etnografi

Suku Banjar di Kalimantan Selatan

Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yaitu wilayah inti dari Kesultanan Banjar meliputi DAS Barito bagian hilir, DAS Bahan (Negara), DAS Martapura dan DAS Tabanio Di daerah ini suku bangsa Maanyan, Lawangan, Bukit dan Ngaju, dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Jawa, disatukan oleh tahta yang beragama Budha, Shiwa dan paling akhir oleh agama Islam dari kerajaan Banjar yang menumbuhkan suku bangsa Banjar yang berbahasa Banjar dan berkebudayaan Banjar.

PublishedJuly 6, 2013

byDgraft Outline

Suku Banjar adalah hasil pembaruan yang unik dari sejarah kehidupan di sungai-sungai Bahau, Barito, Martapura dan Tabanio. Sebagian besar menempati wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur dan sebagian Kalimantan Tengah terutama kawasan dataran dan bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut.

Kawasan tersebut kemudian terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma dan di sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati Tuha yang berkembang menjadi beberapa daerah:

Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal. Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer.

Table of contents

Open Table of contents

Bahasa Suku Banjar

Bahasa Banjar dan agama Islam dibawa pengaruh kekuasaan dinasti-dinasti banjar di Kayu-Tinggi, membulatkan daerah dan suku bangsa ini menjadi satu kesatuan wilayah suku Bangsa Dayak yang beragama Kaharingan atau Kristen tetap menyebut diri mereka orang Dayak, tetapi mereka yang memeluk agama Islam, berbahasa Banjar meninggalkan Bahasa ibu mereka, dan menyebut dirinya orang Banjar.

Suku Banjar memiliki bahasa yang terbagi atas beberapa dialek. Dialek dalam suku Banjar terbagi menjadi dua bagian yaitu, Bahasa Banjar Hulu dan Bahasa Banjar Kuala.

Perbedaan dalam pengucapan fonem. Distribusi vokal dan konsonan. Bahasa suku-suku asli sesuai jenis etnisnya Maanyan, Lawangan Bukit atau Ngaju. Berikut perbedaan bahasa Banjar Hulu dan bahasa Banjar Kuala.

Contoh Dialek Banjar Hulu

Hagan apa hampiyan mahadang di sia, hidin hudah hampai di rumah hampian (Dialek Kandangan?)

Sagan apa sampiyan mahadang di sini, sidin sudah sampai di rumah sampiyan. (Banjar populer)

Inta intalu sa’igi, imbah itu ambilakan buah nang warna abang awan warna ijau sa’uting dua uting. Jangan ta’ambil nang igat (Dialek Amuntai?)

Minta hintalu sabigi, limbah itu ambilakan buah nang warna habang lawan warna hijau sabuting dua buting. Jangan ta’ambil nang rigat. (Banjar populer)

Dalam bahasa Banjar tidak ada F, Q, V karena F dan V masuk ke P, dan Q masuk ke K, dan Z masuk ke abjad S/J.

Pada zaman prasejarah agama orang Bukit, dalah agama balian dan agama Kaharingan pada suku bangsa Dayak tetap bertahan sampai sekarang dan pengaruh unsur-unsur religinya masih terasa dalam kebudayaan Banjar.

Pada zaman negara Dipa dan negara Daha, masuk unsur-unsur agama Budha dan Ciwa. Yang masih ada sampai sekrang adalah sisa-sisa subasemen candi Agung dan candi Laras.

Untuk candi Laras yang dibangun di atas Punden Tanah Liat Berundak Tiga ini jelas terdapat peninggalan-peninggalan Civaisme, sperti Lingga, Nandi, dn patung-patung yang sudah rusak dan tidak dapt diidentifikasikan lagi.

Ketika Belanda masuk, dengan cepat diusahakan gerakan zending dan missi di daerah Barito, pulau Patak, Tamiang Layang, dan Kuala Kapuas. Kebudayaan barat yang paking menentukan pengaruhnya dari Belanda adalah berupa pendidikan Barat, ekonomi uang, hukum dan sebagainya, di samping agama Kristen.

Suku banjar dibagi menjadi tiga bagian yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala). Hal ini karena adanya pendudukan asal Sumatra dan daerah sekitarnya yang membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu.

Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan-terbentuklah setidak-tidaknya tiga sub suku:

A. Banjar Pahuluan

Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus, orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar (Kuala) mendiami sekitar Banjarmasin (dan Martapura)

Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa Melayu Sumatra atau sekitarnya-, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan asal Jawa.

Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu-sebelum dihapuskan pada tahun 1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibu kotanya pada mula berdirinya. Ketika ibu kota dipindahkan ke arah pedalaman, terakhir di Martapura, nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.

Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja.

Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama. Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatra atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap.

Kedua kelompok masyarakat Melayu ini memang hidup bertetangga tetapi, setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi meskipun kelompok suku Banjar (Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri.

Untuk kepentingan keamanan, dan atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk kompleks pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan kompleks pemukiman bubuhan , yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya,dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya.

Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit , yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan

Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya.

B. Banjar Batang Banyu

Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbetuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong.

Selaku warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Maanyan dan Lawangan, sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar

Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.

C. Banjar Kuala

Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan, bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar.

Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju, yang seperti halnya dengan dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Maanyan atau Lawangan, banyak di antara mereka yang akhirnya meleburke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam.

Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibu kota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.

Sistem Sosial Dalam Kesatuan Hidup Suku Banjar

Perkumpulan yang ada dalam tiap-tiap kampung biasanya berfungsi sosial. Artinya tidak bersifat komersil. Seperti halnya orang di kampung ada yang memerlukan pahadrahan.

Jika orang itu meminta kepada pemimpinnya untuk meminjam pahadrahan dalam perkawinan anaknya pada hari dan bulan yang sudah ditentukan. Maka pemimpin memberitahukan hal tersebut kepada anggotanya.

Terbang, pahadrahan dan sinoman. Perkumpulan tersebut beranggotakan orang-orang sekampung. Jumlahnya bisa dibedakan seperti perkumpulan terbang berjumlah 8 orang, paling sedkit 6 orang, perkumpulan pahadrahan berjumlah 20 orang paling sedikit 14 orang sedangkan perkumpulan sinoman berjumlah 20, paling sedikit 14 orang.

A. Pimpinan dalam kesatuan hidup

Pemimpin dalam kesatuan hidup adalah orang tua dan berwibawa dan juga sosial melebihi dari yang lainnya.

Dalam pilihan mereka untuk memilih pemimpinnya jarang meleset, karena yang tidak mampu dalam memimpin akan menolak waktu dicalonkan. Tetapi jika yang merasa dan siap maka ia akan siap untuk jadi pemimpin.

Seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab yang cukup berat, kalau melihat dari fungsinya.

Pertama pemimpin harus dapat memelihara organisasi nya sebaik mungkin, agar organisasi tidak bubar. Untuk melaksanakan ini semua sudah tentu ia korban tenaga dan pikiran serta keuangan sekalipun jika diperlukan.

B. Hubungan sosial dalam kesatuan hidup setempat

Perkumpulan yang ada dalam tiap-tiap kampung biasanya berfungsi sosial. Artinya tidak bersifat komersil. Seperti halnya orang di kampung ada yang memerlukan pahadrahan. Jika orang itu meminta kepada pemimpinnya untuk meminjam pahadrahan dalam perkawinan anaknya pada hari dan bulan yang sudah ditentukan. Maka pemimpin memberitahukan hal tersebut kepada anggotanya.

Setelah selesai dipergunakan pemimpin organisasi itu tidak meminta upahnya. Hanya saja orang yang meminjam tadi yang memberikan bantuan terhadap organisasi itu berupa padi.

Tetapi jika kampung lain yang meminjamnya biasanya dibicarakan terlebih dahulu ongkos sewanya, dalam arti sama-sama tidak memberatkan kedua belah pihak.

Perkumpulan berdasarkan adat, tidak terlalu organisatoris. Karena dalam satu kampung itu hanya ada satu saja yang diurus oleh orang-orang tertentu saja.

Seperti perkumpulan kematian saja, sedang anggotanya sekampung. Ada juga kumpulan babakwainan ini bukan berarti pengurus tertentu terdiri dari ketua, sekretaris, pembantu dan lain-lain.

Tetapi perkumpulan tersebut bersifat lokal dan yang ada hanya orang-orang tertentu yang menuhai (mengepalai) sesuai urusan seperti ada tutuha bagian pengawasan masak-memasak yang dilakukan laki-laki

Ada juga tutuha bagian membuat sambal atau yang mengolah rempah-rempah yang dilakukan kaum perempuan. Selain itu juga ada tutuha dekorasi/perhiasan –anak muda remaja dan sebagainya. Bila ada orang yang mengadakan perkawinan mereka itu yang menerima tugas-tugas sesuai dengan keahliannya.

Dasar perkumpulan tidak lain dari pada untuk melancarkan atau meringankan sesuatu pekerjaan berat bagi kampung yang mempunyai arti besar bagi masyarakat.

Sebab tanpa ada mereka yang mengurus hal-hal yang disebutkan di atas, tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik. Pemimpin dari pada urusan tersebut di atas yang mengepalai semua bagian itu dan biasanya ialah tutua kampung yang tugasnya hanya mengkoordinir.

Pada umumnya di dalam sebuah kampung masyarakatnya bersifat homogin, artinya hampir semua terdiri dari masyarakat tani. Adanya lapisan-lapisan masyarakat itu disebabkan karena perbedaan kecerdasan pola pikir, keinginan dan watak kondisi fisik pada umumnya.

Maka ada yang disebut bubuhan atau turunan raja-raja, pedagang, ulama, petani dan orang yang terhutang. Tetapi lapisan masyarakat yang paling banyak adalah orang petani biasa yang rata-rata tiap keluarga kecil mereka punya sawah sendiri.

Untuk golongan pedagang jumlahnya di dalam satu kampung cukup banyak. Karena peranannya membeli atau menukarkan dengan barang-barang keperluan dengan hasil pertanian petani.

Sedangkan yang paling sedikit jumlahnya di dalam masyarakat adalah golongan raja-raja dan ulama, bahkan golongan ulama yang terkecil jumlahnya di dalam masyarakat dan tidak jarang hanya ada 4-5 orang saja.

C. Perubahan dalam Stratifikasi Sosial

Perubahan-perubahan golongan masyarakat yang sering terjadi ialah dari kaum tani menjadi golongan pedagang dan sebaliknya jarang terjadi. Tetapi dari golongan petani dapat pula menjadi ulama, karena hal pendidikan.

