etnografi

Suku Muyu, Manusia Sesungguhnya

Suku Muyu adalah suku asli Papua yang tinggal dan menetap di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Nenek moyang suku Muyu Zaman dulu, tinggal di daerah sekitar sungai Muyu yang terletak di sebelah Timur laut Merauke. Orang Muyu juga menyebut dirinya sendiri dengan istilah Kati yang artinya “manusia yang sesungguhnya”.

PublishedApril 15, 2013

byDgraft Outline

Daerah Suku Muyu merupakan wilayah perbukitan dengan banyak batuan kerikil. Kampung Ikcan di bagian utara dan Kampung Sesnuk pada bagian selatan telah membatasi wilayah ini. Di bagian timur ada wilayah Papua New Gini dan kampung Kunggembit. Di barat dibatasi oleh Sungai Kao.

Sungai Kao adalah wilayah Suku Mandobo. Secara kepemilikan, sebagian besar tanah di Wilayah Muyu adalah milik Mandobo, misalnya di Distrik Mindiptanah. Jumlah penduduknya menurut data Distrik Mindiptanah dan Waropko, kurang lebih 10.000 jiwa

Bagi orang Muyu, keluarga merupakan unit sosial dan ekonomi yang paling penting. Dengan sistem kekerabatan berupa keluarga inti yang terdiri dari seorang laki-laki dengan satu atau beberapa istri beserta anak. Orang Muyu menunjukkan peran penting keluarga inti dari berbagai bentuk kehidupan, terutama persoalan rumah dan penguasaan tanah juga harta.

Mereka tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu dan daun nibung. Orang Muyu hidup dengan berburu, memelihara babi dan berkebun. Suku Muyu percaya adanya kekuatan mistis paling tinggi yang menciptakan hewan, tanaman, dan sungai-sungai. Mereka juga percaya bahwa arwah orang mati masih mengadakan kontak dengan orang yang masih hidup .

Suku Muyu memiliki ilmu pengetahuan tentang bilangan dengan bentuk alat bayar yang namanya Ot. biasanya digunakan sebagai mas kawin dan barang tukar dalam upacara pesta babi. Pesta babi digelar untuk mencari Ot sebagai hadiah imbalan dari tamu-tamu yang datang. Barang-barang hasil bumi maupun kapak dan panah diperjualbelikan dengan Ot. Sistem ekonomi ini cukup maju yang akhirnya memotivasi tindakan mereka.

Dalam berdagang sistem barter dalam suku Muyu adalah hal yang unik dan efektif hingga kekinian. Dengan bertukar barang, dua orang individu bertukar rasa percaya, dan menjalin relasi yang lebih dari sekedar “penjual-pembeli”. Relasi sebagai teman inilah yang sering menjadikan mereka begitu erat satu sama lain.

Mereka pun telah memiliki sistem kebahasaan yang disebut bahasa Muyu. Dalam suku bangsa Muyu atau Kati terdapat sejumlah sub suku dengan wilayahnya masing-masing. Jumlahnya ada delapan, antara lain: Sub suku Kamindip, Sub suku Okpari, Sub suku Kakaib, Sub suku Are, Sub suku Kasaut, Sub suku Jonggom, Sub suku Ninggrum, Sub suku Kawibtet, Sub Suku Kawiptet. Orang Muyu sangatlah sedikit. Saat ini suku Muyu telah berkembang dengan pesat. Jumlah penduduknya ribuan orang.

Table of contents

Open Table of contents

I. Alam dan Lingkungan Suku Muyu, Papua

aerah Suku Muyu secara demografis terletak di dalam zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil, meliputi daerah Sentani, Nimboran, dan Ayamaru. Onderafdeling Muyu itu adalah sebidang tanah sempit, hampir bujur sangkar, di sepanjang batas Papua Nugini.

Onderafdeling Muyu adalah daerah peralihan antara tanah datar di pantai dan daerah pengunungan tengah. Di selatan tanahnya datar, dan di dekat Sungai Fly ada rawa-rawa luas.

Di antara pertemuan Sungai Muyu dan Kao dan garis lintang Mindiptana, tanah yang landai menjadi berbukit-bukit dan terjal. Sedikit demi sedikit tanahnya bertambah tinggi dari sekitar 100 m sampai kira-kira 700 m di atas permukaan laut.

Ciri iklimnya ialah curah hujan yang tinggi. Angka tertinggi di Irian Barat tercatat di Ninati. Bukit barisan tengah mempunyai pengaruh yang dominan atas curah hujan.

Di satu pihak, dari arah datangnya angin, pegunungan itu mempunyai dampak menghalau yang memaksa angin naik dan uapnya berkondensasi menjadi hujan. Di lain pihak, di bawah angin, badai guntur yang disebabkan oleh naiknya angin secara lokal di pegunungan, terbawa oleh angin ke dataran rendah, yang menyebabkan turunnya hujan di petang hari

Angin yang dipaksa naik menimbulkan musim kemarau, yang di Merauke masih sangat kering, tetapi berubah sifatnya sewaktu mendekati pegunungan, dan selepas daerah peralihan Digul, menjadi pembawa hujan yang terpenting

Aliran daerah dataran rendah Sungai Iwur, Membuat daerah Suku Muyu menjadi berbukit-bukit, dan banyak tempat sukar dilalui. Untuk daerah antara Mindiptana dan Sungai Iwur aliran sungai-sungai besar merupakan sarana perhubungan yang penting, menjadi “sarana transportasi” alam di daerah yang terbelah-belah oleh sungai itu.

Di antara orang Muyu, setiap sungai agak penting mempunyai namanya sendiri. Karena penduduk selalu menggunakan aliran-aliran sungai besar. Seperti halnya penandaan nama jalan di suatu daerah sebagai alamat.

Khususnya yang penting dalam hal ini ialah aliran-aliran sungai besar antara Sungai Digul dan Kao, antara Sungai Kao dan Oga, antara Sungai Kao dan Muyu, dan akhirnya antara Sungai Digul dan Fly. Sungai-sungai itu praktis mengalir dari utara ke selatan.

Sungai Digul Timur mengalir melalui bagian barat laut dari onderafdeling itu dan Sungai Fly melalui bagian tenggaranya. Anak Sungai Digul Timur terpenting yang mengalir di onderafdeling ini ialah Sungai Iwur. Sungai Birim, anak sungai dari Sungai Terry (Tedi) atau Sungai Alice mengalir melalui bagian timur laut dari bekas onderafdeling itu. Dan Sungai Terry bermuara di Sungai Fly.

Untuk orang Muyu hanya sungai-sungai Kao, Muyu, dan Fly yang penting untuk lalu lintas air. Sampai Mindiptana, Sungai Kao dapat ditempuh dengan perahu motor. Karena arusnya yang kuat dan banyaknya jeram, sesudah Woropko dan Ninati, dari tempat itu Sungai Kao dan Muyu tidak dapat dilalui lagi. Di daerah itu penduduk menggunakan jembatan gantung dari rotan

Berbeda dengan daerah rawa-rawa di bagian selatan, seluruh daerah itu tertutup oleh hutan. Batang-batang pohonnya relatif ramping, akar-akarnya biasanya tidak tertanam lebih dalam dari 30—50 cm. Pohon-pohon besar tidak tahan terhadap angin besar. Semak-semak di bawah pohon di hutan kurus-kurus dan jarang sehingga relatif mudah diatasi.

Di daerah antara Sungai Kao dan Muyu, di sebelah selatan dari garis Woropko-Komera, tidak terdapat banyak garam penyubur tanaman pada tanah liat kuning dan cokelat kekuning-kuningan yang terdapat di hampir seluruh daerah itu. Begitu juga pada lumpur tanah liat yang berwarna seperti berangan ( chestnut ) di sepanjang Sungai Kao antara Mindiptana dan Amburan.

Keadaan tanah yang seperti itu mengasumsikan bahwa satu-satunya bagian dari daerah itu yang cocok untuk pertanian ialah tanah berpasir di bantaran-bantaran di sepanjang Sungai Kao dan Muyu. Namun bantaran-bantaran itu setiap tahun selama beberapa bulan selalu tergenang air

Akibat dari curah hujan yang tinggi: garam-garam penyubur hanyut dari tanah; jika di daerah yang bergunung-gunung itu hujan memperbesar kemungkinan erosi. Ringkas kata, daerah Muyu tidak banyak memberi harapan untuk mengadakan pertanian di daerah yang luas

Beberapa faktor di atas menyebabkan terjadinya orientasi nilai budaya masyarakat Suku Muyu sebagai bentuk penyesuaian terhadap tekanan-tekanan ekologis seperti keadaan iklim, musim, kesuburan tanah, persediaan sumber-sumber daya, dan sumber-sumber pendukung seperti air dan lain-lain.

