sebagai ajaran masyarakat Baduy memiliki nilai-nilai dan ajaran yang dipengaruhi oleh ajaran atau bentuk penghormatan dan kepercayaan kepada satu kuasa yaitu Batara Tunggal.

Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh. Hal itu dilakukan agar manusia hidup menurut alur (filosofi diatas) dalam menyejahterakan kehidupan masyarakat Baduy. Gangguan terhadap inti bumi akan berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia.

Konsep keagamaan dan adat yang penting menjadi inti pandangan hidup masyarakat Baduy yaitu “ lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung ”(panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung).

Pandangan hidup tersebut merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas pandangan hidup mengenai karya dan keagamaan. Dengan melaksanakan semua itu manusia akan dilindungi oleh kuasa tertinggi yaitu Batara Tunggal.

Kewajiban masyarakat Baduy untuk menjalankan ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan diajarkan melalui Puun sebagai pemimpin tertinggi masyarakat Baduy yang merupakan keturunan Karuhun. Kewajiban itu adalah memelihara Sasaka Pusaka Buana, memelihara Sasakan Domas atau parahyang, mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat, bertapa bagi kesejahteraan dunia, berbakti kepada dewi padi dengan cara berpuasa pada upacara, memuja nenek moyan dan membuat laksa untuk bahan pokok seba

Adapun nenek moyang orang Baduy terbagi pada dua kelompok yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para batara dan masa puun. Gambaran Batara Tunggal terdapat dalam dua dimensi yaitu sebagai suatu kuasa yang kekuatannya yang tidak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti.

Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana.

Mereka itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya, Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu.

Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat kampung Cibeo.

Para batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya. Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung. Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda.

Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan patrilineal.

Para puun adalah keturunan Batara Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan maijer dicatat sudah terjadi 13 kali pergantian puun Cikeusik. Menurut catatan tahun 1988, jumlah puun Cikeusik adalah 24 orang.

A. Konsep Karuhun dalam Sunda Wiwitan

Dalam Masyarakat Baduy, salah satu konsep penting dalam religi mereka yaitu karuhun, generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para keturunannya hutan kampung.

Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.

Kosmologi masyarakat Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan

Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang.

Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum.

Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Agueng —- Sasaka Pusaka Buana —- dangkanya disebut Padawaras; Kadukujang —- Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik —- dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh.

Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya.

Buana Handap (buana bawah) ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.

B. Batara Tunggal dalam Sunda Wiwitan

Tuhan yang diimani oleh umat Sunda Wiwitan adalah Allah, sebagaimana terucapkan di dalam kalimat syahadat Baduy. Meskipun, mereka menyebut-Nya Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam) dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib).

Mereka mempercayai Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tuhan Sunda Wiwitan bersemayam di Buana Nyungcung (Dunia Atas). Bahkan, diyakini bahwa semua dewa agama Hindu tunduk terhadap Batara Seda Niskala.

Mereka beriman kepada yang gaib, yang tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi dapat diraba dengan hati. Nabi-nabi yang diimani secara eksplisit adalah Nabi Adam dan Nabi Muhammad. Mereka beriman kepada hidup, sakit, mati dan nasib adalah titipan. Umat Sunda Wiwitan menjalankan juga ritual ibadah sunah Rasul, yakni sunat atau khitan .

Ritus sunat diyakini sebagai nyelamkeun, mengislamkan, bagi laki-laki pada umur 4-7 tahun dan perempuan. Dan, mereka tak lupa melaksanakan ritual ibadah puasa kawalu, lebaran. Puasa ini dilakukan hanya sehari pada bulan pertama, kedua dan ketiga dalam setahun sekali .

Pengucapan nama Allah termaktub di dalam dua macam kalimat syahadat Baduy: Syahadat Baduy Dalam dan syahadat Baduy Luar. Pertama, kalimat syahadat Baduy Dalam, sebagai berikut:

asyhadu syahadat Sunda jaman Allah ngan sorangan kaduanana Gusti Rosul ka tilu Nabi Muhammad ka opat umat Muhammad nu cicing di bumi angaricing nu calik di alam keueung”. ngacacang di alam mokaha salamet umat Muhammad

(asyhadu syahadat Sunda Allah hanya satu kedua para Rasul ketiga Nabi Muhammad keempat umat Muhammad yang tinggal di dunia ramai yang duduk di alam takut menjelajah di alam nafsu selamat umat Muhammad)

wa asyhadu anna Muhammad da Rasulullah isun netepkeun ku ati yen taya deui Allah di dunya ieu iwal ti Pangeran Gusti Allah jeung taya deui iwal ti Nabi Muhammad utusan Allah

(wa asyhadu anna Muhammad da Rasulullah aku menetapkan dalam hati bahwa tiada lagi Tuhan di dunia ini selain Pangeran Gusti Allah dan tiada lagi selain Nabi Muhammad utusan Allah)

Syahadat Baduy Dalam adalah syahadat Sunda Wiwitan yang disampaikan kepada puun, sebagaimana masa Islam awal syahadat Islam disampaikan kepada Nabi Muhammad. Sedangkan, syahadat Baduy Luar adalah syahadat Islam yang diucapkan ketika melangsungkan pernikahan secara Islami.

