etnografi

Minahasa: Manusia, Sejarah, Suku, dan Budayanya

Suku Minahasa terbilang suku bangsa yang unik, karena sejatinya ia menaungi sejumlah sub-suku bangsa sebagai hasil dari sebuah janji persatuan.

PublishedJuly 21, 2013

byDgraft Outline

Terdapat delapan sub-suku bangsa di Minahasa , yakni: 1) Tonsea, 2) Tobolu, 3) Totemboan ( Tompakewa ), 4) Toulor, 5) Tonsawang, 6) Pasan atau Ratahan, 7) Ponosakan, dan 8) Bantik.

Minahasa adalah suku bangsa Indonesia yang mendiami wilayah yang juga disebut Minahasa (dahulu disebut Tanah Malesung), yang terletak di ujung Utara Pulau Sulawesi, yang sekarang masuk dalam wilayah administratif Provinsi Sulawesi Utara.

Istilah “Minahasa” dipercaya berasal dari dua kata, “ mina ”, yang berati “diadakan atau telah terjadi” dan “ asa/esa ”, yang berati “satu”. Jadi, Minahasa berarti “telah diadakan persatuan atau mereka yang telah bersatu”. Pada awalnya istilah“ mahasa ” (bersatu) digunakan untuk merujuk ikrar janji persatuan, yang telah berlangsung tiga kali sepanjang sejarah mereka tersebut.

Mahsa pertama diadakan di Watu Pinawetangan untuk merundingkan pembagian wilayah pemukiman, mahsa kedua diadakan untuk menghalau ekspansi kerajaan Bolaang Mongondow, dan mahsa ketiga dilakukan untuk menyelesaikan pertikaian antara kelompok Walak Kakaskasen dengan kelompok Bantik.

Sebelum mengenal Kristen dan agama-agama pendatang lainnya, Suku Minahasa memiliki keyakinan lokal yang memuja Dewa-Dewi yang menghuni alam sekitar, yang mereka sebut Opo.

Ada sejumlah Opo yang menjadi sesembahan orang Minahasa, di antaranya adalah Opo Walian Wangko atau Opo Empung Wangko yang merupakan Dewa tertinggi—yang pada perkembangnnya diasosiasikan dengan Tuhan Allah—, para nenek moyang yang disebut dotudotu, seperti Opo Toar, Opo Karema, Opo Rengan, dan lain-lain, para penggu gunung, seperti Opo Soputan, Opo Kalabat, Opo Loklok, Opo Dua Saudara, dan lain-lain, serta masih banyak Opo-Opo dari kategori lainnya, seperti Opo para penunggu sungai, Opo para penghuni mata air, dan Opo penunggu hutan.

Hari ini, sekitar 90 persen suku bangsa Minahasa memeluk Kristen, terutama Protestan. Walaupun masyoritas beragama Kristen, keyakinan terhadap para Opo tersebut sedikit banyak masih mengakar di tengah masyarakatnya.

Sepanjang Sejarahnya, suku bangsa Minahasa terlibat sejumlah peperangan melawan kaum kolonial. Perang pertama adalah melawan bangsa Spanyol yang berlangsung antara 1617 hingga 1645, yang dilatarbelakangi oleh ketidakadailan bangsa Spanyol, terutama dalam perdagangan beras, sebagai salah satu komoditi utama waktu itu. Perang berakhir dengan kekalahan bangsa Spanyol.

Perang kedua adalah melawan serdadu-serdadu Belanda yang berpuncak pada Perang Tondano pada 1808 sampai 1809, yang berakhir dengan kekalahan orang Minahasa. Perang heroik yang menelan banyak korban jiwa ini sering dijadikan pembelaan atas tudingan miring yang menyebut “orang Minahasa penjilat Belanda”.

Sementara perang ketiga adalah melawan serdadu Jepang, di mana salah satu versi menyebutkan bahwa orang-orang Minahasa menyusup ke dalam laskar-laskar perang Belanda (termasuk KNIL) sebagai strategi untuk mengobarkan perang kemerdekaan, terutama mengalahkan Jepang. Beberapa nama besar muncul selama fase perjuangan menuju kemerdekaan ini, seperti Dr. Sam Ratulangi, A. Maramis, Kawilarang, dan Ventje Sumual.

