etnografi

Suku Melayu Riau, Sejarah dan Suku Bangsa

Menurut catatan sejarah, suku Melayu Tamiang merupakan suku melayu pendatang di Aceh. Sebelumnya, Aceh telah dihuni oleh imigran melayu yang lain yang tinggal di daerah pesisir. Mereka adalah suku Gayo dan suku Mante di Aceh Besar.

PublishedJanuary 15, 2013

byDgraft Outline

Suku Melayu Riau sering mengindikasikan dirinya mengacu pada kerajaan-kerajaan yang ada di daerahnya. Secara sederhana pengertian ini akan menegaskan bahwa anggapan Melayu itu satu dan sama dengan lainnya adalah tidak seluruhnya benar, karena terdapat perbedaan geografis, yang akan menjadi pembeda kehidupan sosial, dan ekonomi antara suku Melayu satu dengan yang lain.

Riau adalah provinsi yang terbagi dalam dua kategori; Riau daratan dan Riau kepulauan. Riau daratan berada dalam pulau Sumatra, sementara Riau kepulauan adalah Provinsi Riau yang berada di kepulauan. Wilayah Kepulauan di provinsi Riau terhitung luas sehingga muncullah istilah “bumi segantang lada” untuk menggambarkan Kepulauan Riau.

Riau, sebelum pemekaran, yang memiliki 1.062 pulau dengan luas 250.162 KM2, sebanyak 95,79% terdiri dari perairan. Sisanya berupa daratan berbukit dengan pantai yang landai. Tanahnya terdiri dari batuan tersier. Maka sangat tidak cocok untuk bercocok tanam. Namun sangat strategis sebagai jalur perekonomian, kaya akan sumber daya alam dan perikanannya.

Dalam sejarahnya, Kepulauan Riau pernah juga sebagai salah satu pusat kerajaan Melayu, yakni Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Peninggalannya masih bisa kita temui di Penyengat dan Daik-Lingga. Maka tak heran jika pemusatan Orang Melayu di Indonesia akan mengarah pada Propinsi Riau, sedangkan di Asia Tenggara berpusat di Semenanjung Malaka.

Table of contents

Open Table of contents

Suku Melayu Riau dalam Sejarah Melayu dan Riau

Ada tiga pengertian yang berkenaan dengan istilah Melayu. Pertama, Melayu dalam pengertian “bangsa”, ke-dua Melayu dalam pengertian “suku bangsa”, dan ke-tiga adalah Melayu dalam pengertian “Suku”.

Melayu pada pengertian ‘bangsa’ adalah Melayu sebagai ras diantara berbagai ras yang terdapat di dunia. Berkulit coklat. Pencampuran antara Mongol, Dravida, dan Aria.

Melayu dalam pengertian “Suku Bangsa” terjadi karena perkembangan sejarah dan perubahan politik yang mengarah pada sebuah republik; Indonesia, Malaysia, Brunei dll. Sementara pengertian Melayu sebagai “suku” adalah bagian dari sub-sub suku bangsa Melayu itu sendiri.

Seperti Suku Melayu Riau yang dibahas dalam tulisan ini. Suku bangsa Melayu, seperti halnya suku bangsa lain, tentu memiliki daerah yang dianggap sebagai pusat kebudayaan yang kemudian menjadi rujukan dalam berbagai aspek kehidupan antar pendukungnya.

Tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Melayu di berbagai daerah pada gilirannya membuat daerah-daerah tersebut dianggap sebagai pusat kerajaan yang sekaligus sebagai pusat kebudayaan Melayu.

Ada teori yang menyatakan bahwa semakin jauh dari pusat maka unsur-unsur kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan tidak sama persis. Ada persamaan yang hakiki, dalam hal ini “Islam”, namun dalam segi budaya akan ada pembeda-nya..

Suku Melayu Riau adalah perpaduan dari bangsa Bangsa sebelumnya yakni bangsa Proto Melayu yang tidak lari ke pedalaman. Kemudian bercampur dengan bangsa Deutro Melayu yang datang dengan peradaban yang lebih maju dan telah memiliki hubungan dengan dunia luar pada sekitar tahun 300 SM.

Tumbuh dan berkembangnya Orang Melayu tidak terlepas dari kesejarahan-nya. Secara singkatnya dimulai dari masa pengaruh Kerajaan Sriwijawa yang berlangsung sampai dengan akhir abad ke-13, dan diakhiri pada masa Kerajaan Melayu Riau-Lingga yang pernah mengalami masa kejayaan hingga menggantikan Johor.

