etnografi

Kebudayaan Batak

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang banyak mendiami wilayah Sumatra Utara. Istilah Batak secara sederhana merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasi beberapa suku bangsa yang bermukim di wilayah tersebut.

PublishedApril 8, 2013

byDgraft Outline

kebudayaan batak
Image by Tassilo Adam / Tropenmuseum (1914-1919)

Suku bangsa yang dikategorikan ke dalam suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Suku Batak dikenal dengan banyaknya marga yang diambil dari garis keturunan laki-laki. Garis keturunan yang akan diteruskan kepada keturunan selanjutnya, menjadi simbol bagi keluarga Batak.

Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai dua orang putra, yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon.

Diantara unsur kebudayaan yang menjadi ciri khas yang terkenal dan dimiliki suku Batak adalah sistem Marga. dibidang kesenian ada Tari Tor-tor merupakan kesenian yang bersifat magis. Ada lagi Tari serampang dua belas yang hanya bersifat hiburan. Sementara alat musik tradisionalnya adalah Gondang sembilan, Gong dan Saga-saga.

Warisan kebudayaan berbentuk kain adalah ulos. Kain hasil kerajinan tenun suku batak ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara manotor.

Table of contents

Open Table of contents

I. Sejarah Asal Usul Batak

Wilayah persebaran suku Batak saat ini meliputi daerah pegunungan Sumatra Utara, dengan Aceh sebagai pembatas di utara dan riau di Selatan. Mereka juga mendiami wilayah pegunungan di antara pantai Timur Sumatra utara dan Pantai Barat.

Suku Batak terdiri dari sub-suku bangsa yang memiliki wilayah dan logat bahasa yang berbeda, antara lain:

  1. Suku Bangsa Angkola mendiami wilayah Angkola dan Sipirok, sebagian wilayah Sibolga dan Batang Toru dan bagian utara Padang Lawas. Suku Bangsa Angkola menggunakan Bahasa Batak logat Toba.
  2. Suku bangsa Karo mendiami daerah dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Serdang, dan dairi. Orang Karo menggunakan bahasa Batak Logat Karo.
  3. Suku Bangsa Mandailing mendiami wilayah Mandailing, Pakatan, Ulu, dan wilayah Selatan Padang Lawas. Suku Bangsa Mandailing menggunakan Bahasa Batak logat Toba.
  4. Suku Bangsa Pakpak mendiami daerah Dairi, menggunakan logat Dairi.
  5. Suku Bangsa Simalungun mendiami wilayah Simalungun dan menggunakan bahasa Batak Logat Simalungun.
  6. Suku Bangsa Toba mendiami wilayah tepian Danau Toba, Pulau SImosir, Dataran Tinggi Toba, Asahan, Silindung, wilayah diantara Barus dan Sibolga, dan wilayah Pagae hingga Habinsaran. Suku Bangsa Toba menggunakan Bahasa Batak logat Toba.

Banyak versi yang menyebutkan asal-usul bangsa Batak. Menurut Tambo Batak (cerita-cerita suci), orang Batak dan semua suku bangsa Batak berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Si Raja Batak.

Beberapa dugaan menyebut bangsa Batak berasal dari Thailand, keturunan dari bangsa Proto Malayan. Bangsa ini merupakan suku bangsa yang bermukim di perbatasan Burma dan Siam atau Thailand. Selama ribuan tahun, bangsa Batak juga tinggal dengan keturunan Proto Malayan lainnya, seperti Karen, Igorot, Toraja, Bontoc, Ranau, Meo, Tayal dan Wajo.

Proto Malayan ini pernah dijajah oleh bangsa Mongoloid. Lalu mereka berpencar ke berbagai wilayah dan negara. Misalnya Toraja mendarat di sulawesi, bangsa Tayal kabur ke Taiwan, dan bangsa Ranau mendarat di Sumatra Barat. Sementara Suku Batak mendarat di pantai Barat pulau Sumatra. Di situ suku bangsa Batak terpecah menjadi beberapa gelombang. Gelombang pertama berlayar terus dan mendarat di pulau-pulau Simular, Nias, Batu, Mentawai, Siberut sampai ke Enggano di Sumatra Selatan

Gelombang kedua mendarat di muara sungai Simpang, sekarang Singkil. Mereka bergerak sepanjang sungai Simpang Kiri dan menetap di Kutacane. Dari situ mereka menduduki seluruh pedalaman Aceh. Itulah yang menjadi orang-orang Gayo, dan Alas

Adapun gelombang ketiga mendarat di muara Sungai Sorkam, antara Barus dan Siboga. Memasuki pedalaman daerah yang sekarang dikenal sebagai Doloksanggul dan belakangan menetap di kaki Gunung Pusuk Buhit, di tepi danau Toba sebelah barat. Dari situ berkembang dan akhirnya menduduki tanah Batak

Ada lagi versi yang mengatakan, Suku Batak berasal dari India melalui Barus berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba pada abad ke-6 dan mendirikan di kota dagang Barus. Nama Barus sendiri merupakan barang dagangan yang mereka perdagangkan, yakni kapur Barus. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan.

II. Perkampungan dan Hunian

Untuk menyatakan kesatuan wilayah atau teroterial, Suku Batak mempunyai beberapa istilah yang menyangkut wilayah tempat tinggal dan pola perkampungan mereka:

A. Rumah Orang Batak

Rumah-rumah Orang Batak biasanya didirikan dengan taing-tiang kayu dan beratap ijuk. Letaknya memanjang dari timur ke barat kira-kira 10-30 meter. Pintu rumah ada pada sisi sebelah barat dan atau timur. Pada masa lalu pintu masuk juga dibuat di bagian lantai sehingga penghuni masuk dari bawah rumah.

Pada bagian puncak atap yang menjulang, dipasang tanduk kerbau atau ornamen ara manusia. sementara puncaknya yang lain melengkung dan membentuk setengah lingkaran.

Rumah orang Batak karo (Rumah Empat Ayo) memiliki Teras yang disebut Ture. Pada bagian depannya ada ornamen geometris dengan warna merah, putih, hitam berhias arca kalamakara.

Arsitektur rumah adat batak memiliki berbagai ornamen. Pada umumnya bentuk bangunan rumah adt Batak melambangkan kerbau. Tak heran jika kita akan menjumpai kepala kerbau mengias pucuk atap rumah.

Rumah adat Batak Karo kelihatan besar dan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah adat batak lainnya. Atapnya terbuat dari ijuk dan biasanya ditambha dengan atap atap yang dibut ayo-ayo (berbentuk segitiga). Dengan atap menjulang dan berlapis itu, Rumah adat Karo memiliki bentuknya yang berbeda dengan rumah adat batak lain yang hanya memiliki satu lapis atap.

Rumah adat daerah Simalungun juga memikat. Rumah terdiri dari beberapa bangunan dalam satu kompleks yaitu rumah bolon, balai bolon, jemur, pantangan balai buttu, dan lesung. Di kampung-kampung  Simalungun ada balai buttu yang menjadi rumah penjaga.

Bangunan khas dari Mandailing diwakili oleh Bagas Gadang (Rumah Namora Natoras) dan Sapo Gadang (balai Musyawarah Adat).

Satu Rumah Batak biasanya dihuni oleh beberapa keluarga batih yang terikat oleh hubungan kekeluargaan secara patrilineal. Ada juga rumah yang dihuni secara virilokal, yaitu satu keluarga batih senior dan keluarga yunior (anak laki-lakinya yang sudah memiliki keluarga).

Pola menenrap sesudah menikah pada suku Batak umumnya virilokal; tinggak menetap pada keluarga suami. walaupun ada juga uxorilokal, yaitu tinggal menetap pada keluarga perempuan juga disebut hanela.

B. Rumah Bolon, Rumah Adat orang Batak

Rumah Bolon adalah rumah besar, ‘ bolon’ sendiri artinya adalah besar. Karena ukurannya yang cukup besar, rumah adat Sumatra Utara ini sekaligus menjadi simbol status sosial masyarakat Batak.

Dulu rumah adat ini ditinggali orang para raja di Sumatra Utara. Ada 13 kerajaan yang bergantian menempati rumah Bolon, yaitu Tuan Ranjinman, Tuan Nagaraja, Tuan Batiran, Tuan Bakkaraja, Tuan Baringin, Tuan Bonabatu, Tuan Rajaulan, Tuan Atian, Tuan Hormabulan, Tuan Raondop, Tuan Rahalim, Tuan Karel Tanjung, dan Tuan Mogang.

Kini rumah bolon menjadi rumah adat dan menjadi objek wisata di Sumatra Utara. Meski saat ini masyarakatnya membangun rumah dengan gaya baru, tapi tak kehilangan sentuhan tradisi rumah adat. Terlihat dari bangunan-bangunan baru yang berdiri masih menggunakan konsep rumah Bolon.

Perancang rumah Bolon ialah arsitektur kuno Simalungun. Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari papan sedangkan atap dari ijuk atau daun rumbiah. Rumah adat ini tidak menggunakan paku, tapi diikat kuat dengan tali.

Rumah adat batak ini memiliki kolong (bagian bawah rumah) yang tingginya sekitar dua meter. Kolong tersebut biasanya dipergunakan untuk memelihara hewan, seperti babi, ayam, dan sebagainya.

Dahulu, yang sering dipelihara adalah kerbau. Karena cukup tinggi, maka dibantu dengan tangga dengan jumlah anak tangganya selalu ganjil. Untuk memasuki rumah tersebut harus menunduk karena pintunya agak pendek dan berukuran kecil, kurang dari satu meter.

Ini menandakan bahwa seseorang harus menghormati tuan rumah dengan cara menunduk saat memasukinya, sibaba ni aporit, yang artinya menghormati pemilik rumah.

Pintu masuk rumah adat ini, dahulunya memiliki dua macam daun pintu yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal. Tetapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi. Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar.

Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada pembagian ruangan. Dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Pada bagian depan rumah, tepatnya di atas pintu terdapat gorga, sebuah lukisan berwarna merah, hitam, dan putih. Biasanya terdapat lukisan hewan seperti cicak, ular ataupun kerbau.

Dua hewan yang menjadi dekorasi rumah Bolon memiliki makna yang dalam. Pada gorga yang dilukis gambar hewan cicak bermakna, orang batak mampu bertahan hidup di manapun meski dia merantau ke tempat yang jauh sekalipun.

Hal ini karena orang batak memiliki rasa persaudaraan yang sangat kuat dan tidak terputus antara sesama sukunya. Sedangkan gambar kerbau bermakna sebagai ucapan terima kasih atas bantuan kerbau telah membantu manusia dalam pekerjaan ladang masyarakat.

Keindahan rumah orang batak ini masih terus berlanjut. Atap yang menjadi pelindung rumah memiliki ciri khas yang unik. Dua ujung lancip di depan dan di belakang. Namun ujung pada bagian belakang lebih panjang agar keturunan dari yang memiliki rumah lebih sukses nantinya

Adapun suku Batak sendiri terdiri dari enam puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Setiap puak memiliki rumah adat dengan ciri khas masing-masing

Bahkan penamaannya selalu disertai dengan puak. Misalnya rumah adat batak toba sering disebut rumah bolon Toba. Begitu pula dengan lainnya. Tetapi, pada dasarnya adalah sama karena memiliki ornamen dan arsitektur yang sama.

Pertama adalah Rumah Bolon Toba. Berdasarkan bentuknya rumah dibagi kedalam 2 bagian, yaitu Rumah Bolon dan Rumah Jabu. Bolon Toba yang sering dijumpai biasaya cukup besar, sehingga banyak dimiliki oleh orang yang mampu saja. Bentuknya persegi panjang dan dapat menampung lima sampai enam keluarga.

Sementara Rumah Jabu merupakah rumah yang sederhana. Hanya mampu menampung satu keluarga, tidak terdapat hiasan-hiasan maupun ukiran-ukiran dengan ukuran yang jauh lebih kecil dari Rumah Bolon. Namun dengan ciri-ciri arsitektur yang sama.