Table of contents

Open Table of contents

Sistem Kekerabatan Orang Minahasa

Orang Minahasa memegang prinsip keturunan secara bilateral, atau memperhitungkan hubungan kekerabatan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, dengan jangkauan kekerabatannya umumnya hanya sampai generasi ketiga.

Dalam memilih jodoh, penelusuran asal-usul biasa dilakukan, untuk memastikan muda-mudi yang hendak terlibat pernikahan berada di luar jangkauan kekerabatan tiga generasi tersebut.

Setelah menikah, pasangan suami-istri bebas menentukan tempat tinggalnya, baik itu di lingkungan sang Istri atau suami. Di Minahasa, keluarga inti ( saanakan ) dapat terdiri dari: suami-istri ditambah anak-anak kandung (yang belum menikah); dapat pula terdiri dari suami-istri ditambah anak kandung, anak tiri, atau anak angkat; janda/duda, dengan anak-anak, baik anak kandung, anak tiri, maupun anak angkat; suami-istri yang tidak mempunyai anak; atau dapat pula janda/duda yang hidup sendiri.

Dalam satu rumah, ada kalanya terdiri lebih dari satu keluarga inti, karena terkadang ada saja anak-menantu yang baru menikah, masih mentap satu atap dan satu dapur bersama orang tua mereka, atau terkadang ada juga saudara lainnya yang masih menumpang, seperti keluarga adik, keluarga kakak, dan lain sebagainya. Pada tipe keluarga luas seperti ini, budaya gotong royong biasanya lebih kuat, seperti bekerja di ladang yang sama.

Dalam sistim kekerabatan orang Minahasa, dikenal konsep klen kecil yang disebut taranak. Setiap taranak dipimpin oleh seorang tua unta ranak, yakni laki-laki yang dianggap tertua dalam keluarga. Beberapa hal yang menonjol dari konsep taranak di Minahasa adalah pada bidang warisan, kematian, perkawinan, dan pemilihan kepala desa yang disebut Hukumtua.

Dalam pembagian warisan, tanah warisan disebut sebagai kelakeran (milik banyak orang). Tanah klakeran bisa dibagikan kepada ahli waris untuk dikelola sendiri-sendiri, atau jika luas tanah tidak mencukupi untuk dibagikan, maka akan dikelola secara bergantian dengan siklus satu tahunan atau biasa disebut tanah kalakeran pataunen (milik bersama yang dipakai bergiliran per tahun).

Menyangkut urusan kematian, selain tolong-menolong dalam bentuk tenaga dan materi untuk anggota kerabat yang meninggal, taranak juga mengenal konsep kuburan famili (kerabat) dalam lingkup klen kecil, yang biasanya dinamai dengan nama keluarga nenek moyang mereka, sebagai contohnya adalah kuburan famili Lapisan, kuburan famili Woraang, dan kuburan famili Warouw. Konsep gotong royong yang serupa juga tercermin dalam penyelenggaraan pernikahan.

Sementara dalam hal pemilihan kepala desa atau Hukum tua, biasanya terjadi persaingan antar taranak, di mana taranak yang jumlah anggotanya lebih banyak akan lebih mudah untuk meraih kemenangan ketika ada salah satu anggota mereka yang mencalonkan diri.

Pandangan Hidup Suku Minahasa

Orang Minahasa pada masa lalu memiliki bentuk keyakinan sendiri yang mereka sebut Opo. Opo ini merupakan sistem kepercayaan terhadap para dewa dan kekuatan tertinggi yang menguasai wilayah atau kejadian tertentu.

Opo Wailan Wangko atau kadang disebut Opo Empung Wangko diasosiasikan sebagai penguasa tertinggi dalam struktur keyakinan orang Minahasa. Para leluhur atau dotudotu, seperti Opo Lumimuut, Opo Toar, Opo Karema, Opo Rengan, dan yang lainnya yang diangga sebagai nenek moyang orang Minahasa.