Pengaruh Melayu berpusat dari Riau dan menyebar ke daerah-daerah lain dimulai hingga pada saat kemudian Belanda datang ke Indonesia. Dari sanalah orang Melayu kemudian seringkali mengidentifikasi dirinya sesuai dengan tempat administrasi mereka berada, seperti di Riau terdapat Melayu-Siak, Melayu-Indragiri Hulu, Melayu-Daik, Melayu Penyengat, Melayu-Kampar, dll.

Suku Melayu Riau, sepeninggal kerajaan Sriwijaya mengalami enam masa perkembangan. Pertama masa kemerdekaan kerajaan-kerajaan kecil Melayu Riau seperti Bintan-Temasik di Kepulauan Riau, Malaka di semenanjung Melayu, Kandis-kuantan, Gasib-Siak, kritang Indra giri, dll.

Masa ke dua adalah penguasaan kembali kerjaan-kerajaan kecil tersebut di bawah pengaruh kerajaan Pagaruyung Minangkabau.

Masa ke-tiga adalah fase kepunahan kerajaan-kerajaan kecil Melayu seperti Kandis, Segati, Pekan Tuan dan Gasib. Masa ke empat adalah fase munculnya kerajaan Melayu kecil yang membesar seperti; Siak Sri Indrapura, Indragiri dan Pelalawan.

Dan yang terkhir adalah masa kejayaan Riau- Lingga. Dengan perkembangan fase-fase tersebut pasti memiliki dampak dan perubahannya tersendiri.

Namun, dari sekian pembeda mulai dari segi demografis dan kesejarahan, Sub-suku Melayu memiliki kesamaan hakekat yakni dalam keyakinannya terhadap Islam serta pola hidup mereka yang Maritim; berdagang, pelaut, berbahasa Melayu, dan ahli membuat kapal.

Stratifikasi Sosial Masyarakat Melayu Riau

Suku Melayu Riau pada dasarnya terdiri dari dua dua stratifikasi Sosial atau golongan, yaitu golongan masyarakat asli dan golongan penguasa atau bangsawan kesultanan.

Meskipun demikian, struktur sosial orang Melayu Riau sebenarnya longgar dan terbuka bagi kebudayaan lain. Sehingga banyak orang Arab dan Bugis yang menjadi bangsawan.

Wan adalah gelar bangsawan bagi orang Arab dan raja adalah gelar kebangsawanan orang Bugis. Mereka juga mendapat kedudukan yang sangat tinggi (Sultan Siak dan Sultan-sultan Kerajaan riau-Lingga). Sedangkan, gelar bangsawan untuk orang Melayu adalah tengku.

Pada awalnya kepala-kepala suku yang menguasai hutan tanah, “territorial” bernaung di bawah kerajaan Johor. Namun setelah Raja Kecil dapat meduduki takhta Kerajaan Johor, terpaksa Keluarga kesultanan meninggalkan Johor dan membuka kerajaan baru di sungai Siak, maka kerajaannya dinamakan “Kerajaan Siak Sri Inderapura”.

Dalam keadaan yang baru ini, pembagian golongan dalam masyarakat Riau mulai berlaku.

Jika pada mulanya yang ada hanya kepala suku sebagai puncak dan anggota sukunya sebagai dasarnya, maka dengan adanya Sultan beserta keturunannya, terjadilah tingkatan sosial baru sebagai berikut: Raja/Ratu dan Permaisuri yang merupakan tingkat teratas.

Keturunan Raja yang disebut anak Raja-raja, merupakan lapisan kedua. Orang baik-baik yang terdiri dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya beserta keturunannya merupakan lapisan ketiga. Orang kebanyakan atau rakyat umum, merupakan tingkatan terbawah

Adanya tingkatan sosial tersebut membawa konsekuensi pula dibidang adat istiadat dan tata cara pergaulan masyarakat. Makin tinggi golongannya semakin banyak hak- haknya, seperti; keistimewaan dalam tata pakaian, tempat duduk dalam upaca-upacara pun menunjukan adanya perbedaan itu.

Pada perkembangan kekinian, seiring dengan perubahan ketatanegaraan akhirnya berubah juga stratifikasi sosial ini. Saat ini ketentuan-ketentuan adat ini sudah tidak mengikat lagi dan pada umumnya sudah disesuaikan dengan alam demokrasi sekarang.

Sehingga perbedaan golongan tingkat ini sudah tidak kelihatan lagi dalam pergaulan. Pada waktu ini lebih diutamakan kepribadian, kedudukan dan keadaan materiel seseorang menurut ukuran sekarang.

