etnografi

Suku Boti, Suku Bangsa Nusa Tenggara Timur

Suku Boti adalah keturunan asli dari pulau Timor, Antoni Metu. Kecamatan Kie Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi tempat suku Boti bermukim. Suku ini satu dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia.

PublishedApril 10, 2013

byDgraft Outline

Suku Boti terbagi menjadi dua bagian, suku Boti dalam dan suku Boti luar. Orang Boti Dalam tinggal di areal tersendiri berpagar kayu. Adapun orang Boti Luar menyebar di berbagai lokasi di desa tersebut. Masyarakat yang berada di daerah Boti luar.

Masyarakat Boti masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat di suku mereka. Mereka yang memutuskan keluar dari suku ini maka akan ‘diadili’, dikucilkan, atau bahkan diusir.

Seorang lelaki yang sudah menikah tidak boleh memotong rambut, sehingga rambut mereka yang sudah panjang akan diikat serupa konde di atas kepala mereka. Ada sanksi yang harus dibayar jika ini dilanggar, mereka akan dikucilkan. Maka sulit untuk dipengaruhi moderenitas zaman.

Secara umum masyarakat suku Boti menganut kepercayaan Dinamisme. Mereka memiliki satu hutan tempat mereka bersembah yang dengan ritualnya sendiri. Ada satu altar persembahyangan untuk berdoa menyembah Uis Pah (Dewa Langit), setelah itu mereka menaiki dan menapaki 99 anak tangga untuk kemusbah yang lebih tinggi yang mereka namakan musbah untuk Uis Neno (Dewa Bumi).

Kedua dewa ini disembah dengan penarapannya sendiri-sendiri. Uis Pah di sembah karena Dialah yang akan menjaga, mengawasi, dan melindungi kehidupan manusia dan seluruh isinya. Sedangakan Uis Neno perlu disembah karena Dia yang menentukan manusia masuk surga atau neraka. Kepercayaan mereka sangat kuat

Bahwa yang digunakan oleh masyarakat suku Boti adalah bahasa Dawan, meskipun orang-orang di Boti Dalam sebagian sudah ada yang bisa berbahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia yang dipahami oleh orang-orang Boti Dalam memang belum fasih tapi mereka mampu memahami dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh lawan bicara. Ini sebagai bentuk bahwa masyarakat Suku Boti bukan masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh perkembangan zaman di luar lingkungannya.

Suku Boti dipimpin oleh seorang kepala suku. Suku ini termasuk ke dalam suku yang memiliki banyak aturan dalam kehidupan sosialnya. Salah satunya adalah kepercayaan Halaika. Alam adalah jantung kehidupan bagisuku Boti, sehingga segala macam aturan berkaitan erat dengan alam. Adapun aturan adat lain yang diyakini dalam pernikahan, seorang lelaki tidak akan menikah berapapun usianya sebelum ia benar-benar dapat hidup mandiri.

Masyarakat Boti sangat mencintai kedamaian, bahkan beberapa aturan dibuat agar Uis Pah menjaga mereka. Misal nyaji kaada yang mencuri di desa tersebut maka pencuri itu tidak akan dihakimi secara fisik, justru mereka akan ‘diuntungkan’ dengan pemberian warga kepadanya dengan benda yang sama ia curi. Barangkali ada pemikiran bahwa jika seseorang mencuri berarti ia sedang sangat membutuhkannya, dan sebagai suku yang sama sudah kewajibannya lah untuk saling membantu.

Pola kekerabatan yang terjadi di suku Boti ini sebenarnya pola Partriarki, di mana yang menjadi raja atau kepala suku adalah lelaki dan lelaki pula yang menjadi pemimpin dalam rumah mereka.

Boti memiliki pemisahan peran penting bagi lelaki atau pun perempuan, lelaki bertugas di luar rumah untuk mencari nafkah sedang istrinya yang mengurus segala hal yang berkaitan dengan isi rumah. Masyarakat Boti adalah masyarakat yang menganut pola monogami, di mana mereka hanya akan menikahi satu perempuan saja.

