traveldraft

Pakaian Adat Sulawesi; Beragam Jenis dan Kaya Aksesoris

Provinsi Sulawesi Barat memiliki keragaman tata busa atau baju tradisionalnya. Hal tersebut dapat dilihat dari tari tradisional Sulawesi Barat yang memiliki keragaman dalam busananya.

PublishedMarch 3, 2013

byDgraft Outline

Pakaian adat Sulawesi banyak jenisnya. Orang Sulawesi tidak akan kehabisan pakaian tradisional untuk menjadi duta budaya mereka. Keragaman pakaian tradisional di Sulawesi adalah cerminan dari beragamnya suku bangsa yang mendiami wilayah celebes.

Tekstil telah dikenal oleh orang Sulawesi sejak masa prasejarah. Menenun pakaian dari bahan tekstil dan membuat periuk belanga adalah tradisi lama mereka. Orang sulawesi juga piawai membuat kerajinan tangan sebagai perhiasan seperti gelang dan kalung.

Pakaian adat Sulawesi merupakan bentuk fisik atau artefak budaya yang dimiliki suatu wilayah di Sulawesi. Pakain tersebut dapat memperlihatkan keragaman budaya, status sosial hingga menjadi kelengkapan dalam suatu acara. Tulisan ini akan mencoba mengulas pakaian adat Sulawesi baik pakaian sehari-hari, pakaian upacara, dan pakaian pesta perkawinan.

Table of contents

Open Table of contents

Pakaian Adat Sulawesi Barat

Pakaian Adat Sulawesi Barat biasanya digunakan dalam penampilan tarian-tarian mereka. Misalnya pada tari Bamba Manurung–yang merupakan tarian adat Tradisional yang biasa dipertunjukkan pada saat acara pesta Adat Mamuju.

Di hadapan para penghulu adat dan tokoh masyarakat Mamuju, Tarian itu dipentaskan, busana yang dipakai pada tari tersebut bernama baju Badu . Adapun perlengkapan atau aksesoris yang menghias pada baju ini ialah bunga beru-beru atau bunga melati dan kipas.

Ada lagi tari Bulu Londong yang merupakan tarian tradisional yang dilakukan sebagai pengucapan syukur dalam acara Rambutuka. Tarian ini menggunakan baju adat mamasa.

Baju adat mamasa terbuat dari bulu burung. Adapun aksesoris yang melengkapi baju adat ini ialah kepala manusia, sengo, terompet alam bambu, tombak atau pedang.

Tarian yang lainnya ialah tari Ma’bundu yang merupakan tarian perang tradisional kreasi baru yang dipadukan dengan beberapa tarian Tradisional Kecamatan Kalumpang dan kecamatan Bonehau Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

Busana yang dipakai pada tari ini ialah pakaian kebesaran BEI. Baju kebesaran BEI dihiasi dengan ukir-ukiran yang terbuat dari kerang kecil. Pakaian kebesaran BEI dihiasi dengan topi bertanduk dan berpalo-palo

Aksesori pada bagian tangan berupa potto ballusu (gelang-gelang ditangan). Para penari menggunakan tombak, gendang.

Selain baju adat yang biasa dikenakan dalam pertunjukan tari, Sulawesi Barat terkenal dengan tenu ikat tradisional sekomandi yang berasal dari Kalumpangan. Tenun ikat tradisional merupakan produk budaya yang telah berusia ratusan tahun dan terus dipelihara oleh masyarkat adatnya.

Tenun Tradisional Sekomandi Kalumpang, terbuat dari kulit kayu dengan pewarna alami. Pewarna tersebut diambil dari salah satunya cabai. Untuk memberi warna, mula-mula kulit kayu ditumbuk kemudian diolah untuk pintal.

Untuk membuat zat pewarna alami dari cabai, cabai di racik dan kemudian di campurkan dengan corak warna lainnya yang diinginkan. Biasanya tenun ini di dan didominasi dengan warna hitam, coklat, merah, dan kream. Warna dasar adalah hitam.

Keunikan kain tenun ini terdapat di pola, warna, dan struktur kain. Semuanya dikerjakan dengan tangan dan di tenun dengan alat tradisional. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu hingga hitungan bulan untuk memperoleh tenunan kualitas terbai.