Semua golongan tersebut yang tidak pernah terjadi perubahan menjadi golongan-golongan raja-raja dan sebaliknya golongan raja-raja tidak akan terjadi perpindahan golongan ke golongan lain

Golongan raja-raja dimaksudkan yang ada di daerah Kalimantan Selatan adalah golongan gusti-gusti, yang pada umumnya bertempat tinggal di daerah Martapura dan Amuntai.

Sistem Kekerabatan Suku Banjar

Dalam masyarakat daerah Kalimantan Selatan berdasarkan pada sistem kekerabatan menurut garis ibu dan ayah. Tetapi diakui bahwa dalam bidang-bidang tertentu, sistem kekerabatan di daerah itu menurut garis ayah, seperti dalam hal wali atau asbah. Namun dalam bidang-bidang lainnya menurut garis ayah dan ibu.

A. Kelompok-kelompok Sistem Kekerabatan Suku Banjar

Yang dimaksud dalam kelompok kekerabatan adalah suatu kumpulan dari keluarga-batih yang merupakan satu kesatuan. Bentuk dari pada kelompok kekerabatan dalam masyarakat, mempunyai ciri paling sedikit enam unsur:

Ada bentuk kelompok kekerabatan dengan mengambil atau satu tokoh atau keluarga yang masih hidup sebagai pusaka cakal-cakal. Bentuk lain ialah hubungan kekerabatan diperhitungkan dengan mengambil seorang nenek moyang tertentu sebagai pangkal keturunan.

Selain itu ada bentuk kelompok kekerabatan yang berdasarkan pada kaitan atau wilayah yang mereka diami. Bentuk kelompok kekerabatan yang terakhir inilah menimbulkan sebutan: orang Pahuluan dan orang Banjar.

Mengenai orang Pahuluan dapat lagi dibagi daerah-daerah yang lebih kecil seperti: orang Kandangan, orang Barabai, orang Amuntai, orang Tapin dan sebagainya.

1. Keluarga Batih Dari perkawinan terbentuklah suatu kelompok kekerabatan yang sering disebut “keluarga inti”. Suatu keluarga batih terdiri dari seorang suami, seorang atau beberapa orang istri dan anak-anak yang belum kawin dan juga anak angkat atau anak tiri.

2. Keluarga Luas Keluarga luas selalu terdiri dari lebih dari satu keluarga-batih, yang seluruhnya merupakan suatu kesatuan sosial yang erat dan biasanya hidup tinggal bersama dalam suatu rumah

Bentuk keluarga luas yang ada lebih banyak di daerah Kalimantan Selatan, ialah keluarga luas yang oxorilokal yang terdiri dari suatu keluarga-batih senior dengan keluarga-keluarga batih dari anak wanita.

3. Prinsip-prinsip Keturunan. Pada umumnya di daerah Kalimantan Selatan dalam hal perwalian menurut sistem patrilineal seperti dalam hal pernikahan maka yang menjadi wali dari seorang wanita sebagai calon mempelai adalah ayahnya.

Jika tidak ada ayahnya maka saudara laik-lakinya dan seterusnya. Demikian pula hal asbah jika almarhum ayahnya meninggalkan anak, maka yang berhak menjadi asbah adalah anak laki-laki, jika tidak ada maka saudara laki-laki almarhum, jika tidak ada ayah almarhum dan saudara laki-laki almarhum juga tidak ada maka asbahnya mamarina laki-laki dari almarhum dan seterusnya.

Tetapi dalam hal lain seperti jual beli dan lapangan hukum perdata lainnya berlaku sistem bilineal artinya kedua belah pihak mempunyai derajat yang sama.

B. Isitilah Dan Pergaulan Dalam Kekerabatan Suku Banjar

Untuk menuliskan istilah-istilah dalam kekerabatan ini, maka untuk mudahnya kita fokuskan pada ‘ego’ (diri saya sendiri).

Dimulai dengan hubungan kekeluargaan ‘ego’ secara vertikal: ke atas (dari ‘ego’) abah (bapak); uma (ibu); kaye (kakek), nini (nenek), datu (bapak/ibu nenek datuk baik laki-laki maupun perempuan), sanggah (bapak/ibu dari datuk), waring (nenek dari datu). Hubungan ke bawah anak cucu (anak dari anak) buyut (anak dari cucu), intah (anak dari buyut).

Secara horizontal ini berlaku terhadap keluarga baik saudara abah (bapak) maupun terhadap keluarga itu, keduanya mempunyai kedudukan sama derajatnya.

Dimulai dengan istilah dari hubungan saudara pihak ayah/ibu: yakni, julak (saudara ayah/ibu yang tertua), gulu (saudara ayah/ibu yang kedua), Angah/tangah/Panangah (paman/bibi) dan yang lainnya biasanya menggunakan sebutan pakacil (paman) dan makacil (bibi).

Untuk seterusnya yaitu yaitu terhadap saudara kaye/nenek sama saja panggilannya dengan kaye/nini sendiri, demikian pula untuk saudara datu, ini juga dipanggil datu.