Dikatakan oleh umat Sunda Wiwitan bahwa “kami mah ngan kabagean syahadatna wungkul, hente kabagean sholat”. Bahwa mereka hanya memperoleh syahadatnya saja, sedangkan rukun-rukun Islam lainnya tidak pernah diperoleh.

Kekuasaan Tuhan dipahami oleh umat Sunda Wiwitan sebagai pencipta alam semesta. Dalam mitos penciptaan Baduy dijelaskan bahwa “dunia pada waktu diciptakan masih kosong, kemudian Tuhan mengambil segenggam tanah dari bumi dan diciptakanlah Adam. Dari tulang rusuk Adam terciptalah Hawa.

Tuhan juga menciptakan Batara Tujuh, yaitu: (1) Batara Tunggal, (2) Batara Ratu, (3) puun yang dititipkan di Kanekes (Cikeusik, Cikertawana, Cibeo), (4) Dalem, (5) Menak, (6) Putri Galuh dan (7) Nabi Muhammad yang diturunkan di Mekah. Batara Tujuh merupakan Sanghyang Tujuh yang bersemayam di Sasaka Domasi”.

Dari mitos penciptaan ini, masyarakat Baduy menyakini bahwa manusia yang pertama kali diciptakan di bumi ini berada di Kanekes sebagai inti jagat, pancer bumi. Karena itu, mereka melaksanakan ritual ibadah pe-muja-an di Sasaka Domas sebagai penghormatan kepada roh karuhun, nenek moyang.

Mereka menyakini juga agamanya adalah Sunda Wiwitan, bukan Hindu ataupun Islam. Nabi Adam diyakini oleh umat Sunda Wiwitan sebagai simbol penciptaan manusia pertama yang berada di Sasaka Domas. Keyakinan seperti ini terdapat juga di dalam agama masyarakat Jawa yang masih menghormati raja-raja, nenek moyang, mereka

Antara Nabi Islam, Batara Hindu dan raja Jawa terdapat relasi genealogis. Dapat dipahami bahwa Batara Tunggal yang dipercayai oleh umat Sunda Wiwitan adalah manusia biasa yang tidak pernah mati, akan tetapi jasad dan rohnya ngahiyang, sirna, dari dunia ini.

Mereka menyakini juga bahwa Batara Tunggal-lah yang mengatur nasib dan kehidupan manusia di muka bumi ini. Begitu pun, Dalem dan Menak adalah karuhun, nenek moyang yang jasad dan rohnya ngahiyang, sirna. Sebab itu, diyakini bahwa Kanekes tidak akan hilang hingga saat ini, seiring terpeliharanya keturunan puun.

Secara formal-normatif, puun adalah pimpinan adat istiadat masyarakat Baduy. Untuk memimpin adat istiadat aspek spiritual puun dibantu oleh perangkat puun. Yaitu, baresan (dewan penasehat), tangkesan (peramal) dan girang seurat (pembantu pelaksana ritual).

Selain puun diyakini sebagai pemimpin tertinggi adat, juga merupakan keturunan karuhun, nenek moyang, yang langsung mempresentasikannya di dunia. Para puun adalah orang-orang yang bertanggung jawab dan bertugas melestarikan kepercayaan warisan nenek moyang, pikukuh, supaya tidak terkena pengaruh proses perubahan sosial budaya dari luar.

C. Sasaka Domas dalam Sunda Wiwitan

Kiblat ibadah pe-muja-an umat Sunda Wiwitan disebut Sasaka Domas, atau Sasaka Pusaka Buana atau Sasaka Pada Ageung. Sasaka Domas adalah bangunan punden berundak atau berteras-teras sebanyak tujuh tingkatan. Setiap teras diberi hambaro, benteng, yang terdiri atas susunan “menhir” (batu tegak) dari batu kali.

Pada teras tingkat keempat terdapat menhir yang besar dan berukuran tinggi sekitar 2 m. Pada tingkat teratas terdapat “batu lumpang” dengan lubang bergaris tengah sekitar 90 cm, menhir dan “arca batu”. Arca batu ini disebut Arca Domas.