Dilihat dari apa yang mereka yakini, masyarakat suku Boti secara umum adalah petani dan pekebun, juga beternak. Sehingga mereka hanya memanfaatkan hasil tanam dan ternak mereka. Di suku Boti masyarakatnya dilarang untuk membunuh hewan liar agar menjaga keseimbangan alam mereka.

Suku Boti yang begitu rapat dan kuat dengan adat yang diyakininya membuat kemajuan teknologi dan pengetahuan sulit menembus. Mereka menggunakan kepercayaan dan didikan nenek moyang mereka dalam menghadapi permasalahan hidup sehari-hari. Bahkan rumah yang mereka diami saja secara umum masih ditutupi daun lontar dan tanpa penerangan.

Tidak hanya itu, dalam berpakaian sekalipun masyarakat Boti terutama yang laki-laki tidak boleh menggunakan celana panjang atau rok pendek bagi perempuan seperti yang digunakan masyarakat modern

Bagaimana pun juga suku Boti adalah suku dengan masyarakat yang ramah dan bertatakerama tinggi, terbuka dengan orang di-luar mereka dengan batas-batas tertentu. Banyak nilai-nilai positif yang diajarkan oleh suku Boti kepada warganya, mau pun kita sebagai masyarakat di luar aturan-aturan adat Boti.

Table of contents

Open Table of contents

Alam Kepercayaan dan Religi Suku Boti

A. Halaika; Nilai-Nilai Dasar Kehidupan Suku Boti

Suku Boti dikenal sebagai suku yang religious. Hal tersebut tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang selalu melekat dengan nilai-nilai kepercayaa dan keyakinan mereka yang disebut halaika. Segala aspek kehidupan telah diatur oleh kepercayaan dan keyakinan mereka. Mulai dari kehidupan berkelompok hingga dalam hal pekerjaan.

Misalnya seorang suku Boti harus menghormati alam karena mereka hidup dari alam yang telah dilindungi Uis Pah, roh penjaga bumi. Mereka berpandangan bahwa manusia harus bersahabat dengan alam karena alamlah yang menyediakan makanan dan minuman.

Karenanya, pepohonan tidak boleh ditebang sembarangan, makanan tidak boleh dipanen sebelum waktunya, bahkan rambut mereka pun tidak boleh dicukur. Alat dapur mereka pun terbuta dari bahan alam, misalnya piring, sendok, dan gelas yang mereka pakai pun terbuat dari tempurung kelapa

Bagi suku Boti, alam merupakan Tuhan yang harus mereka sembah (Uis Pah) karena alam telah memberi mereka kehidupan. Oleh sebab itu, keseimbangan alam harus dijaga dengan baik dan ketat.

Dalam kehidupan sosial misalnya, seorang suku Boti yang mencuri pisang tidak “dihukum”, namun warga sekitar malah menanam pohon pisang di sekitar rumah si pencuri. Hal tersebut dilakukan atas asumsi bahwa yang mencuri pisan tersebut sangat membutuhkan pisang untuk makan.

Seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa pandangan hidup orang Boti erat katannya dengan nilai-nilai kepercayaan dan keyakinan mereka ( halaika ). Tradisi halaika mengagungkan 4 nilai-nilai dasar yang biasanya disebut dengan ha’ kae (empat larangan) sebagai acuan atau rujukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Keempat larangan ini merupakan artikulasi dari pandangan hidup suku Boti mengenai tindak-tanduk yang harus mereka lakukan dan bagaimana cara menjadi manusia sebaik-baiknya. Keempat larangan tersebut antara lain:

  1. Kaes mu bak artinya warga halaika dilarang mencuri;
  2. Kais mam paisa artinya warga halaika dilarang berzinah dan merampas istri orang lain;
  3. Kaes teun tua artinya warga halaika dilarang meminum minuman keras/beralkohol;
  4. Kaes heot heo artinya warga halaika dilarang memetik bijol atau biola tradisional khas orang Timor, memetik buah kusambi ( kaes hupu sapi ), dan memotong bambu ( kaes oet o’ ) bila waktu untuk memanen belum tiba.