Ayomru, Rumah Pohon ala Suku Muyu

Dalam budaya Muyu, setiap keluarga inti boleh-boleh saja tinggal di rumahnya sendiri. Namun, biasanya beberapa keluarga inti menempati sebuah rumah tinggal bersama. Tinggal bersama di sebuah rumah seperti itu bukanlah sebuah keharusan, kecuali barangkali untuk alasan keamanan— untuk memperbesar kekuatan menghadapi musuh. Meskipun sebenarnya memperbesar kekuatan itu juga dapat dilakukan dengan membangun beberapa rumah saling berdekatan.

Kehidupan orang Muyu tercermin dari tipe-tipe rumah yang mereka bangun. Mereka tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu dan daun-daun nibung. Rumah pohon ini biasa disebut Ayomru. Rumah-rumah itu dibangun setinggi 3—10 meter di atas tanah, dan seluas 4 hingga 8 meter persegi.

Rumah-rumah itu dibangun di atas satu atau lebih tonggak pohon yang dipotong dan biasanya ditopang oleh tiang-tiang. Dindingnya dibuat dari dua lapis papan kayu.

Rumahnya dibagi menjadi beberapa ruangan. Satu sebagai ruang bersama untuk para laki-laki. Dan satu atau lebih sebagai ruang bersama untuk para wanita. Biasanya setiap wanita dewasa memiliki ruang sendiri. Hal ini sesuai dengan aturan bahwa kalau ada lebih dari satu istri — ini bukan hal yang aneh mengingat diakuinya poligami dalam budaya Muyu — maka akan ditempatkan dalam kamar tersendiri.

Begitu pun kalau beberapa keluarga inti tinggal bersama dalam satu rumah. Atau kalau ada janda dan saudara gadis dari kepala keluarga. Juga kalau ada ibu yang sudah berumur yang menumpang, maka setiap wanita dewasa ditempatkan di kamar tersendiri. Kamar-kamar untuk wanita itu biasanya ditempatkan di sepanjang sisi rumah. Sedangkan ruang bersama untuk pria di tengah.

Kamar-kamar kaum wanita dipisahkan dengan baik dari bagian kaum pria karena adanya sekat yang dibuat dari daun nibung (Palma Nibung, istilah ilmiahnya ialah Oncosperma filamentosumò ).

Pintu keluar kamar wanita biasanya dibuat hingga mencapai ruang bersama pria. Atau sampai di dekat pintu tangga di lantai rumah, atau di sebuah “bilik” tempat pintu ke tangga. Kamar-kamar wanita itu mungkin kecil sekali ukurannya. Sedangkan ruang bersama kaum pria biasanya sangat luas. Ruang bersama kaum pria biasanya juga berfungsi sebagai ruang tamu dan tempat untuk menari.

Pemisahan kamar yang tegas antara bagian kaum pria dan bagian kaum wanita dikarenakan adanya keyakinan supernatural. Bahwa seorang wanita — khususnya selama menstruasi — akan memancarkan “supernatural” berbahaya. Suatu hal yang dapat membuat laki-laki menjadi sakit, dan dapat merusak pengaruh supernatural yang baik untuk perdagangan dan perburuan.

Wanita tidak diperbolehkan memasuki bagian kaum pria, dan hanya suaminya yang boleh memasuki ruang wanita. Anak-anak kecil dapat berkeliaran di mana-mana, tetapi biasanya terdapat di bagian kaum wanita. Pemisahan antara anak laki-laki dan anak perempuan dimulai sekitar umur enam atau tujuh tahun.

Setiap pria dan wanita memiliki tempat apinya sendiri untuk pemanasan, memasak makanan, atau untuk menyalakan pipa dan rokok. Antara bagian wanita dan bagian pria, ada sebuah lubang di dinding — biasanya tingginya sesuai dengan tempat api kaum pria — yang digunakan kaum wanita untuk menyodorkan makanan untuk si pria atau untuk tamunya.

Lubang ini— dan lubang-lubang lain pada dinding penyekat — memberi kesempatan bagi kaum wanita untuk melihat apa yang terjadi di bagian kaum pria. Penyekat itu tidak menghalang-halangi adanya percakapan umum, karena kaum wanita dapat ambil bagian.

Mereka pun ikut serta dalam kegembiraan yang terdapat di dalam rumah. Apabila pada malam hari api telah dinyalakan, bahan pangan yang dikumpulkan pada siang hari telah dibakar, percakapan kegembiraan pun tercipta sambil menyantap makanan.

II. KEHIDUPAN SOSIAL

A. Trah; Cara Suku Muyu Berasosiasi

Kepala keluarga inti termasuk dalam unit sosial dan teritorial yang lebih besar, yaitu trah. Dalam hal ini trah itu ialah kelompok kekerabatan yang patrilineal, yang kekerabatannya dapat dilacak (Van Wouden, 1935).

Prinsip-prinsip yang mempengaruhi masyarakat Muyu dalam membentuk dan mempertahankan trah ialah keturunan patrilineal digabung dengan perkawinan patrilokal. Di desa Kawangtet dan Yibi trah itu eksogam.

Trah Kawangtet-Okkibitan mempunyai struktur seperti berikut, meliputi 40 orang anggota: Lambang berarti pria yang sudah meninggal, berarti pria yang masih hidup. Diagram ini dapat menjadi contoh komposisi trah.

Trah itu tidak mempunyai pemimpin tradisional atau orang yang berkuasa. Lembaga seperti kepala trah tidak dikenal meskipun trah memang memiliki kelompok orang-orang yang berpengaruh, yaitu káyepàk (Yibi), àm (Kawangtet), káwàp (Yiptem), kàmburuwip (Jomkondo). Kayepak dan am adalah kata dengan arti ganda. Pertama, yaitu orang yang termasuk golongan umur tertentu.

Kebudayaan Muyu membedakan empat golongan semacam itu, yaitu; Táná, atau anak-anak di bawah umur 14—16. Kàkewèt (anak laki-laki/pria) dan kòyu (gadis/wanita), umur 16—35. Káyepàk, golongan umur berikutnya. Dan Yòm, orang yang tua sekali, yang sedikit banyak dibebaskan dari pekerjaan. Kata ini sering digunakan di depan nama seseorang.

Yang kedua, istilah kayepak juga menunjuk orang kaya, orang yang memiliki banyak barang berharga, mempunyai beberapa istri dan banyak anak, dapat sering menyajikan babi, mampu melunasi utang tanpa mundur, dapat membantu orang lain yang karena suatu hal mengalami krisis keuangan—misalnya dalam hubungan dengan tukon atau pembayaran utang— dan kalau perlu dapat menyewa orang lain untuk melakukan balas dendam baginya.

Sebagai golongan umur, kayepak juga mempunyai kesempatan untuk mengumpulkan barang-barang berharga, dengan cara memelihara babi, membuat busur dan anak panah, dan berdagang.

Kedua tokoh berpengaruh itu berkuasa dalam sebuah keluarga inti atau trah (kelompok kekerabatan yang patrilineal). Jadi, yang berperan penting dalam kepercayaan masyarakat Muyu adalah keluarga inti, yaitu seorang pria dengan beberapa isteri dan anak-anaknya. Keluarga inti itu bisa tinggal dalam satu rumah atau membangun rumah berdekatan. Hal itu terutama untuk alasan keamanan dan melawan serangan musuh.

Peran keluarga inti adalah penataan pola Pemukiman, cara-cara mencari pangan, cara-cara penguasaan harta dan tanah, memiliki kuasa atas unit teritorial yang lebih besar dari trah(lineage), dan cara-cara meneruskan pengetahuan supernatural.

Jadi, keluarga inti itu membentuk kelompok kekerabatan yang patrilineal (trah), selanjutnya bisa membangun kekerabatan yang lebih luas. Setiap anggota suatu trah membangun rumah di daerahnya sendiri (tanah milik trahnya). Hal itu membentuk pemukiman yang jaraknya berjauh-jauhan, bahkan mencapai ratusan meter.

