etnografi

Suku Laut (Orang Laut), Kepulauan Riau

Suku Laut adalah suku yang berada di pesisir sepanjang kepulauan Riau. Beberapa sejarah mencatat bahwa suku Laut ini terbentuk dari lima periode kekuasaan.

PublishedApril 4, 2013

byDgraft Outline

Masa Batin (kepala klan), Kesultanan Melaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda (1911—42), Jepang (1942—45), dan Republik Indonesia (1949 sampai sekarang) (Chou, 2003:25).

Adapun yang mengatakan bahwa suku Laut ini asalnya adalah para perompak yang memiliki pengaruh kuat pada masa kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.

Suku Laut berperan untuk menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut.

Di Indonesia, penyebutan suku bangsa ini biasa dikenal sebagai ‘Orang Laut’ ( sea people ) atau ‘Suku Sampan’ ( boat tribe/sampan tribe ) yang juga terdapat pada wilayah pesisir lainnya.

Sedangkan dalam berbagai karya etnografi mengenai masyarakat yang hidup di laut dan berpindah di kawasan Asia Tenggara, kita temukan beberapa macam sebutan, seperti ‘ sea nomads ’, ‘ sea folk ’, ‘ sea hunters and gatherers (Sopher, 1977; Chou, 2003:2; Lenhart, 2004:750), dan dalam bahasa Thai disebut Cho Lai atau Chaw Talay (Granbom, 2005; Katanchaleekul, 2007). Meskipun demikian, oleh orang Melayu Riau kepulauan mereka lebih dikenal sebagai ‘Orang Laut’ (Chou, 2003:2).

Keberadaan suku Laut dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan pengaruh ajaran Islam yang menyebar lewat lautan dan perdagangan. Sistem kepercayaan yang dianut oleh suku Laut sendiri masih kepercayaan Animisme, meskipun sebagian yang lain memeluk agama Islam dan itu pun masih bercampur dengan kepercayaan nenek moyang.

Orang-orang suku Laut memandang bahwa daratan adalah tempat yang tak masuk akal bagi mereka. Mereka menganggap daratan hanyalah tempat untuk menguburkan jenazah mereka, sehingga daratan bagi mereka adalah kotor.

Suku laut yang kita lihat berada pada wilayah pesisir Kepulauan Riau, bersinggungan dengan daerah Melayu, membuat suku Laut sendiri dipengaruhi kuat oleh bahasa Melayu.

Bahkan suku Laut sendiri lebih fasih menggunakan bahasa Melayu mereka dibandingkan bahasa Indonesia. Hal ini juga disebabkan oleh interaksi masyarakat suku Laut yang lebih sering bersua dengan orang-orang Melayu. Hidup berpindah-pindah juga menjadi salah satu faktor penggunaan bahasa Indonesia yang tidak lancer.

Orang-orang suku Laut menganggap bahwa diri mereka adalah Melayu asli, mereka pun menjaga betul garis keturunannya. Namun, hal ini ditentang oleh orang Melayu pada umumnya (yang tinggal di darat).

Berdasarkan penolakan tersebut suku Laut pada akhirnya berada pada bagian paling luar dari keturunan asli Melayu. Merasa diri sebagai orang Melayu, suku Laut mengusung pola patrilineal atau garis keturunan ayah sebagai pola kekerabatan.

Mereka hidup di lautan, mereka lahir, kawin, dan mati di laut. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat suku Laut adalah nelayan. Hampir semua orang di suku Laut melakukan aktivitas yang berkaitan dengan laut, baik nelayan, memancing, dan lainnya.

Bahkan kebiasaan warga suku Laut pada malam hari adalah memancing.Warga suku Laut mempercayai bahwa memancing pada tengah malam akan mendapatkan ikan lebih mudah, mereka memancing hanya menggunakan perahu sederhana (getek) dan tombak.

Suku Laut adalah suku yang sulit berakulutrasi, sehingga pengetahuan yang mereka dapatkan adalah apa yang mereka pelajari di laut. Jangan bicara soal mesin-mesin canggih, hanya getek dan tombak sebagai alat yang digunakan dalam menangkap ikan.

Tradisi Membangun Rumah Suku Laut

Bagi Suku Laut, upacara membangun rumah menjadi sangat penting bagi mereka. Mereka percaya bahwa dengan melaksanakan upacara ini, maka mereka akan terhindar dari malapetaka yang disebabkan roh halus yang sering mengacau.

Upacara membangun rumah sendiri memiliki banyak tahapan yang harus dilalui, antara lain tahapan menentukan tempat membangun rumah, tahap menyemah tanah, tahap mencacak tiang, tahap memasang kekude, tahap memasang kasau, tahap mengatap rumah.