Di samping yang disebutkan di atas masih banyak istilah-istilah keluarga seperti: minantu (suami atau istri dari anak kita), mintuha (bapak/ibu dari kedua suami istri), mintuha lambung (saudara mintuha/istri suami), sabungkut (satu turunan datu yang sama), mamarina (saudara ibu/bapak), kamanakan (anak darti saudara kita), sapupu sakali (adik laki-laki/perempuan), panjulaknya (anak yang tertua) pabungsunya (anak yang terakhir), badangsanak (saudara seibu/sebapak).

Untuk panggilan terhadap keluarga yang statusnya di bawah, cukup dipanggil dengan nama saja. Tetapi tidak jarang ada seseorang yang status dalam lebih tinggi memanggil seseorang anggota keluarga yang di bawah dengan menyebut jabatan statusnya dalam keluarga.

Hal ini dilakukan untuk menunjukkan ras kasih sayangnya. Seperti: – Panggilan kepada anaknya yakni ‘anak’ – Panggilan kepada cucunya yakni ‘ cu ’ – Panggilan kepada buyutnya yakni ‘ yut

Panggilan ini pun dapat dilakukan terhadap kemenakan dipanggil ‘ hak ’, dan juga dapat dipanggil terhadap seorang anak yang bukan keluarganya. Demikian juga dengan cucu dan buyut.

Maka untuk di daerah Kalimantan Selatan umumnya dalam berbicara bagi mereka yang statusnya dalam keluarga di bawah harus baulan-basampian.

Maksudnya menggunakan kata ‘aku’ dan ‘kamu”. Sebaliknya bagi mereka yang statusnya dalam keluarga di atas kepada yang statusnya di bawah menggunakan istilah ‘ baku ’ dan ‘ baikam ’ untuk daerah Pahulu dan baunda banyawa untuk daerah Martapura dan Banjar.

C. Sopan Santun Pergaulan dalam Kekerabatan

Dalam kehidupan sehari-hari jarang sekali menyebut nama seseorang, apalagi kalau kedudukan, apalagi kalau kedudukan keluarga itu statusnya di bawah seperti panggilan itu kita fokuskan dari aku.

Datu, kaye, ni (nini), bah, (abah), ma (mama), lak (julak), ngah (tangah), cil (makacil/pakacil), anak (anak/kemenakan), cu (cucu), yut (buyut ) dan sebagainya.

Dalam berbicara antara orang yang peranannya dalam keluarga di bawah dengan yang di atas maka harus baulun/basampiyan. Ini terutama dilakukan oleh orang di daerah Pahuluan.

Untuk daerah Banjar pada umumnya menggunakan udan/nyawa (unda=aku; nyawa=kamu), untuk yang tua terhadap yang muda, atau sama muda. Cara halusnya digunakan panggilan sampiyan oleh yang muda dan ikam oleh yang tua.

Kosmologi dan Pandangan Hidup Suku Banjar, Kalimantan Selatan

Di dalam kosmologi suku Banjar termasuk juga alam yang tidak kelihatan, alam gaib sebagai tempat makhluk-makhluk halus hidup bermasyarakat. Nampaknya dunia ini bagi orang Banjar relatif atau tumpang tindih, sebab mungkin saja hutan rawa, semak belukar atau pokok kayu tertentu sebenarnya di dalam dunia gaib ialah kota, perkampungan, atau gedung megah milik orang gaib.

Dunia gaib di balik apa yang nampak ini di kalangan tertentu disebut sebagai bumi lamah (harpiah: bumi lemah). Juga ada istilah bumi rata untuk dunia gaib berupa gua-gua di gunung-gunung batu, yaitu tempat pemukiman masyarakat macan gaib.

Istilah yang pertama agak luas penyebarannya, sedangkan yang kedua lebih terbatas. Sebenarnya ada dunia gaib lain lagi, yaitu dunia para buaya yang terletak di bawah permukaan sungai, yang tidak penulis ketahui namanya.

Keterampilan atau kelebihan, bahkan juga kewibawaan, yang dimiliki seseorang konon bukan semata-mata diperoleh dengan belajar, melainkan dapat pula terjadi berkat kekuatan gaib yang ada pada dirinya, karena ilmu gaib yang diwarisinya, atau karena adanya makhluk gaib yang menopangnya.

Selain itu orang yang mempunyai keterampilan khusus atau mempunyai keistimewaan dibandingkan orang lain (seniman wayang, seniman topeng, ulama, tokoh berwibawa di kalangan bubuhan) dianggap mempunyai potensi untuk mengobati.

Selain itu berkembang anggapan bahwa bila ada 40 orang dalam suatu majelis doa atau majelis sembahyang jenazah, pasti termasuk di dalamnya orang yang saleh, yang doa-nya atau pun kutuknya sangat makbul.

Kepercyaan kepada dewa-dewa sebelum agama islam masuk ke Kalimantan Selatan, agama Siwa Budha telah lama berkembang di daerah Negara Dipa dam Negara Daha. Hal itu dibuktikan dengan adanya candi Larasnya yang terdapat di daerah Margasari, di mana terdapat bekas lingga, joni, nandi dan sebuah arca. Semuanya tidak utuh lagi.

Namun gambaran alam pikiran Siswais, para dewa dan sebagainya yang seutuhnya dalam agama Siwa tersebut, lenyap sama sekali.

Kayangan sebagai alam kayangan tempat hidup para dewa secara umum diketahui, melalui sarana-sarana tertentu seperti wayang, tari topeng, syair-syair tradisonal dan sebagainya. Namun cara penghayan dan pemahaman fungsinya bagi tiap orang berbeda.