Setiap trah memiliki kekhasannya sendiri, khususnya berkaitan dengan kekuatan-kekutan gaib (supernatural), tempat-tempat kramat, dan mitos.

B. Terminologi Antar-wanita Dalam Kekerabatan Suku Muyu

Seperti dalam kebanyakan masyarakat tradisional, cara menghitung hubungan kekerabatan merupakan salah satu faktor pemersatu yang terpenting. Di dalam, atau lebih tepat melalui hubungan kekerabatan itulah hampir semua kegiatan sosial dan ekonomi dilaksanakan.

Secara umum sistem kekerabatan suku Muyu bersifat patrilireal. Sehingga di sini ego adalah laki-laki, tetapi pada umumnya terminologi yang dibicarakan di atas juga berlaku kalau ego adalah wanita — kecuali dalam situasi perkawinan poligini telah diperhitungkan dalam terminologi. Hal ini sebagian telah disebut dalam terminologi yang telah dibicarakan, meskipun tidak terkait dengan hubungan kekerabatan antar-wanita.

Pertama-tama, istri kedua dari suami: ego memanggilnya áyenggó, kata yang sama yang digunakan untuk JaSaSu. Jadi, itulah kata yang digunakan oleh ego untuk menyebut wanita yang telah kawin dari generasinya dalam trah suaminya. Menarik bahwa ego memanggil JaRa SiPa sebagai ayenggo. Sebenarnya itu adalah tempat ego sendiri. Ayenggo juga dapat diterjemahkan sebagai kawan (wanita).

Di lain pihak, SiSu disebut kindik, sebuah kata yang searti dengan monggop. Menurut sistemnya, SiSu memang identik dengan RiSiPa. Kindik juga digunakan untuk SiSuSi dan SiSuSi-Pa, yang semuanya adalah wanita yang tidak kawin ke dalam trah, di mana ego termasuk karena perkawinan.

Untuk menguraikan terminologi sebagai suatu sistem, titik tolak di atas adalah hubungan kekerabatan antar trah. Perkawinan RiSaMa itu tidak, atau tidak lagi djalankan secara konsisten, bahkan juga tidak di Kawangtet, dan karena sifat trah, itu juga tidak mungkin. Dengan demikian, tidak ada hubungan perkawinan yang pasti di antara trah.

Ini juga berarti bahwa dalam kenyataannya hubungan-hubungan itu tidak terjadi antar-genealogi, tetapi antar-keluarga inti. Setiap keluarga inti mempunyai hubungan-hubungannya sendiri dengan keluarga inti dalam trah lain. Ini tidak berarti bahwa anggota-angota sesuatu trah, bahkan yang termasuk keluarga inti yang berbeda, tidak menganggap hubungan-hubungan kekerabatan antara mereka itu sebagai hubungan mereka sendiri.

Karena luasnya cara menghitung hubungan kekerabatan, sering dua orang dapat berhubungan menurut beberapa cara sedemikian rupa sehingga mereka dapat menggunakan kata yang mana saja di antara beberapa kata untuk saling menyapa.

SaMa (mom) ego kawin dengan RiSiPa (monggop). Ego menyebut putri mereka enang ( RiSaMa ). Pilihan di antara terminologi yang dipilih itu agak semau-maunya, kecuali bahwa hubungan yang terdekat adalah yang terpenting.

Namun, tidak ada sistem tertentu. Dua contoh: Sa(m) (taman) ego menurut klasifikasi kawin dengan RiSaMa ego (enang), tetapi ego tidak menyebutnya tom; Sa(m) (taman) ego kawin dengan RiSiPa ego. Sesudah itu ego menyebutnya ate

Bagi orang Muyu, keluarga merupakan unit sosial dan ekonomi yang paling penting. Dengan sistem kekerabatan berupa keluarga inti yang terdiri dari seorang laki-laki dengan satu atau beberapa istri beserta anak, karena membolehkan poligami.

Dengan terminologi antar-wanita ini, mereka mengatur dan meminimalkan perselisihan antar istri ketika di poligami. Karena orang Muyu lebih mengedepankan peran penting keluarga inti dari berbagai bentuk kehidupan, terutama persoalan rumah dan penguasaan tanah juga harta.

C. Kayepak; Tipe Kepemimpinan Ideal Suku Muyu

Para antropologi memiliki konsep pria berwibawa atau big man untuk menamakan para pemimpin politik tradisional di daerah-daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia. Sebenarnya konsep ini berasal dari terjemahan bebas terhadap istilah-istilah lokal yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menamakan orang-orang penting di kalangannya sendiri.

Selama abad ke-19 dan sampai pertengahan abad ke-20, para peneliti di daerah kepulauan Melanesia selalu menggunakan konsep chief yang kita kenal sebagai penghulu atau kepala suku, untuk menamakan para pemimpin masyarakat yang mereka deskripsikan.

Konsep chief itu kemudian tidak digunakan lagi oleh karena makna yang terkandung di dalam konsep tersebut tidak lagi tercermin dalam sistem kepemimpinan suku masyarakat di Melanesia. Dan dalam artikel ini kita bahas tentang big man.

Ciri utama dari sisitem big man atau pria berwibawa ini ialah kedudukan pemimpin diperoleh melalui pencapaian. Sumber kekuasaan dari tipe politik ini terletak pada kemampuan individual yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk nyata seperti keberhasilan mengalokasi dan mendistribusikan kekayaan, kepandaian berdiplomasi dan berpidato, keberanian memimpin perang, memiliki fisik tubuh yang berukuran besar dan tegap dibandingkan dengan anggota-anggota lain di dalam masyarakatnya, dan memiliki sifat murah hati.

Ciri kedua dari sistem politik ini adalah pelaksanaan kekuasaan di jalankan oleh hanya satu orang saja, yaitu pemimpin tunggal, autonomous. Contoh masyarakat pendukung ini adalah orang Dani, orang Asmat, orang Me, orang Meybrat dan orang Muyu.

Pada masyarakat Suku Muyu, kita akan mendapati penamaan kayepak yang merujuk pada big man (Kepemimpinan Ideal Suku Muyu) seperti pembahasan di atas.

Istilah Kayepak juga menunjuk orang kaya, orang yang memiliki banyak barang berharga, mempunyai beberapa istri dan banyak anak, dapat sering menyajikan babi, mampu melunasi utang tanpa mundur, dapat membantu orang yang karena suatu hal mengalami krisis keuangan misalnya dalam hubungan dengan tukon atau pembayaran utang dan kalau perlu dapat menyewa orang lain untuk melakukan balas dendam baginya.

Kayepak juga berarti orang yang telah menjalani inisiasi (ujian) penuh dalam kehidupannya. Ia mengetahui tata cara rahasia babi keramat; ia mengetahui segala sesuatu tentang peraturan-peraturan tabu; ia tahu bagaimana memanfaatkan kekuatan supernatural dalam berburu dan menangkap ikan, dalam bercocok tanam, dalam mengumpulkan uang kulit kerang. Dengan satu kata, ia adalah pakar utama tentang kekuatan supernatural, aspek religius dari kebudayaan.

Kayepak jika dilihat dari sifatnya adalah orang yang mempunyai kepandaian mengatur atau mengurus orang banyak dalam berbagai masalah terutama orang sederhana yang mengalami kesusahan, wataknya sejak kecil dibentuk sedemikian rupa, suka memaafkan, suka memberi kelebihan barangnya kepada orang lain yang tidak punya, dan tahu semua aturan adat.

Kriteria paling sederhana untuk bisa menemukan seseorang yang memiliki syarat menjadi kayepak bisa dilihat dari kesuksesan seseorang tuan rumah dalam menggelar Pesta Babi. Serta dari tingkat intensitas orang tersebut untuk menjadi tuan rumah dari pesta paling khas yang dimilki masyarakat Suku Maya.

Karena dalam upacara Pesta Babi terdapat tiga fungsi penting yang akan mendorong seseorang untuk menjadi kayepak.

Pertama, pesta babi adalah arena persaingan untuk menunjukkan kehebatan seseorang.

Kedua, merupakan tempat menjalin bermacam-macam hubungan sosial (kerabat, dan pertemanan), serta transaksi perdagangan.

Ketiga, pesta babi berfungsi sebagai upacara pemakaman kedua dan oleh karena itu merupakan media untuk melakukan hubungan baik dengan dunia roh nenek moyang.