Mengasihi sesama manusia atau dalam bahasa dawan (bahasa komunikasi suku Boti) disebut lais manekat menjadi perwujudan dari nilai-nilai halaika dalam kehidupan mereka. Menjaga perbuatan dan tindakan agar tidak menyinggung dan melukai hati orang lain merupakan bentuk kasih sayang mereka

Adapun nilai-nilai yang dianggap baik bagi kaum halaika adalah menjadi penganut halaika yang baik. Ciri-ciri dari seorang penganut halaika yang baik, dan taat adalah:

  1. Berkonde bagi pria dewasa dan menyanggul rambut bagi kaum perempuan;
  2. Memakai soit pada setiap ikatan rambut yang disanggul/dikonde;
  3. Semua pria dewasa memakai selimut berlapis. Lapisan pertama disebut mau pinaf (selendang pembungkus bagian dalam) dan lapisan kedua sebagai selendang luar (mau fafof). Pada kaum perempuan, mengenakan sarung juga dengan dua lapis: lapisan pertama adalah sarung tenunan (tais), dan lapisan kedua berupa selendang kain (lipa);
  4. Selalu membawa saku sirih pinang (alu’ mama untuk laki-laki; oko’ sloi untuk perempuan) ke mana pun bepergian;
  5. Menaati pantangan-pantangan atau larangan sebagai penganut halaika;
  6. Tidak menggunakan alas kaki;
  7. Berbicara dengan sangat sopan. Selalu menghargai orang lain sebagai yang mulia dan patut dihormati;
  8. Harus bisa menenun bagi setiap perempuan dewasa; dan
  9. Khusus perempuan, tidak diijinkan menatap muka lawan jenisnya secara langsung saat berkomunikasi.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa semua warga boti sangat sangat setia dengan apa yang telah diperintahkan dan dilarang oleh raja mereka atau kepercayaan mereka.

Oleh karena itu, mereka akan selalu menunjukkan sikap dan tindakan yang patuh, taat, dan setia terhadap berbagai ajaran sang raja. Apapun yang menjadi titah raja, pasti diikuti dan dijalankan tanpa membantah.

B. Uis Pah Dan Uis Neno

Pada zaman kolonial Belanda berkuasa, di mana misionaris katolik dan zending protestan menyebarkan agama di Nusa Tenggara Timur, mereka adalah satu-satunya suka yang menolak untuk di Kritenisasi.

Halaika merupakan kepercayaan dan keyakinan yang mereka anut sejak dahulu. Uis Neno dan Uis Pah merupakan du dewa penguasa dalam tradisi kepercayaan Halaika.

Dewa bapak atau penguasa dunia lain (alam baka) dinobatkan pda Uis Neno. Sedangkan Uis Pah merupakan dewa ibu yang mengatur, menjadi pengawas, dan penjaga manusia

Adapun tempat ibadah yang mereka miliki letaknya berada di tengah hutan lebat. Di sana terdapat dua mezbah yang digunakan untuk menyembah kedua dewa tersebut. Mezbah milik dewa Uis Pah berada dibawah dari mezbah dewa Uis Neno, dengan jarak sekitar 99 buah anak tangga.

Meskipun pada awalnya mereka menolak untuk beragama Kriten Katolik, namun beberapa di antara mereka yang tinggal di wilayah pesisir laut, lambat laun sudah memeluk agama Kristen. Meskipun demikian, agama Kristen yang mereka anut masih bercampur dengan kepercayaan Halaika

Beberapa kalangan ahli Teologi berpendapat bahwa Kristen Halaika mirip seperti Kristen pagan Roma. Memotong rambut menjadi salah satu larang dari tradisi penganut kepercayaan Halaika.

Mereka diharuskan mengikat rambut serta dikonde. Bagi kaum laki-laki Boti yang telah menginak usia 20 tahun ke atas, aturan ini menjadi sangat wajib dilaksanakan

Benda yang digunakan untuk mengikat konde bernama Soit, terbuat dari bambu, tanduk atau tulang sapi. Selain berfungsi sebagai penahan ikatan rambut, Soit juga sering dipakai sebagai sisir.