Para dewa sebagai makhluk gaib, berdiam di kayangan. Dewa-dewa tertentu tinggal di Padang Purwasari, yaitu: Batara Kelana yang diidentifikasikan dengan Dasamuka (Ramayana), dan Batara Kala, biasanya disebut dengan nama Sang Kala, penghulu sekalian hantu-hantu

Batara Kala dikenal dengan sebutan Sang Kala sebagai dewa penguasa para hantu atau yang memelihara, memberi kemakmuran dan sebagainya. Tetapi yang paling terkenal adalah sebagai pembinasa, yang menjadi saluran hasrat mewujudkan pembalasan dendam melalui jalan halus.

Semar sebagai Dalang kalung-lungan juga sebenarnya dewa, dalam mantera-mantera dan jimat-jimat ia juga sering muncul, contohnya dalam kecantikan, mantera Semar Kuning, dan dalam jimat Tambang Liring.

Jimat ini ditulis dengan tinta yang dicampur dengan darah orang mati terbunuh, yang rohnya terus menerus dipuja. Gambar pokok, di samping ayat-ayat Qur’an yang terdapat, adalah Semar dengan anak-anaknya, Arjuna sebagai Batara Kamajaya pemelihara bidadari dan tujuh orang bodadari. Jimat ini dipakai untuk kecantikan dan pelaris.

Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus. Masyarakat Kalimantan Selatan umumnya mempercayai adanya alam makhluk halus yang meliputi, orang gaib tinggal di bumi lamah, berbentuk manusia gaib, mati dan melahirkan, hidup bermasyarakat seperti manusia biasa, dari lapisan-lapisan raja-raja, bangsawan, ksatria, ulama, dukun dan sebagainya.

Dalam hal ini golongan raja-raja Banjar mitologis sampai dengan beberapa raja Banjar historis dikategorikan dengan manusia alam gaib ini.

Yang terkenal dan selalu dipanggil dalam setiap upacara religi atau upacara adat dan selalau dipanggil dalam setiap upacara Puteri Junjung Buih, Pangeran Kecil, Panambahan Batuah, Menteri Empat seperti Panimba Segera., Pembelah Batung, Manguntung Manau, Mangaruntung Waluh, Pangeran Bagalung dan sebagainya.

Kepercayaan kepada para Muakkad dan Muwakkal; mereka juga dikategorikan kepada mahkluk halus yang terdapat dalam kepercayaan agama islam. Setiap manusia yang telah mencpapai tingkatan sempurna dan kewalian, mempunyai teman yang disebut muwakkal-muwakkal, mereka mengiringkan para wali ini.

Di daerah Kalimantan Selaran terkenal umpamanya muwakkal datu Kalampaian atau dalam sebutan umum Datu Baduk, seorang jin islam yang tinggi ilmunya dan datang bersama Syekh Arsyad al banjari dari Mekkah.

Kepercayaan kepada para datu; kepercayaan ini umumnya di daerah Kalimantan Selatan. Datu-datu ini terkenal dalam cerita rakyat berupa mitologi mengenai macam-macam aspek, umpanya datuk Pujung, datu pegunungan bukit Meratus, datu Kertamina, datu yang mneguasai para buaya, datuk Sapala dan sebagainya.

Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus. Makhluk-makhluk halus yang mendiami gundukan tanah (belah mika), punggur kayu, jenis-jenis kayu tertentu, parit sungat dan sebagainya.

Jenis-jenis hantu ini adalah: hantu kisut atau datung kebayan, sundel bolong, hantu suluh, (malam hari), agaman atau tak kau, merupakan diri sebagai kucing hitam yang bisa berubah menjadi sebesar kerbau dan sebagainya.

Wanita-wanita yang mempunyai pengajian ilmu yang salah, baik terhadap diri maupun untuk menguasai suami, dengan menggunakan minyak guna-guna, memakan jenis guna-guna yang kotor berupa makan atau minuman, matinya menjadi hantu orang dan disebut pejadian. Jenis ini disebut sandah.

Begitu selesai ditanam, mereka bangkit pada senja malamnya, menamu keluarga, minta makan dan sebagainya. Pejadian ini baunya seperti nanah manusia yang membusuk.

Sedangkan laki-laki yang memakan jenis-jenis minyak pujaan untuk menjadi jagoan, seperti memakan minyak gajah, minyak gangsa, minyak bintang, rangka riang semua matinya menjadi hantu. Yang makan rangka irang mati menjadi babi, berjalan pada kaki tangan dan membongkar comberan.

A. Aruh aan Selamatan; Upacara Adat Suku Banjar

Aruh adalah Upacara Adat Suku Banjar yang diadakan sebagai bagian yang wajib dan mengikat secara turun temurun, sedangkan selamatan diadakan sesuai dengan keperluan yang berlaku.

Aruh berasal dari bahasa Banjar. Masih digunakan oleh suku-suku bukit gunung meratus. Aruh bertujuan mengumpulkan masyarakat untuk upacara tertentu di mana aspek-aspek religius zaman dan hiburan bisa terkandung di dalamnya, dengan tekanan lebih kuat pada segi religinya.