Domas berarti keramat, suci. Tingkatan teras, makin ke selatan undak-undakan makin tinggi dan suci. Digambarkan oleh Koorders (1869), Jacob dan Meijcr (1891) dan Pleyte (1909) bahwa letaknya di tengah hutan tua yang sangat lebat, hulu sungai Ciujung dan puncak gunung Pamuntuan. Bangunan tua ini merupakan sisa peninggalan megalitik.

Sebagai kiblat ibadah, Sasaka Domas diyakini sebagai tanah atau tempat suci, keramat (sacral), para nenek moyang berkumpul (Permana, 2006: 38 dan 89-90). Di tanah suci ini umat Sunda Wiwitan melaksanakan ritual pe-muja-an.

Ritus muja adalah ziarah memanjatkan do‟a dan membersihkan obyek utama pemujaan Baduy. Ibadah ritual pe-muja-an di Sasaka Domas dipimpin oleh puun Cikeusik. Tujuan ritus muja adalah untuk me-muja para karuhun, nenek moyang, dan menyucikan pusat dunia.

Dalam ritual ini hanya orang-orang tertentu yang melaksanakan muja atas nama masyarakat Baduy secara keseluruhan. Yakni, para puun dan orang-orang yang ditunjuk. Orang-orang ditunjuk melaksanakan ritus muja bukan didasarkan kriteria tertentu.

Ritual ini dilaksanakan selama tiga hari: tanggal 16, 17 dan 18 pada bulan Kalima. Waktu tiga hari ritual terbagi terdiri dari, dua hari untuk pergi dan pulang dan sehari untuk ibadah ritual muja. Prosesi ziarah menuju ke Sasaka Domas harus melalui sisi sebelah utara, tidak boleh dari sisi selatan.

Ritual muja dimulai oleh puun pada teras tingkat pertama, dengan menghadap ke selatan, arah puncak. Selesai ritual muja biasanya pada tengah hari, sekitar pukul 11.00-13.00. Setelah ritual muja, dilanjutkan dengan membersihkan dan membenahi pelataran teras.

Sampai pada teras teratas (ketujuh), para pe-muja menyucikan muka, tangan dan kaki pada batu lumpang yang disebut Sanghyang Pangumbaran. Keadaan air di dalam “batu lumpang” adalah simbol keadaan alam Baduy. Jika airnya penuh dan jernih, menandakan akan turun hujan banyak, cuaca baik dan panen berhasil.

Sebaliknya, jika air dangkal dan keruh menandakan kekeringan dan kegagalan panen. Pada keadaan “menhir” di puncak, jika dipenuhi lumut menandakan akan mendapatkan kesentosaan dan kesejahteraan dalam tahun bersangkutam, tetapi sebaliknya dapat memperoleh kesengsaraan dan kesulitan.

Umat Sunda Wiwitan yang berniat, tidak diwajibkan, meminta berkah datang pada sore tanggal 18 Kelima dan menanti para pe-muja di alun-alun depan rumah jaro Cikeusik atas nama dan restu puun Cikeusik. Mereka membentuk kelompok berdasarkan asal kampungnya.

Setiap kelompok beranggota 5-10 orang dan memiliki juru bahasa dari kokolot kampung. Juru bahasa berfungsi mengantar, mengenalkan dan mengutarakan niat kedatangannya. Mereka wajib berpuasa dan mengenakan pakaian yang baik dan bersih.

Masing-masing orang membawa sesaji dan uang kertas (semampunya) yang akan diserahkan kepada jaro sebagai imbalan berkah. Berbuka puasanya tergantung pada kedatangan para pe-muja dan setelah selesai mandi serta isyarat dari puun Cikeusik. Waktu berbuka puasa biasanya antara pukul 15.00-19.00, waktu lingsir dan burit

Berbuka puasanya dengan luluy yang disediakan oleh palawari. Luluy adalah sejenis lemang atau lontong dari beras yang dibungkus daun patat dan dimasukkan dan dimasak di dalam bambu. Palawari adalah 5-7 orang laki-laki yang bertugas dan bertanggung jawab membuat luluy. Tujuan meminta berkah adalah memohon keselamatan dan kemurahan rejeki.

Prosesi meminta berkah di rumah jaro Cikeusik. Seluruh kelompok duduk bersila di ruang tepas, sedangkan jaro duduk bersila di ruang imah. Juru bahasa lebih dahulu masuk ke ruang imah menghadap jaro untuk mengenalkan diri dan kelompoknya serta menyampaikan niat dan tujuan mereka.

