traveldraft

Tongkonan, Rumah Adat Tana Toraja

Dengan atap menjulang ke atas yang seolah menantang gaya tarik bumi, ditambah dengan keselarasan hiasan berukir dan beraneka warna, serta deretan tanduk kerbau yang berjajar, membuat rumah asli Toraja ini tampak dramatis dan tak akan terlupakan.

PublishedFebruary 4, 2013

byDgraft Outline

Ada yang menyebutnya seperti perahu, kebanyakan menyamakan bentuknya dengan tanduk. Tongkonan dalam masyarakat Toraja merangkul masa lalu dengan cara yang jelas.

Dengan atap menjulang ke atas yang seolah menantang gaya tarik bumi, ditambah dengan keselarasan hiasan berukir dan beraneka warna, serta deretan tanduk kerbau yang berjajar, membuat rumah adat Toraja ini nampak dramatis dan tak akan terlupakan.

Susunan tumpukan dan perpanjangan atap Tongkonan menunjukkan asal yang sama dengan rumah-rumah nusantara lainnya, tetapi keaslian susunan ini secara luar biasa di Tana Toraja menujukan pencapaian arsitektur dengan gaya khusus.

Pada saat yang sama, rumah Toraja mencontohkan banyak tema yang menjadikan rumah sebagai pusat organisasi sosial mereka.

Table of contents

Open Table of contents

Tongkonan Sebagai Pohon Silsilah dan Sejarah

Menurut Tradisi, hanya bangsawan yang berhak membangun rumah asli yang mewah dengan ukiran itu dan hanya mereka yang ingin mengenang silsilah panjang nenek moyang untuk rumah mereka

Banyak orang Toraja tinggal di rumah yang tidak berhias, yang disebut banua. Bila orang menceritakan silsilah, mereka pertama selalu menyebut Tongkonan dan pasangan pendiri rumah asli, suami dan istri, kemudian nama anak dan keturunan yang tersebar di seluruh negeri, dengan nama-nama rumah baru yang mereka dirikan, kadang warisan yang dibawa ketika mereka pindah. Banyak sejarah yang akan diceritakan, sisanya merupakan bentang geografis dan peta sejarah pemukiman.

Rumah bangsawan yang terpenting didiami oleh penguasa pemerintahan setempat yang menguasai kumpulan kecil desa-desa. Rumah mempunyai mitos dan legenda, Histori dan juga misteri yang dihubungkan dengan mereka yang menceritakan nenek moyang yang melakukan hal-hal yang mengagumkan, warisan “gaib” yang masih disimpan di rumah, atau mungkin telah lama hilang.

Pasangan pendiri beberapa rumah adalah manurun atau “seseorang yang turun”; seorang turun dari langit dan menikah dengan wanita yang bangkit dari kolam di sungai.

Masa lalu, cerita ini membantu mengesankan kekuatan kebangsawanan, tetapi masyarakat masih memperdebatkan tentang hal kecil untuk mempertahankan kebanggaan Tongkonan tertentu, mungkin karena mereka ingin melihat hal itu masuk ke dalam sejarah silsilah yang lebih terpandang

Gaya rumah telah berubah sedemikian rupa bersama waktu. Bangunan tertua yang masih bertahan cenderung kecil, dengan hanya sedikit lengkungan di atap.

Karena rumah menjadi perwujudan cita-cita bangsawan, secara perlahan rumah pada perkembangannya dibangun lebih tinggi dan lengkungan ke atas menjadi makin “berlebihan”, yang sebenarnya mengurangi ruangan dalam yang dapat digunakan, tapi tampak jelas menunjukkan kesan kekuatan dan kebanggaan.

Tongkonan Pusat Kehidupan Sosial Budaya

Kata “tongkon” berasal dari bahasa Toraja yang berarti tongkon “duduk” atau duduk bersama. Dan itulah salah satu fungsi Tongkonan, sebagai tempat untuk bermufkat.

Selain rumah, Tongkonan adalah pusat dari kehidupan sosial-budaya suku Toraja. Ritual dan upacara yang berhubungan dengan rumah adat ini selalu melibatkan jumlah keluarga besar.

Tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Oleh karena itu semua anggota keluarga akan terikat pada tongkonannya. Cukup mudah untuk mebedakan orang Toraja dengan yang bukan, tanyakan Tongkonan-nya.

Menurut cerita rakyat Toraja, bangunan tersebut pertama kali dibangun di surga dan ketika leluhur suku Toraja itu turun ke bumi, kemudian mereka meniru rumah asalnya itu.

Dalam kisah lainnya, diceritakan ketika seorang Pemangku Adat bernama Londong di Rura (Ayam jantan dari Rura) berupaya menyatukan kelompok dengan menyelenggarakan Upacara Adat besar.

Upacara itu dinamai MABUA tanpa melalui musyawarah adat dan upacara memotong babi. Kemudian Tuhan menjatuhkan kutukan sehingga tempat upacara terbakar kemudian tempat itu menjadi danau yang dapat disaksikan sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75). Kemudian bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke wilayah selatan dan ke arah utara.