Pakaian Adat Sulawesi Utara

Dalam masyarakat Gorontalo, pakaian sehari-hari mereka berbahan kapas atau biasa disebut molinggolo dipintal menjadi benang, dan ditenun mohewo. Pola pakaian perempuan berbentuk kebaya dan tidak bermotif dan laki-laki kemeja lengan pendek. Sedangkan kain sarung dipakai oleh keduanya dan bermotif.

Pakaian sehari-hari masyarakat Bolaang Mangondow pada jaman dulu dibuat dari kulit kayu dan serta nenas yang direndam air beberapa hari ini kemudian dipukul-pukul dan seratnya dibuka. Serat itu disebut lanut yang kemudian ditenun dan menjadi lembaran kain.

Hari ini kain yang terbuat dari serat lanut sudah tidak ditemukan lagi, karena masyarakat Bolaang Mangondow telah menggunakan pakaian berbahan katun (kapas) sebagai pakaian sehari-hari mereka.

Seperti halnya masyarakat Bolaang Mangondow, suku bangsa Minahasa pada jaman dahulu telah menguasai pengetahuan dan keterampilan membuat kain dengan memanfaatkan kulit kayu dan dari sisanya yang bisa disebut manilahenep.

Sementara pakaian sehari-hari tradisional masyarakat Sangihe dan Talaud, yakni pakaian yang terbuat dari kain kofo dan dapat dikatakan kini sudah tidak ada lagi.

Pakaian upacara masyarakat Gorontalo berfungsi untuk melihat status seorang dalam upacara adat. Para pemangku adat atau bate-bate mengenakan sandang dengan pola dan motif yang berwarna; berbentuk kemeja kurung, celana pendek sebetis kaki (batik) yang biasa disebut talola bate. Sementara Jubah putih atau sandaria dipakai oleh pemimpin agama. Dan jas hitam, celana hitam adalah pakaian pejabat keamanan

Apabila kepala-kepala desa memakai kemeja batik bentuk baju kurung, celana putih pakai sarung dan ikan kepala alias payungu, menandakan bahwa mereka siap menjalankan perintah (mahiya pada waumatihimanga motubuhe tahilio lo ito Eya).

Dalam upacara adat, suku bangsa Bolaang Mangondow memakai pakaian adat yang terbuat dari bahan mentah kain katun dan tetoron.

Untuk pakaian laki-laki bisanya disebut baniang. Sementara untuk perempuan disebut salu, untuk dibuat jadi kebaya, sarung, dan selendang. Dalam upacara adat, laki-laki memakai destar semacam kain atau atau lenso yang diikat di kepala. Juga pomerus atau kain pelekat yang diikat pada pinggang.

Sementara wanita memakai baju salu dengan pelengkap kain pelekat senket. Pada bagian dada dihiasi emas yang disebut hamunse.

Di Minahasa, pakaian upacara bagi laki-laki adalah jas (sepasang), dan atau cukup dengan memakai kemeja dengan pelengkap dasi. Bagi kaum perempuan pakaian mereka tidak lain berupa sarung kebaya atau yapon

Bagi masyarakat Sangihe Talaud, seperangkat pakaian upacara yang biasa dikenakan terdiri dari baju panjang, ikat pinggang dan ikat kepala, dengan warna-warna dominan merah, hitam dan biru.

Bentuk model pakaian tersebut hampir tidak terbedakan antara untuk laki-laki dan perempuan. Bentuknya menyerupai baju alian juhan yang disebut “laku tepu”, pembeda diantara pakai laki-laki dan perempuan hanya panjangnya, bagi laki-laki hanya sampai pertengahan betis.

Dalam upacara perkawinan, suku bangsa Gorontalo memiliki pakaian adat upacara perkawinan yang dinamakan urasipungu yang terdiri dari; kebaya pengantin perempuan terbuat dari kain saten dan diberi hiasan perak sepuhan.

Sementara pengantin laki-laki mengenakan pakaian semacam kemeja kurung dari bahan yang sama dengan pengantin perempuan yang disebut kimunu. Kedua mempelai juga memakai kain sarung yang terbuat dari satin.

Selain itu pelengkap berikutnya dalah Paluala yang berfungsi sebagai penutup kepala pengantin wanita yang terbuat dari kain satin dengan hiasan sunting atau biliu yang terbuat dari perak. Hiasan lainnya adalah kecubu, kain beludru dengan hiasan perak yang digantungkan pada leher pengantin wanita.

Dalam upacara perkawinan suku Bolaang Mangondow, pengantin wanita memakai sunting; semacam hiasan sanggul yang bahannya terdiri dari emas. Di dahi pengantin memakai hiasan yang disebut logis yang terbuat dari benang hitam.