Mengingat berbagai fungsi penting dari pesta babi, menyebabkan individu-individu yang berambisi untuk menjadi pemimpin harus membuktikan kemampuan kepemimpinannya melalui penyelenggaraan pesta babi dalam kebudayaan Suku Muyu.

Suku Muyu menduduki mayoritas posisi penting dalam struktur birokrasi Boven Digoel. Dari lebih kurang 1.800 pegawai negeri sipil, sekitar 45 persen-nya dari Suku Muyu. Beberapa menjadi bupati. Mereka hemat, bekerja lebih keras dibandingkan suku lain dan sangat menghargai pendidikan.

D. Upacara Kematian Suku Muyu dan Sikap Terhadap Orang Mati

Segera sesudah seorang suku Muyu meninggal, kerabat dekatnya diberi tahu meskipun bila mereka tinggal di pemukiman lain. Mereka itu mungkin orang tua atau saudara laki-laki istri, atau (Ra)SaMa, (Ra)SiPa, dan juga kerabat jauh, atau siapa pun yang mempunyai hubungan baik.

Kalau mereka tidak tinggal terlalu jauh, mereka akan datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada almarhum, dan wanita-wanita di antara mereka akan ikut dalam ratapan.

Ratapan dilakukan dengan cara meneriakkan panggilan-panggilannya. Dengan demikian dalam teriakan wanita-wanita itu terdengar segala macam istilah kekerabatan nímonopé, nimonopo; atau nambangé, nambangó; atau nambé, nambó. Setiap wanita menggunakan panggilannya sendiri, diikuti seruan seperti e! dan a!

Dengan cara begitu banyak kerabat dekat, khususnya orang tua atau anak-anak menyatakan sungguh-sungguh rasa duka mereka. Bahkan berbulan-bulan sesudah penguburan. Jika sekonyong-konyong diingatkan kepada almarhum, entah kapan, pada waktu siang atau malam hari, mereka akan menangis keras-keras.

Untuk kerabat yang lebih jauh, itu semua kadang-kadang tidak lebih dari sekadar suatu formalitas. Atau suatu pernyataan ikut berduka cita untuk menghindari tuduhan telah menyebabkan kematiannya.

Sebagai pernyataan duka cita mereka, kerabat dekat juga dapat memberikan kepada almarhum beberapa ot atau barang berharga lain untuk dibawa. Juga dapat dilihat adanya alat-alat di atas kuburannya, seperti genderang yang sengaja dirusak.

Kebun atau beberapa pohon sagu yang menjadi milik almarhum kadang-kadang dibiarkan tidak terurus, untuk menunjukkan bahwa almarhum selalu diingat. Sebagai tanda duka atas kematian suami, saudara laki-laki atau perempuan, anak, ayah atau ibu, — wanita memakai rok jerami panjang.

Untuk memperingati almarhum, orang mungkin memakai bagian tertentu dari alat-alat yang menjadi milik almarhum, seperti kotekanya, atau sepotong kecil dari rok jerami almarhumah

Ada bermacam-macam cara untuk mengurus orang mati. Tubuhnya dapat dikubur, dikeringkan di atas api, atau dibungkus dan dibiarkan kering dengan sendirinya. Dalam cara yang terakhir ini jenazah biasanya diletakkan di atas rak di dekat rumah.

Cara pengeringan itu digunakan kalau almarhum sangat dicintai, atau kerabat dekatnya tidak sampai hati untuk berpisah dengannya. Mereka bahkan mungkin membawa tubuh kering itu kalau mereka pindah, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali.

Kedua cara itu juga ada hubungannya dengan kemungkinan untuk akhirnya mengubur tubuh itu di dalam awonbon, atatbon, atau yawatbon — meskipun dapat memakan waktu bertahuntahun sebelum ada kesempatan semacam itu

Ada kalanya, sebelum ia meninggal, almarhum mewasiatkan kepada anak laki-lakinya untuk menguburnya dengan salah satu dari cara-cara itu. Namun, kerabat dekatnya juga dapat mengambil inisiatif.

Tulang belulangnya digosok dengan lemak babi, dan digelar tarian ketmon di tempat tulang belulang itu dikubur — dalam atatbon tempat itu akan tepat di depan rumah upacara (Den Haan 1955:181—182).

Motivasi dari perlakuan ini tidak sekadar kecintaan mereka kepada almarhum, tetapi juga ketakutan kepada tawat -nya (arwahnya). Kalau arwah itu tidak puas, ini akan ada akibat-akibat buruk dalam usaha pemeliharaan babi dan perkebunan: babi akan tetap agak kecil atau lari menghilang. Sedangkan kebun tidak akan menghasilkan panen terlalu banyak. Bahkan anak-anak tidak akan bertambah besar, dan kemudian meninggal.

Oleh karena itu, sebelum almarhum akhirnya dikubur, kepadanya disampaikan kalimat berikut: “Kamu tidak boleh mengganggu atau menakut-nakuti kita, jangan mengganggu saya dalam memelihara anak-anak dan babi, dan dalam memelihara kebun saya”.

Dan mungkin ada yang menambahkan: “Kalau ada musuh, jangan lupa langsung memberitahukannya kepada kita”. Ini mengandung gagasan bahwa dalam kebudayaan Suku Muyu, “arwah” masih bisa berhubungan dengan mereka yang masih hidup.

E. Pesta Babi Ala Suku Muyu; áwònbòn dan atatbon

Masyarakat Suku Muyu, Kab. Boven Digoel, Papua memiliki dua jenis pesta babi, áwònbòn sederhana dan átàtbòn yang lebih mewah. Perbedaan-perbedaan khas yang disebut-sebut orang Muyu ialah bahwa pada atatbon digelar tarian ketmon, banyak dikunjungi penonton, dan bahwa pembeli harus membayar tunai.

Namun, tentang penggunaan kekuatan supernatural, katanya tidak berbeda. Awonbon biasanya diorganisir oleh satu keluarga inti saja, dan hanya membutuhkan satu atau dua ekor babi — yang dengan sendirinya membatasi jumlah tamu.

Pada hakikatnya atatbon adalah suatu peristiwa pesta di mana beberapa orang — biasanya dari trah yang sama — bergotong-royong membunuh babi-babi yang mereka pelihara, dan menjual dagingnya untuk ot kepada kerabat yang mereka undang.

Pada gilirannya tamu-tamu itu mengundang kerabat mereka sehingga pesta itu mendapat banyak pengunjung, beberapa di antaranya datang dari jauh

Berikut ini gambaran tentang upacara atatbon ini. Suatu pesta dengan 15 ekor babi menarik 3.000 pengunjung. Babi-babi yang dibunuh untuk satu dan lain pesta jumlahnya bervariasi. Pada tahun 1954 di Kawangtet diselenggarakan empat pesta, masing-masing dengan 3 sampai 10 babi.

Persiapan pestanya memakan banyak tenaga. Untuk menerima para tamu harus dibangun penginapan, sedangkan sagu dan makanan lain harus pula dikumpulkan

Banyak bagian hutan harus dibabat, baik untuk penginapan maupun untuk bangunan upacara — disebut atatbon seperti pestanya sendiri — maupun untuk lapangan pesta. Kadang-kadang persiapan itu dapat memakan waktu bertahun-tahun.

Menurut orang Muyu, motif utama untuk pesta seperti itu ialah pembayaran tunai untuk daging yang dijual, karena tujuan inilah mereka mau bersusah payah. Pendapat yang beredar di Yibi ialah bahwa kepada tuan rumah yang telah berusaha begitu keras adalah sangat wajar ia mendapat pembayaran secara tunai

Akan tetapi, belum ada penjelasan tentang motif para tamu. Hanya kewajiban kepada tuan rumahlah yang menyebabkan mereka menerima undangannya. Meskipun transaksi barter itu sebagian besar bersifat komersial, seperti begitu banyak hubungan orang Muyu lainnya, transaksi itu pun memuat prinsip resiprositas (timbal balik).

Sebab kebanyakan pembeli terbukti sebelumnya sudah menjual sesuatu kepada tuan rumah, yang memberi mereka kewajiban untuk membantunya dengan cara membeli daging yang ia jual.