Sama seperti kepercayaan Yahudi, di mana dikenal adanya hari Sabat (perhentian) pada hari ke-7, suku Boti pun mengenal hari perhentian yakni pada hari ke-9. Eku Tefas atau berkumbul di sebuah balai pertemuan menjadi wajib hukumnya bagi seluruh anggota suku Boti.

Dalam acara tersebut ketua adat atau yang disebut Sang Usif, memberi ceramah-cerah yang berisi nasehat-nasehat bijak kepada seluruh anggota suku Boti. Pada hari tersebut para warga dilarang untuk melakukan aktivitas bekerja seperti berkebun dan berternak.

Namun kegiatan ringan seperti menenun, memintas, atau membuat kerajinan masih diperbolehkan. Bahkan para penduduk Boti diwajibkan untuk berpuasa dari pagi hingga petang.

Tetua adat atau Usif Nama Benu tinggal di dalam sebuah istana yang terbuat dari kayu dan dibangun tahun 1982. Kerena kondisi istana yang hampir ambruk, istana baru pun dibangun kembali pada tahun 2012.

Organisasi Sosial Suku Boti

Di wilayah masyarakat suku Boti terdapat beberapa organisasi sosial. Organisasi sosial ini berpengaruh penting dalam kehidupan masyarakat suku Boti dalam.

Organisasi dalam masayarakat suku Boti bukan merupakan organisasi modern seperti organisasi etnis lainnya. Misalnya adalah keluarga, organisasi adat, dan organisasi pemerintahan desa. Dalam hal ini, secara spesifik akan dibahas mengenai pemimpin Lemabaga adat suku Boti.

Lembaga adat merupakan organisasi yang juga sangat disegani oleh masyarakat suku Boti. Bahkan poisisi organisasi adat melebihi organisasi-organisasi lain yang terdapat dalam lingkungan mereka seperti organisasi pemerintahan dan non pemerintahan dalam hal kepentingannya.

A. Kepemimpinan Suku Boti, Nusa Tenggara Timur

Kepala suku disebut Usif, fungsi Usif tidak hanya sebagai kepala suku simbolis namun berperan menjadi pemimpin adat, menjadi raja. Raja harus mengetahui berbagai kegiatan yang dilakukan di lingkungan masyarakatnya. Berbagai aspek kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, hingga kematian diketahui Usif dan diatur oleh Lembaga Adat.

Kesejahteraan dan kebaikan masyarakat menjadi tanggung jawab moril seorang Usif. Seorang Usif sewajarnya turut campur dalam kehidupan warganya bila terdapat suatu masalah. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga ketentraman masyarakatnya.

Tanggung jawab yang diemban oleh seorang Usif bukan hanya dalam masalah keagamaan suku Boti, namun telah masuk pada ranah-ranah kemanan dan hubungan keluar untuk suku Boti, bahkan perihal ancaman dan ketahanan wilayah suku Boti dari serangan musuh.

Oleh sebab itu, Usif dibantu oleh pengawal atau perangkat yang memiliki tanggung jawab untuk membantu Usif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

B. Perangkat Lembaga Adat Suku Boti

Meo atau prajurit bertugas untuk membantu Usif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Tugas pokok Meo adalah mengamankan wilayah/lingkungan kerajaan dan desa Boti secara keseluruhan dari berbagai bahaya yang mengancam, misalnya serangan musuh dari luar.

Di perbatasan wilayah mereka berjaga mengawasi wilayah Boti. Pada wilayah timur, ditempatkan Meo feto (prajurit tingkat rendah) yang dikepalai oleh Bernadus Benu dan Meo Mone (prajurit tinggi) oleh Bota Benu. Wilayah barat, dengan moe feto, Haki Benu dan Oni Benu, dan meo mone, Bota Benu. Meo juga bertugas menjadi tangan kanan raja

Ada pula Lopo Lopo sebagai pembantu wilayah atau secara administratif dianggap sebagai pembantu ketua RT. Mereka akan bertindak sebagai pelaksana aturan kerajaan di tingkat wilayah.

Dengan demikian, bila terjadi masalah-masalah di tingkat wilayah, maka para Lopo akan berkoordinasi dengan usif untuk menyelesaikan masalah.