Jaro duduk bersila di sisi selatan ruang imah menghadap utara, sedangkan juru bahasa berada di sisi utara menghadap ke selatan (jaro). Juru bahasa langsung menyerahkan sesajinya kepada jaro. Setelah menerima sesaji, jaro mengambil sepotong luluy yang di dalamnya dimasukkan jukut komala dan lemah bodas.

Jukut komala, rumput permata adalah lumut yang menempel di teras tingkat kedua Sasaka Domas, sedang lemah bodas, tanah putih. Keduanya diambil pada teras tingkat kedua dari sebelah utara. Lalu, luluy diberi jampi-jampi, ditiup tiga kali dan disuapkan kepada seorang peminta berkah

Akhirnya, juru bahasa memohon diri dan keluar meninggalkan ruang imah, lalu mempersilakan anggota kelompoknya masuk ke ruang imah secara bergiliran menghadap jaro. Mereka yang sudah mendapatkan berkah segera ke luar rumah jaro. Prosesi ini berlangsung hingga larut malam, bahkan pernah terjai hingga fajar.

Prosesi meminta berkah berkiblat kepada prosesi ziarah ke Sasaka Domas. Yakni, berkiblat menghadap ke arah selatan, tempat suci, Sasaka Domas. Karena itu, kiblat ibadah pe-muja-an umat Sunda Wiwitan ke arah selatan. Hal ini berbeda dengan ibadah shalat umat Islam Indonesia yang berkiblat menghadap ke arah barat, Ka’bah.

Meski demikian, pada dasarnya prosesi ibadah pe-muja-an di tanah suci, Sasaka Domas mirip dengan prosesi ibadah haji di tanah suci, Ka’bah. Ibadah haji dilaksanakan pada tanggal 8, 9 dan 10 Dzulhijah. Pada tanggal 9 Dzulhijah umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji disunatkan berpuasa Arafah. Dan, sebagian umat Islam Indonesia berbuka puasa biasanya dengan nasi lontong atau ketupat.

Setelah jama‟ah haji datang di rumah masing-masing, tidak sedikit masyarakat Islam yang datang dan meminta berkah kepada orang yang telah melaksanakan ibadah haji.

Karena itu, yang jelas membedakan dengan Islam, keimanan dan ketaatan Sunda Wiwitan kepada Tuhan terkandung di dalam makna simboliknya supaya senantiasa menjaga dan melestarikan hutan, sungai dan puncak gunung berada dalam ekosistemnya supaya memberikan kedamaian dan kesejahteraan pada umat manusia.

Sistem sosial dan Pemerintahan Suku Baduy

Tradisi dan budaya masyarakat Baduy menciptakan masyarakat Baduy yang menjunjung tinggi rasa kebersamaan atau gotong-royong dalam hal kehidupan masyarakat.  Pada masyarakat Baduy terdapat kelompok-kelompok diantaranya yaitu:

A. Kelompok Tangtu (baduy dalam)

Suku Baduy Dalam bermukim di pedalaman hutan yang terisolasi serta belum terpengaruhi oleh kebudayaan luar. Masyarakat Baduy Dalam merupakan masyarakat yang patuh pada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Masyarakat Baduy dalam tinggal di 3 kampung yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.

B. Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar)

Baduy Luar bermukim di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah Baduy dalam. Masyarakat Baduy luar sudah berbaur dengan masyarakat luar dan dengan kebudayaan luar.

C. Kelompok Baduy Dangka

Masyakarat Baduy Dangka bermukim di luar wilayah Baduy. Saat ini, tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Baduy mempunyai dua sistem pemerintahan yaitu sistem nasional dengan mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat masyarakat Baduy.

Kedua sistem tersebut terakulturasi dengan baik sehingga menciptakan harmonisasi. Sistem pemerintahan formal di masyarakat Baduy dipimpin oleh kepala desa bernama Jaro Pamarentah. Posisi Jaro Pamarentah berada di bawah camat. Untuk pimpinan adat di masyarakat Baduy memiliki pemimpin tertinggi yaitu Pu’un.

Pu’un berada di tiga kampung Tangtu. Seseorang menjadi pu’un karena jabatan tersebut berlangsung turun temurun namun tidak otomatis dari bapak ke anak, kerabat lain juga bisa menjadi pu’un.

Jangka waktu memegang jabatan pu’un tidak ditentukan. Peralihan jabatan Pu’un lebih berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Pelaksana harian pemerintahan adat kapu’unan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro yang terbagi pada empat jabatan yaitu;

1. Jaro Tangtu Jaro tangtu memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan hukum adat pada warga tangtu serta mengurusi hal lainnya.

2. Jaro dangka dan Jaro Tanggungan Jaro dangka bertugas untuk menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Baduy. Jaro dangka berjumlah 9 orang dan apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu maka disebut dengan jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.