Kedua adalah rumah adat Simalungun atau Rumah Bolon Simalungun. Memiliki kemiripan dan kesamaan dengan Bolon Toba, baik dari segi bentuk, arsitektur, nama, dan juga ornamen-ornamen hiasannya.

Ciri khas utamanya terdapat di bagian bawah atau kaki bangunan, selalu berupa susunan kayu yang masih bulat-bulat atau gelondongan. Kayu-kayu tersebut menyilang dari sudut ke sudut. Ciri khas lainnya adalah bentuk atap di mana pada anjungan diberi limasan berbentuk kepala kerbau lengkap dengan tanduknya.

Ketiga adalah Rumah Bolon Karo. Disebut juga sebagai Siwaluh Jabu, panjangnya bisa mencapai 13 meter dengan lebar mencapai 10 meter Biasanya ditempati oleh empat hingga delapan keluarga, jumlah keluarga harus selalu genap. Salah satu keunikannya yaitu atap rumah dibangun bertingkat-tingkat cukup tinggi dan mampu bertahan hingga usia ratusan tahun.

Keempat Rumah Bolon Mandailing, disebut sebagai Bagas Godang sebagai kediaman para raja. Terletak di sebuah komplek yang sangat luas dan selalu didampingi dengan Sopo Godang sebagai balai sidang adat. Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil, sebagaimana juga jumlah anak tangganya.

Kelima adalah Rumah Bolon Angkola. Dikenal juga sebagai Bagas Godang.

Keenam adalah Rumah Bolon Pakpak. Ciri khas Rumah Adat Pakpak terletak pada bagian atapnya yang melengkung. Mempunyai satu bagian atap kecil dibagian paling atas. Sayangnya rumah adat ini kini semakin sulit ditemui karena kurang dilestarikan. Bentuk bangunan yang masih utuh bisa ditemukan di Sidikalang, Dairi, dan Pakpak Barat.

III. Sistem Kekerabatan dan Sosial Orang Batak

Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip, yaitu perbedaan tingkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian, dan status kawin. Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo

Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri dari Kuta. Marga tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga.

Klan kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klan besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar, sehingga tidak saling kenal. Tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan di belakang nama kecilnya.

Dalam persoalan perkawinan, dalam tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan. Maka dari itu, jika ada yang menikah harus mencari pasangan hidup dari marga lain

Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak, maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja bila agama yang dianutnya adalah Kristen.

A. Marga dalam Sistem Kekerabatan Orang Batak

Kekerabatan pada masyarakat Batak juga didasarkan pada dua jenis kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan.

Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyangkut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

Masing-masing puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara mereka. Satu puak bisa memiliki banyak marga.

Marga pada Batak Karo terdapat 5 marga, yaitu marga Karo-karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Parangin-angin. Dari lima marga tersebut terdapat submarga lagi. Total submarganya ada 84. Adapun Batak Toba, dikatakan sebagai marga ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba. Salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba yaitu Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede.

Pada suku Batak Pakpak, mereka diikat oleh struktur sosial yang dalam istilah setempat dinamakan sulang silima yang terdiri dari lima unsur, yaitu Sinina tertua (Perisang-isang, keturunan atau generasi tertua), Sinina penengah (Pertulan tengah, keturunan atau generasi yang di tengah), Sinina terbungsu (perekur-ekur, keturunan terbungsu), Berru yakni kerabat penerima gadis, dan Puang yakni kerabat pemberi gadis.

Kelima unsur ini sangat berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam sistem kekerabatan, upacara adat maupun dalam konteks komunitas lebbuh atau kuta. Artinya ke lima unsur ini harus terlibat agar keputusan yang diambil menjadi sah secara adat.

Lalu pada Batak Simalungun terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba. Keempat marga ini merupakan hasil dari Harungguan Bolon (permusyawaratan besar) antara empat raja besar dari masing-masing raja tersebut, untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan.

Sementara pada Batak Mandailing beberapa marganya antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut.

Kelompok kekerabatan orang Batak diambil dari garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya. Menurut buku “Leluhur Marga Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.

Untuk menentukan seorang bangsa Batak berasal garis keturunan mana, mereka menggunakan Torombo. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam sebuah marga. Orang Batak meyakini, bahwa kekerabatan menggunakan Torombo ini dapat diketahui asal-usulnya yang berujung pada Si Raja Batak.

Bagi Batak Toba, Si Raja Batak adalah anak keturunan Debata Muljadi Nabolon, Tuhan pencipta bumi dan isinya. Tuhan ini memerintah ibu Si Raja Batak untuk menciptakan bumi, dan ibunya tinggal di daerah bernama Siandjurmulamula, juga menjadi tempat tinggal Si Raja Batak dan keturunannya. Daerah ini adalah tanah Batak, dimana tempat seluruh orang Batak berasal.

B. Perkawinan dalam Sistem Kekerabatan Batak

Bagi bangasa Batak, khusunya Batak Toba, sesama satu marga dilarang saling mengawini. Jika melanggar ketetapan ini, maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi adat. Hal ini ditujukan untuk menghormati marga seseorang. Juga supaya keturunan marga tersebut dapat berkembang.

perkawinan suku Batak lebih jauh akan mengikat hubungan antara Sipempokan / Paranak (kaum kerabat laki-laki) dengan kaum kerabat wanita ( sinereh/Parboru ). Karena itu dalam kepercayaan masyarakat lama, Laki-laki tidak bebas dalam memilih pasangannya.

Perkawinan ideal dalam Suku Batak adalah seorang laki-laki yang menikahi perempuan saudara laki-laki ibunya. Dengan demikian, tidak terjadi perkawinan antara satu marga dan juga menghindari pernikahan dengan anak perempuan dari saudara perempuan pihak ayah.

Bagi bangsa Batak, perkawinan mengandung nilai sakra. Dikatakan sakral karena bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan. Ia “berkorban” memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuan kepada orang lain pihak paranak, pihak penganten pria.

Pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga berupa penyembelihan seekor sapi atau kerbau. Hewan tersebut akan menjadi santapan atau makanan adat dalam ulaon unjuk (adat perkawinan Batak).

Terdapat beberapa rangkaian upacara adat perkawinan suku Batak.

Rangkaian pertama sebagai pembuka adalah Mangariksa dan Pabangkit Hata. Mangariksa adalah kunjungan dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak wanita, lalu dilanjutkan dengan proses Pabangkit Hata atau lamaran.

Inisiatif melamar diambil oleh kerabat si laki-laki dengan mengirimkan utusan resmi ke rumah gadis. Kunjungan lamaran ini disebut Nugkuni oleh orang Karo atau Ngembah Belo Selembar. Orang Toba menyebutnya Marhusip.

Rangkaian kedua adalah Marhori-Hori Dinding, yaitu membicarakan lebih lanjut mengenai rencana perkawinan serta pestanya.

Ketiga adalah Patua Hata, yakni para orang tua memberikan petuah atau nasihat sebagai bekal kepada kedua mempelainya nanti. Proses ini merupakan proses yang amat serius.

Keempat adalah rangkaian yang dinamakan Marhata Sinamot ( Ngembah Manuk bagi orang Karo) yakni pihak pria mendatangi pihak wanita untuk membicarakan perundingan yang menyangkut:

Lalu dilanjutkan dengan rangkaian keenam yakni Martumpol, yaitu penandatanganan surat perstejuan kedua belah pihak.

Kemudian rangkaian ketujuh adalah Martonggo Raja, yaitu seremoni atau pernikahan yang akan digelar. Prosesi ini memberitahukan kepada masyarakat mengenai pernikahan yang akan digelar.

Rangkaian kedelapa n adalah Manjalo Pasu-pasu Parbagosan, yaitu pemberkatan kedua pengantin yang dilakukan oleh pihak gereja bila agama mereka adalah Kristen Protestan. Prosesi ini merupakan hal yang terpenting dan tak boleh dilewatkan karena orang Batak adalah penganut Kristen yang taat.

Rangkaian terakhir adalah pesta perkawinan. Marunjuk/menghuti dalah bahasa Toba (Pesta Unjuk). Petuturen atau Endemu Bayu di bahasa Karo. Prosesi ini merupakan rangkaian terakhir dari keseluruhan rangkaian pernikahan.


Selain perkawinan dengan prosedur yang disebutkan, orang Toba juga mengenal mangalua yaitu perkawinan yang terjadi karena tidak ada kesesuaian kedua belah pihak. Laki-laki akan membawa perempuan kemudian baru memngirim utusan pemberitahuan. Upacara manuruk-nuruk akan dilakukan jika perkawinan denganprosedur ini.

Ada juga perkawinan levirat, yaitu perkawinan antara janda dengan keluarga dekat suami. Dalam bahasa Karo Lakoman, Mangabia dalam bahasa Toba.

Lakoman tiaken jika janda tersebut kawin dengan saudara almarhum suaminya. Lakoman ngalihken senina, jika kawin dengan saudara tiri almarhum. dan Lakoman ku nandena jika kawin dengan anak saudara alrmarhum suaminya.

Sebagian besar rumah tangga suku Batak bersifat monogami. Walaupun hukum adat Bataj tidak melarang melakukan poligami atau Poligini. Poligini merupakan sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan.

Jika seorang Batak menjadi istri kedua ( manindi ) maka ia dan anak-anaknya sama sekali tidak berhak atas segala harta yang ada. Namun rumah tangga yang tidak bisa memiliki anak adalah alasan yang lazim digpakai untuk melakukan piligini.

C. Pembagian Harta Waris dalam Kekerabatan Batak

Dalam pembagian warisan, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki karena Batak berdasarkan kekerabatan patrilineal. Sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya, atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah.

Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan, mendapatkan warisan yang khusus.

Jika tidak memiliki anak laki-laki, maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tua. Alasannya karena saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut, harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.

D. Dalihan Na Tolu; Falsafah Dan Konsep Sosial Batak

Orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut Dalihan Na Tolu (bahasa Toba), Di Simalungun disebut Tolu Sahundulan. Istilah tersebut berasal dari Batak Toba. Dalihan Na Tolu memiliki arti tungku berkaki tiga.

Dalihan Na Tolu ini begitu dijunjung tinggi oleh Bangsa Batak pada umumnya, bahkan dijadikan falsafah dalam kehidupan masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu memiliki nilai-nilai kehidupan yang sangat baik bahkan unik karena sifatnya yang saling mendukung satu sama lain. Maksudnya, dalam tradisi Batak terdapat tiga posisi penting kekerabatan bangsa Batak.

Pertama, Hula-hula atau Tondong, yaitu kelompok yang posisinya “di atas”, sehingga disebut Somba Somba Marhula Hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.

Kedua, Tubu atau Sanina, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “sejajar”. Posisi tersebut yaitu teman/saudara semarga, sehingga disebut Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.

Ketiga, Boru yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di bawah”. Posisi tersebut yaitu saudara perempuan dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut Elek Marboru artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.

Dalihan Na Tolu ini bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi Boru. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan sistem demokrasi Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal

Bahkan, dari ketiga unsur Dalihan Na Tolu itu, hula-hulalah yang mempunyai kedudukan yang tertinggi. Bagi anak orang Batak, hula-hula dipandang sebagai sumber berkat, pahala dan rezeki, sehingga hula-hula dipandang sebagai debata na ni ida (Tuhan dewata yang nampak).

Orang Batak sangat cinta dengan hidup dan kehidupan ini walaupun hidup itu penuh kesusahan. Ini terbukti dari peribahasa yang berbunyi: lapa-lapa pe di toru ni sobuon, malap das alap pe taho asal di hangoluan (gabah kosong pun dibawah sekam, biarpun susah asal hidup). Ini menggambarkan suatu optimisme biarpun hidup ini susah pada suatu saat pasti akan mendapat kesenangan asal tekun berusaha.