Pesta babi secara fungsional berada dalam jaringan hubungan tukar-menukar yang ada. Dapat dikatakan bahwa dengan sekali pukul tuan rumah menerima uang untuk tagihan-tagihannya dengan menjual daging babi, dan juga berhasil menerima pembayaran utang-utangnya.

Jadi, dengan mengadakan pesta ini ia mengumpulkan banyak ot, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk ikut lagi dalam pesta babi yang digelar orang lain.

Daftar penjualan daging disusun mendahului pestanya, sebagai ganti kepala babi jantan seharga 5 ot, dua kepala masing-masing seharga 6 ot, dan sebatang kaki seharga 2 ot. Kepala desa itu diharap akan membeli kepala yang berharga 5 ot, dan sebatang kaki, dan memberikannya masing-masing kepada tuan rumah dan kepada kepala desa Kaikibinop.

Sebagai gantinya ia akan menerima sebagai hadiah salah satu dari dua kepala yang berharga 6 ot. Ia diharapkan memberikan kepala itu kepada sesama tamu dari Kawangtet, yang akan membeli kepala babi lainnya yang berharga 6 ot itu, bersama dengan yang diberikan kepadanya.

Tukar-menukar daging babi, dan tukar-menukar serupa dari makanan yang sudah diolah itu setelah kedatangan tamu, tidak lain bertujuan untuk membangun dan memperkuat hubungan.

Tukar-menukar pangan antara para tamu dan tuan rumah pun mempunyai fungsi yang sama. Para tamu memberi ikan asin, daging kuskus yang dikeringkan, dan ular hidup kepada tuan rumah, yang lalu dibalas dengan sagu dan pisang.

Hanya tamu asli — diundang langsung oleh tuan rumah — menjadi pembeli. Mereka ini merupakan minoritas kecil dalam pesta, semua tamu yang lain merekalah yang mengundang. Tamu-tamu asli itu membagi-bagikan secara gratis daging yang mereka beli itu di antara tamu-tamu yang mereka bawa.

Dan apabila salah seorang di antara tamu-tamu itu kelak di sebuah pesta menjadi pembeli, mereka diharapkan dapat memberi hadiah imbalan yang seharga. Dengan demikian, ada tamu-tamu dari banyak Pemukiman.

Sedikit sekali di pesta babi orang datang atas kemauan sendiri, tanpa undangan. Kelompok “terlantar” tidak membeli bahkan juga tidak makan daging. Motif kedatangan mereka ialah berpartisipasi dalam barter besar yang terjadi di pesta itu.

Semua tamu membawa barang-barang untuk diperdagangkan dan berkeliling mencari pembeli dan dagangan yang mereka butuhkan. Dengan demikian, pesta itu menjadi pasar untuk tukar-menukar perhiasan, busur, rok jerami, koteka, anak panah, rajut pengangkut (noken), dan sebagainya, yang bersifat komersial murni

Akan tetapi, karena digelar tari-tarian maka pesta babi itu tetaplah suatu pesta meskipun ada kegiatan-kegiatan ekonomi. Tarian itu dilakukan sejak awal pesta: waktu para tamu memasuki lapangan pesta mereka menarikan ketmon.

Ini suatu tarian dengan banyak variasi yang menggambarkan segala macam kegiatan dan objek, seperti menangkap ikan, sebatang pohon di sungai yang timbul tenggelam di arus sungai; pohon buah-buahan dengan buah yang sedang berjatuhan, perang.

Pada petang hari diadakan segala jenis tarian, di lapangan pesta atau di dalam rumah. dengan tujuan untuk menyenangkan hati para tuan rumah karena mereka telah kerja begitu keras untuk mengadakan pesta.

Tari-tarian itu, perhiasan tubuh, hiruk-pikuk yang luar biasa, bertemu kerabat yang lama tidak jumpa, ini semua menimbulkan suasana pesta di pasar. Banyak orang datang hanya untuk melihat dan menikmati tontonannya saja.

Dengan demikian pesta-pesta tersebut mengumpulkan orang dalam kelompok-kelompok besar untuk beberapa hari, termasuk orang-orang dan kelompok-kelompok yang saling bermusuhan.

Segera setelah hampir semua tamu tiba, diucapkan pidato untuk mereka oleh pemimpin tuan rumah atau oleh salah seorang tamu, yang memperingatkan mereka agar jangan berkelahi karena permusuhan lama, juga tidak untuk menagih utang, atau mengganggu istri orang lain, atau mencuri.

Pendek kata, untuk membantu membuat pesta itu sukses, sambil menangguhkan permusuhan dan penagihan sampai pesta usai, hingga tiba waktu setiap orang kembali ke Pemukimannya yang relatif terpencil.

Dalam waktu singkat banyak terjadi transaksi, peredaran uang makin cepat, suatu peristiwa sosio-ekonomi yang penting telah berlangsung.

Ritual Dalam Upacara Pesta Babi Suku Muyu

Penggunaan kekuatan supernatural oleh masyarakat Suku Muyu, Kab. Boven Digoel, Papua dalam pesta babi sangatlah “efektif”. Penggunaannya mempunyai dua tujuan. Pertama, untuk memperoleh banyak ot karena penjualan daging lancar secara tunai, dan kedua, untuk memperoleh persediaan pangan yang memadai.

Unsur penting dalam rentetan kegiatan itu ialah penyembelihan babi keramat dalam persiapan pesta. Upacara penyembelihan babi dilaksanakan apabila pohon keramat telah ditanam, apabila api telah menyala di dalam rumah upacara ( atatbon ), dan apabila kandang babi telah selesai dibangun.

Sebagai penyelesaian akhir dari rumah upacara, pohon keramat ditanam di tempat yang disediakan untuk keperluan itu, urukbòn, di bagian depan rumah upacara. Pohon ini berdiri di tempat konsentrasi kekuatan-kekuatan supernatural, dan kekuatan yang menarik ot keluar dari situ.

Salah satu cara untuk memperkuat kekuatan supernatural ialah mengadakan upacara yawatbon sebelum menebang pohon yang akan digunakan (pohon tuàk, wèp, atau mòng ). Batangnya ditanam di bagian tengkuk dari tulang punggung babi keramat, dan di bawah pohon waruk ini api yang pertama dinyalakan, dan dengan api ini berturut-turut semua api lainnya dinyalakan.

Segera sesudah cukup pangan terkumpul, kandang-kandang dapat dibangun untuk menyembelih babi di dalamnya. Sebelum memotong kayu yang diperlukan, upacara yawatbon diadakan dengan maksud seperti untuk pohon waruk.

Selama upacara-upacara itu, nyanyian-nyanyian keramat ( kondum ) dinyanyikan ada di antaranya yang mempunyai kekuatan supernatural untuk menarik ot.

Untuk menjamin bahwa penerapan kekuatan-kekuatan supernatural itu tidak diganggu oleh pengaruh-pengaruh yang buruk, ditunjuk seorang petugas untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang memiliki dampak supernatural.

Amín bòn tíbrí ini — orang yang membunuh babi yang pertama ( ámín áwon ) — harus tunduk sungguh-sungguh kepada aturan-aturan amop selama ia melakukan kegiatan-kegiatan itu, mulai dari upacara membawa masuk api ke dalam rumah upacara. Ia tidak boleh menyantap makanan yang diolah wanita, dan secara khusus ia tidak boleh bersanggama dengan seorang wanita. Ia tidak boleh minum air, hanya air tebu, dan ia tidak diperkenankan mandi.

Makanan yang terlarang baginya meliputi udang, ulat sagu, ikan, daging babi, dan daging kasuari. Pada hari sebelum kedatangan para tamu, ia mengumpulkan segala macam barang yang ditanamnya atau diletakkannya di samping pohon waruk, untuk mempengaruhi penjualan daging secara tunai. Di sekitar batang pohon itu ia juga mengumpulkan barang-barang yang diperlukan untuk memasak daging babi, misalnya kulit kayu.

Dan di situlah ia duduk, di samping pohon. Dengan menggunakan segala macam sarana itu ia memberi kekuatan supernatural kepada anak panah, dan menyebut sembilan bahan makanan yang dianggap memperkuatnya.

Kemudian, pagi-pagi benar ia memanah babi pertama dengan panah seperti itu. Akan tetapi, babi itu tidak boleh langsung mati sebab maksudnya ialah agar kekuatan-kekuatan supernatural yang terkumpul di babi itu — karena antara lain, tertembak dengan anak panah yang dipersiapkan secara khusus — akan menular kepada babi-babi lain. “Pengaruh supernatural” yang keluar dari babi yang terluka itu disebut íptèm, dan dapat memiliki akibat yang baik maupun buruk.