3. Jaro Pamarentah Jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Baduy dengan pemerintahan nasional. Dalam tugas jaro pamarentah dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung

Apabila dalam masyarakat Baduy ada yang melanggar aturan pikukuh maka orang tersebut akan mendapatkan hukuman yang disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.

Pelanggaran ringan yang dilakukan contoh adalah cekcok antar masyarakat Baduy. Bentuk hukuman ringan untuk seseorang yang melakukan pelanggaran ringan adalah pemanggilan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan.

Pelanggaran berat bagi masyarakat Baduy adalah meneteskan darah, berzinah dan berpakaian kota. Hukuman berat yang aka didapat adalah pemanggilan oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, orang yang mendapat hukuman akan dimasukkan ke dalam lembaga permasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari.

Selain itu, menjelang bebas, pelaku akan ditanya apakah masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Untuk masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.

Kekerabatan Dan Perkawinan Suku Baduy

Suku Baduy lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.

Dalam masyarakat Baduy ada pola atau sistem kekerabatan dalam lingkungan masyarakat Baduy. Sistem kekerabatan masyarakat Baduy menitikberatkan pada wilayah tempat tinggal. Lokasi tempat tinggal masyarakat Baduy menandakan pada kedudukan mana terletak sebagai seorang keturunan para Batara.

Hubungan kekerabatan bisa dilihat dari tiga sisi yaitu pertama, kampung Tangtu. Kedua, kampung Panamping. Ketiga, Pajaroan. Dalam hal itu, seluruh masyarakat Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Baduy adalah “ Tangtu Teulu Jaro Tujuh ” yang memiliki arti seluruh penduduk di wilayah Kanekes Baduy merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang

Adapun perbedaan itu terletak pada sisi generasi antara tua dan muda. Dalam kekerabatan orang Baduy, orang Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah dan Cibeo yang termuda.

Selain itu, dalam masyarakat Baduy sistem kekerabatan merujuk pada nama ibu (suku kata) contoh seorang ibu bernama Sarimin maka nama anak laki-lakinya adalah bisa Saripin, Sarpin¸ atau anak perempuannya Sartin.

Cara panggilan masyarakat Baduy terbilang unik, seseorang memanggil kepada seseorang dengan nama anak. Contoh, ayah Mursyid karena nama anak laki-lakinya Mursyid jadi ia dipanggil ayah Mursyid padahal nama aslinya adalah Alim.

Perkembangan selanjutnya dalam sistem Perkawinan Suku Baduy adalah sistem perkawinan Monogami. Seorang laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang dan perkawinan Poligami merupakan suatu hal yang tabu. Selain itu, perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain.

Hal penting dalam sistem Perkawinan Suku Baduy adalah seorang adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan ( ngarunghal ).

Nyatanya, dalam masyarakat Baduy tidak terdapat perbedaan dan persamaan antar sepupu sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Orang Baduy menyebut hal tersebut dengan istilah baraya.

Sistem Perkawinan Suku Baduy

Dalam sistem Perkawinan Suku Baduy tidak ada tradisi berhubungan sebelum menikah (pacaran). Pasangan akan langsung dijodohkan. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing. Setelah ada kesepakatan, dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran yaitu:

  1. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya.
  2. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya.
  3. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.

Pelaksanaan akad nikah dan resepsi bagi pasangan mempelai dilaksanakan di Balai Adat yang dipimpin oleh Pu’un untuk mengesahkan pernikahan tersebut. Dalam ketentuan sistem Perkawinan Suku Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian.

Semua sistem yang ada di masyarakat Baduy termasuk sistem perkawinan berlandaskan “Pikukuh”, sebuah aturan yang sudah ada sejak leluhur masyarakat Baduy. “Pikukuh” adalah aturan dan ajaran yang harus dijalankan oleh masyarakat Baduy.

Aturan tersebut mengatur mengenai apa saja yang diperbolehkan da apa saja yang dilarang. Peraturan ini juga mengatur tentang penyelenggaraan perkawinan yaitu pada bulan kelima, keenam dan ketujuh.

Selain itu, dalam urusan waris masyarakat Baduy menyatakan bahwa pembagian waris untuk anak laki-laki dan perempuan saja. Pembagian waris pada masyarakat Baduy terbagi rata antara anak perempuan dan anak laki-laki. Harta yang ditinggalkan berupa rumah, perhiasan, uang dan alat-alat rumah tangga lainnya.

Sistem Kala Ider; Kalender Suku Baduy

Dalam masyarakat Baduy mengenal sistem penanggalan Kala Sunda dengan perhitungan Kalender ( Kala Ider ). Secara umum Kala Sunda adalah sistem penanggalan masyarakat Sunda.