Orang Batak selalu merasa bersatu dengan negerinya yaitu tanah Batak yang disebut dengan istilah bona pasogit atau bona ni pinasa. Mengenai sistem nilai yang merupakan warisan para leluhur sangat dijunjung tinggi

Adat adalah pusaka yang tidak kunjung usang. Adat haruslah selalu dilestarikan dan dijunjung tinggi ini terlukis dari ungkapan atau pepatah berikut: raja na di jolo, martungkot siala gundi, adat pinungka ni na parjolo, siihut honon ni parpudi, yang artinya raja yang di depan bertongkat siala gundi adat yang diciptakan orang dahulu harus diikuti orang yang kemudian.

Selain itu adat merupakan norma hukum yang didukung rasa kemanusiaan yantg tinggi. Adat harus ditegakkan dan dijunjung tinggi seperti dalam peri bahasa : jongjong hau na so sitabaun, peak na so sigulingon artinya berdiri kayu jangan ditebang tumbang pun jangn diguling.

Seterusnya apabila dikaitkan dengan pandangan hidup Negara kita maka tiap-tiap sila dalam Pancasila juga terdapat dalam pandangan hidup orang Batak. Misalnya:

  1. Sila Pertama : “Sirungguk sitata, ia disi hita marpungu disi do ompunta debata” yang artinya bila disitu kita berkumpul, disitu hadir Tuhan Dewata.
  2. Sila Kedua : “Ndang jadi hu roha mida na metmet” yang artinya tidak boleh anggap leceh kepada manusia atau orang kecil dan hina.
  3. Sila Ketiga : “Manimbung rap tu ginjang, mangangkat rap tu toru “yang artinya melompat sama keatas, terjun sama kenawah=(seia sekata).
  4. Sila Keempat : “Hata torop sabungan ni hata, hata mamunjung hata lalaen”, yang artinya suara orang banyak, atau mufakat orang banyaklah induk dari semua pendapat, sedang pendapat orang sendiri adalah pendapat orang gila.
  5. Sila Kelima : ” Marbagi di na otik, mardua di na godang” yang artinya dibagi kalau sedikit, dipecah kalau banyak (=pembagian yang adil dan merata).

Mengenai sistim politik di Tanah Batak, apabila hal itu ditinjau dari segi teori kekuasaan/sumber kekuasaan penguasa, maka sistim politik di Tanah Batak itu adalah sistim demokrasi.

Dalam hal ini berarti kekuasaan bersumber dari kesepakatan rakyat yang dilaksanakan pula oleh rakyat melalui pengetua-pengetua demi kepentingan bersama.

Pengertian demokrasi untuk orang Batak tersimpul dalam peribahasa yang berbunyi: aek gondang tu aek laut, dos ni roha sibahenna saut (=air besar/sungai ke air laut, bulat mupakatlah yang membuat tercapainya maksud).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian demokrasi untuk orang Batak adalah musyawarah menuju mufakat. Dalam hidup sehari-hari hal itu terwujud dalam kerjasama masyarakat berupa gotong-royong seperti mendirikan rumah, turun ke sawah, saat suka dan duka yang selalu tolong menolong.

Kalaupun di tanah Batak dan bagi orang Batak ada sebutan Raja, maka hal itu bukanlah dalam arti menguasai/kekuasaan. Pengertian raja untuk orang Batak ditekankan dalam arti sikap watak dan tindakan, yakni seseorang yang bijaksana, adil, pengasih dan penolong serta menjunjung tinggi adat dan kebiasaan hidup.

Dengan demikian, baik sistem politik maupun lapisan sosial di tanah Batak tidak pernah didasarkan atas keturunan atau asal darah; dan tidak dijumpai kelas bangsawan dan kelas rakyat atas keturunan daerah. Karena stratifikasi sosial dari segi keturunan darah tidak dikenal pada masyarakat Batak, maka satu-satunya sistem pelapisan sosial yang dianut dengan setia ialah pelapisan sosial berdasarkan Dalihan Na Tolu (Tungku nan tiga).

IV. Sistem Kepercayaan dan Agama Batak

Bangsa Batak memiliki sistem kepercayaannya sendiri, terutama di daerah pedesaan masih mempertahankan sistem religi atau kepercayaan yang disebut Ugamo Malim (Parmalim).

Orang batak memiliki konsepsi, bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon. Ia bertempat tinggal di atas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugas dan kedudukannya.

Namun, saat ini agama yang mendominasi bangsa Batak adalah Islam dan Kristen. Tetapi agama Kristen merupakan agama mayoritas suku Batak saat ini.

Daerah masuk dan penyebaran Islam adalah batak bagian selatan. Sementara daerah penyebaran Kristen meliputi daerah adalah batak bagian utara. Islamisasi di Batak dilakukan oleh para pedagang dari Minangkabau. Mereka mengawini para perempuan Batak dan secara perlahan masyarakat Batak banyak yang memeluk agama Islam.

Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan islamisasi besar-besaran atas Batak

Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan. Kerajaan Aceh di utara juga banyak berperan dalam mengislamkan Batak Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatra Timur

Adapun penyebaran agama Kristen dilakukan oleh seorang misionaris asal Jerman tahun 1861. Sebelumnya mereka menerbitkan buku tata bahasa dan kamus Batak-Belanda. Dengan tujuan mereka dapat memudahkan penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh orang Kristen Jerman dan Belanda.

Sasaran mereka adalah Batak Toba dan Simalungun. Batak Karo juga menjadi sasaran misionaris Kristen, sehingga sebagian Batak Karon ada yang memeluk agama Kristen.

Saat pengkristenan dilakukan, Batak Karo dan Toba dapat dikristenkan dengan cepat, sehingga pada abad ke-20 agama Kristen mewarnai identitas budaya mereka.

A. Ugamo Malim (Parmalim); Kepercayaan Asli Suku Batak

Bangsa Batak kini sebagian besar menganut agama Kristen dan Islam, tetapi dalam tradisi Batak lama, ada sebuah kepercayaan yang dianut sebagai agama asli mereka, yakni Parmalim atau disebut juga Ugamo Malim.

Ugamo artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan alam spiritual (ngolu partondion) ada juga yang menyamakan dengan agama, sementara Malim artinya suci. Dengan demikian, Ugamo Malim adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan alam spritual yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip kesucian

Awalnya, Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam disebabkan agama baru yang dibawa oleh Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan politik atau Parhudamdam yang menyatukan orang Batak menentang Belanda

Agama ini tidak mengenal surga dan neraka. Agama ini hanya percaya kepada Debata Mula Jadi Na Bolon sebagai Tuhannya. Hidup dan mati manusia dalam Parmalin berada pada kuasa Debata Mula Jadi Na Bolon. Mereka juga percaya terhadap keberadaan Arwah-arwah leluhur. Namun belum ada ajaran yang pasti pemberian reward atau punisnhment atas perbuatan baik atau jahat, selain mendapat berkat atau dikutuk menjadi miskin dan tidak punya keturunanan.

Orang Batak mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon. Dia bertempat tinggal di atas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugas dan kedudukanya. Bagi suku Batak yang menganut ajaran Parmalim, Debeta Mula Jadi Na Balon adalah maha pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta

Adapun nama Tuhan lain yang sesuai dengan tugas dan kedudukannya tadi, yaitu Siloan Na Balom yang berkedudukan sebagai penguasa dunia makhluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa, penganut Parmalim Batak mengenal tiga konsep.

Pertama, Tondi yakni jiwa atau roh. Kedua, Sahala yakni jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Ketiga, Begu yakni tondinya orang yang sudah mati. Mereka juga percaya atas kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.

Sejak dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalim. Tetapi kelompok terbesar adalah kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi, Toba Samosir. Hari Raya utama Parmalim disebut Si Pahasada yang dilaksanakan pada bulan Pertama, serta Si Pahalima yang dilaksanakan pada bulan Kelima dalam Kalender Batak. Upacara ini secara meriah dirayakan di kompleks Parmalim di Huta Tinggi.

Penganut Parmalim yang disebut dengan Umat Ugamo Malim menyembah Debeta Mula Jadi Na Balon. Setiap setahun sekali mereka melakukan ritual keagamaan yang amat sakral, yakni Pamaleaon Bolon Sipaha Lima di Huta Tinggi. Ritual ini dilaksanakan sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Pencipta Mula Jadi Na Bolon atas apa yang telah diberikan. Meraka melakukan Upacara Bius dengan persembahan kerbau yang disebut Horbo Santi atau Horbo Bius.

Kepercayaan ini mengharamkan penganutnya memakan babi, anjing, maupun darah. Menyantap makanan dari rumah keluarga yang tengah berduka (meninggal dunia) juga diharamkan. Kepercayaan ini juga mengharuskan penganutnya menyanyi seisi alam, yakni sesama manusia, hewan, dan tumbuhan.

Rumah ibadah Parmalim adalah Bale Pasogit. Tempat ini dianggap oleh mereka sebagai tempat yang suci dan sakral. Bale Pasogit terdiri dari empat bangunan utama yakni Bale Partonggoan (balai doa), Bale Parpitaan (balai sakral), Bale Pangaminan (balai pertemuan), dan Bale Parhobasan (balai pekerjaan dapur).

Di atas bubungan Bale Pasogit terdapat replika tiga ekor ayam. Masing-masing berwana merah, hitam, dan putih. Merah melambangkan keberanian, hitam adalah tahta kerajaan, dan putih adalah tanda kesucian. Ayam sebagai lambang tersebut karana dulu binatang tersebut kerap dibawa Sisingamangaraja saat akan berperang melawan kolonial Belanda.

Terdapat tiga pribadi leluhur di tanah Batak yang dianggap sebagai Malim, yaitu yakni Raja Uti, Simarimbulubosi dan Raja Sisingamangaraja XII. Raja Sisingamangaraja ini dianggap oleh penganut Parmalim sebagai nabi atau rasul Tuhan yang bertugas menyebarkan patik dan ajaran hamalimon dari Mulajadi Nabolon. Raja Sisingamangaraja kala itu menolak kolonialisme Belanda, dan mengajarkan tentang sebuah perjuangan.

Sisingamangaraja dalam pandangan penganut Parmalim Batak menerima utusan dari Tuhan pencipta alam dan segala isinya. Mereka meyakini, bahwa Raja Sisingamangaraja dan utusan-utusannya mampu mengantarkan Bangsa Batak kepada Debata atau Tuhan. Kemunculan Parmalim juga tak bisa dilepaskan dari Sisingamangaraja. Dialah yang pertama kali mengajarkan ajaran Ugamo Malim sebagai upaya untuk membendung agama-agama lain yang dibawa pihak asing masuk ke tanah Batak

Adapun kitab suci yang dimiliki Ugamo Malim adalah Pustaha Habonaron yang berfungsi sebagai pengatur dan tata laku manusia dalam berhubungan dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Kitab ini sebagai panutan manusia, juga sebagai nilai dalam menjalankan prinsip-prinsip kesucian. Kitab ini bersendikan pada Mar Patik sebagai bagian dari Si Sia-Sia Ni Habatahon.

Dalam kepercayaan ini, pemimpin agamanya disebut Ihutan Bolon. Sementara penganutnya disebut ras, dan orang yang mewakili penganut dari setiap daerah disebut Ulupunguan. Ihutan bertanggung jawab atas pelaksanaan upacara keagamaan. Dia memimpin doa ritus atau disebut juga dengan tonggo-tonggo dalam upacara keagamaan Parmalim.

Dalam sabda Tuhan Parmalim pada upacara tersebut, Ihutan menyampaikan bahwa bila manusia ingin berhubungan dengan penghuni benua atas, harus ada sesaji yang bersih. Begitu pula manusia yang memberikan sesaji itu harus bersih. Sabda atau Tona ini menjadi pedoman bagi pengikut Ugamo Malim.

B. Upacara dan Ritual Ugamo Malim

Diantara upacara ritual Ugamo Malim yaitu, Marari Sabtu, Martutuaek, Mardebata, Pasahat Tondi, dan Mangan Napaet. Sementara dua upacara besarnya yaitu Upacara Sipaha Sada dan Upacara Sipaha Lima.

Marari Sabtu merupakan ibadah atau upacara yang dilakukan setiap hari sabtu. Mereka melakukan sembah dan puji kepada Mulajadi Na Bolon di Bale Pasogit (tempat ibadah) pusat maupun cabang/daerah.