Tahap memadang perabong, tahap memasang tebing laya, tahap mencacak tongkat, tahap memasang rasuk dan gelega, tahap memasang lantai, tahap memasang pak, tahap mendinding, tahap menyorong dapur, menyorong tatong, menyorong serambi, sekuap, dan menyorong bilik.

Rumah didirikan terutama untuk tempat kediaman ataupun tempat berlindung dari panas dan hujan. Di samping itu, kehadiran rumah dirasakan sangat penting untuk melaksanakan beberapa macam kegiatan seperti nikah, sunatan, kenduri, kematian, dan lain-lain.

Orang-orang suku Laut tidak menuntut keindahan dari sebuah rumah yang didirikannya, yang paling didambakannya adalah keselamatan, keamanan, dan kedamaian penghuni rumah tersebut secara berkesinambungan.

Tatkala akan membangun rumah hal yang harus diperhatikan adalah faktor letaknya, yang memberikan kemudahan bagi mereka untuk mendapat air atau dapat menjamin kesehatan mereka dalam rumah yang akan ditempatinya, serta tatacara pembuatan ruah menurut tuntutan dan ketentuan yang berlaku secara turun-temurun

Adapun tatacara pendirian sebuah rumah selalu dihubungkan dengan kepercayaan adanya roh halus yang senantiasa mengacau, bila mereka mengabaikan sesuatu tuntutan ataupun ketentuan yang telah berlaku.

Sebuah rumah yang dibangun secara sembarangan akan sering mendatangkan malapetaka seperti merajelela-nya penyakit, kematian yang beruntun, kericuhan-kericuhan, terbakar-nya rumah, dan lain-lain

Berdasarkan kepercayaan yang telah mengakar itu, maka upacara membangun rumah tetap dipertahankan dan dilaksanakan oleh sementara orang-orang kampung.

Upacara ini biasanya digelar di bulan apit. Konon bulan apit adalah bulan yang buruk. Alasannya bulan ini diapit oleh dua bulan lainnya, yaitu bulan syawal dan bulan besar. Oleh karena itu segala pekerjaan pada bulan ini akan banyak ditemui kesulitan-kesulitan seperti yang dialami bulan apit.

Upacara membangun rumah lazim dilaksanakan pada pagi hari atau pun setelah pukul 11.00 sampai dengan pukul 13.00. menurut kepercayaan orang-orang, upacara membangun rumah kurang baik dilaksanakan pada pukul 11.00 sampai 13.00 karena bahaya seperti jatuh, luka, dan lainnya sering terjadi pada jam-jam tersebut.

Sedangkan tempat penyelenggaraan upacara ini sangat tergantung di daerah mana rumah yang dimaksud akan dibangun. Sebelum upacara ini diselenggarakan, biasanya ditentukan terlebih dahulu daerah tempat mendirikan rumah.

Upacara menyemah tanah biasanya dipimpin oleh seorang bomo atau pawang. Orang ini dipercaya untuk memimpin upacara, disebabkan karena ia memiliki ilmu penyemah tanah.

Sedangkan untuk upacara-upacara lainnya diselenggarakan sepenuhnya oleh seorang tukang yang mempunyai keahlian dalam bidang ini. Perlu diketahui pula bahwa upacara ini dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat.

Perlengkapan yang harus dipersiapkan antara lain, beras, daun hati, daun ribu-ribu, garam, paku, bdan beras basuh. Beras diperlukan untuk melaksanakan upacara tepuk tawar. Beras tersebut harus digiling halus-halus, kemudian dicampur dengan air seperlunya. Beras yang dicampur dengan air itu disebut tepung tawar.

Daun hati, daun ribu-ribu berfungsi sebagai alat pemukul. Garam, paku, dan beras basuh berfungsi sebagai penangkal atau penjaga keselamatan yang mempunyai rumah dari gangguan makhluk halus atau penunggu.

Di samping itu, peralatan-peralatan rumah seperti tongkat, papan, tiang, rasuk, atap, alang, jenang, kekude, jeriau, gelega, kayu panjang, dan lain-lain harus pula disediakan secukupnya. Peralatan-peralatan rumah tersebut diketam dengan rapi. Alat-alat pertukangan pun tak lupa dipersiapkan.

Perlengkapan seperti garam, beras basuh, paku, dan tepung tawa merupakan alat penghubung dengan dunia roh atau makhluk halus. Benda-benda tersebut merupakan persembahan kepada makhluk halus yang mendiami tanah tempat rumah akan dibangun.