Perangkat pemerintahan kerajaan yang lainnya ialah Sonaf. Sonaf merupakan pelayan kerajaan. Mereka terdiri dari marga-marga Neolaka, Tefamnasi dan Boentekan.

Tugas Sonaf adalah menyediakan dan mengatur persediaan makanan. Selain itu, mereka bertugas untuk menjaga ternak dan kebun.

Organisasi pemerintahan memiliki peran pula dalam kehidupan suku Boti dalam. Sudah jelas bahwa merek berperan dalam program-program pemerintahan dan pembangunan desa serat upacara perkwainan.

Pemerintahan desa dan adat saling bahu-membahu mengatur warga. Masalah-masalah sosial dan budaya pemerintah selalu melibatkan organisasi adat. Begitu pun sebaliknya, dalam pelaksanaan program pemerintah di lingkungan Boti Dalam, senantiasa berkoordinasi dengan Usif si raja Boti.

Kehidupan Sosial dan Ekonomi Suku Boti

A. Upacara Daur Hidup, Sosial dan Kultural

Suku Boti percaya bahwa di setiap tempat di alam terbuka seperti pohon besar, gunung atau batu besar, sungai dan kampung ada penjaga atau penunggu. Oleh sebab itu, terdapat upacara yang dilakukan suku Boti untuk melindungi sang ibu yang tengah hamil dan meramal jenis kelamin si jabang bayi. Ta Pe Fenu sebutan bagi upacara tersebut.

Saat kandungan sang ibu telah mencapai tujuh bulan ritual ini baru akan dilakukan. Hadir dalam upacara ini hanya orang tua kandung dari pasangan suami istri beserta bayi yang disebut A mama fenu atau secara harafiah berarti pengunya kemiri namun secara gramatikal sebenarnya merujuk kepada sang dukun bayi.

Pada upacara ini pertama-tama A mama fenu melakukan pembakaran buah kemiri kira-kira setengah matang. Kemudian kemiri tersebut dibungkus dengan sepotong kain. Selanjutnya kemiri tersebut dipecahkan. Bila daging buah kemiri tetap utuh, maka sang ibu sedang mengandung anak laki- laki sebaliknya, bila daging kemiri terbelah maka anak yang sedang dikandung itu berjenis kelamin perempuan.

Setelah itu, A mama femu mengunyah danging kemiri tersebut dan menggosokkannya ke perut sang ibu sambil membaca doa, memohon agar melindungi sang ibu dari gangguan makluk gaib serta memohon agar sang ibu bisa melahirkan dengan selamat.

Selain meramal dan membaca doa, A mama femu juga bertugas membantu sang ibu dalam proses perkawinan. Selain A mama femu, ibu kandung orang yang melahirkan pun turut mendampingin.

Hal unik dari proses persalinan ini adalah ketika plasenta dan ari-ari diputus dari pusar bayi. Tali ari-ari atau yang biasa disebut Li an Olif (adik dari bayi) digantung di pohon kapas. Hal ini melambangkan harapan agar sang bayi dewasa nanti, bisa menjadi penyulam benang yang terampil dan penenun yang mahir.

Sedangkan plasenta anak laki-laki digantung di atas pohon enau atau lontar dengan harapan agar saat dewasa nanti pandai menyadap nira

Ada juga yang meggantung plasenta di pohon kusambi atau pohon beringin yang disebut oleh masyarakat Usaip Usuf atau Nun Usaf. Ini dengan maksud agar bayi tersebut nantinya menjadi pemberani (kusambi) dan menjadi pelindung atau pengayom (beringin). Pohon jenis ini juga jarang di tebang oleh masyarakat yang mempercayai hal tersebut.

Masyarakat Boti percaya ada hubungan emosional antara bayi dan plasentanya, sehingga plasenta tersebut harus diperlakukan sebaik mungkin.

Setelah proses persalinan selesai, bayi kemudian akan ditangani oleh A mama femu. Mereka tinggal di rumah bulat atau yang disebut dengan ume khubu selama empat hari dan empat malam. Selama empat hari dan empat malam, ibu dan bayi berada di atas tempat tidur dengan bara api di bawanya.