Dalam upacara tersebut penganut Ugamo Malim diberikan poda atau bimbingan agar lebih tekun berprilaku menghayati Ugamonya.

Martutuaek adalah upacara yang dilakukan di rumah atas kelahiran anak sekaligus pemberian nama terhadap anak tersebut. Mardebata adalah upacara yang dilakukan masing-masing penganut Ugamo Malim, upacara ini tidak melibatkan orang lain.

Pasahat Tondi merupakan upacara kematian. Sementara Mangan Napaet adalah upacara dengan cara berpuasa untuk menebus dosa yang dilaksanakan selama 24 jam penuh setiap penghujung tahun kalender Batak, yaitu pada ari hurung bulan hurung

Adapun upacara Sipaha Sada dan Sipaha Lima merupakan upacara besar Parmalim yang dilaksanakan secara khusuk dan khidmat sebagai bagian Ritual Ugamo Malim.

Sipaha Sada dilaksanakan pada bulan pe rtama dalam kalender Batak, sementara Sipaha Lima dilaksanakan pada bulan kelima dalam kalender Batak. Mereka melaksanakannya di Huta Tinggi Kabupaten Toba Samosir yang dipusatkan di Bale Pagosit (tempat suci ibadah Parmalim).

Secara harfiah, Sipaha Sada berasal dari kata sipaha yang memiliki makna sebutan untuk bulan, dan sada artinya satu. Jadi Sipaha Sada ialah upacara ritual Ugamo Malim yang dilaksanakan pada bulan pertama setiap tahunnya. Upacara Sipaha Sada dilaksanakan sebagai penyambutan datangnya tahun baru Ugamo Malim, atau acara pergantian tahun sekaligus dinamakan Tahun Baru Batak.

Disamping untuk menyambut tahun baru, juga untuk mendoakan para raja Parmalim terdahulu, sejak dari Sisingamaharaja hingga raja-raja yang sekarang. Tak lupa pula mendoakan para pemimpin di segala penjuru dunia yang dalam pemaknaan filosofis mereka sebut sebagai pemimpin dari empat penjuru dunia dan empat segi kehidupan.

Sebelum upacara ini dilaksanakan, sehari sebelumnya mereka melakukan puasa selama 24 jam. Upacara ini memiliki maksud, bahwa mereka mendapatkan kemenangan dalam melawan kuasa iblis.

Upacara ini dilaksanakan sebagai tanda syukur atas kelahiran Tuhan Simarimbulu Bosi ke tengah-tengah umat Parmalim untuk menebut dosa, sehingga mereka bisa disucikan. Mereka meyakini bahwa pada saatnya akan mendapatkan kehidupan yang kekal di tempat yang mahasuci di benua ginjang atau benua atas.

Dalam pelaksanaan upacara tersebut, mereka memberikan sesaji yang bersih sebagai alas tangan. Sesajian tersebut disebut dengan palean yang berupa daging ayam, kambing putih, ihan (ikan batak), telur, nasi putih, sirih, sayur-mayur, jeruk purut, air suci, dan dupa.

Hal ini supaya mereka dapat berkomunikasi memohon berkat kepada Debata Mula Jadi Na Bolon, sang penguasa alam roh. Termasuk juga kepada ketiga wujud pancaran kuasa yaitu Batara guru, Debata Sori dan Debata Balabulan, seterusnya kepada Raja Nasiakbagi dihantarkan asap dupa, dengan bunyi gendang sabangunan.

Upacara ini dipimpin oleh seorang imam yang disebut dengan Ihutan. Dalam pelaksanaannya, praktek mamale (bersaji) dan martonggo (berdoa) belum sempurna tanpa kehadiran gondang hasapi. Gondang hasapi merupakan ensambel musik Batak Toba yang terdiri dari hasapi anak dan hasapi ina, satu buah garantung, satu buah sarune etek, dan satu buah hesek

Adapun upacara besar yang kedua adalah Sipaha Lima yang dilaksakan pada bulan kelima Kalender Batak untuk menyampaikan puji-pujian kepada Mulajadi Nabolon termasuk kepada wujud Pancaran Kuasanya Batara guru, Debata Sori dan Debata Balabulan.

Seterusnya kepada Raja Nasiakbagi karena atas berkatnya semuanya memperoleh rahmat, sehat jasmani dan rohani. Upacara ini disebut upacara kurban karena sesaji yang di persembahkan adalah kurban berupa kerbau atau lembu.

Sebenarnya upacara ini berpangkal dari persembahan hasil penuaian pertama kira-kira dua liter atau patunoma dari panen kepada Mulajadi Nabolon. Upacara dilakukan besar besaran oleh semua umat parmalim yang datang dari segala penjuru tanah air dan ditampung di Bale Pangaminan. Sajian pertama kepada Mulajadi Nabolon diantar dengan asap dupa, dengan bunyi gendang sabangunan.

Ritual Ugamo Malim, Sipaha Lima diselenggarakan pada hari ke 12 – 13 dan 14 menjelang bulan purnama. Hari tersebut dinamakan Boraspati, singkora,dan Samisara berkisar antara bulan Juli – Agustus pada bulan Masehi. Upacara diadakan penuh khidmat tanda syukur kepada Mulajadi Nabolon agar diberi keselamatan dan kesejahteraan pada hari hari berikutnya.

Upacara Pamaleon Bolon Sipaha Lima diawali dengan ritual Persahadatan atau menghaturkan doa kepada Debata Mulajadi Na Bolon. Ada dua hal penting yang mereka minta kepada Debata Mulajadi Na Bolon, yakni pengampunan dosa dan kelancaran keseluruhan rangkaian upacara ini.

Doa dipimpin penatua bergelar Raja Marnakok Naipospos yang juga disebut Ihutan Parmalim dengan iringan alat musik khas Batak seperti teganing, odap, ogung, sarune bolon, hesek, serta gondang sabangunan yang tak henti-hentinya ditabuh mengiringi prosesi ini. Musik memang diyakini oleh mereka sebagai media penghantar doa kaum Parmalim kepada Debata Mulajadi Na Bolon.

V. Sistem Pengetahuan Orang Batak

Beberapa ahli linguistik berpendapat bahwa bahasa dan aksara Batak berasal dari aksara Semit Kuno yang telah menurun ke wilayah utara, Aramea, ke Brahmi di India Selatan, Pallawa, baru kemudian ke Pulau Sumatra.

Dari cerita lisan yang berkembang pada masyarakat Batak, bahwa nenek moyang mereka, Siraja Batak yang pertama mengukir aksara Batak agar dapat menuliskan bahasa Batak. Siraja Batak ini konton tidak mengetahui bahwa ada bahasa-bahasa lainnya selain bahasa ibunya.

Barulah setelah masyarakat Batak menyebar, mereka tahu bahwa ada bahasa dan aksara yang mereka temui di luar Tano Batak. Berdasarkan cerita rakyat tersebut, sedikitnya bisa diambil sebuah gambaran bahwa bahasa dan aksara batak itu asli, tidak dipinjam, dan merupakan hasil cipta-karsa orang batak sendiri.

A. Bahasa Batak dan Logatnya

Suku Batak menuturkan bahasa yang satu sama lain mempunyai banyak kemiripan. Pun demikian, beberapa ahli bahasa dapat membedakan sedikitnya dua cabang utama bahasa Batak yang perbedaannya dinilai sangat besar sehingga satu sama lain tidak memungkinkan untuk berkomunikasi; Batak Karo di wilaya utara dengan Batak Toba di wilayah selatan

Bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba diklasifikasikan ke dalam rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak, Dairi termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun dianggap sebagai bahasa yang berdiri di antara rumpun utara dan rumpun selatan. Namun secara historis bahasa Simalungun diduga merupakan cabang lain bahasa rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan, sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk.

Dialek dari Batak Simalungun dari segi usia penggunaannya diduga lebih tua dari cabang dialek wilayah selatan.Bahasa Karo dan Simalungun meskipun dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda dan antar penuturnya sulit untuk berkomunikasi.

Akan tetapi, di wilayah-wilayah perbatasan Karo dan Simalungun umumnya tidak ada masalah komunikasi karena bahasa di wilayah perbatasan telah terjadi penyerapan dan masing-masing bahasanya telah memiliki banyak kata pinjaman dari seberang perbatasan mereka.

Hal demikian terjadi bukan pada bahasa saja, budaya pun ikut berakulturasi hingga tidak ada lagi perbedaan yang mencolok di antara desa-desa Simalungun dan Karo di wilayah perbatasan. Demikian halnya di daerah perbatasan antara Karo dan Pakpak, juga perbatasan Pakpak dan Toba

Bahasa Angkola, dan Mandaling tidak banyak berbeda. Jika ditelaah lebih jauh, bahasa-bahasa tersebut mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga umumnya disebut bahasa Angkola-Mandaling. Dengan adanya kesinambungan dan perkembangan antara suku-suku Batak, tidak lah mengherankan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang jelas antara varian-varian dari surat Batak.

Dialek: (Linguistik); variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai (contoh: bahasa dari suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau kurun waktu tertentu);

Selain Batak Karo, bahasa yang dipakai masyarakat di wilayah utara adalah dialek Alas termakuk kelompok non-Batak, dialek Batak Pakpak Dairi, dan pelbagai dialek turunannya. Ada pun kelompok selatan yang meliputi Batak Toba dan Angkola Mandailing.

Sebagai akibat dari masa kolonialisme Belanda pada abad ke-19—berkobar perang antara rakyat Batak dengan kolonial—banyak orang Batak Toba pindah ke beberapa tempat; Dairi, Simalungun, dan hingga ke Alas. Kini, bahasa Toba banyak dituturkan di wilayah Pematangsiantar hingga Sidikalang.

Hampir semua dialek dari bahasa Batak yang sekarang ada diperkirakan berasal atau diturunkan dari Batak tua ( proto language ). Sebagian kosakata, melalui hasil studi perbandingan sejarah bahasa, justru diwariskan rumpun batak Utara. Dalam hal ini rumpun utara dianggap melestarikan bentuk asli misalnya.

Kata untuk bilangan tiga dalam bahasa Batak Tua adalah tělu yang sekarang diwarisi oleh rumpun Batak Utara. Sedangkan rumpun Batak Selatan terjadi pergeseran dari [ě] menjadi [o]. Sehingga tělu berubah menjadi tolu. Akan tetapi, banyak juga contoh bentuk asli yang digunakan rumpun selatan.

Varian surat Batak secara umum dapat dibagi menjadi Angkola-Mandaling, Karo, Pakpak, Simalungun, dan Toba. Namun, harus juga diingat bahwa baik dari bahasa, budaya, dan tulisan selalu ada garis pemisah yang jelas antara kelima suku kelompok tersebut, meskipun kelimanya mempunyai induk yang sama.


Bahasa yang digunakan oleh orang Batak adalah bahasa Batak. Tapi sebagian juga ada yang menggunakan bahasa Melayu. Setiap puak memiliki logat yang berbeda-beda.

Orang Karo menggunakan Logat Karo, sementara logat Pakpak dipakai oleh Batak Pakpak, logat Simalungun dipakai oleh Batak Simalungun, dan logat Toba dipakai oleh orang Batak Toba, Angkola dan Mandailing.

Suku Batak hanya memiliki satu bahasa yakni bahasa Batak karena walaupun banyak macamnya (berdasarkan wilayah) satu sama lain pada Bahasa Batak itu memiliki banyak persamaan. Perbedaan pada setiap puak di Batak terletak pada dialek-dialek yang digunakan.

Secara garis besar, dialek bahasa Batak dibagi menjadi dua yaitu Batak Karo (Utara) dan Batak Toba (Selatan). Makanya, kadang tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok tersebut

Adapun bahasa yang dipakai di bagian Utara selain Batak Karo juga digunakan dialek Alas (kelompok non-Batak), dialek Batak Pakpak-Dairi, serta pelbagai dialek turunannya

Begitu pula di bagian selatan, dialek selatan digunakan pula oleh Batak Angkola dan Mandailing, sehingga disebut juga dengan Angkola-Mandailing. Hal ini karena bahasa Toba, Angkola, dan Mandailing tidak banyak berbeda. Bahasa Angkola dan Mandailing merupakan dua bahasa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan.