Tekanan aruh terdapat pada usaha pengumpulan sejumlah besar orang-orang dari desa atau keluarga besar yang mengadakan gawi.

Selamatan muncul ketika masuk agama islam dengan jumlahnya 23 orang, selamatan bisa diadakan. Tekananya kepada pembacaan doa selamatan yang dipanjatkan kepada tuhan agar dikaruniai keselamatan atau sejahtera.

1. Tempat-tempat Upacara Tempat Upacara Adat Suku Banjar ini umumnya di tengah rumah yang disebut tawing halat, tempat menerima tamu terhormat. Untuk menyanggar banua tempatnya dilakukan di rumah dan di balai (panggung hanyar ) yang dibangun di muka rumah

Balai dibuat dibuat dari kayu dihias dengan hiasan serba 21 buah dari tebu kuning, tebu betung merah, mayang bungkus, mayang urai, beringin kurung, pisang manggala, dengan jantungnya.

Selain itu dihias juga dengan anyaman janur kuning dan pucuk nipah berupa anyaman halipan, anyaman burung lapas, anyaman girong, tombak keris, anyaman girong pesan-pesan, anyaman girong ular lidi dan anyaman girong kembang sarai.

Panggung hanyar kemudian ditutup dengan kain kuning, untuk upacara topeng, wayang. Selesai upacara di tengah rumah, tarian, wayang bisa diadakan di panggung biasa d luar rumah.

2. Saat dan waktu Upacara Waktu Upacara Adat Suku Banjar ini tidak selalu sama untuk setiap aruh. Untuk Aruh terbang besar bida dilakukan di bulan Maulud, tetapi juga di luar bulan Maulud, setiap waktu mengizinkan.

Untuk aruh menyanggar banua bisa menjelang akhir tahun (Hijriah), tetapi juga pada tiap waktu yang dianggap baik. Menyanggar untuk keluarga besar ada yang tiap tahun atau 25 tahun sekali pada hari baik ditentukan.

Pelaksanaannya tidak selalu sama, contoh Aruh tahunan biasanya dimulai pukul 12:00 siang pada hari Jumat. Menyanggar tergantung jenisnya, dan mualinya jam 12:00 siang pada hari Sabtu upacara ba-api-api dan sebagainya.

Manyanggar banua bertujuan untuk membersihkan desa, menolak bala dan sebagainya pada leluhur raja-raja dan Sangkala dan Aruh tahunan untuk dahar tahunan yang telah dijanjikan (khaul Jawa).

3. Benda dan Alat Upacara Jenis benda dan alat upacara untuk semua kegiatan bermacam-macam, seperti untuk menyanggar banua piduduk yang terdiri: berasal 5 liter air, kelapa gading 1 biji , gula merah, benang lawai, jarum atau pisau belati, telor ayam selasih, uang picis; makanan tradisional 41 macam atau lebih termasuk buah-buahan, makanan ini antar lain: jenis-jenis dodol, gagasan, wajik, bubur, gagauk, ketupat, nasi ketan, nasi punjung, parapah dan sebagainya. Parapah sendiri dibuat dari ikan gabus, ayam, kambing atau kerbau

Buah-buahan utamanya jenis-jenis pisang seperti: pisang nauli, pisang susu, pisang talas, pisang manurun, pisang manggala, pisang amas dan sebagainya. Kemudian nyiur tindan, mayang urai, air pidudus asal dari ulak-ulak sungai tertentu, sebagai air hurif. Tempat meletakan sajen disebuk ancak bakarawang-jurai kemasan.

Selain daripada itu ada pula perapian, dupa, menyan, tebu merah, pisang nauli, kain kuning, kembang surai, gong dan rebana (terbang) dan minyak lekat boreh.

Untuk aruh penopengan. Seluruh topeng-topeng segala jenis, perapian, menyan, ketan putih dan ketan kuning segantang 5 kati, telor ayam 7 biji, pisang mahuli setandan, minyak likat boboreh, beras kunyit, piduduk dan kopi pahit, kopi manis.

Aruh panopengan untuk pemujaan para penghuni alam ramai dan para pemelihara topeng serta mereka yang merasuki penari topeng dengan dahar tahunan sesuai janji yang diberikan.

Untuk arauh palamutan. Terbang besar (jenis rebana besar sebesar nyiru besar), piduduk ketan putuh dengan inti kepala gula, telor ayam 3 biji, perapian, dupa dan minyak likat boboreh. Upaya ini untuk memuja dewa laut.

Selain itu untuk aruh pamadihinan. : terbang kecil dengan bahan, piduduk, ketan putih dengan inti kelapa, pula telor ayam tiga biji, parapian, dupa dan minyak ikat boboreh, bertujuan untuk memuja dewa laut.

Untuk aruh terbang besar : Untuk memanggil para maakkad, muwakal dan ruh wali yang telah wafat. Sajinnya 41 macam makanan, hadap-hadap yang terdiri: nasi lemak putih, nasi ii dibentuk sepeti punjung.

Di bawahnya diberi telor bebek 40 biji badan punjung dihias dengan dadar telor yang diiris panjang, puncak punjung dihias dengan kembang serai. Hal-hal lain yang diperlukan upacara : perapian, dupa, bunga rampai, 40 orang pelaksana dan 27 buah bendera kecil bermacam-macam warna.