Bara api tersebut akan memberi kehangatan dan kekuatan, juga memulihkan tenaga setelah proses persalinan. Ada kepercayaan juga bahwa bara api tersebut untuk memberi semangat hidup untuk si bayi

Ada banyak lagi upacara yang berhubungan dengan daur hidup. Misalnya upacara pengenalan anak dengan dunia luar ( Napoitan Liana ) yang dimaksudkan untuk memperkenalkan anak pada masyarakat sekaligus mengumumkan bahwa masa krisis yang dijalani oleh bayi dan ibu telah berlalu.

Selain itu terdapat pula upacara Upacara pemberian nama ( nakanab ), Upacara mencukur rambut ( Eu Nakfunu ), Perkawinan ( Mafet Mamamonet ), Peminangan ( Toif Bife ), Ikatan Perkawinan ( Maftus Neo Mafet Mamonet ), Hidup Berumah Tangga ( Monit Mafet Ma Monet ), dan Bakti Kepada Orangtua ( Maka Upa Ncu Mnasi ).

B. Bercocok Tanam Ala Suku Boti

Suku Boti sebenarnya merupakan petani yang berladang di tanah yang kering. Mereka bertani dengan cara berladang (lahan kering) dengan melakukan tebas dan bakar. Hasil pertanian mereka merupakan kebuthan pokok yang biasanya untuk kebutuhan merekas sendiri secara subsisten.

Awal mereka bercocok tanam ialah dengan menebah hutan. Kemudian tebasan hutan tersebut dibakar untuk membuat lahan agar bersih dari sisa tebasan. Setelah lahan bersih, baru diadakan penanaman seperti padi. Baru setelah panen mereka mengadakan panen pertama dan penen terakhir.

Kondisi alam yang kering membuat hasil pertanian merekan gagal untuk dipanen. Pemujaan terhadap roh Uis Pah (Dewa Bumi) dan hasil pertanian memiliki hubungan yang erat.

Ketika panen dirasa gagal, pemujaan terhadap Uis Pah pun dilakukan. Roh ini dianggap mempunyai kekuatan alam terhadap cuaca. Karena Uis Pah merupakan penguasa bumi menurut kepercayaan setempat.

Memang pada dasarnya kondisi alam pulau Timor sangat sering menimbulkan kerusakan bagi pertanian masyarakat Timor. Sedangkan, bertani merupakan kegiatan ekonomi mereka yang utama.

Wilayahnya terdiri dari pegunungan dan dataran tiggi. Keadaaan tanahya berupa tanah liat berpori yang mengandung kapur Permian dan marl. Tanah jenis ini tidak mendukung tumbuhnya vegetasi penutup. Pada musim hujan kedaan tanah banya mengandung air, dan akan mengembang bila telah penuh air hujan.

Pada musim kemarau, tanah menjadi rengkah dan sangat keras. Komposisi tanah dari batu kapur dan tanah liat ini berpengaruh terhadap adanya sumber air, yang banyak ditemukan di daerah dataran tinggi.

Masalah sumber air ini menimbulkan bentuk permukimn dan usaha pertanian yang berpusat di daerah pegunungan dan pengembangan usaha tani lahan kering yang didominasi oleh jagung dan palawija.

Dalam hal pekerjaan, mereka tidak akan lepas dari kepercayaan yang mereka anut. Apa yang mereka kerjakan selalu berhubungan dengan roh yang mereka sembah. Adapun doktrin kerja yang mereka junjung ialah “meup on ate, tah in usif” (bekerja seperti hamba, makan seperti raja).

Mereka bekerja keras untuk menikmati hasil bumu dalam alam yang tidak selalu memberikan hasil bumi yang baik. Alamya dikaruniai Tuhan yang mereka sebut sebagai Uis Neno harus dipelihara dengan bekerja mengola alam dengan cara bertani dan mengolah hasil bumi. Karena itu hampir semu peralatan kehidupan mereka bahan-bahannya dibuat dari alam dan dikerjakan dengan tangan.