Persamaan tersebut karena secara geografis letaknya berdekatan. Tetapi Bahasa Angkola lebih halus penuturan dan intonasinya dibandingkan Bahasa Batak Toba.

Bahasa Batak Angkola meliputi daerah Padangsidempuan, Batang Toru, Sipirok, dan seluruh bagian kabupaten Tapanuli Selatan. Sementara Bahasa Mandailing dengan pengucapannya lebih lembut lagi dari bahasa Angkola, bahkan dari bahasa Batak Toba

Banyak penulisan dan pembacaan pada Bahasa Batak Toba tidak sama dalam pembacaannya dengan penulisan. Misalnya:

Sementara itu, dialek Batak Simalungun berbeda dengan dialek utara maupun selatan. Hal ini karena dialek Simalungun berada pada posisi antara utara dan selatan.

Namun secara historis bahasa simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan, berpisah dari cabang Batak Selatan sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk. Kemungkinan besar usianya lebih tua dari cabang wilayah selatan.

Sebagai akibat dari penjajahan Belanda pada abad ke-19—setelah sebelumnya berkobar perang antara rakyat Batak dengan pihak kolonial—banyak orang Batak Toba pindah ke Dairi, Simalungun, dan Alas. Kini, bahasa Toba banyak digunakan di wilayah Pematangsiantar dan Sidikalang.

Semua dialek bahasa Batak berasal dari suatu bahasa purba (proto language) yang dianggap telah menurunkan beberapa bahasa yang ada. Sebagian kosa katanya melalui linguistik historis komparatif sampai sekarang diwariskan oleh rumpun bahasa Batak Utara. Dalam hal ini, rumpun utara lah yang melestarikan bentuk aslinya. Misalnya kata untuk bilangan tiga dalam bahasa Batak Purba adalah tělu

Bentuk ini sampai sekarang diwariskan oleh rumpun bahasa Batak Utara, sedangkan rumpun bahasa Batak Selatan mengalami pergeseran dari [ě] menjadi [o], sehingga tělu berubah menjadi tolu. Namun banyak contoh lainya pula di mana bentuk aslinya dipertahankan oleh rumpun selatan

Bahasa Karo dan Simalungun sering disebut sebagai dua bahasa yang begitu berbeda, sehingga sulit berkomunikasi satu sama lain. Akan tetapi, di daerah-daerah perbatasan Karo-Simalungun tidak ada masalah komunikasi karena di situ masing-msaing bahasa memiliki banyak kata dipinjam dari sebrang pembatas mereka.

Hal demikian terjadi bukan bukan saja dari segi bahasa, dari segi budaya pula tidak ada perbedaan yang begitu mencolok di antara kampung-kampung Simalungun dan karo di daerah perbatasan. Demikian juga halnya di daerah perbatasan antara bahasa atau budaya Karo dan Pakpak atau Pakpak dan Toba sekalipun.

B. Aksara Surat Batak, Abugida Silabogram dan Abjad

Bangsa Batak memiliki aksara yang bernama Surat Batak. Aksara ini digunakan untuk menulis bahasa Batak. Aksara Surat Batak masih berkerabat dengan aksara Nusantara lainnya. Aksara ini memiliki beberapa varian bentuk, tergantung bahasa dan wilayah.

Secara garis besar, ada lima varian aksara surat Batak di Sumatra Utara yaitu Karo, Toba, Dairi, Simalungun, dan Mandailing.

Namun, varian-varian ini tidaklah terlalu berbeda satu sama lain. Aksara Batak mula-mula ada di Mandailing. Dari Mandailing aksara Batak menyebar ke kawasan Toba Timur (perbatasan dengan Simalungun), lalu ke Simalungun dan ke Toba Timur.

Dari Toba Timur aksara Batak menyebar lagi ke Pakpak Dairi. Sedangkan dari Toba Barat ke Simalungun. Aksara Karo menunjukkan pengaruh, baik dari Pakpak-Dairi maupun dari Simalungun

Aksara ini wajib diketahui oleh para datu, yaitu orang yang dihormati oleh masyarakat Batak karena menguasai ilmu sihir, ramal, dan penanggalan.

Jenis aksara Batak merupakan bagian dari rumpun tulisan Brahmi (India). Sebagian besar sistem tulisan yang ada di Afrika, Eropa, dan Asia berasal dari satu sumber, yakni aksara Semit Kuno yang menjadi nenek moyang tulisan-tulisan Asia (Arab, Ibrani dan India) maupun Eropa (Latin, Yunani dan lainnya)

Aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Aksara India yang tertua adalah aksara Brahmi yang menurunkan dua kelompok tulisan yakni India Utara dan India Selatan. Aksara Nagari dan Palawa masing-masing berasal dari kelompok utara dan selatan dan kedua-duanya pernah dipakai di berbagai tempat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Semua tulisan asli Indonesia berinduk pada aksara Palawa karena yang paling berpengaruh adalah aksara Palawa. Aksara Surat Batak adalah sebuah jenis aksara yang disebut abugida, yaitu perpaduan antara silabogram dan abjad

Aksara Surat Batak merupakan sebuah perpaduan antara alfabet dan aksara suku kata. Setiap karakter telah mengandung konsonan dan vokal dasar. Vokal dasar ini adalah bunyi [a]. Namun dengan tanda diakritis atau apa yang disebut anak ni surat dalam bahasa Batak, maka vokal ini bisa diubah-ubah.

Huruf vokal dan konsonan dalam aksara Batak diurut menurut tradisi mereka sendiri, yaitu: a, ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, la, nya, ca, nda, mba, i, u. Aksara Batak biasanya ditulis pada bambu/kayu. Penulisan dimulai dari atas ke bawah, dan baris dilanjutkan dari kiri ke kanan

Aksara Surat Batak zaman dahulu digunakan untuk menulis naskah-naskah Batak yang di antaranya termasuk buku dari kulit kayu yang dilipat seperti akordeon. Dalam bahasa Batak buku tersebut dinamakan pustaha atau pustaka. Pustaha-pustaha ini yang ditulis oleh seorang “guru” atau datu (dukun) berisikan penanggalan dan ilmu nujum.

Penulisan huruf dalam Aksara surat Batak secara garis besar terbagi dalam dua kategori, yaitu ina ni surat dan anak ni surat. Ina ni surat merupakan huruf-huruf pembentuk dasar huruf aksara Batak.

Selama ini, ina ni surat yang dikenal terdiri dari: a, ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, la, ya, nya, ca, nda, mba, i, u. Nda dan Mba adalah konsonan rangkap yang hanya ditemukan dalam variasi Batak Karo.

Sedangkan Nya hanya digunakan di Mandailing akan tetapi dimasukkan juga dalam alfabat Toba walaupun tidak digunakan. Aksara Ca hanya terdapat di Karo sedangkan di Angkola-Mandailing huruf Ca ditulis dengan menggunakan huruf Sa dengan sebuah tanda diakritik yang bernama tompi di atasnya

Adapun anak ni surat dalam aksara Batak adalah komponen fonetis yang disisipkan dalam ina ni surat (tanda diakritik) yang berfungsi untuk mengubah pengucapan/lafal dari ina ni surat. Tanda diakritik tersebut dapat berupa tanda vokalisasi, nasalisasi, atau frikatif. Anak ni surat ini terdiri dari:

Nama-nama tanda diakritis di atas hanya berlaku untuk bahasa Batak Toba. Dalam bahasa-bahasa Batak lainnya terdapat sejumlah variasi nama ina ni surat. Misalnya Pangolet dalam bahasa Karo dinamakan “penengen”.

Seperti halnya ina ni surat, anak ni surat dalam aksara Batak juga disusun menurut tradisi mereka sendiri, yaitu: [e], [i], [o], [u], [ŋ], [x]. Tanda diakritik juga memiliki varian bentuk antara suatu daerah dengan daerah lainnya yang menggunakan aksara yang sama.

C. Sistem Aksara Batak

Dasar penulisan aksara Batak terdiri dari dua perangkat huruf; Ina Ni Surat dan Anak Ni Surat. Tradisi penulisan aksara Batak diduga berkembang abad ke-13 Masehi.

Aksara Batak tidak digunakan pada media tulisan seperti pada batu (berupa prasasti) atau pada lempengan logam—dimungkinkan pernah digunakan tetapi belum ditemukan. Aksara Batak lebih banyak digunakan dalam media tulis berupa tabung bambu, kulit kayu, dan juga kertas.

Semisilabis: (Linguistik); bersifat setengah silabis; Lihat istilah /Silabis/: berdiri sendiri sebagai suku kata.

Aksara Batak memiliki persamaan dengan aksara Kaganga meliputi aksara Rencong, aksara Kerinci, aksara Lampung, aksara Rejang, dll. Kemungkinan, aksara Batak memiliki rumpun bahasa tua yang sama dengan aksara Kaganga

Aksara Batak adalah sistem aksara semisilabis yang terdiri dari 19 induk huruf yang masing-masing wilayah terdapat sedikit perbedaan dalam cara menuliskannya—tergantung pada dialeknya.

Sistem aksara ini memiliki 5 hingga 7 tanda diakritik untuk menandai vokal dan konsonan akhir, atau huruf anak. Diakritik adalah tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah nilai fonetis huruf itu, contoh. tanda /’/ pada fonem /e/hingga menjadi /é/.

Nasal: (Linguistik); bersangkutan dengan bunyi bahasa yang dihasilkan dengan mengeluarkan udara melalui hidung; alias sengau.

Selain vokal dan konsonan, dalam sistem aksara Batak dikenal tanda baca yang disebut pangolat dan saringar. Pangolat adalah tanda baca yang digunakan untuk mematikan aksara konsonan. Sedangkan saringar memiliki fungsi membuat bunyi vokal dan nasal (-ng) pada huruf konsonan seperti e, i, o, u, ing, ng, dan ong

Berikut bagan aksara vokal dan konsonan pada sitem aksar Batak dari beberapa wilayah; Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak.

D. Pengetahuan Waktu dan Sistem Kalender Bangsa Batak

Kalender yang dimiliki suku bangsa Batak disebut dengan Porhalan yang terdiri atas dua belas bulan dengan masing-masing 30 hari. Kalender bangsa Batak tersebut selain dipakai untuk penanggalan, juka kadang digunakan untuk tujuan meramal hari yang baik atau panjujuron ari.

Kelompok Batak yang sampai sekarang masih menggunakan penanggalan Batak adalah Parmalim. Parmalim adalah aliran kepercayaan yang berdasar pada agama leluhur Batak.

Orang Batak dahulu kala tidak pernah mengetahui angka tahun karena memang tidak pemah dihitung. Bulan dihitung dengan mengurutkannya sebagai bulan pertama yang disebut Sipaha Sada, bulan kedua disebut Sipaha Dua, dan seterusnya sampai bulan kesepuluh.

Bulan kesebelas dinamakan bulan Li, dan bulan kedua belas dinamakan bulan Hurung. Hari pertama setiap bulan jatuh pada bulan mati, dan hari kelima belas adalah bulan purnama.

Permulaan tahun dapat ditentukan ketika rasi Skorpio (siala poriama) terbit di ufuk timur dan rasi Orion (siala sungsang) terbenam di ufuk barat yaitu di bulan Mei. Bila bulan sabit yang masih sangat tipis kelihatan menjelang maghrib di sebelah utara Orion sebelum terbenam di ufuk barat.

Empat belas hari kemudian bulan purnama terbit di ufuk timur dan mengambil posisi sebelah utara rasi Skorpio. Dari rasi Skorpio (kala) kalender bangsa Batak dapat namanya, yakni Porhalaan. Diagram kalender dengan 12 bulan dan 30 hari sering diukir pada ruas-ruas bambu. Pada setiap bulan terdapat gambar kala yang menempati tiga sampai empat hari.