4. Pimpinan dan Peserta Upacara Pimpinan dan peserta upacara tergantung dari jenisnya. Akan terdapat bermacam jenis pimpinan dan peserta upacara, seperti umpamanya pada: upacara aruh menyanggar buana.

Pimpinan umum bisa dipegang kepala desa atau sesepuh lainnya dan bertugas menggerakkan orang-orang desa atau kerabat besar yang melaksanakan Upacara Adat Suku Banjar itu, mau dan prihatin turun tangan dengan segala macam sumbangan yang diperlukan

Adapun jenis Upacara Adat Suku Banjar yang dilakukan diantaranya. Upacara Badewa dipimpin oleh wanita tua dan diiringi oleh kerabat laki-laki dan wanita.

Upacara kudang mara untuk mengundang semua orang gaib, kayangan dan lain-lain dilakukan ki Dalang. Upacara sampir dipimpin oleh dalang sampir.

Ki dalang sampir yang menutup upacara ini kemudian pada hari berikutnya menjelang matahari terbenam. Upacara badudus dipimpin oleh tetua serta dilakukan oleh setiap orang yang mengikuti acara tersebut. Serta upacara selamatan dipimpin oleh tetua yang membacakan doa selamat.

B. Pepatah Dan Simbol Religius Suku Banjar

Suku Banjar masih memercayai pepatah dan simbol-simbol yang mereka gunakan sebagai pandangan hidup mereka. Pepatah itu juga masih hidup masih sampai sekarang. Dalam percakapan sehari-hari dikeluarkan.

Akan tetapi ingin menggolongkan pepatah yang berhubungan dengan kepercayaan, yang berhubungan dengan upacara adat. Kehidupan sehari-hari, maka akan ditemui kesukaran. Namun tidak ditemui pepatah-pepatah khusus digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Di samping pepatah banyak juga dijumpai kalimat-kalimat ungkapan yang sangat mirip dengan pepatah. Sejenis ungkapan itu adalah semboyan-semboyan yang sangat sering digunakan baik oleh masyarakat luas untuk ungkapan sehari-hari maupun oleh pejabat pemerintah untuk pembicaraan-pembicaraan resmi atau pidato.

Contoh ungkapan seperti dimaksudkan di atas adalah seperti berikut: Dalas balangsar dada= sanggup mengambil risiko berjalan dengan dada. Kalimat ini adalah ungkapan keuletan, kekerasan kemauan guna mencapai sesuatu yang dimaksud.

Contoh Pepatah dan Semboyan Banjar

Berikut ini diterapkan pepatah-pepatah serta ungkapan dan semboyan-semboyan ini dituliskan dalam bahasa Banjar.

Akal mamilanduk. Akal seperti pelanduk (kancil). Membuat alasan-alasan licik untuk menghindari pekerjaan.

Mengaji mulai di alif. Bekerja dengan rajin dan gigih sepanjang hari untuk mendapatkan rezeki.

Turun ayam naik ayam. Bekerja dengan rajin dan gigih sepanjang hari untuk mendapatkan rezeki.

Kaya bagung jadi raja, baras dihamplas. Sperti bagong jadi aja, beras diempelas. Maksudnya orang yang tidak pada tempatnya jadi pimpinan, mau menyuruhkerjakan yang tidak pada tempatnya.

Umbah handak bahira hanyar mencari luang. Setelah mau berak baru mencari lobang. Dikiaskan pada sesuatu pekerjaan yang tidak disiapkan sebelumnya.

Sandu-sandu (ambak-ambak) bakut, amun maluncat limpua hampang. Jinak-jinak bakut (bakut sejenis ikan gabus), kalau melompat lewat empang. Maksudnya dikiaskan kepada sesuatu pekerjaan kepada orang yang tampak alim tapi kalau mengerjakan sesuatu maksiat berlebihan.

Tuklak bamutur, bulak bajalan. Pergi naik mobil, kembali berjlan. Sesuatu pekerjaan yang awalnya mudah tetapi kemudian sulit.

Selain yang dicontohkan pepatah di atas, masih banyak lagi pepatah-pepatah tergantung pandangan hidup, religi atau mitos yang terdapat di suku Banjar.

Namun masyarakat Banjar masih juga mengenal dengan adanya simbol atau tanda-tanda yang berhubungan dengan kepercayaan atau upacara adat. Simbol ini berupa tanda yang diukirkan, dilukiskan dan juga tanda yang dibentuk, jadi trimatra.

Simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan. Yang sangat umum dipakai sebagai simbol ialah cacak burung (cecak burung). Wujud dari tanda ini sangat sederhana

Ada sebuah garis horizontal tadi, persis seperti tanda tambah. Bagian kiri dan kanan dari garis horizontal sama panjang, demikian pula dengan bagian atas dan bawah garis vertikal. Bahkan keempat bagian itu sama panjangnya. Simbol ini dibuat untuk menolak roh jahat, menolak penyakit, menolak bala dan lainnya.

Simbol ini banyak digunakan untuk kepentingan penjagaan dan pengobatan seperti untuk menjaga makanan. Melihat simbol ini maka ada kemungkinan ada hubungannya dengan dunia bawah dan dunia atas.