Mengolah Sagu ala Suku Laut

Suku Laut sepenuhnya hidup di laut. Mereka menganggap bahwa daratan adalah tempat yang kotor. Namun, seiring dengan pendidikan yang mereka terima beberapa di antara mereka telah tinggal di darat atau berumah di darat. Mereka tinggal di daerah pesisir.

Selain berlaut atau mencari ikan, mereka yang tinggal di darat memiliki pekerjaan utama, yaitu mengolah sagu. Mengolah sagu bukanlah pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus, mereka bekerja mengolah sagu hampir setiap saat. Hasil dari olahan tersebut akan mereka jual.

Pekerjaan yang pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengatur jalan untuk memudahkan kerja menggolek batang sagu. Jalan-jalan dibuat seadanya dengan lebar kurang dari 1,5 meter. Kemudian, pekerjaan selanjutnya ialah menebang merie atau batang sagu. Batang sagu yang telah ditebang dipotong-potong dengan panjang kurang lebih satu meter.

Batang sagu yang telah dipotong tersebut digolek satu persatu dengan sebuah alat pendorong yang disebut rel sampai di sebuah tebing sungai. Rel dibuat dari dua batang kayu dengan ukuran panjang lebih kurang dua meter dan besarnya kira-kira sebesar lengan

Goreng-goreng yang telah terkumpul di tebing sungai selanjutnya diceburkan satu persatu hingga berbentuk sebuah rakit. Untuk memudahkan pekerjaan, goreng yang berbentuk rakit tersebut baru akan dibawa ke tempat pengolahan apabila air sedang padang atau sebaliknya.

Sesampainya di tempat pengolahan kulit goreng tersebut dilepaskan satu persatu dengan sebuah parang besar yang disebut “parang goreng”. Selanjutnya, goreng-goreng dibelah-belah dan diparut halus-halus dengan menggunakan sebuah mesin yang disebut mesin parut.

Serampin atau perutan batang sagu, kemudian diirik di atas pareirik. Mengirik sagu ini lazim dikerjakan oleh kaum perempian. Air bekas irikan yang mengandung sari pati tesebut ditampung di sebuah tempat yang disebut ube, sedangkan serampin (ampas sagu) dikumpulkan pada suatu tempat yang dibuat khusus di samping pare irik.

Setelah ube penuh dengan sagu, sagu tersebut harus dipindahkan ke dalam karung goni. Pekerjaan seperti ini disebut dengan istilah mengangket sagu yang maksudnya mengeringkan air yang banyak terkandung dalam sagu tersebut. Sagu yang telah diangket ini masih banyak mengandung serampin. Dia harus dicuci lagi dalam sebuah tong.

Setelah diaduk pekat-pekat, sagu tersebut disalurkan ke dalam sebuah tempat yang disebut salo. Panjang salo lebih kurang 5 meter, lebar 40 cm dan tingginya kurang 40 cm pula. Saripati sagu yang telah benar-benar bersing dari serampih mengendap di salo.

Sementara sagu-sagu yang masi mengandung sempain diendapkan pada salo kedua. Ampas sagu yang halus ini disebut dengan istilah bidad. Dia masih mungkin dicuci lagi untuk kemudian langsung dibawa ke tempat penjemuran yang disebut dengan pangga.

Sagu hasil jemuran dimasukkan ke dalam goni dan apabila telah cukup jumlahnya langsung dapat dijual kepada penampungnya (biasanya tauke cina).

Pengolahan sagu ini tidaklah menjanjikan sebagai mata pencarian suku Laut, oleh sebab itu, umunya mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya atau sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Misalnya membuat atap dan menjemur serampin selain juga mencari ikan di laut tentunya.

Mangale Buaya: Berburu Buaya Ala Suku Laut

Sesuai dengan namanya, suku Laut senantiasa mencari penghidupan dari air, baik lautan, maupun sungai. Oleh sebab itu, apabila berbicara mengenai Suku Laut, selalu berkaitan dengan air. Salah satunya upacara megale.

Mangale (atau mengale ) adalah salah satu istilah yang digunakan untuk memancing. Baik itu memancing ikan maupun memancing binatang-binatang lainnya. Ada lagi bermacam-macam istilah memancing ikan yang dipakai di daerah ini, antara lain: mengail, mengedik, menganggang, dan mewarnai.

Istilah-istilah tersebut dipakai untuk memancing ikan yang beratnya kurang dari 20 kg. Sedangkan mengale adalah istilah yang dipakai untuk memancing ikan dan binatang lain yang beratnya lebih dari 20 kg. Oleh karena itu, menangkap buaya dengan cara memancing sering disebut dengan istilah ‘mengale buaya’.