Pada bulan pertama letaknya bulan purnama (hari ke-14) masih dekat dengan Skorpio, sedangkan pada bulan-bulan berikut bulan pumama makin menjauh dari rasi bintang tersebut. Dalam bahasa Batak tidak ada istilah ‘minggu’, tetapi setiap bulan dapat dibagi atas empat minggu yang masing-masing tujuh hari. Nama ketujuh harinya dipinjam dari bahasa Sanskerta.

Nama-nama hari dalam penanggalan Batak, yaitu 1. Artia, 2. Suma, 3. Anggara, 4. Muda, 5. Boraspati, 6. Singkora, 7. Samisara, 8. Artia ni Aek, 9. Suma ni Mangadop, 10. Anggara Sampulu, 11. Muda ni mangadop, 12. Boraspati ni Tangkup, 13. Singkora Purasa, 14.

Samisara Purasa, 15. Tula, 16. Suma ni Holom, 17. Anggara ni Holom, 18. Muda ni Holom, 19. Boraspati ni Holom, 20. Singkora Moraturun, 21. Samisara Moraturun, 22. Artia ni Angga, 23. Suma ni Mate, 24. Anggara ni Begu, 25. Muda ni Mate, 26. Boraspati Nagok, 27. Singkora Duduk, 28. Samisara Bulan Mate, 29. Hurung, dan 30. Ringkar.

Sebuah porhalaan sering diukir di sebuah ruas bambu. Ada yang berbulan dua belas dan ada pula yang berbulan tiga belas. Bulan ke-13 dipakai untuk menyesuaikan tahun kamariah dengan tahun matahari. Karena kalender bangsa Batak berdasarkan pengitaran bulan mengelilingi bumi maka satu tahun terdiri atas 12 bulan dengan masing-masing 30 hari, sehingga berjumlah 360 hari.

Tahun kamariah tidak dapat digunakan untuk tujuan yang berkaitan dengan bercocok tanam, maka perlu ditambah satu bulan. Hal ini sesuai dengan lamanya perjalanan bumi mengitari matahari (365 hari).

Hal tersebut dicapai dengan menambah bulan ke-13 yang dinamakan bulan lobi-lobi atau lamadu. Sang Datu selalu ikut memperhitungkan bulan yang berikut (misalnya bulan lima dan enam, atau bulan 12 dan 13 dan kalau tidak ada bulan 13 maka diambil bulan satu) untuk mendapat kepastian dalam menentukan hari yang baik.

Pada diagram porhalaan yang sering diukir di suatu ruasbambu, tarnpak 12 atau 13 bulan dengan masing-masing 30 harinya yang dibuat dengan garis yang membujur dan melintang.

Selain itu tampak pula beberapa garis sudut-menyudut yang masing-masing berpangkal pada hari ke-7. ke-14, ke-21, dan ke-28 di bulan pertama. Pada bulan kedua, hari yang kena garis diagonal tersebut adalah hari ke-6, ke-13 dan seterusnya. Hari-hari ini dikenal sebagai ari na pitu. Hari-hari yang ketujuh yang harus dihindari kalau mau memulai suatu pekerjaan yang baru.

Selain ari na pitu tersebut ada pula gambar kalajengking yang sudah disebut di atas. Pada hari yang ditempati kepala, badan atau ekornya, tidak boleh dilakukan upacara apa pun.

Hari-hari yang lain ditandai dengan bermacam-macam lambang yang tidak selalu seragam. Hari yang baik biasanya ditandai dengan sebuah titik yang melambangkan butir padi.

Sedangkan hari yang tak menentu ditandai dengan tanda silang. Hari-hari yang lain biasanya kurang menguntungkan. Beberapa hari juga ditandai dengan huruf. Hari yang ditandai /ha/. /na/. Ita/dan /o/ adalah hari yang baik. Huruf /ra/ menandai hari yang dapat diragukan. Sedangkan huruf /pa./, /sa/, /la/, /nga/, /ngu/. /hu/, dan /ba/ menandai hari yang buruk.

Hampir tidak ada kegiatan yang penting yang dilakukan tanpa menggunakan porhalaan menentukan saat persemaian, waktu panen. Hari perkawinan, mulai membangun atau memasuki rumah baru, mengadakan perjalanan, berperang, dan sebagainya.

E. Pustaha, “Buku” Orang Batak

Pustaha adalah naskah seperti alat musik akordeon, terbuat dari kulit kayu Gaharu ( Aquilaria malaccencis ). Pustaha adalah salah satu media bagi orang Batak untuk menuliskan hal-hal yang menurut mereka penting pada masa lalu.

Kulit kayu Garu itu dikeringkan, kemudian dilipat lalu ditempelkan kayu pada dua sisinya sebagai sampul dan juga sebagai pengikat. Teradang digunakan jalinan rotan untuk mengikat pustaha ini. Tinta untuk menulis berasal dari sampuran jelaga, damar dan beberapa jenis getah pohon.

Dahulu, pustaha digunakan oleh Datu atau para Guru dan dukun. Misalnya menulis pelaksanaan ritual keagamaan, cara menafsirkan pertanda alam, resep meracik obat, dll. Sepertinya hal-hal yang sifatnya administrasi tidak dimuat dalam pustaha.

Karya sastra baik itu berasal dari legenda dan atau mitos juga tidak diabadikan dalam pustaha. Untuk urusan cerita rakyat, Orang Batak sepertinya percaya dengan peran turi-turian, yaitu tradisi lisan.

Selain dari kulit kayu, masyarakat Batak, menggunakan bahan-bahan dari bambu sebagai media menuliskan aksara Batak dengan menggunakan pisau tajam yang ditorehkan pada lapisan kulit bambu.

Media lainnya yang digunakan untuk menulis aksara batak adalah alat-alat yang dipergunakan sehari-hari seperti alat musi terutama suling, kotak sirih-kapur, sekoci tenun, dan lain sebagainya.

VI. Sistem Mata Pencaharian

Pada umumnya, mata pencaharian masyarakat Batak adalah bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan Marga. Setiap keluarga mendapatkan tanah tadi tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan.

Dalam bercocok tanam, yang memegang hak t anah ulayat adalah huta. Hanya warga Huta dan Kuta berhak memakai tanah ini. Tanah Ulayat adalah tanah milik persekutuan atau milik bersama warga suku yang digunakan untuk kepentingan bersama dan diwarisi dari nenek moyang secara turun temurun.

Dalam Masyarakat Batak selain tanah ulayat, juga dikenal adanya tanah-tanah lainnya:

  1. Tanah panjaean. adalah tanah yang diberikan kepada seorang laki-laki oleh orang tuanya segera sesudah ia kawin dan berumah tangga.
  2. Tanah pauseang adalah tanah yang diterima oelh seorang anak perempuan dari orang tuanya setelah ia meneikah
  3. tanah perbagian adalah tanah yang diwarisi oleh seorang anak laki-laki dari orang tuanya yang telah meinggal.
  4. Mangarimba aadalah memiliki tanah dengan usaha membuka lahan sendiri di hutan.

Orang Batak masih mengarap lahannya dengan sistem adat. Ladang maupun sawah umumnya ditanam dan dipanen hanya setahun sekali. Di beberapa tempat mulai digunakan sistem panen dua kali yang dalam bahasa toba disebut marsitalolo.

Masyarakat Batak juga mengenal sistem kerja gotong royong untuk menggarap lahan dan bercocok tanam. Dalam bahasa Karo disebut raron, dalam bahasa Tiba disebut marsiurupan. Yaitu sekolompok orang bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing orang berkerja secra bergiliran.

Selain pertanian, perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak. Hewan yang diternakan antara lain kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Masyarakat yang tinggal di sekitar danau Toba sebagian bermata pencaharian menangkap ikan.

Selain pekerjaan formal, Banyak Orang Batak yang berprofesi pada sektor kerajinan. Hasil kerajinannya antara lain tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, dan lainnya yang ada kaitan dengan pariwisata.

Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani.

Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional, yaitu piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang).

Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan.

Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.

A. Bercocok Tanam Masyarakat Batak

Bercocok tanam atau pertanian yang terdiri dari bersawah dan berkebun pada Masyarakat Batak diusahakan di lembah-lembah celah atau bukit yang dapat diairi.

Dalam hal berkebun, mereka menanam kopi, kemenyan, nanas, tebu, sayur-sayuran ubi kayu, ubi jalar, pisang dan pinaka (nangka). Selain itu juga, ladang atau kebun sering dipergunakan untuk menanam padi yang dinamakan haumatur (ladang kering).

Supaya tanahnya subur, lahanya diberti pupuk atau dalam bahasa Batak disebut takkal. Mengusahakan persawahan berarti menghasilkan beras sebagai bahan makanan utama.

Hasil perkebunan yang banyak dijual adalah kopi dan kemenyan. Mereka memperdagangkan kopi secara regional maupun internasional. Tanaman kemenyan biasanya ditanam di gunung-gunung. Perdagangan kemenyan hampir sama terkenalnya dengan perdagangan barus yang dilakukan orang Batak sejak dahulu kala.

Tanaman lainnya yang dihasilkan adalah tusam (pohon cemara), yang digunakan untuk papan rumah atau sebagai alat penerangan, seperti obor. Makanya kayu tusam banyak yang diperdagangkan oleh masyarakat Batak, khususnya Batak Toba.

Pertanian dan bagaimana mengelola lahan pertanian merupakan hasil dari suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun. Bahkan, sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang mereka. Pertanian suku Batak juga tidak akan lepas dari kebiasaan bekerjasama yang disebut Raron di Karo, atau Marsiurupan di Toba.

Masyarakat akan saling bekerja sama untuk mengelola lahan pertanian penduduk yang satu, dan begitu juga dengan penduduk yang dibantu tadi, sehingga akan membantu penduduk yang satu lagi

Biasanya kerja sama akan dilakukan ketika musim menanam, mengelola tanaman, dan musim panen. Pada Batak Karo, menjadi salah satu penyumbang hasil-hasil pertanian di daerah Sumatra Utara, selain dari beberapa kabupaten yang berada dalam wilayah provinsi Sumatra Utara.

Di Karo, lahan pertanian yang terbentang luas di dataran tinggi menjadi salah satu sumber pertanian unggulan di daerah Sumatra Utara. Pertanian Karo sekaligus merupakan identitas budaya Karo yang sesungguhnya.

Tanah Karo yang berbatasan langsung dengan kabupaten Deli Serdang, kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang di dalamnya ada terdapat Gunung Sinabung, Gunung Sibayak dan perbukitan yang mengakibatkan tanah di Kabupaten Karo menjadi lahan subur dan sangat cocok untuk tanaman muda dan beberapa jenis tanaman tua.

Pemegang hak tanah ulayatnya, yaitu tanah persekutuan atas milik bersama yang digunakan untuk kepentingan bersama dipegang oleh Huta. Huta merupakan persekutuan hukum dan adat terkecil. Huta didasarkan pada tempat tinggal mereka yang berasal dari satu ompu, satu moyang, dengan atau tanpa boru

Bisa juga dikatakan, Huta berdasarkan keturunan dan perkawinan. Dalam hal kepemilikan tanah yang ditentukan oleh Huta, suku Batak mengenal tanah panjaean, pau seang, dan perbagian.

Alat pertanian tradisional masyarakat Batak ini umumnya menggunakan bahan kayu Pakko (Enau) dan material besi. Terdiri dari luku, ansa, dan rogo, yang berfungsi untuk meratakan tanah dan menyiapkan lahan pertanian.

Sisir dan Teal-teal, digunakan saat membajak atau menggemburkan tanah dengan memanfaatkan Kerbau. Sasap/ Panasapi, dan Ordang: digunakan untuk melubangi tanah dan membersihkan pematang sawah.

Lain-Lain

A. Ulos, Warisan Peradaban Batak

Ulos atau yang disebut kain ulos berbentuk selendang tak bisa dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Kain ini merupakan salah satu busana khas Indonesia yang dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatra Utara.

Dalam tradisi batak ada istilah “mengulosi”, yang artinya menghangatkan badan dengan kain ulos. Ada aturan yang harus dipatuhi untuk mengulosi, antara lain orang hanya boleh mengulosi menurut kekerabatan dari atas ke bawah. Misalnya, orang tua boleh mengulosi anak, tetapi anak tidak boleh mengulosi orang tua.