Kondisi saat ini masyarakat Sunda banyak yang tidak mengenal kalender tersebut. Sebagian saja yang masih memakai sistem penaggalan tersebut yaitu masyarakat Baduy. Menurut Ali Sastramidjaja, Kala Sunda terbagi kepada tiga bagian yaitu Kala Surya, kala Candra, dan kala Sukra.

Untuk perhitungan Kala Surya memakai kalender yang berdasarkan pada matahari, Kala Candra perhitungan kalender berdasarkan bulan dan Kala Sukra perhitungan kalender berdasarkan pada bintang. Dalam Kala Surya, bulan ke 1 sampai dengan ke 12 mempunyai istilah yaitu Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawalu, Kasanga, Kadasa, Hapitlemah dan Hapitkayu.

Bulan dalam Kala Candra yaitu Kartika, Margasira, Posya, Maga, Palguna, Setra, Wesaka, Yetsa, Asada, Srawana, Badra, dan Asuji. Kala Surya adalah Kalender dengan dimensi solar atau matahari, Candralaka adalah Kala Sunda yang berdimensi lunar atau bulan, sedangkan kalender dengan dimensi bintang disebut Sukrakala.

Sesuai Kalender Sunda, Kala Surya Saka Sunda mengenal aturan yaitu tiga tahun pendek, keempatnya tahun panjang. Setiap tahun habis dibagi 128, dijadikan tahun pendek. Akhir tahun surya adalah saat matahari berada di titik paling selatan.

Kala Candra mempunyai aturan dalam sewindu, tahun ke 2, ke 5 dan ke 8 adalah tahun panjang dan sisa itu semua tahun pendek. Setiap tahun ke 120 dijadikan tahun pendek.

Setiap tahun yang habis dibagi 2400 dijadikan tahun panjang. Keistimewaan Kala Candra adalah “ Ciples ” yaitu jika awal windu (disebut ibu hari) senin manis makan akhirnya adalah Ahad Kaliwon.

Keistimewaan lainnya adalah Ibu Hari berganti setelah 120 tahun. Mulai dari Senin Manis, Ahad Kliwon, Saptu Wage, Jumaah Pon, Kemis Pahing< rebo Manis, Salasa Kaliwon, Hingga terakhir Rebo Pahing.

Jika dihitung kejadian kejadian itu berlangsung dalam waktu 84.000 tahun. Artinya, pada tahun ke 84.001. Ibu hari kembali pada senin manis. Dalam perjalanan 84000 tahun, sistem penanggalan sunda mengenal juga “Dewa Taun” yaitu hari pertama dan terakhir setiap kurun waktu 2.400 tahun.

Dalam kalender Sunda masyarakat Baduy mengenal hari-hari yaitu Radite/Dite (Minggu), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Buda (Rabu), Respati (Kamis), Sukra (Jumat) dan Tumpek (Sabtu). Selain itu, ada waktu untuk menunjukan siang dan malam yaitu meletek srangenge (terbit pajar), isuk-isuk (pagi-pagi), haneut moyan dan pecat sawed.

Masyarakat Baduy yang menggunakan penanggalan Sukra Kala adalah saat akan menggarap Huma. Proses itu terjadi diantaranya yaitu dengan (Ekadjati, 1995: 96-97):

  1. Tanggal kidang, turun kidang (bintang kijang mulai muncul, turunlah kijang). Pada saat bintang kijang mulai muncul, orang Kanékés mulai menggarap huma.
  2. Kidang rumangsang (bintang kijang mekar di waktu subuh). Pada saat ini, semua rumput dan ranting harus sudah kering, siap untuk dibakar.
  3. Kidang muhunan (bintang kijang memuncak). Posisi bintang tegak lurus di atas kepala pada waktu subuh. Pada waktu ini, lahan huma sudah bersih, siap untuk ditanami.
  4. Kidang ilang, turun kungkang (bintang kijang menghilang, keluarlah walang sangit). Berarti saat binatang kijang tak muncul lagi, itulah masanya keluar hama padi, seperti walang sangit.

Masyarakat Baduy mempercayai bahwa kidang ilang, turun kungkang adalah masa berkeliarannya mahluk halus (lelembut) dan siluman yang harus dihadapi dengan berbagai upaya baik secara lahiriah maupun secara batiniah.