Para Opo dari setiap kerabat, seperti Opo Sigar, Opo Supit, Opo Sigarlaki, Opo Tololiu, Opo Rumbayan, Opo Maringka, dan lain-lain. Para Opo penunggu gunung, seperti Opo Soputan, Opo Kalabat, Opo Lokok, Opo Dua Saudara, dan masih banyak lagi. Para Opo penunggu sungai, seperti Opo Ranoyapo, Opo Poigar, Opo Rancake, dan lain-lain.

Para Opo penunggu mata air, seperti Opo Muung, Opo Kumelembuai, Opo Tutuasan, Opo Ranolambut, Opo Lelendongan, dan lain-lain.

Para Opo penghuni bahwa tanah, seperti salah satunya Opo Si Owkurur. Para Opo penghuni pantai/laut, seperti Opo Benteng, Opo Pisok, Opo Pulisan, Opo Bentenan.

Opo Hujan, yakni Opo Naharo / Nuran. Opo penguasa mata angin, seperti Opo Talikuran, Opo Sendangan, Opo Tihimu, dan Opo Amien.

Selain para Opo, orang Minahasa juga mengenal sejumlah roh halus. Berikut adalah beberapa karakter roh halus yang ada dalam konsep keyakinan adat suku bangsa Minahasa:

1. Mukur, ialah arwah dari orang yang sudah meninggal. Dalam konsep keyakinan orang Mianahasa, sebelum arwah dari orang meninggal menghadap Empung Wangko, selama 40 hari sejak kematiannya, dia bergentayangan, dan terkadang mengngangu manusia-manusia yang masing hidup.

2. Pontianak, yakni arwah wanita yang mati dalam keadaan hamil atau melahirkan. Mahluk ini dikenal sebagai suka mengganggu dan ditakuti oleh manusia yang masih hidup. Asal-muasal keusialannya menggangu manusia, konon karena ia tidak rela mati dan ingin hidup kembali.

3. Pokpok atau Suangi, yakni sejenis drakula yang suka menghisap darah manusia yang maih hidup, terutama wanita-wanita yang sedang hamil atau seusai melahirkan. Pokpok diyakini sebagai sukma dari orang yang masih hidup, yang demi menjaga kesaktiannya, dia harus terus meminum darah. Pokpok dideskripsikan sebagai mahluk yang hanya memiliki kepala dan usus, dan berpindah tempat dengan cara terbang.

Kendati kini mayoritas penduduk Minahasa memeluk agama monoteisme, terutama Kristen, keakraban mereka dengan para Opo dan roh halus lainnya, serta legenda mereka masing-masing masih tetap terjaga.

Mapalus dalam Budaya Minahasa

Mapalus adalah seperangkat nilai dan organisasi sosial masyarakat Minahasa. Sebagai nilai, mapalus setidaknya meliputi tiga prinsip, yakni memerdekakan ( to deliberate ), menyejahterakan ( to welfare ), dan memanusiakan ( to humanize ).

Sebagai organisasi, mapalus adalah persatuan masyarakat yang terbentuk atau dibentuk atas dasar berbagai kepentingan bersama, dengan asas partisipatif, resiprokal, disiplin, leadership, solidaritas, responsibilitas, bakupercaya, kerja keras, gotong royong, dan transparansi. Jenis-jenis mapalus di antaranya adalah mapalus tani, mapalus nelayan, mapalus uang, mapalus bantuan duka dan perkawinan, dan mapalus kelompok masyarakat.

Dasar kata dari mapalus ialah “ palus ”, yang artinya antara lain menuangkan dan mengerahkan, sehingga mapalus mengandung makna “suatu sikap dan tindakan yang didasarkan pada kesadaran akan keharusan untuk beraktivitas dengan menghimpun (mempersatukan) daya (kekuatan dan kepandaian) setiap personil masyarakat, untuk memperoleh suatu hasil yang optimal sesuai tujuan yang telah disepakati sebelumnya” (Sumual, 1995).