Dalam prinsip kekerabatan Batak disebut ‘ Dalihan Na tolu’, yang terdiri atas unsur-unsur hula-hula boru, dan dongan sabutuha, seorang boru sam sekali tidak dibenarkan mengulosi hula-hulanya.

Ulos yang diberikan dalam mengulosi tidak boleh sembarangan, baik dalam macam maupun cara membuatnya. Bagi masyarakat Batak, kain ini melambangkan kasih sayang antara orangtua dengan anak, atau antara anak dengan orangtua.

Setiap ulos memiliki sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu. Dalam pandangan suku Batak, ada tiga unsur yang mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu darah, nafas, dan panas.

Darah dan nafas merupakan unsur pemberian Tuhan, sementara unsur panas tidak selalu pemberian Tuhan. Panas bisa berupa dari matahari, api maupun panas yang dibuat manusia.

Panas yang diberikan matahari tidak cukup untuk menangkis udara dingin dipemukiman suku bangsa batak, lebih-lebih lagi di waktu malam. Ulos adalah salah satu sumber panas selain dari matahari dan api. Makanya, bagi mereka, ulos berfungsi memberikan panas yang menyehatkan badan dan menyenangkan pikiran.

Nenek moyang suku Batak tinggal di pegunungan. Mereka hidup terbiasa di dataran tinggi yang memiliki cuaca yang amat dingin hingga menusuk tulang. Mula-mula nenek moyang suku Batak mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan rasa dingin. Mereka menyadari, bahwa matahari tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia.

Pada siang hari awan dan mendung sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi.

Mereka pun mencari alternatif lain yang lebih praktis. Mereka membuat kain yang tebal dan lembut dengan motif yang sangat artistik. Kain tersebut kemudian diberi nama ulos yang artinya selendang. Ulos sebagai produk budaya asli suku Batak berfungsi untuk menghangatkan badan.

Tidak seperti matahari yang terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa ke mana-mana. Lambat laun ulos menjadi kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan motif-motif yang menarik. Kain ulos pun makin digemari karena praktis.

Meskipun ulos pada umumnya berbentuk selendang atau kain yang dipergunakan pada acara tertentu, tapi kini bisa berbagai macam bentuk. Misalnya sering dijumpai ulos dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.

Kain ini didominasi warna merah, hitam, dan putih yang biasanya ditenun dengan benang warna emas atau perak. Kain Ulos jenis tertentu dipercaya mengandung kekuatan mistis dan dianggap keramat, sehingga memiliki kekuatan magis untuk melindungi raga bagi pemakainya

Ada banyak jenis kain ulos yang dikenal dan dibuat oleh masyarakat Batak. Adapun jenis tersebut, yaitu ulos si tolu tuho yang biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita, ulos suri suri yang sering dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe, ulos rujjat yang biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang .

Kemudian ada ulos ragi idup silindung, ragi idup, mangiring yang memiliki corak saling iring-beriring. Ulos ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya. Lalu ada lagi ulos sadum yang memiliki warna ceria, sehingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita.

Selanjutnya ada ulos si bollang, bintang maratur, harungguan. Jenis ulos harungguan sudah sangat langka. Ada lagi ulos antak-antak, ulos padang ursa, ulos pinan lobu-lobu, ulos pinuncaan, ulos ragi hotang yang biasa diberi kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai Ulos Hela.

Ulos lainnya adalah ulos ragi huting, sibunga umbasang, simpar, simarinjam sisi, ulos tumtuman. Ulos terakhir ini dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan dipakai anak yang pertama dari hasuhutan.

Selain memiliki nilai filosofi seperti yang dijelaskan sebelumnya, kain ini memiliki nilai histori yang cukup tinggi pula. Menurut Miyara Sumatra Foundation, ulos merupakan salah satu peradaban tertua di Asia yang sudah ada sejak 4.000 tahun lalu pada kebudayaan Batak. Bahkan ulos konon telah ada jauh sebelum bangsa Eropa mengenal tekstil.

B. Hombung dalam Budaya Batak

Bagi suku Batak khususnya Batak Toba, “Hombung” memiliki makna istimewa. “Hombung” adalah sebuah benda berongga terbuat dari kayu berbentuk petak persegi panjang, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang berharga seperti emas, intan, perak, uang benda pusaka, pedang dan benda apa saja berukuran kecil yang dianggap berharga.

Dalam falsafah hidup orang Batak ada 3 hal penting dalam kehidupan sosial yang harus diraih, yaitu: Hamoraon (harta/ kekayaan), Hagabeon (keturunan/ generasi), dan Hasangapon (harga diri /pengakuan). Hamoraon (kekayaan) sangat penting, sehingga orang Batak sangat gigih bekerja mencari nafkah sehari –hari dan mengumpulkan harta di dalam hombung.

Dengan banyak harta maka dia akan lebih leluasa melakukan “panggalangon” (berupa pesta, membantu orang secara ekonomis, atau traktir makan orang lain) yang diyakini akan memperluas pengakuan orang lain terhadap dirinya. Dalam umpasa Batak ada menyebutkan “Panggalangon do mula ni harajaon” (terjemahannya : “mentraktir orang lain adalah awal baik untuk memulai agar kita di kenal dan dihormati orang “).

Hombung berfungsi layaknya brankas ataupun lemari penyimpanan harta. Pemiliknya akan menguasai hombung itu seutuhnya selama hidup. Ketika si Pemilik sudah uzur dan meninggal, keturunannya dan pihak keluarga dekat lainnya akan berkumpul dan melakukan suatu acara adat yang disebut membuka hombung

Acara adat tersebut dalam Bahasa dan adat Batak dinamakan “ Mangungkap Hombung”. Pada saat itu seluruh keluarga dan hula-hula berkumpul untuk bersama-sama membuka dan menyaksikan isi hombung, melihat seberapa banyak harta yang dikumpulkan si pemilik hombung semasa hidupnya

Berapa banyak harta berupa uang, emas, rumah termasuk sawah dan ladang. Setelah harta dihitung maka pihak keluarga akan membagi harta tersebut sesuai adat dan aturan yang berlaku di masyarakat Batak. Biasanya rumah, ladang dan sawah akan jatuh ke tangan anak laki – laki, sedangkan emas dan uang boleh dibagikan ke anak perempuan.

Jika yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki maka sawah dan ladang akan jatuh ke tangan saudara laki-laki ayah. Sedangkan pihak tulang (saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan “yang meninggal”) serta hula-hula (orang tua dari istri, atau saudara laki – laki dari istri) juga diberi bagian berupa uang karena dianggap berperan mengayomi keluarga tersebut.

Hombung ada yang diberi hiasan ukiran gorga dan pahatan singa-singa ataupun gambar lainnya dan ada juga yang tidak diukir sama sekali. Pada umumnya suku Batak membuat hiasan gorga dan ukiran tergantung pada tingkat ekonomi seseorang.

Semakin tinggi status ekonomi dan status pengakuan seseorang di masyarakat dapat dilihat pada jumlah dan kerumitan gorga yang digunakan di setiap barang yang dimilikinya.

Hombung yang memiliki ukiran banyak dan rumit menunjukkan bahwa si pemilik memiliki banyak harta karena mampu membayar pemahat untuk mengerjakannya.

Pada masa sekarang, hombung sudah jarang ditemukan dan jarang digunakan sebagai penyimpanan harta. Hombung sudah digantikan menjadi brankas besi atau uang sudah disimpan di Bank. Namun dalam adat Batak sebutan “mangungkap Hombung” masih tetap lestari namun yang dibuka bukan lagi Hombung yang sebenarnya

Apabila orang tua yang meninggal, dimana anaknya sudah menikah semua, pihak-pihak keluarga berkumpul untuk membicarakan buka hombung dan harta dibagi secara simbolik dan harta yang dibagipun sudah berupa uang saja tanpa perlu membeberkan utang maupun harta dari yang meninggal

Besaran pembagiannya juga sudah disepakati bersama sesuai kemampuan ekonomi keturunan dari orang yang meninggal. Selain untuk menjaga tidak terjadi persengketaan maka salah satu alasan yang dapat diterima bahwa harta orang si meninggal sudah habis digunakan menyekolahkan anak-anaknya.

Hal ini dapat diterima, karena pada kenyataannya suku Batak jaman sekarang sudah mengutamakan pendidikan anak-anak dibanding dengan mengumpulkan harta di dalam hombung.

C. Saur Matua ”Kematian Sempurna” pada Masyarakat Batak

Orang Batak sangat percaya bahwa kematian merupakan sebuah peristiwa yang tak kalah istimewanya dengan kelahiran. Mereka percaya bahwa orang yang mati hanya raga, sedangkan jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain.

Dalam tradisi Batak, orang yang mati disebut saur dan akan dielukan dalam upacara saur matua, setidaknya oleh semua anaknya. “Penyembahan” yang diterima roh orang tua alias si mati melalui upacara saur matua dan upacara mangongkal holi dari para keturunannya, akan menambah kekuatan sahala (kekuatan) roh bersangkutan di alam lain–sementara keturunannya berharap mendapatkan berkat sahala dari roh bersangkutan

Alam lain itu dianggap sangat gaib dan tak terjangkau oleh mereka yang masih hidup. Orang yang masih hidup menganggap, perjalanan jiwa orang mati menuju alam lain itu memerlukan perlakuan khusus agar rohnya merasa “tenteram” dan “dihargai” oleh keturunannya.

Konsep kepercayaan yang berawal dari sekadar mengantarkan si mati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan si mati melalui ritual pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan terhadap roh si mati.

Karena sangat istimewanya, perlakuan terhadap jasad si mati tentunya sangat spesial; begitu pula setelah upacara penguburan usai maka keluarga yang ditinggalkan masih merasa perlu mengekspresikan kesedihan mereka yang ditinggal oleh si mati.

Kini, masyarakat Batak masih mengekspresikan pemujaan si mati dalam sebuah upacara penguburan sekunder yang disebut mangongkal holi. Disebut sekunder, karena sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) si mati.

Upacara penguburan sekunder dilalukan melalui penggalian tulang-belulang si mati dari kubur awal (primer), untuk dikuburkan kembali ke dalam kubur sekunder.

Pada masyarakat Batak, kematian ( mate ) di usia yang sudah sangat tua—terutama telah menikahkan semua anaknya dan memiliki cucu—merupakan kematian yang paling diinginkan. Dalam tradisi budaya masyarakat Batak (khususnya Batak Toba), kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua.

Upacara adat kematian pada masyarakat Batak diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan ( mate di bortian ) maka ia belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati)

Bila mati ketika masih bayi ( mate poso-poso ), mati saat anak-anak ( mate dakdanak ), mati saat remaja ( mate bulung ), dan mati saat sudah dewasa namun belum menikah ( mate ponggol ).

Keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat: mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan ulos untuk mate dakdanak dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati.

Mate saur matua -lah yang menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Sebenarnya, masih ada tingkat kematian yang lebih di atasnya, yaitu mate saur matua bulung yakni mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga dan bahkan telah bercicit)

Baik mate saur matua maupun mate saur matua bulung keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal karena meninggal saat tidak memiliki tanggungan anak lagi.

Ketika seorang Batak mati saur matua, sudah seharusnya pihak-pihak kerabat segera mengadakan musyawarah keluarga ( martonggo raja ). Membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu.

Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak. Terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan: pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan, keluarga perempuan pihak ayah).

Serta pihak masyarakat setempat ( dongan sahuta ) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat yang membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing.

Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka). Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama).

Jambar terdiri dari empat jenis berupa: juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat.

Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.

Selepas itu, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang mati saur matua (pihak hasuhuton ).

Urutan kata dimulai dari hula-hula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor ).