Pakaian Adat Sulawesi Tengah

Di Sulawesi Tengah, setiap etnis memiliki pakaian adatnya tersendiri. Misalnya pakaian adat etnis Kaili Kota Palu. Pakaian adat untuk perempuan dikenal dengan nama baju nggembe. Baju Nggembe merupakan busana yang dipakai oleh remaja putri. Biasanya baju ini dipakai saat upacara adatnya

Baju Nggembe berbentuk segi empat, berkerah bulat berlengan selebar kain, panjang blus sampai pinggang dan berbentuk longgar. Baju Nggembe ini dilengkapi dengan penutup dada atau sampo dada dan memakai payet sebagai pemanis busana. Sarung tenun Donggala menjadi aksesoris bagian bawah pakaian ini. Donggala yang berbenang emas dalam bahasa Kaili disebut dengan Buya Sabe Kumbaja.

Cara pemakaian pakai adat ini mengalami perkembangan, dalam perkembangannya pemakaian sarung Donggala dirubah dengan mengikat sarung dan kemudian disamping kiri atau kanan dilipat untuk memperindah serta memberi kebebasan bergerak bagi si pemakai

Aksesoris yang digunakan untuk pakaian ini ialah anting-anting panjang atau Dali Taroe, Kalung beruntai atau Gemo, Gelang panjang atau Ponto Ndate, Pending atau Pende.

Pende atau pending merupakan ikat pinggang yang digunakan pada saat seseorang (perempuan) memainkan tarian khas Sulawesi Tengah. Bahan emas dan perak menjadi bahan untuk membuat ikat pinggang ini dengan cara dicetak.

Pada bagian dalam pende dibuat sebuah tempat untuk memasukkan tali pengikat kain yang berwarna kuning dan diberi hiasan. Namun dalam perkembangannya, hari tidak lagi digunakan ikat pinggang seperti itu. Ikat pinggang biasa lebih banyak digunakan hari ini untuk dikenakan bersama pakaian ini.

Semetara itu, pakaian adat untuk pria bernama Baju Koje/Puruka Pajana. Pakaian ini terdiri dari dua bagian, yaitu Baju Koje dan Puruka Pajama. Baju Koje atau baju ceki adalah kemeja yang bagian keragnya tegak dan pas dileher, berlengan panjang, panjang kemeja sampai ke pinggul dan dipakai di atas celana.

Puruka Pajana atau celana sebatas lutut, modelnya ketat, namun killnya harus lebar agar mudah untuk duduk dan berjalan. Sarung dipinggang, keris, serta sebagian kepala menggunakan destar atau siga menjadi aksesoris pakaian ini.

Pakaian adat Sulawesi Tengah berikutnya ialah pakaian adat etnis Mori di Kab. Morowali. Pakaian adat etnis Mori terdiri dari pakaian adat untuk perempuan dan laki-laki.

Kaum hawa biasa mengenakan blus lengan panjang atau bahasa Mori disebut dengan Lambu, berwarna merah dengan hiasan dan motif rantai berwama kuning. Untuk bawahannya merka mengenakan rok panjang berwama merah atau hawu juga bermotif rantai berwama kuning. Mahkota atau pasapu digunakan untuk bagian kepala

Adapun aksesoris yang digunakan pada pakaian ini ialah Konde atau Pewutu Busoki, Tusuk Konde atau Lansonggilo, Anting-anting atau Tole-tole, Kalung atau Enu-enu, Gelang Tangan atau Mala, Ban Pinggang atau Pebo’o, Cincin atau Sinsi.

Sementara itu, untuk pakaian adat Sulawesi Tengah yang dikenakan laki-laki ialah kemeja lengan panjang atau bahasa Mori dengan sebutan Lambu. Kemeja ini berwarna merah dengan hiasan motif rantai berwama kuning sama seperti pakaian perempuan. Untuk bawahan kaum laki-laki menggunakan celana panjang berwama merah atau Saluara. Bate atau destar digunakan dibagian kepala. Ikat pinggang menjadi perlengkapan untuk pakaian adat pria.

Pakaian adat Sulawesi Tengah lainnya ialah pakaian adata etnis Toli-Toli di Kabupaten Toli-Toli. Seperti adat lainnya, pakaian adat etnis Toli-Toli terdiri dari pakaian adat perempuan dan laki-laki.