Di sini pun tujuannya ialah menjamin penjualan daging agar lancar secara tunai. Sebelum membunuh, tokoh waruk itu menyajikan potonganpotongan kecil sagu dan daging babi kepada makhluk-makhluk halus. Sebagai cara mengundang mereka untuk menghadiri pesta, makhluk-makhluk halus itu dipanggil dengan namanya.

Kalau ini tidak dikerjakan, semua jerih payah untuk mendatangkan kekuatan supernatural akan sia-sia belaka. Amin bon tibri menempatkan sajian-sajian itu di dalam keranjang kecil di atas tongkat di samping pohon waruk.

Pembunuhan sebenarnya atas babi-babi itu dengan anak panah dan penyembelihannya dikerjakan oleh orang-orang lain. Si tokoh waruk dan pembantunya duduk di atas semacam bangku di samping pohon waruk. Ia memegang anak panah yang digunakannya untuk menembak babi yang pertama, dan pembantunya memegang busurnya.

Seperti dalam upacara memotong babi dan dalam memotong babi liar, nyanyian itu penting dalam tahap-tahap pesta babi itu. Den Haan menyebut nyanyian itu aram awon. Di Kawangtet istilahnya ialah kumut, dan di Yibi yurin. Sebagian gunanya untuk menyertai tindakan-tindakan tertentu, dan itu dilakukan di malam hari sebelum babi-babinya dipanah.

Den Haan memberi dua contoh dari nyanyian-nyanyian itu. Di sini pun, nyanyiannyanyian tertentu dianggap menimbulkan pengaruh supernatural, khususnya demi mengalirnya ot.

Sebagai akibat dari banyaknya tindakan dan barang-barang yang mempunyai dampak supernatural, rumah upacara — dan secara khusus pusatnya, tempat pohonwaruk berdiri dan di mana api tadinya menyala — mengandung kekuatan-kekuatan supernatural, bahkan sesudah pesta. Kalau rumah upacara itu sampai rusak, ini akan menimbulkan iptem jahat, yang akan menyerang rakyat.

Oleh karena itu, rumah upacara dan kandang-kandang babinya ( màng ) harus dibiarkan dimakan waktu. Hanya atap di bagian tengah dari rumah upacara dirusak dengan menggunakan tulang kaki babi; menurut informan dari Yibi, digunakan tulang babi keramat, yang disembelih untuk mengakhiri pesta babi.

Lubang yang dibuat di atap memberi kesempatan kepada hujan untuk mendinginkan tempat di bawahnya, yang sebelumnya dianggap panas. Proses pendinginan ini akan menghilangkan bahaya bahwa rakyat akan tertimpa bencana oleh iptem.

III. KEHIDUPAN EKONOMI

A. Berkebun ala Suku Muyu Di Hutan

Berkebun memegang peranan penting untuk orang Muyu, Kab. Boven Digoel, Papua. Meskipun tanaman sagu telah tersebar di seluruh daerah Papua, namun hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama di daerah tinggi, yang membentang kira-kira dari Woropko sampai Yibi, sedangkan di sebelah selatan Mindiptana, lahannya lebih luas sehingga sagu lebih berperan sebagai bahan pangan pokok.

Meskipun demikian makanan pokok orang Muyu memang dipengaruhi oleh persediaan sagu sebagai perbandingan dengan hasil kebun. Maka bagi orang Muyu, perkebunan tetaplah penting sebagai cara untuk memperoleh pangan.

Karena daerah Muyu itu sama sekali tertutup hutan, bagian-bagian tertentu hutan itu harus ditebangi untuk membuat kebun dengan menggunakan kapak batu. Batang-batang pohon dibiarkan tumpang tindih tak teratur, semak-semak dibabat dan dibersihkan. Biasanya tidak menggunakan api, dan daun-daun dibiarkan membusuk. Orang Muyu mengetahui bahwa pembersihan yang terlalu rajin akan lebih cepat membuat tanahnya mati.

Setek-setek ditanam dengan menggunakan tongkat-tongkat sederhana, yang tidak dibuat khusus untuk itu. Tanaman utama ialah pisang — dalam banyak varietas — dan umbi-umbian. Yang paling penting dari yang terakhir ini ialah ubi, keladi atau talas, dan ubi jalar yang mudah ditemukan di daerah tinggi.

Pohon sukun adalah pohon buah yang terdapat hampir di setiap kebun. Di daerah selatan pohon ketapang melimpah, sedangkan di daerah utara lebih banyak terdapat pohon kenari. Buahnya sangat berlemak, dan pada musim tertentu merupakan bagian pokok makanan mereka. Pohon ini juga terdapat di kebun, tetapi tidak sebanyak pohon sukun.

Sayuran juga merupakan bagian menu makanan mereka. Orang Muyu tidak menanamnya di kebun, tetapi mencari varietas-varietas liar — meskipun sayuran juga ditanam. Sayur-sayuran penting ialah daun pohon Gnetum gnemon, ujung daun pakis tertentu, dan kuntum muda varietas tebu atau sering mereka sebut tebu ikan. Tebu khususnya terdapat di daerah tinggi.

Ujung pohon nibung adalah sayuran yang disukai. Biasanya pohon ini tidak ditanam, tetapi ditemukan selagi masih kecil, dipelihara dengan cara membersihkan tanah di sekitarnya agar pohon itu tidak tercekik oleh pohon-pohon lain yang tumbuh terlalu dekat.

Selain itu, ada tembakau. Banyak perhatian diberikan untuk memelihara tanaman yang satu ini. Benihnya disebar di sebidang tanah yang sudah dibakar bersih, dan tembakau yang sudah dipanen dikeringkan di dalam rumah di atas api.

Daun-daunnya kemudian diuntingi dan dilinting sehingga berbentuk seperti gulungan daging babi dan ditukar dengan ot (uang kulit kerang). Jadi, menanam tembakau itu sumber penghasilan, cara untuk mendapat ot.

Hampir tidak ada populasi besar sagu di daerah Muyu. Dari yang sedikit itu semuanya terdapat di sebelah selatan Mindiptana, tempat terdapat rawa-rawa besar. Pohon sagu biasanya terdapat di tepi sungai-sungai kecil, tempat orang Muyu menanamnya.

Di tanah tinggi, pohon sagu juga ditanam di mana palung sungai sering berbatu-batu, serta di punggung-punggung bukit. Tidak banyak tempat yang cocok, jadi pohon sagu memang sedikit jumlahnya.

Sering ada perbedaan besar antara tempat yang satu dan yang lain. Terutama di selatan sagu penting dalam menu makanan. Namun, di daerah tinggi, pisang dan umbi-umbian lebih penting daripada sagu. Orang Muyu mengenal bermacam-macam jenis sagu, termasuk yang tanpa duri.

Sagu itu mutlak perlu dalam pesta babi. Karena dapat mengumpulkan dan menyimpan sagu sebelumnya, ada kemungkinan untuk mengundang tamu dalam jumlah besar dan dari tempat-tempat yang jauh, serta memberi makan kepada mereka selama beberapa hari.

Sagu hasil tokok diangkut dan sering disimpan di dalam kantong tenunan ( yòwòt ). Kalau ada banyak bulatan sagu maka itu dibungkus dalam daun sagu dan digantungkan di dalam rumah.

Keadaan bahwa sagu hanya tumbuh di tepi sungai-sungai kecil dan tidak tumbuh berlimpah-limpah, barangkali merupakan faktor penting yang merintangi terbentuknya konsentrasi penduduk yang lebih besar di daerah ini.

B. Ketika Suku Muyu Beternak

Beternak adalah aspek lain dari ekonomi Muyu, Kab. Boven Digoel, Papua yang terkait dengan sistem keuangan. Tujuannya yang utama bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri terhadap daging, tetapi untuk memperoleh uang kulit kerang atau alat tukar Suku Muyu yang dikenal dengan istilah Ot.

Pembagian peran dalam keluarga Suku Maya memosisikan kaum wanita yang mengurusi hewan ternaknya. Namun di Yibi seorang pria juga dapat mengerjakannya, dan di Tumutu bagi pria yang tidak mempunyai istri, ibu, atau saudara perempuan diperbolehkan mengurusi hewan ternak sendiri. Sementara bagi para jejaka sering menganggap diri mereka tidak layak untuk mengurusi hewan ternak.