Pada kesempatan manortor pihak tulang (saudara laki-laki ibu almarhum), menyelimutkan ulos ragi idup langsung ke badan mayat. Selain itu bona tulang ( hula-hula dari pihak marga saudara laki-laki nenek almarhum) dan bona ni ari ( hula-hula dari pihak marga ibu kakek almarhum) juga memberikan ulos (biasanya ulos sibolang ). Ulos dikembangkan di atas peti mayat, sebagai tanda kasih sayang yang terakhir.

Kemudian pihak hula-hula secara khusus mangulosi (menyematkan ulos ) kepada pihak boru dan hela (menantu) sebagai simbol pasu-pasu (berkat) yang diucapkannya. Pihak hula-hula memberikan ulos sibolang sebagai ulos sampetua kepada istri / suami yang ditinggalkan, dengan meletakkan di atas bahu

Apabila orang yang mati telah lebih dahulu ditinggalkan istri / suaminya, tentunya ulos tidak perlu lagi diberikan. Kemudian hula-hula memberikan ulos panggabei kepada semua keturunan, dengan menyampirkan ulos (sesaat secara bergantian) di bahu masing-masing anak laki-laki yang tertua sampai yang paling bungsu (terakhir diberikan kembali ke anak lelaki tertua disertai kata-kata berkat).

Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi.

Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan ( mangampu ) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara.

Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.

Sepulang dari pekuburan pun biasanya dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula.

Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya

Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.

Sebagian masyarakat Batak dewasa ini lebih memahami upacara saur matua bukan untuk menyembah si orang tua agar kekuatan sahala diberikan kepada anak-cucunya, tetapi sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas anugerah umur panjang kepada orang yang mati saur matua.

Namun, konsep saur matua sebagai “kematian sempurna” tetap dipertahankan, karena orientasi sosial budaya masa kini juga menganggap mati di usia yang sangat tua adalah kematian yang paling baik.

D. Tari-tarian

Perbendaharaan seni tari tradisional Batak meliputi berbagai jenis, ada yng bersifat magis, sakral dan ada yang bersifat hiburan atau profan. Di samping tadi adat yang menjadi ritual penting dalam suatu upacara adat, tari sakral biasanya ditarikan oleh datu-datu.

Termasuk jenis tari batak yang sakral adalah tari guru dan tari tungkat. Para datu menarikannya sambil mengayunkan tongkat sakti yang sidebut Tunggal Panaluan.

Tari yang bersifat hiburan ialah tari jenis pergaulan yang ditarikan pada pesta dan perayaan. Yang termasuk tari muda-mudi Batak ini misalnya Tari morah-morah, Tari Parakut, Tari Sipajok, Tari Patam-Patam, dan Tari Kebangkiung.

Tari Magis yang cukup dikenal dari Masyarakat Batak adalah Tari Tor Tor. Dua diantaranya yaitu tari Tor Tor Nasiaran dan Tor Tor panaluan. Tari Magis ini biasanya akan dilakukan dengan penuh kekhususan dan kekhusuan.

E. Topeng Batak

Seni topeng Batak adalah karya seni dekorasi, patung, sekaligus pentas yang tumbuh dari sejarah, tradisi masyarakat dan alam Batak. Telak memberi ciri dan kebanggaan berlatar belakang nilai budaya yang luhur, yakni kesetiaan.

Meski fungsinya makin menggeser dari sakral ke arah profan, namun nilai estetis dan pemuas rasa setia dan sekaligus sebagai pelipur lara yang turun temurun itu merupakan “kekayaan” budaya daerah maupun nasional yang tak ternilai.

Topeng atau kedok adalah gambar atau pahatan dalam bentuk muka orang atau binatang. Topeng batak pada umumnya dibuat dari kayu, meskipun ada pula dari bahan lain yang dibuat demikian rupa sehingga dapat dipakai di bagian muka atau kepala orang untuk keperluan upacara atau tarian.

Muka yang digambarkan adalah watak-watak, tokoh-tokoh atau simbol-simbol tertentu yang dapat memberi efek seperti yang dikehendaki oleh penciptanya. Topeng-topeng dengan efek magis telah lama tumbuh dalam masyarakat. Gambar topeng yang digoreskan pada kendi atau gerabah lain, pada perunggu, genderang perunggu dan lain-lain, sudah ada sejak masa prasejarah.

Topeng sebagai ragam hias rupanya merupakan salah satu di antara aspek seni yang tertua di dunia dan mempunyai fungsi dalam kepercayaan masyarakat yakni mendatangkan roh nenek moyang dan bernilai magis, di samping mempunyai nilai simbolis. Itulah sebabnya topeng hampir tak pernah absen dalam upacara-upacara tradisional, khususnya di masyarakat Batak.

Di daerah Batak Karo topeng disebut “ gundala-gundala,” di Simalungun “ huda-huda,” di Pakpak Dairi “ mangkuda-kuda.” Topeng ditampilkan pada upacara memanggil hujan misalnya, juga se¬bagai hiburan raja-raja (baik yang masih hidup maupun yang sudah menjadi arwah). Raja-raja adalah pelindung kerajaan atau seluruh masyarakat.

Penampilan topeng di Batak Karo, Simalungun, Tapanuli, Pakpak Dairi, cenderung pada bentuk teater, seperti halnya tari topeng yang terdapat di Jawa, Bali dan Madura yang berlatar belakang falsafah kehidupan yang digambarkan secara estetis dengan iringan musik dan lagu. Bedanya, pertokoan topeng Batak lebih terbatas dibandingkan dengan topeng Jawa, Bali dan Madura.

Ragam hias topeng yang berkembang di berbagai daerah di Indonesia sejak masa prasejarah itu semakin berkembang apalagi dengan masuknya pengaruh asing, terutama Cina. Di lingkungan masyarakat Batak seni topeng maju pesat sejak awal abad ke-20 ini, terutama gundala-gundala di daerah Simalungun.

Dasar atau latar belakang perkembangan seni topeng di lingkungan masyarakat Batak itu sama, yakni sebagai sarana untuk memanggil dan memuja roh nenek moyang. Dalam perkembangannya timbul perbedaan-perbedaan variasi pada berbagai daerah.

Kesetiaan adalah suatu sikap hidup masyarakat tradisional Batak yang banyak menentukan corak budaya Batak. Setia dan taat kepada adat, setia bertatakrama tradisional, patuh dan hormat kepada nenek moyang menyebabkan budaya Batak lestari secara tradisional.

Topeng Simalungun

Cerita yang masih sangat berkesan di kalangan masyarakat setempat, berkembangnya seni topeng di daerah Simalungun berawal dari kisah sedihnya keluarga raja Simalungun. Putera tunggal raja meninggal dunia, raja sedih. Apalagi sang permaisuri (“ puang balon“ ) menjadi merana.

Seluruh kerajaan diliputi mendung kesusahan. Dalam kesulitan semacam ini timbullah upaya di kalangan rakyat untuk menghibur keluarga raja, tetapi lama tak kunjung berhasil. Kemudian ada gagasan yang cemerlang yakni menyelenggarakan pertunjukan dengan lakon yang lucu dalam bentuk tari topeng.

Topengnya dibuat dari pelepah bambu atau sejenis itu, dibuat dalam bentuk dan expresi yang lucu serta ditarikan dalam tata gerak yang lucu pula. Raja dan puang balon dapat terhibur. Kemudian tari topeng ini berkembang dan merakyat serta sangat digemari dengan sebutan tari huda-huda.

Topengnya sendiri makin sempurna, bahannya bukan pelepah lagi melainkan kayu yang tahan lama dengan ukiran dan warna yang menarik dan bergaya lucu. Topeng Simalungun ini diduga merupakan tahap awal dari topeng Batak pada umumnya.

Pada dasarnya topeng Simalungun terdiri atas empat tokoh saja, yaitu satu wanita, dua pria dan satu burung. Gaya wajah tidak seram, tetapi romantik dan cenderung lucu. Exresi rendah hati tetapi optimis, mempesona, sesuai dengan latar belakang sejarahnya, yakni untuk menghibur keluarga raja yang sedang duka-nestapa.

Topeng Tapanuli

Seperti halnya di daerah Simalungun, di daerah Tapanuli seni (pertunjukan) topeng juga dari cerita rakyat tentang kedudukaan raja dan permaisuri karena kematian puteranya yang tercinta. Di sini tokoh topeng yang untuk menghibur itu terdiri atas sepasang pria wanita, dengan ukuran topeng sekedar cukup untuk penutup muka. Dipergunakan dalam bentuk tarian dengan tetabuhan tanpa dialog khusus.

Si Gale-gale, yang artinya lemah-lembut adalah boneka/patung kayu berbentuk manusia pria, remaja dalam ukuran yang mendekati natural, dilengkapi kostum tradisional Batak. Tiap-tiap bagian tubuhnya diberi persendian dan tali sedemikian rupa sehingga seseorang (dalang) dengan iringan “gendang” dapat memainkannya seperti gerakan-gerakan seorang remaja putera yang seakan-akan hidup. Si Gala-gala dengan demikian termasuk seni teater boneka ( puppet-theatre ).

Latar belakangnya sama, yakni menghibur ibu yang kematian satu-satunya putera yang berangkat remaja sehingga mengalami duka nestapa yang amat dalam. Bahkan si anak yang telah jadi mayat itu dipeluk terus tanpa menghiraukan terjadinya proses pembusukan yang terjadi.

Pada suatu saat ketika sang ibu terlena, tidak sadarkan diri seorang seniman pematung mengganti anak tersebut dengan sebuah patung dan mayat si anak pun dikuburkan. Setelah sang ibu sadar diberitahukan bahwa sang anak mulai sadar (hidup) kembali, tapi dalam keadaan lemah (Si gale-gale).

Kemudian berkembang menjadi seni boneka yang seakan-akan hidup dan amat digemari oleh seluruh masyarakat Batak, juga diikut sertakan sebagai pengisi upacara adat kematian, memanggil roh dan pemujaan roh nenek moyang yang di¬anggap baik. Kemudian pertunjukan Si Gale-gale menjadi hiburan masyarakat luas karena fungsi sebagai upacara religius-magis dilarang oleh agama (Islam, Kristen) yang datang kemudian.

Topeng Pakpak Dairi

Bila dibanding dengan daerah Simalungun di daerah Pakpak Dairi seni topeng tidak begitu berkembang. Pertunjukan ditujukan untuk upacara ritual di samping sebagai hiburan dan lebih cenderung pada ritual-magis.

Topeng Karo

Seni topeng (“gundala-gundala”) di daerah lebih muda bila dibandingkan dengan seni topeng Simalungun dan Pakpak Dairi. Di Kabupaten Karo topeng tradisional masih banyak kita temui seperti di desa-desa: Sukanalu, Juma Padang, Guru Singa, Siberaya, Kubu Calia dan Lingga.

Di daerah Karo Topeng dipertunjukkan pada hari-hari besar nasional di samping upacara-upacara adat dan tontonan rakyat yang bersifat pendidikan. Juga untuk upacara tolak-bala, penaburan benih dan penyambutan tamu agung. Dilakonkan dalam gaya komedi tanpa dialog. Pemain terdiri atas lima orang yang berperan sebagai: raja/panglima, permaisuri, puteri raja, menantu dan musuh (burung genda-gendi).

Bahan dan Proses Pembuatan Topeng Batak

Bahan baku topeng adalah kayu yang cukup keras yakni sangketten, dilengkapi dengan bambu, ijuk dan lain-lain, termasuk kain.

Kayu yang bulat itu diukir berbentuk wajah, bagian dalamnya dibuang sehingga berbentuk cekungan yang sesuai dengan bentuk muka orang berikut lubang untuk mata dan angin-angin. Topeng burung si gurda-gurdi, paruhnya juga terbuat dari kayu yang sama, kerangka (badan) burung yang dapat dimasuki orang itu dibuat dari bambu dan ditutup kain.

Topeng, lebih tepatnya boneka atau patung Si Gale-gale, sesuai dengan bentuknya yang khas dan rumit itu merupakan karya seni khusus yang dibuat secara khusus pula. Teknis persendian dan tali-temali di sini sangat penting agar dalang dapat “menghidupkan”nya dalam permainan. Di samping itu pakaian dan tata rias juga pegang peranan penting.