Sementara kelompok yang menuju ke utara stiba di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang dinamakan Tondok Puan. Mereka mendirikan rumah adat tempat pertemuan dengan nama Banua Puan ;artinya rumah yang berdiri di tempat yang bernama Puan.

Kemudian dinamakan Tongkonan yang artinya Balai Musyawarah. Bangunan itu merupakan Tongkonan pertama di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama To Tangdilino; artinya pemilik bumi. To Tangdilino diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan Komunitas To Lembang).

Rumah adat ini merupakan rumah panggung dengan konstruksi rangka kayu. Bangunannya terdiri atas 3 bagian, yaitu ulu banua (atap rumah), kalle banua (badan rumah), dan sulluk banua (kaki rumah)

Bentuknya persegi karena sebagai mikro kosmos rumah terikat pada 4 penjuru mata angin dengan 4 nilai ritual tertentu. Bangunan kebanggaan orang Toraja iniharus menghadap ke utara agar kepala rumah berhimpit dengan kepala langit ( ulunna langi ) sebagai sumber kebahagiaan.

Secara teknis pembangunan rumah adat ini adalah pekerjaan yang melelahkan, sehingga dilakukan dengan jumlah orang yang banyak. Ada beberapa jenis; Tongkonan layuk yang merupakan tempat kekuasaan tertinggi. Dahulu digunakan sebagai pusat “pemerintahan”.

Tongkonan pekamberan milik anggota keluarga yang kewenangan tertentu dalam adat. Dan Tongkonan Batu, tempat masyarakat kebanyakan tinggal. Ada juga tongkonan yang dibangun dalam waktu semalem, untuk keperluan upacara.

Jadi rumah adat ini bagi masyarakat Toraja lebih dari sekadar rumah adat. Dan setiap tongkonan terdiri dari; Tongkon (rumah) dan Alang (lumbung) yang dianggap pasangan suami-istri.

Deretan Tongkonan dan Alang saling berhadapan. Tongkonan menghadap ke utara dan Alang ke selatan. Halaman memanjang antara bangunan dan Alang disebut Ulubabah.

Selain sebagai rumah adat, Suku Toraja mengenal 3 jenis Tongkonan menurut peran adatnya, walau bentuknya sama persis, yaitu: Tongkonan Layuk : sebagai pusat kekuasaan adat dan tempat membuat peraturan.

Tongkonan Pekaindoran/Pekanberan : tempat untuk melaksanakan peraturan dan perintah adat. Tongkonan Batu Ariri : tempat pembinaan keluarga serumpun dengan pendiri Tongkonan.

Tongkonan dan Alam Semesta

Pengaturan tata ruang kampung orang Toraja di daerah yang berbukit berbeda dengan yang berada di wilayah datar. Orientasi rumah tergantung pada lingkungan alamnya. Seperti kebanyakan arsitektur tradisional di Indonesia, tata letak dari rumah Toraja juga dipenuhi dengan makna perlambang.

Orientasi dari rumah Toraja secara jelas ditujukan sebagai makna alam semesta. Rancangan dan susunan dari ragam hias serta ukiran menunjukkan berbagai pesan tata susunan sosial beserta hubungannya dengan dunia para roh.

Tongkonan harus menghadap utara—arah yang mereka hubungkan dengan pencipta “di atas”, Puang Matua. Sedangkan ujung selatan, sebaliknya, merupakan “belakang” rumah ( pollo’ banua ) yan g dihubungkan dengan keberadaan dan penghormatan terhadap nenek moyang dan juga dunia kemudian, puya.

Barat dan timur melambangkan makna tangan kiri dan kanan tubuh. Timur mereka hubungkan dengan dunia kedewaan ( deata ), sementara bagian barat juga menyimbolkan nenek moyang dalam bentuk yang di-dewakan.

Hiasan Tongkonan

Banyak pola ukiran rumah beragam hias taru dan satwa. Nama beberapa pola ini sangat mengacu kepada keseharian—misalnya, jejak rumput, air, kecebong, atau semangka menjalar. Makna semuanya terletak pada kemampuan berkembang biak atau menyebar dengan cepat; lambang-lambang itu mewakili harapan bahwa pewaris rumah ini juga akan berkembang banyak.

Pola lain mewakili kerbau, padi yang subur, atau perak-pernik warisan—melambangkan kekayaan yang diinginkan dan kecukupan. Tiang penyangga dinding selalu dihias kepala kerbau dan beberapa orang mengatakan kepala kerbau itu melambangkan kebangsawanan, yang “mengangkat” penduduk lain.

Dekat dengan ujung dinding serambi, terlihat ragam hias daun sirih dan pohon beringin—keduanya mempunyai hubungan dengan upacara—dan sopi-sopi atap, dua lapis pancaran sinar, ditumpangi ayam jantan.

Citra ini melambangkan pangkat tinggi, keberanian, atau kebesaran, mewakili Tana Toraja, yang secra puitis sering dikatakan sebagai tandak repongan bulan, tana matarik allo, ‘kampung dari lingkaran sinar bulan, tanah dari lingkaran sinar matahari’.

Ayam jantan merupakan bentuk perantara yang penting, dapat membangkitkan yang mati dan memenuhi keinginan dengan kokok-nya, hingga akhirnya terbang ke surga, berubah menjadi bintang-bintang.