Dalam organisasi sosial mapalus, sang Pemimpin adalah bagian dari dan setara dengan anggotanya. Dalam upacara penobatan, pemimpin mengalami cambukan yang sebenarnya (dengan memakai alat pemukul yang digenggam)

Aksi ini dilakukan sebagai perlambang penegakan kedisiplinan kelompok untuk mencapai tujuan bersama, dan juga sebagai perlambang kepelayanannya pimpinan dan kesetaraannya dengan anggota (dua azas kepemimpinan demokratis). Dalam aktivitas mapalus, pemimpin harus matu’ur (menjadi teladan di depan) serta mempertunjukkan kemampuan dan rasa tanggung-jawab (Sumual, 1995).

Dalam mapalus, struktur organisasi tidak terlihat. Pimpinan kelompok mapalus hanya seorang ketua (mandor) yang mengkoordinir semua kegiatan kelompok, sehingga kewibawaan pemimpin harus nampak agar supaya tetap disegani, bukan hanya terbatas dalam kelompoknya namun dengan kelompok lain, saat ini ketua mapalus sudah memiliki pembantu. Tonaas bukan pemimpin mapalus, tetapi merupakan motivator bagi kelompok-kelompok mapalus yang ada dalam wilayahnya.

Pada awalnya, istilah mapalus dikenal dalam istilah pengelolaan lahan pertanian, dan dalam perkembangannya banyak dipraktikan dalam lingkup kehidupan yang lain, termasuk ritus-ritus sosial, seperti pernikahan dan kematian. Seiring dengan berkembangnya fungsi-fungsi organisasi sosial yang menerapkan kegiatan-kegiatan dengan asas mapalus, saat ini, mapalus juga sering digunakan sebagai asas dari suatu organisasi kemasyarakatan di Minahasa.

Si tou timou tumou tou dalam Pandangan Hidup Suku Minahasa

Si tou timou tumou tou ” atau yang akrab disebut ST4, adalah ungkapan yang sangat populer di kalangan masyarakat Minahasa, yang berarti “manusia hidup, harus dapat menghidupkan manusia lain”. Lebih dari sekedar ungkapan, di tengah alam sosial masyarakat Minahasa, ST4 telah menjadi sebentuk kalimat sakti yang melekat dengan jati diri masyarakat Minahasa, dan hadir dalam sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat Minahasa.

Si tou timou tumou tou ” atau ST4 sejatinya adalah “bahasa” pribadi dari seorang Sam Ratulangi, salah satu putra terabik tanah Minahasa, dalam upayanya menerjemahkan masyarakat dan nilai-nilai dari suku bangsanya tersebut. Dalam bahasa kiasan, ST4 ibarat sebongkah berlian yang digali dari Tanah Minahasa dan ditunjukan pada masyarakat Minahasa sebagai simbol dari jalan kehidupan sosial mereka.

Dalam perkembangannya, ST4 telah dengan mudah menemukan relevansinya dengan konsep mapalus, yang merupakan seperangkat nilai dan sebentuk organisasi sosial khas masyarakat Minahasa. ST4 dan mapalus adalah dua konsep yang menerangkan satu sama lain tentang kearifan budi masyarakat Minahasa. Dalam mapalus, konsep ST4 tergambarkan secara praktis dalam kehidupan sosial masyarakat Minahasa.

Sebagai nilai, mapalus setidaknya meliputi tiga prinsip, yakni memerdekakan ( to deliberate ), menyejahterakan ( to welfare ), dan memanusiakan ( to humanize ). Poin pertama, memerdekakan, mengandung arti bahwa siapapun yang terlibat akan dibebaskan dari beban-beban mansiawi yang kadang-kadang tidak dapat dipikul sendiri.

Kemerdekaan yang dimaksud di sini adalah kebebasan dari belenggu keterbatasan individu, karena itu mapalus lebih mengedepankan kolektivitas. Kemberdekaan juga diartikan sebagai kerelaan untuk memberikan diri demi kepentingan bersama, di mana individu di dalamnya terbebas dari belenggu keterbatasannya.

Sementara menyejahterakan, tak lain merupakan sebentuk harapan dan cita-cita yang hendak dicapai demi kesejahteraan bersama. Dan memanusiakan, adalah bahwa, lebih jauh dari sekedar memerdekakan dan menyejahterakan, mapalus memiliki cita-cita luhur agar masyarakat mampu menjadikan manusia sebagai makhluk yang patut di tempatkan secara bermartabat.