Selain itu, dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat Baduy disesuaikan dengan penanggalan:

  1. Bulan Kasa
  2. Bulan Karo
  3. Bulan Katilu
  4. Bulan Sapar
  5. Bulan Kalima
  6. Bulan Kaanem
  7. Bulan Kapitu
  8. Bulan Kadalapan
  9. Bulan Kasalapan
  10. bulan Kasapuluh
  11. Bulan Hapid Lemah
  12. Bulan Hapid Kayu

Pikukuh Adat Baduy; Pandangan Hidup Suku Baduy

Masyarakat Baduy memiliki keyakinan bahwa mereka adalah manusia pertama yang tinggal di bumi dan bermukin di pusat bumi. Seluruh aktivitas masyarakat Baduy harus berlandaskan pada buyut karuhun (ketentuan adat) yang sudah tertera dalam pikukuh adat Baduy (larangan adat).

Masyarakat Baduy tidak boleh mengubah dan tidak boleh melanggar segala yang ada dalam kehidupan ini yang sudah ditentukan.

Segala aktivitas masyarakat Baduy harus berlandaskan rukun agama Sunda Wiwitan (rukun Baduy) yang merupakan ajaran agama Sunda Wiwitan yaitu ngukus, ngawalu, muja ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka.

Ajaran tersebut harus ditaati melalui pemimpin adat yaitu Pu’un. Pu’un harus dihormati dan diikuti segalan aturannya karena Pu’un adalah keturunan Batara.

Ketentuan adat dalam Pikukuh Adat Baduy merupakan pedoman dan pandangan hidup yang harus dijalankan secara benar. Isi larangan adat masyarakat Baduy tersebut yaitu:

  1. Dilarang mengubah jalan air seperti membuat kolam ikan atau drainase.
  2. Dilarang mengubah bentuk tanah seperti membuat sumur atau meratakan tanah.
  3. Dilarang masuk ke hutan titipan untuk menebang pohon
  4. Dilarang menggunakan teknologi kimia.
  5. Dilarang menanam budidaya perkebunan
  6. 6Dilarang memelihara binatang berkaki empat semisal kambing dan kerbau.
  7. Dilarang berladang sembarangan
  8. Dilarang berpakaian sembarangan

Penyampaian buyut karuhun dan pikukuh karuhun kepada seluruh masyarakat Baduy dilakukan secara lisan dalam bentuk ujuran-ujaran di setiapa upacara-upacara adat. Ujaran tersebut adalah prinsip masyarakat Baduy. Ujaran itu diantaranya adalah.

Pondok teu bisa disambung Lojor teu meunang dipotong Negara tilupuluh tilu Pencar salawe nagara Kawan sawidak lima Rukun garapan dua welas Mipit kudu amit Ngala kudu menta Ngagedag kudu bewara Ngali cikur kudu matur Ulah goroh ulah linyok Ngadeg kudu sacekna Ulah sirik ulah pidik Ulang ngarusak bangsa jeung nagara Gunung teu meunang di lebur Lebak teu meunang di rusak

Ujaran tersebut bagi masyarakat Baduy memiliki arti yaitu lingkungan tidak boleh dirusak, tata guna lahan tidak boleh dialihfungsikan untuk kepentingan ekonomi. Kawasan seperti hutan titipan harus dijaga. Daerah Baduy tidak boleh diubah harus apa adanya.

Menurut Djooewisno 1987, masyarakat Baduy berpegang teguh juga pada ajaran Dasasila. Pedoman itu adalah:

  1. tidak membunuh orang lain,
  2. tidak mengambil barang orang lain,
  3. tidak ingkar dan tidak berbohong,
  4. tidak mabuk-mabukan,
  5. tidak poligami,
  6. tidak makan malam hari,
  7. tidak memakai wangi-wangian,
  8. tidak melelapkan diri dalam tidur,
  9. tidak menyenangkan hati dengan tarian, musik dan nyanyian,
  10. tidak memakai emas atau permata.

Pedoman tersebut adalah prinsip yang harus dijalankan oleh masyarakat Baduy. Pada praktiknya, telah terjadi perpecahan yang mengakibatkan adanya dua kelompok Baduy Dalam dan Baduy luar.

Baduy dalam adalah masyarakat yang tetap memegang aturan buyut karuhun dan pikukuh karuhun. Untuk baduy luar adalah masyarakat yang sudah berbaur dengan kebudayaan luar. Faktor yang dominan menyebabkan ada kelompok Baduy luar adalah faktor ekonomi.

Kearifan Lokal Suku Baduy Terhadap Alam

Ada hal yang menarik dari masyarakat Baduy yaitu kearifan lokal mereka mengenai pandangan terhadap alam semesta. Masyarakat Baduy sangat menjaga keseimbangan dan keselarasan dengan alam.