Dalam upacara perkawinan misalnya, bagi mereka yang mempunyai kemampuan materiel, bisa memakai pakaian dan perlengkapan yang seharusnya diperuntukan bagi seorang Raja atau Sultan.

Dalam upacar adat yang diadakan sekarang, yang dianggap tinggi adalah pejabat-pejabat pemerintah sesuai menurut kedudukannya sekarang, bukan lagi Datuk-datuk atau Tengku-tengku.

Larang Pantang; Pola Tata Ruang Suku Melayu Riau

Bagi orang Melayu Riau, Pemukiman atau perkampungan harus dibangun penuh perhitungan, karena di sanalah mereka menetap dan memanjangkan keturunan. Pemukiman dibangun dengan landasan adat (budaya) serta kepercayaan yang dianutnya, kemudian disempurnakan dengan larang pantang yang diberlakukan secara ketat.

Orang-orang tua Suku Melayu Riau mengingatkan: “dalam menyusuk atau membangun kampung, adat dipegang lembaga dijunjung” atau dikatakan: “apabila hendak menusuk kampung, adat dipakai lembaga dihitung, supaya tuah apat besambung, supaya rezki terus melambung”.

Ketentuan adat iniah yang menjadi acuan dasar dari masyarakat tempatan dalam membuat perkampungan. Sehingga dalam Pemanfaatan Ruang, masyarakat Melayu Riau memiliki aturan pembagian lahan menjadi 3 fungsi yaitu: lahan untuk pemukiman, lahan untuk peladangan dan lahan untuk hutan rimba larangan

Begitu pun dalam pembagian fungsi hutan, masyarakat Melayu Riau membagi menjadi tiga fungsi, yakni; sebagai hutan sebagai marwah, hutan sebagai sumber nilai budaya dan hutan sebagai sumber ekonomi.

Dengan demikian arah pengembangan tata ruang mempunyai motivasi yang dapat mewujudkan harmonosasi antara kegiatan yang bersifat mengeksploitasi dengan kegiatan yang bersifat memelihara dan mempertahankan kelestarian yang berkenaan dengan kekhasan ekologis, kearifan lokal, historis maupun sosial budaya.

Ketentuan adat ini memberi petunjuk bahwa masyarakat Melayu Riau tidaklah membuat perkampungan dengan semena mena, tetapi melalui proses yang panjang.

Hal ini membuktikan bahwa mereka membangun perkampungan dengan perhitungan yang cermat, agar kampung itu memberikan manfaat bagi penghuninya, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, serta memberi peluang untuk pengembangan perkampungan atau Pemukiman ke masa depannya

Acuan diatas memberi petunjuk betapa ketat dan cermatnya ketentuan adat tentang membangun perkampungan (Pemukiman). Orang tua menegaskan di dalam menyusuk kampung adat dipakai lembaga dijunjung, atau dikatakan apabila kampung hendak didirikan, adat dan peraturan jadi pedoman, Larang Pantang jadi pegangan, musyawarah mufakat jadi landasan

Bahkan dalam proses pembangunan rumah, masyarakat Melayu Riau harus mempertimbangkan beberapa hal yang sangat penting demi menjaga keamanan penghuninya dari sesuatu yang bersifat fisik mau pun mistik. Mulai dari konstruksi tanah, lingkungan atau tetangga, status tanah dan seluruhnya harus mendapatkan pernyataan perijinan dan musyawarah adat.

Dari segi tempat ada tiga kategori tanah untuk membangun rumah diantaranya adalah; konstruksi tanahnya liat dan berwarna kuning, tanahnya datar namun miring ke belakang, tanah belukar, dan dekat dengan sumber mata air.

Sedangkan jenis tanah yang harus dihindari diantaranya; bekas tempat orang mati berdarah, tanah bekas tempat orang mati karena penyakit menular, tanah pasir dan tanah gambut, tanah bekas kuburan, tanah tahi burung, tanah yang miring ke timur laut, dan tanah wakaf.

Jadi kita bisa melihat betapa masyarakat Melayu Riau begitu hati-hati dalam mengatur tata ruang untuk pemukiman, hutan, bahkan hingga begitu perinci mengatur serta menjaga pantangan yang didasarkan pada hasil musyawarah dan petunjuk pawang ketika hendak membangun rumah. Dalam hal tersebut, terkandung upaya menjaga keselarasan dengan alam, adat, dan masyarakat di lingkungan sekitarnya.