Dalam praktiknya, mapalus lebih kaya lagi memuat beragam etos kerja. Berikut hanya beberapa di antaranya yang disarikan dari buku The Mapalus Way :

A. Etos Partisipatif

Etos atau nilai partisipatif yang terkandung dalam Mapalus merupakan variabel pokok yang sering paling dibanggakan ketika menyebut mapalus. Karena, setiap perserta atau anggota mapalus terpanggil secara sukarela memberi diri dan terlibat aktif tanpa paksaan atau beban.

Malahan melibatkan diri dalam kegiatan mapalus adalah adalah keterpanggilan sejati bagi setiap warga masyarakat karena dengan begitu eksistensi sebagai anggota masyarakat dapat ditunjukkan.

B. Etos Resiprokal

Resiprokal atau timbal balik ini merupakan konsensus, yang diterima dalam sebuah hukum yang tidak tertulis. Dari hubungan ini dapat diperoleh gambaran bahwa perlakukan seseorang terhadap orang lain untuk tujuan mapalus akan berdampak (piutang) bagi orang yang diperlakukan. Di sinilah timbul hubungan timbal balik.

C. Etos Disiplin

Etos disipilin adalah bagian lain dari mapalus yang memiliki sifat law enforcement bagi organisasi mapalus. Disiplin dalam mapalus memiliki maka aktif dan melekat kepada setiap anggota, yakni disiplin untuk hadir dan berkontribusi juga disiplin dalam mengikuti aturan konstitusi organisasi.

D. Etos Leadership

Leadership atau kepemimpinan merupakan bagian dari sekian elemen mapalus yang menjadi sisi seninya ( art ). Artinya, leadership -lah yang membuat sebuah sistem mapalus bergerak dengan baik atau tidak.

Kalau leadership -nya lemah, maka otomatis seluruh organ dari mapalus pun menjadi lesu. Dengan demikian, leadership menjadi elemen driving force- nya sebuah sistem Mapalus.

E. Etos Solidaritas

Sebuah mapalus bisa saja terjadi secara tiba-tiba atau mendadak ketika ada keluarga yang meninggal dunia dan dengan sendirinya sistem mapalus pun terbentuk. Hal dapat terjadi karena adanya solidaritas yang tinggi antar anggota mapalus.

Dengan spontan pula keluarga berduka akan mencatat dan mengingat kebaikan hati dari mereka yang sudah membantu yang pada suatu waktu kelak bila kedukaan menimpa keluarga mereka maka keluarga yang sudah dibantu akan membalas apa yang telah mereka dapatkan.

F. Etos Responsibilitas

Pertanggungjawaban setiap anggota mapalus berkaitan dengan hukum mapalus yang kadang-kadang tidak tertulis tetapi memiliki konsekwensi tegas dan dapat dieksekusi dengan hukum adat seperti dikucilkan, tidak dapat lagi dipercaya seumur hidup, dan bahkan karena tidak dipercaya lagi maka ia menjadi orang asing dalam lingkungan komunitas masyarkat yang ber- mapalus.

G. Etos Bakupercaya

Orang Minahasa dapat menjalankan sistem kerja mapalus antara sesama anggota mapalus karena ada “ trust ” atau keyakinan yang teguh antar sesama anggota bahwa kelak tenaga dan materi yang telah disumbangsihkan akan mendapat respons/balasan setimpal dengan apa yang nanti akan diterimanya. Harapan itulah yang membuat roda kerja mapalus terus bergulir.

H. Etos Kerja Keras

Kerja keras adalah kata kunci dari mapalus. Setiap orang yang terlibat mutlak harus bekerja keras baik sebagai pribadi maupun dalam satu kelompok mapalus. Sifat kerja keras ini sudah dicirikan oleh orang Minahasa sejak dulu kala. Tidak ada tempat bagi para pemalas dalam sistem mapalus. Bahkan untuk jenis mapalus bakobong (berkebun), anggota mapalus yang malas bisa dicambuk oleh pemimpin mapalus.