Kaum perempuan biasanya memakai blus lengan pendek atau Badu yang pada bagian lengan terdapat lipatan-lipatan kecil, dihiasi manik-manik dan pita emas. Bawahan yang dikenakana, yaitu celana panjang atau Puyuka panjang dihiasi pita emas dan manik-manik. Sarung juga digunakan namun sebatas lutut atau Lipa. Kemudian dikenakan pula selendang atau Silempang dan ban pinggang berwarna kuning

Aksesoris yang digunakan dalam pakaan ini ialah anting-anting panjang, gelang panjang, kalung panjang warna kuning, dan kembang goyang.

Sementara, untuk laki-laki mengenakan blus lengan panjang dengan leher tegak yang dihiasi dengan pita emas dan manik-manik wama kuning. Utuk bawahan celana panjang atau Puyuka panjang. Digunakan pula sarung sebatas lutut dan tutup kepala atau Songgo

Berikutnya ialah pakaian Adat Sulawesi Tengah perwakilan Etnis Saluan di Kab. Luwuk. Pada pakaian adat etnis ini, perempuan mengenakan blus atau pakaian wanita yang disebut dalarn bahasa Saluan adalah Pakean Nu’boune. Rok panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Rok Mahantan menghiasi bawahan pakaian ini. Digunakan pula perhiasan berbentuk bintang

Adapun aksesoris yang digunakan ialah gelang atau potto, kalung atau kalong, sunting, anting atau sunting, jaling, selempang atau salandoeng.

Para kaum pria saluan mengenakan kemeja pria yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Pakean Nu’moane, celana panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Koja, penutup kepala/topi ( Sungkup Nu’ubak ), sarung pelengkap celana panjang ( Lipa ).

Pakaian Adat Sulawesi Selatan

Makassar, Mandar, dan Bugis, mengenal pakaian adat yang sama yaitu Baju Bodo. Bodo Gesung merupakan sebutan lain dari Baju Bodo. Di antara busana adat yang dimiliki Sulawesi Selatan, Baju Bodo merupakan baju yang paling tua usianya.

Bodo Gesung sendiri artinya baju yang berlengan pendek dan menggelembun karena pada bagian punggungnya menggelembung.

Baju bodo terdiri dari blus sebagai pakaian bagian atas dan sarung sebagai pakaian bagian bawahnya. Sementara blusnya terdiri dari jenis baju Bodo dan baju Labbu. Baju Labbu merupakan baju Bodo berlengan panjang.

Pada awalnya baju bodo terbuat dari kain kasa merah atau hitam rangkap dua dan dikanji. Panjangnya hingga ke tana, sehingga merupakan dua kali panjang busana dengan lebar kurang lebih satu meter. Kain itu kemudian dilipat menurut panjangnya.

Kedua sisanya dijahit, lalu disiskan 12 cm sebagai lubang lengan. Agar menggelembung bagian lubang lengan waktu memakainya agak disingsingkan. Sarung tidak diikat pada pinggang namun hanya dipegang saja dengan tangan kiri

Bentuk segi emat merupakan ciri khas dari Baju bodo. Ciri khas lainnya ialah bahwa Baju Bodo tidak berlengan, sisi samping blus dijahit, bentuk bagaian badan blus menggelembung, bagian atas dilubangi untuk memasukan kepala yang sekaligus juga merupakan garis untuk lubang leher, tidak memiliki sambungan jahitan pada bagian bahu, memakai hiasan berupa kepingan-kepingan logam berbentuk bulat berwarna emas di seluruh pinggiran dan permukaan blus

Ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo. Masing-masing warna manunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya. Misalnya, warna jingga hanya dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.

Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun. Warna merah darah untuk 17-25 tahun. Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun. Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan. Warna ungu dipakai oleh para janda.

Dahulu Baju Bodo kerap digunakan sebagai pakaian pesta, misalnya pada pesta pernikahan. Jauh sebelumnya lagi, Baju Bodo kerap digunakan dalam upacara kematian dan perayaan. Akibat perubahan zaman, pemakaian Baju Bodo sudah mulai terkikis

Baju bodo kian terpinggirkan. Orang-orang lebih memilih kebaya modern, gaun malam, atau busana-busana yang terkesan modis dan lebih simple.

Namun, baju bodo tidak sepenuhnya kehingan tempat di hati masyarakat Sulawesi Selatan. Baju Bodo masih tetap digunakan oleh mempelai pengantin diresepsi atau akad nikah.