Masyarakat Suku Muyu kebanyakan menjadikan babi sebagai hewan ternak. Karena dalam pesta babi, mereka akan mendapatkan Ot dengan membawa seekor babi. Rata-rata Suku Muyu tidak memelihara Babi dalam kandang, dan juga tidak di tempat yang dipagari. Mereka membiarkan babi ternak berkeliaran di sekitar rumah.

Untuk memungkinkan hal tersebut, anak babi dipelihara sedemikian rupa sehingga mereka terbiasa dengan rumah dan pemeliharanya, biasanya seorang wanita. Adalah hal yang sudah biasa atau lumrah bagi seorang wanita Suku Muyu menyusui anak babi, dan membawanya dalam noken ke kebun dan tempat menokok sagu, bahkan kalau mereka bepergian. Anak babi sering mengintil pemeliharanya seperti layaknya seekor anjing.

Dengan memberi makanan di dekat rumah, babi menjadi terbiasa: pagi hari babi diberi makan di luar, petang hari ditangkap dan dibawa masuk rumah, dan diberi makan pisang bakar, pada malam hari babi “tidur” dengan si wanita. Kepada babi yang lebih besar dilemparkan sagu bakar di bawah rumah. Dengan cara begitu binatang piaraan ini menjadi terikat kepada rumah dan pemeliharanya sehingga dapat dibiarkan berkeliaran bebas tanpa khawatir hilang.

Perlakuan yang seperti itu memberikan kesempatan bagi babi untuk mendapatkan protein dengan memakan segala macam serangga yang ada di dalam tanah. Salah satu alasan mengapa orang Muyu tidak mengandangkan babi ialah karena mereka tidak dapat memberinya protein.

Namun di sisi lain, babi yang berkeliaran mengancam tanaman kebun. Mereka sering merusak tanaman umbi khususnya. Oleh karena itu, umbi dipagari, kalau pisang tidak ada masalah. Dengan demikian, memelihara babi sama dengan memelihara biang keladi pertengkaran.

Kalau seekor babi merusak kebun orang lain, pemiliknya harus membunuhnya, atau membayar ganti rugi, atau membantu memagari kebun. Tidak sigapnya pemilik babi mengganti kerugian sering menimbulkan pertengkaran dengan yang dirugikan — dengan segala akibatnya yang menyulitkan. Maka, pemeliharaan babi itu menjadi faktor yang ikut menyebabkan lahirnya Pemukiman yang tersebar.

Masyarakat Suku Muyu pun mengenal bentuk kerja sama dalam hal pemeliharaan babi. Suatu keluarga inti dapat menyuruh kerabatnya untuk memelihara babi untuknya, dengan cara membeli babi dari kerabat — biasanya wanita — dan memintanya untuk sekalian memeliharanya.

Kalau babi itu disembelih, si pemelihara akan mendapat bagian. Bahkan dalam Masyarakat Suku Muyu, akan didapati wanita-wanita tua yang memelihara babi untuk beberapa orang sebagai mata pencahariannya.

C. Suku Muyu Berburu

Suku Muyu yang tinggal di Boven Digoel, Papua memiliki banyak jenis binatang yang diburu; khususnya jumlah jenis spesies kecil sangat besar. Binatang buruan yang besar ialah babi dan burung kasuari.

Meskipun secara umum binatang-binatang ini penting untuk perburuan, di daerah-daerah yang berpenduduk padat di sekitar Yibi binatang-binatang kecil lebih penting. Di sini jarang ada binatang besar, tetapi di selatan dan di tenggara lebih banyak.

Untuk masa pendek atau lama, orang-orang Muyu dari lain-lain daerah sering pergi ke bagian-bagian itu — terutama ke daerah Sungai Fly — dengan maksud menangkap lebih banyak binatang, untuk ganti suasana. Namun, ini tergantung dari hubungan yang ada di sepanjang jalan dan di daerah itu sendiri.

Orang Muyu membeda-bedakan dengan teliti semua subspesies. Dalam mitos dan nyanyian sakral mereka, banyak dari binatang-binatang itu memegang peranan dan masing-masing memiliki namanya sendiri

Ada bermacam-macam cara berburu. Cara yang dipilih tergantung dari jenis binatangnya. Babi dan kasuari diburu dengan menggunakan busur dan anak panah. Anjing memainkan peranan penting dalam melacak binatang buruan, lebih-lebih kalau binatang itu sudah terluka.

Untuk binatang-binatang seperti itu sering digunakan lubang jebakan, sering diberi bambu-bambu runcing yang ditanam di dasarnya — sehingga akan “memanggang” mangsanya waktu jatuh. Babi juga dijebak, khususnya di tempat orang menokok sagu, kalau diketahui bahwa babi telah memakan sagu yang masih di pohon yang ditebang (pohon yang masih belum diambil sagunya).

Jebakan terdiri atas lorong kayu, terbuka di satu sisi. Begitu menyentuh tali, si babi melepaskan sebuah pengumpil yang menurunkan pintu lorong yang terbuka itu sehingga terjebaklah dia. Itulah caranya Kamberap tertangkap pada zaman purba, sesudah itu ia berganti rupa menjadi babi

Binatang-binatang kecil yang diburu meliputi kuskus, biawak, tikus besar dan tikus kecil, kadal dan ular, belalang dan katak, kupu-kupu jenis tertentu, ulat yang terdapat di bagian dalam pohon (seperti ulat sagu), juga burung dan kelelawar.

Tikus kecil dan tikus besar, biawak, kuskus, dan burung biasanya juga dibunuh dengan anak panah, tetapi kalau mungkin binatang-binatang itu ditangkap dengan tangan, misalnya tikus kecil di dalam rumah, atau kuskus di pohon. Kalau untuk binatang-binatang kecil itu dibuat jebakan, bentuknya sama dengan yang untuk babi. Sedangkan kadal, ular, belalang, katak dan kelelawar, ulat pohon, dan kupu-kupu ditangkap dengan tangan

Berburu tidak dilakukan dalam kelompok besar. Cukup sejumlah kecil orang saja, biasanya tetangga, kerabat, misalnya dua orang bersaudara. Penggerebegan atau pengepungan yang melibatkan banyak orang tidak pernah ada karena baik binatangnya maupun daerahnya tidak cocok untuk itu.

Kekuatan Supernatural Suku Muyu Dalam Berburu

Dalam banyak aspek kehidupannya orang Muyu menganggap dirinya tergantung kepada kekuatan supernatural. Orang Muyu berusaha memanfaatkan daya-daya supernatural itu untuk kepentingannya sendiri dalam setiap aktivitas produktif sehari-hari.

Pengaruh kekuatan supernatural atas hasil perburuan orang Muyu menyadari bahwa ia tergantung kepada Komot. Kalau Komot ikut menembakkan anak panah ke arah para pemburu maka sang pemburu akan menangkap binatang; kalau anak panah itu ditembakkan ke arah lain, hasil tangkapan yang baik akan terjadi di sana. Sebab Komot adalah Penguasa Binatang Liar.

Seperti juga telah dikemukakan, arwah tertentu, aytek digunakan untuk berburu. Beberapa orang tahu bagaimana cara menangkap aytek, untuk menjadi pemburu yang andal. Di samping penggunaan kekuatan supernatural ini, dikenal metode-metode lain. Salah satunya ialah menggunakan mantra-mantra, atau menggunakan batu yang memiliki khasiat khusus.

Istilah umum untuk kekuatan supernatural itu ialah waruk. Orang yang sangat pandai mengoperasikannya disebut warukkatuk (manusia waruk). Pemburu yang sukses dianggap orang seperti itu. Dalam perburuan dapat dibedakan bermacam-macam waruk, termasuk waruk untuk binatang besar, kwíbnyáwáruk (kwíb= babi liar; nyá =kasuari), dan untuk binatang kecil, ònnábáyáwáruk ( òn =burung; nábáyá =kuskus).

Kemudian ada ònnábáyáwáruk, digunakan untuk tikus kecil dan besar, dan terdyiwdruk yang diperuntukkan bagi serangga dan kadal. Karena mantra-mantra itu dibeli dari kerabat dekat atau dari orang lain, dan dimiliki secara pribadi maka ada banyak macam mantra.