I. Etos Transparansi

Dalam mapalus, transparansi dilakukan agar aspek akuntabilitas serta sistem kontrol dapat dijamin. Misalnya, dalam pelaksanaan sistem mapalus selalu ada pelaporan yang diberikan baik dari pimpinan mapalus maupun oleh orang yang dipercayakan untuk melaporakan segala sesuatu terkait dengan keorganisasian.

Kalau tidak dilakukan secara transparan, maka anggota mapalus akan mempertanyakan dan saling menginformasikan hal-hal yang bisa merusakan reputasi pimpinan atau pelaksana mapalus yang tidak transparan dalam pengelolaan.

J. Etos Kesetaraan

Ekualitas atau persamaan, adalah bahwa setiap orang sama kedudukanya di dalam hukum adat atau konstitusi mapalus. Semua harus tunduk pada “AD/ART” organisasi apapun dan siapapun jabatan di luar kelembagaan mapalus yang sedang dia ikuti. Etos ini membuat keadilan, kebersamaan, dan kemitraan menjadi rekat karena jaminan kedudukan hukum yang sama atau equality before the law.

K. Etos Gotong Royong

Gotong royong adalah hal yang menjadi ciri khas mapalus. Yakni melibatkan banyak orang, berbondong-bondong, datang dan terlibat. Gotong rame-rame, royong rame-rame.

Gotong royong bisa juga dimengerti sebagai sama rasa sama rata. Dan hal ini lebih menonjol terlihat pada saat terjadi kerja bakti massal, di mana setiap orang terlibat aktif dan saling membantu.

Dalam praktek mapalus di masa lampau, memang tidak ada pembedaan antara tiap anggota bahkan terhadap pemimpin. Dengan kata lain dalam mapalus tidak mengenal pengkhususan atau pengistimewaan terhadap satu anggota atas anggota lain.

Sistem Pertanian Orang Minahasa

Dari sekian ragam mata pencaharian yang dijalani orang Minahasa sebagai sumber penghidupan, sektor pertanian merupakan yang paling memiliki sejarah panjang dan masih bertahan hingga hari ini.

Dalam tradisi berocok tanam Suku Minahasa, dikenal dua konsep pengoalahan tanah pertanian, yakni menetap dan berpindah tempat. Konsep yang terakhir pada umumnya berlaku untuk pertanian ladang yang terletak di lereng-lerang perbukitan, yang kandungan zat hara tanahnya mudah terkikis.

Dalam bercocok tanam, orang Minahasa mengenal tiga jenis status tanah garapan.

Pertama adalah tanah perorangan atau disebut tanah pasini, yang umunya didapat pemiliknya dalam bentuk warisan atau hasil pembelian. Terkadang, persengketaan terjadi di antara para pemilik tanah-tanah pribadi.

Jika bukan karena huru-hara warisan, masalah lainnya adalah menyangkut sengketa batas tanah dalam satu lingkungan. Batas-batas tanah pasini sendiri biasanya ditandai dengan sejenis tanaman yang disebut tawaang.

Kedua adalah tanah komunal, yakni lahan pertanian yang penggunaannya diatur oleh tetua adat yang disebut Hukumtua, yang dalam perkembangannya diasosiasikan dengan kepala desa.

Dan ketiga adalah tanah kalakeran, yakni tanah milik bersama dari suatu kelompok kerabat atau keluarga luas. Tanah tersebut dikelola secara bersama-sama oleh para anggota keluarga, dan jika luas tanah tidak mencukupi untuk seluruh anggota keluarga, maka pengelolaannya dilakukan secara bergiliran.

Tanah yang menjadi objek pengelolaan bergiliran dalam suatu keluarga luas disebut tanah pataunen, yang berarti setiap anggota keluarga mengelola bergantian dalam rentang waktu satu tahun.

Dalam konsep pertanian Suku Minahasa, keluarga inti merupakan sandaran utama dalam pengelolaan lahan pertanian. Para anggota keluarga umumnya bahu-membahu dalam menyukseskan usaha pertanian mereka.