Orang-orang akan bersepakat menangkap buaya, apabila buaya mengganggu ketentraman kampung. Misalnya menangkap ternak dan menakut-nakuti orang kampung dengan sering menampakan diri di hadapan banyak orang. Buaya yang telah banyak melakukan kesalahan, akan dianggap menyerahkan diri untuk segara ditangkap.

Sebagai tanda sang buaya akan menyerahkan diri, seringkali mengebur-ngeburkan air sungai dengan ekornya di sekitar tenoat kediaman seorang pawang.

Apabila buaya telah memberikan tanda-tanda seperti itu, pawang akan segera bertindak. Sang pawang akan bermusyawah dengan beberapa orang pemuka masyarakat di daerah itu untuk segera melaksanakan upacara mangale buaya.

Selain untuk menjaga ketentraman orang-orang kampung, upacara ini juga dilaksanakan dengan maksud untuk mengambil kulitnya. Kulit buaya sangat baik untuk bahan dasar pembuatan tas, tali pinggang dan sebagainya. Oleh karena itu harganya sangat mahal

Adapun maksud penyelenggaraan masing-masing tahap upacara tersebut sebagai berikut:

Upacara melabuh ale boleh dilaksanakan pada setiap saat. Meski demikian upacara ini lazim dilaksanakan menjelang waktu magrib (kira-kira pukul 05.30 s.d. 06.00).

Saat-saat seperti ini dipilih dengan harapan agar ale tersebut dapat dimakan oleh sang buaya pada malam harinya. Sebab buaya lebih senang ke luar mencari mangsanya pada malam hari

Apabila terdengar berita bahwa ale telah dimakan oleh buaya, maka pawang harus memperhitungkan saat yang tepat untuk menjemput sang buaya yang terkena ale tersebut. Biasanya sang pawang mengetahui saat-saat yang baik untuk berangkat dan saat-saat yang dapat mendatangkan bahaya.

Waktu pelaksanaan upacara membunuh buaya tidaklah bisa dipastikan dengan mudah. Bergantung pada waktu penjemputan buaya oleh pawang beserta pembantu-pembantunya, hingga sampai di tempat pembunuhan.

Oleh karena itu, seandainya buaya yang dijemput sampai ke kampung pada malam hari, pembunuhan sang buaya tetap ditangguhkan pada keesokan harinya.

Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan yang seluas-luanya kepada orang kampung untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Serta mengindari dari sesuatu yang bisa melukai atau kecerobohan lainnya yang mungkin timbul akibat terbatasnya cahaya pada malam hari.

Upacara membaca doa selamat, lazim dilaksanakan pada malam jumat selepas sholat magrib. Menurut kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun, upacara ini dilaksanakan sekurang-kurangnya tiap tiga malam jumat secara berturut-turut.

Upacara melabuh ale dilaksanakan di daerah ale dilabuhkan. Rakit biasanya dilabuhkan di kuala suka (anak sungai atau di tepi sungai yang agak jauh dari tempat Pemukiman warga.

Sedangkan tempat pelaksanaan upacara mengambil buaya tergantung di daerah atau tempat ale dibawa lari oleh sang buaya. Mungkin saja upacara tersebut terpaksa dilaksanakan di laut, kalau kebetulan ale dibawa lari oleh sang buaya ke laut.

Upacara membunuh buaya biasanya dilakukan di lapangan terbuka. Maksudnya supaya seluruh masyarakat kampung dapat menyaksikan peristiwa yang cuku mengesankan bagi orang kampung itu. Upacara membaca doa selamat dilaksanakan di rumah pawang atau pun di suarau-surau

Adapun mantera yang dibacakan pada upacara melabuh ale ialah sebagai berikut:

Assalamualaikum kutahu asalmu mule menjadi rotan sage. Ramput putih dayang musinah, jatuh ke laut berjurai-jurai. Sudah diizinkan Nabi Nuh, hendak bertemu dengan janjian. Bujang singong, bujang singyang putih dade hitam belakang. Kias di gunung batang, kias di gunung batu, rambut putih pancung muari turun mandi.

Sambut senandung tuan puteri seberang laut. Kala engkau tidak menyambut, ke hulu kau tak makan, ke hilir kau tak dapat minum. Tunduk ke bawah engkau muntahkan nanah. Kalau engkau tidak menyambut engkau disumpah tuan putri malin kohar.

Neng zab raden kerinci, raden amali. Hulubalang sri rantam. Kumpullah engkau di sini, aku nak bekerja ramai. Jika engkau tidak berkumpul di sini engkau disumpah putri malin kohar.

Mantera-mantera tersebut dimaksudkan agar umpan tersebut disambut buaya. Dipercaya bahwa setiap mantera yang diucap dalam upacara ini mengandung unsur magis yang dapat mendorong buaya untuk memakan umpan dalam rakit atau ale.