Selain mantra, suku Muyu pun memercayai kekuatan yang tersimpan dalam benda-benda, seperti batu dengan kekuatan supernatural juga sering digunakan untuk menangkap binatang; batu-batu itu biasanya dibeli dari orang yang tinggal di daerah tinggi. Di Kawangtet ada mitos tentang asal usul batu-batu itu, yakni kòmòn: batu-batu itu datang dari tubuh ular yang sangat besar ( nínári ) yang tinggal di suatu tempat di dekat hilir Sungai Digul.

Dua desa yang di Kawangtet disebut sebagai tempat asal batu-batu itu ialah Katumbon dan Tumutu. Di Yibi dikatakan bahwa batu-batu itu datang dari Pemukiman-Pemukiman di antara Sungai Digul dan Kao

Beberapa di antara batu-batu itu, yaitu: Kómòcánòk atau kéwòn, dikatakan sebagai kuku Komot. Bentuknya segitiga tak beraturan. Yang kecil bernilai 1 atau 2 ot; yang seukuran tangan bernilai 2 atau 3 ot. Mengamatinya atau mengembuskannya ke arah yang ditunjuk Komot menimbulkan hasil buruan yang baik

Batu Tònwíní, yang berarti telur ikan. Ini sepotong batu koral yang digosokkan ke tangan orang yang hendak menangkap ikan. Batu Níwíní, yang berarti telur ular. Ini digunakan untuk menangkap ular. Batu-batu lain yang digunakan untuk keperluan ini disebut nínkòmòn. Sementara untuk menangkap burung di Yibi dikenal batu bernama Ondímín.

Selain itu ada juga batu-batu yang memungkinkan pemiliknya berganti rupa menjadi binatang, dan dengan cara demikian mendapat jaminan kepastian akan binatang buruan. Batu-batu tersebut antara lain: Kdman, dengan batu ini pemiliknya dapat berubah menjadi ular kalau ia menyelam untuk menangkap ikan. Tòngká, dengannya orang dapat berubah menjadi ikan; untuk keperluan yang sama. Ayòwí òkíkímòn atau áyíkímòní adalah batu-batu berwarna, dengan batu-batu itu orang dapat berubah menjadi biawak sehingga dapat menangkap mangsanya.

Sementara diyap, digunakan khususnya oleh wanita untuk berganti rupa menjadi kasuari. Sebelum melakukan itu mereka mengangkat dan mengikat sebagian dari rok jerami mereka tinggi-tinggi. Dan, ketika mereka menyeberangi sungai, binatang-binatang yang hendak mereka tangkap itu tersangkut dalam bulu-bulu mereka sendiri. Dan apabila mereka naik ke darat dan menggoncang-goncangkan diri maka akan terlihat bahwa mereka telah mendapat banyaktangkapan.

Kalau seekor babi atau kasuari tertangkap, binatang-binatang itu hanya boleh dimakan dengan upacara tertentu kalau si pemburu tidak ingin kehilangan pengaruh supernatural yang dimilikinya. Salah satu unsur terpenting dalam upacara itu ialah nyanyian-nyanyian yang dibawakan pada malam hari ketika binatang itu diolah di atas api. Nyanyian itu, disebut bakum berasal dari Komot.

Nyanyian ini juga dibawakan kalau orang tidak berhasil menangkap apa-apa sehingga dengan jalan supernatural akhirnya akan didapat hasil perburuan yang baik. Salah satu cara bagi si pemburu untuk mendapatkan pengaruh supernatural dalam perburuan tanpa gangguan ialah dengan menyimpan daun-daun yang digunakan untuk memasak binatangnya.

D. Mata Uang Suku Muyu, Papua

Ot dan gigi anjing, bagi Suku Muyu yang berada di Kab. Digoel, Papua adalah barang berharga yang berfungsi sebagai alat tukar. Jika kita perbandingan dengan uang “modern”. Fungsi terpenting uang (Herskovits 1952: 238; Croome 1931: 74—76; Van Emst 1954: 32—36) ialah sebagai alat tukar, sebagai standar nilai, dan sebagai “penyimpan nilai”.

Herskovits menyebut yang terakhir ini kecil saja fungsinya, dan menyebut sifat-sifatnya yang penting keserbasamaan (homogenity), mudah dibawa, dapat dibagi-bagi, dan tahan lama.

Ulasan berikut tentang kegunaan dan arti barang-barang berharga orang Muyu, khususnya kulit kerang dan gigi anjing, menunjukkan persamaannya dengan uang “Barat”. Khususnya kulit kerang dan gigi anjing memenuhi semua ciri atau kriterian sebagai mata uang suku Muyu yang pernah hidup pada masa dahulu.

Orang Muyu mengklaim bahwa ot itu tidak mempunyai asal usul alamiah. Kalau membicarakan hal ini, untuk “asal usul” digunakan kata pohon (tree), kata yang juga digunakan untuk menunjuk keturunan menurut garis perempuan. Ini berkaitan dengan mitos tentang lahirnya ot dari seorang wanita.

Tambahan persediaan ot baru katanya tidak mungkin, dan dibantah bahwa ada jalan-jalan alamiah yang dilalui ot baru untuk masuk ke daerah Muyu. Tidak ada data tentang asal usul ot di daerah ini. Dikatakan bahwa ot tersebut mungkin datang dari daerah di dekat muara Sungai Fly.

Katanya pada zaman dahulu — sebelum terjadi kontak dengan “Barat” — orang-orang dari Mokbiran dan Amudipun telah “mengimpor” sejumlah besar kulit kerang itu, sudah digosok halus, dan digunakan sebagai hiasan. Oleh karena itu, dalam arti tertentu, orang Muyu biasa menemui ot baru, tetapi mereka menganggapnya tidak asli dan tidak menerimanya sebagai sarana tukar-menukar.

Meskipun ada beberapa variasi yang dikenal, perbedaan-perbedaan antarot itu hanya kecil. Hanya ot dengan bentuk dan ukuran tertentu yang diterima.

Kecuali itu, ot diteliti keasliannya. Artinya, ot itu harus dikerjakan dengan cara tertentu, dan kelihatan tua — yang oleh orang Muyu disamakan dengan asli. Namun, kita dapat menduga bahwa sering ot baru menambah persediaan yang ada. Begitu kelihatan asli karena kehilangan cahaya kebaruannya, si pemilik tidak ragu-ragu untuk mengedarkannya.

Jumlah ot relatif serdikit — salah satu syarat yang harus dipenuhi kalau ot hendak berfungsi sebagai uang — dan untuk ukuran “Barat” nilai ot itu agak tinggi karena kelangkaannya.

Daftar berikut dari transaksi tempat ot digunakan akan berguna untuk memberi gambaran tentang arti penting ot dan barang- barang berharga lain sebagai alat tukar: – Pembayaran tukon, perdagangan babi dan daging babi, memelihara babi merupakan salah satu sumber ot paling penting

Babi dipelihara tidak untuk dikonsumsi sendiri, tetapi untuk dijual — di mana ot digunakan hampir secara eksklusif. Anak babi bernilai 1 atau 2 ot, tergantung jenis kelaminnya. Menjual bagian-bagian dari babi besar dapat menghasilkan sampai 30 ot. Babi dipotong-potong menjadi bagian-bagian standar (kepala, kaki depan, tubuh, dan seterusnya) masing-masing dengan harganya sendiri.

Membeli dan menjual semua barang-barang berharga lain yang termasuk dalam tukon. Kecuali busur, tembakau, genderang, batu dengan kekuatan supernatural, dan anjing. Untuk keperluan itu hanya digunakan ot. Di samping itu ot dapat digunakan barang-barang lain yang berharga, seperti wam, inam, yirip, dan tamat.

Ot juga biasa digunakan sebagai alat lompensasi, membayar pengobatan. Pengobatan terutama dibayar dengan ot, 1 ot untuk satu kali pengobatan. Pembayaran untuk pengajaran laku dan mantra dengan kekuatan supernatural. Jual beli tanah.

Di samping ot, wam, dan yirip dapat juga digunakan. Inam tidak dapat digunakan sebab pohon sagu tidak akan berisi. Mengangkat anak. Untuk hal di samping ot dapat digunakan inam, wam, dan yirip

Gigi anjing merupakan kategori tersendiri karena kegunaannya sebagai uang kecil, untuk barang-barang yang harganya kurang dari satu ot.