Akan tetapi jika tanah garapan terlalu luas untuk dikerjakan hanya oleh keluarga inti, maka pilihan lainnya adalah dengan mencari tenaga bantuan dari kerabat (keluarga luas). Kerjasama yang dijalin dalam pengelolaan bersama ini disebut sumawang.

Selain mengandalkan kerabat, pemilik tanah bisa juga meminta bantuan orang lain di luar keluarga, baik dengan sistem bayaran maupun bagi hasil yang dikenal dengan istilah tumoyo. Kemudian, Suku Minahasa juga mengenal konsep saling berbalas bantuan atau ‘arisan tenaga’ dalam mengelola lahan pertanian mereka. Konsep tersebut disebut sebagai mapalus.

Sejumlah peralatan tradisional yang biasa mereka gunakan, di antaranya adalah pajeko (bajak), alat pengolah tanah yang ditarik oleh hewan ternak, yang umumnya sapi, kerbau, dan kuda. Alat-alat lainnya adalah pacol (cangkul), tembilang (sekop), dan masih banyak lagi.

Waruga; Sarkofagus Suku Minahasa

Waruga adalah salah satu peninggalan purbakala yang berfungsi sebagai peti mayat. Dibuat dari batu yang terdiri dari dua bagian; wadah dan penutup. bentuknya menyerupai rumah dengan atap. Waruga merupakan salah satu tradisi Megalitik. Dari pahatan angka tahun di beberapa waruga, tradisi megalitik ini berkelanjutan hingga kira-kira memasuki pertengahan abad ke-19.

Berkenaan dengan asal usul kata Waruga sendiri, masih banyak pendapat dan versi yang belum begitu jelas. Ada yang berpendapat berasal dari kata “ maruga ” yang kurang lebih artinya “direbus”. Pendapat lain menyatakan berasal dari kata “ meruga ” yang berarti menjadi “lembek” atau “cair”.

Maksud “direbus” dan “menjadi lembek” itu mungkin berhubungan dengan mayat yang disimpan di dalam waruga. Ada juga yang menyebutkan bahwa “waruga” justru berasal dari dua kata, yaitu “ waru ” yang berarti “rumah” dan “ ruga ” yang berarti “badan”. Jadi menurut pendapat ini, waruga adalah “rumah untuk tubuh yang akan ke surga”

Bentuk Waruga yang menyerupai rumah khas suku Minahasa ini, pada bagian atapnya banyak dipahatkan berbagai macam hiasan seperti ragam hias berupa binatang, tumbuh-tumbuhan, orang, geometris dan lain-lain. Lambang matahari sepertinya mendapat tempat tersendiri disamping bentuk manusia. Pada umumnya, lambang-lambang itu merupakan gambaran situasi si mati dan ada juga yang menyatakan kalau lambang-lambang itu merupakan gambaran situasi surga.

Pada masa lalu, Waruga sebagai tempat pemakaman yang terkadang berada di dekat tempat tinggal si kerabat yang meninggal. Kabarnya hanya mereka yang mempunyai posisi dan atau status sosial penting yang dikuburkan di waruga. Oleh sebab itu, jumlah keseluruhan Waruga yang berada di Minahasa bagian utara ini tidak banyak.

Kurang lebih jumlahnya sekitar 2.000 waruga, termasuk Kodya manado. 142 buah Waruga di Desa Sawangan, 155 buah di Airmadidi Bawah, di Kema 14 buah, di Kaima 9, Tanggari 14, 19 di Woloan , di derah Tondano dan juga ditempat lainnya (termasuk luar negeri) kurang lebih jumlahnya mencapai 40 buah.

Tulisan C.T. Bertling, tahun 1931, yang berjudul “ De Minahasche Waruga en Hockernestattung ” menjadi jalan bagi para peneliti lainnya untuk mengkaji Waruga. Peneliti lainnya seperi, C.I.J. Sluijk yang menuangkan hasil penelitiannya dengan judul Tekeningen op Grafsten uit de Minahasa semakin membuat waruga terkenal di mata dunia. Akan tetapi, penelitian tentang Waruga yang ada di daerah Minahasa ini belum sepenuhnya selesai, dan masih akan terus berkembang seiring dengan temuan atau teori lainnya yang bisa jadi muncul belakangan.