Orang Baduy (dalam) sangat menjaga ajaran tentang menjaga alam serta melestarikan. Hal tersebut yang menciptakan masyarakat Baduy hidup berdampingan dengan alam secara harmonis.Selain itu, masyarakat Baduy tidak mengeksploitasi alam, mereka menggunakan seperlunya yang ada di alam dan disertai dengan pelestarian.

Masyarakat Baduy memiliki kepercayaan bahwa alam adalah salah satu titipan maha kuasa yang harus dijaga dan dilestarikan. Hal itu sesuai dengan prinsip ajaran dan filosofis masyarakat Baduy yaitu “ lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung ”.

Ada pula prinsip hidup lain masyarakat Baduy yang selaras dengan alam adalah petatah-petitih masyarakat ada Baduy yaitu:

Gunung tak diperkenankan dilebur Lembah tak diperkenankan dirusak Larangan tak boleh di rubah Panjang tak boleh dipotong Pendek tak boleh disambung Yang bukan harus ditolak yang jangan harus dilarang yang benar haruslah dibenarkan.

Kearifan Lokal Suku Baduy dan Nilai yang terkandung dalam aturan tersebut adalah konsep mengenai “tanpa perubahan apapun”

Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa masyarakat Baduy hidup berdampingan dengan alam secara harmonis yaitu masyarakat Baduy sangat menjaga air agar selalu jernih dan bersih sehingga bisa dipakai untuk kehidupan sehari-hari.

Saat mandi atau bersih-bersih, tidak boleh ada bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat Baduy termasuk pengunjung. Hal itu untuk menjaga air agar tetap bersih dan jernih

Aliran sungai yang melintasi perkampungan tanah adat suku Baduy amat jernih, tidak ada sampah. Hal lain yang penting adalah masyarakat Baduy memiliki kelembagaan sosial yang memberikan pedoman berperilaku bagi masyarakat lokal maupun pendatang untuk mematuhi nilai-nilai adat.

Masyarakat Baduy yang tidak memiliki kamar mandi maupun WC dirumah panggungnya, memiliki aturan untuk tidak membuang sampah, menggunakan sabun, deterjen dan bahan-bahan kimia lain yang dapat mengotori sungai.

Selain itu, pembagian area-area dalam pemanfaatan sungai juga merupakan sebuah konsep dalam memperhatikan daya pulih air. Setiap kampung telah memiliki area-area khusus dalam pemanfaatan sungai. Area sungai untuk mandi, mencuci, buang air dan konsumsi memiliki areanya masing-masing sehingga masyarakat memperoleh air yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan.

Praktik masyarakat Baduy yang menyesuaikan diri dengan alam juga terlihat dari cara membangun rumah. Bagian paling bawah dari rumah adalah batu sebagai penopang tiang-tiang utama rumah yang terbuat dari kayu.

Tetapi, tidak seperti rumah pada umumnya, masyarakat Baduy tidak menggali tanah untuk pondasi. Batu hanya diletakan di atas tanah. Jika kontur tanah tidak rata, maka bukan tanah yang menyesuaikan sehingga diratakan, tetapi batu dan tiang kayu yang menyesuaikan.

Jadi, panjang pendeknya batu mengikuti kontur tanah. Selain itu bahan bangunan rumah yang lain adalah bahan bangunan yang ramah terhadap alam. Bahan bangunan rumah masyarakat Baduy merupakan bahan yang bisa dan mudah diurai oleh tanah

Bahan tersebut diantaranya dinding bilik bambu, atap dari ijuk dan daun pohon kelapa dan rangka rumah dari kayu alam yaitu kayu jati, kayu pohon kelapa dan kayu albasiah. Pada saat malam hari masyarakat Baduy tidak menggunakan listrik dan alat teknologi yang lain sebagai penerangan. Untuk aktivitas bepergian masyarakat Baduy lebih memilih berjalan kaki sesuai yang diajarkan.

Masyarakat Baduy menyimpan hasil panen padi huma di sebuah leuit, lumbung padi. Leuit dibangun di pinggiran tiap kampung. Setiap keluarga memiliki leuit.

Leuit adalah wujud pemahaman masyarakat Baduy tentang ketahanan pangan. Leuit adalah Kearifan Lokal Suku Baduy dalam menghadapi berbagai tantangan hidup/ Dengan adanya leuit membuat masyarakat Baduy tidak kekurangan bahan pangan.

Selain itu, apabila masyarakat Baduy akan menggunakan kayu maka kayu yang akan dipakai adalah kayu kayu yang telah kering dan tua. kayu bakar tersebut diperoleh dari pohon yang sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh terserak.

Masyarakat Baduy tidak menebang pohon untuk kayu bakar. Kearifan lokal ini menjadikan Baduy dan hutan di sekitarnya hidup harmonis selama ratusan tahun.