Cecak dalam kesatuan pohon hayat merupakan lambang dunia bawah, sedangkan burung merupakan lambang dunia atas. Cecak dilambangkan garis horizontal

Garis horizontal berarti pula sifat bertahan sebagai perisa, berfungsi menangkis segala serangan. Burung dilambangkan dengan garis vertikal

Garis vertikal ini dilambangkan aktif, menyerang, mengusir dan memburu. Dari filsafat yang dimilikinya ini maka cecak-burung merupakan alat yang ampuh untuk menangkis, melawan dan menyerang roh jahat.

Simbol yang kedua yang digunakan baik untuk hal yang menyangkut kepercayaan maupun yang menyangkut upacara adat ialah simbol pohon mayat.

Orang Dayak Kalimantan Selatan ini menyebutkan langgatan. Orang Dayak percaya bahwa roh nenek moyang, pujut (penguasa hutan) turun mendaki manusia melalui langgatan ini, demikian pula naiknya ke negeri asal roh itu melalui langgatan pula.

Simbol ketiga adalah sindat, yang berguna mengunci sesuatu agar tidak diganggu oleh roh jahat.

Kata-Kata Tabu

Kata tabu masih dikenal terutama oleh masyarakat pedesaan. Kata tabu ini pantang diucapkan. Di Kalimantan Selatan ini pantangan-pantangan, baik berkenaan dengan kata-kata maupun dengan perbuatan yang disebut dengan pamali.

Pamali berarti pantangan atau larangan dan yang melanggarnya akan merima akibat. Kata-kata tabu di Kalimantan Selatan dapat digolongkan dengan upacara adat, kehidupan sehari-hari.

Pandangan hidup masyarakat suku Banjar termasuk masih menganut keparcayaan yang sangat kuat. Pengaruh-pengaruh dari orang-orang zaman dulu masih dipakai sebagai warisan. Meskipun tidak dipungkiri teknologi yang masuk dapat memengaruhi pola pikir suku Banjar.

Seni dan Tradisi Suku Banjar

Tari Baksa Kembang, Tarian Tradisional Kalimantan Selatan

Tari Baksa Kembang berasal dari daerah Banjar, Kalimantan Selatan sebagai tarian untuk menyambut tamu. Tarian tradisional Kalimantan ini biasanya ditarikan oleh wanita, baik tunggal dan dapat juga di-tari-kan oleh beberapa penari wanita.

Awal mulanya sekira abad 15 sebelum masehi, seorang pangeran bernama Suria Wangsa Gangga di kerajaan Dipa dan Daha di pulau Kalimantan mempunyai seorang kekasih bernama putri Kuripan.

Satu peristiwa di waktu yang lain adalah saat putri Kuripan memberikan setangkai bunga teratai merah pada pangeran. Peristiwa itu merupakan cikal bakal lahir tarian Baksa Kembang di Banjar provinsi Kalimantan Selatan.

Menurut Yurliani Johansyah, pakar tari klasik Banjar. Tari Baksa Kembang ada sejak sebelum pemerintahan Sultan Suriansyah raja pertama Kerajaan Banjar. Tarian ini diciptakan satu masa dengan tari Baksa lainnya, Baksa Dadap, Baksa Lilin, Baksa Panah dan Baksa Tameng pada zaman Hindu sebelum Islam datang.

Tarian Baksa Kembang adalah Tarian untuk menyambut tamu-tamu kehormatan atau kerabat-kerabat kerajaan. Tarian ini juga dilakukan oleh masyarakat umum dalam acara-acara pernikahan atau acara-acara adat

Awalnya tarian ini adalah tarian yang berada di lingkungan kerajaan. Pada satu waktu, kerajaan membuka akses kerajaan bagi masyarakat sehingga kebudayaan di kerajaan terbawa sampai masyarakat umum.

Saat ini, tarian Baksa Kembang masih dipakai acara-acara untuk menyambut tamu-tamu yang dihormati meskipun masih banyak penari-penari tari Baksa Kembang belum memahami arti dan nilai Tarian Baksa Kembang

Baksa memiliki arti kelembutan. Tarian Baksa kembang adalah bentuk kelembutan tuan rumah dalam menyambut tamu yang dihormati. Sambutan tersebut dilakukan dengan cara Penari tari Baksa Kembang memberikan rangkaian bunga kepada tamu yang dihormati.

Nilai-nilai tersebut merupakan transformasi dari cinta sepasang kekasih pangeran Suria Wangsa Gangga dengan putri Kuripan.

Penari tari Baksa Kembang mesti ganjil. Selain itu, rangkaian bunga yang diberikan kepada tamu kehormatan merupakan rangkaian bunga perpaduan dari bunga mawar dan melati yang disebut oleh masyarakat setempat kembang Bogam.

Tari Radap Rahayu, Tarian Tradisional Kalimantan Selatan

Tari Radap Rahayu adalah tari klasik daerah Banjarmasin dan bersifat sakral. Tari ini merupakan tarian untuk menyambut tamu sebagai tanda penghormatan.

Pada awalnya, Radap Rahayu adalah tarian yang memiliki fungsi sebagai penolak bala dan bersifat ritual bagi masyarakat Banjarmasin. Tari Radap Rahayu dilakukan pada upacara seperti kehamilan, perkawinan dan kematian.

Kata radap berasal dari beradap-adap yang memiliki arti bersama-sama, berkelompok dan atau lebih dari satu. Rahayu memiliki arti galuh wan bungas yang cantik. Selain itu, Rahayu memiliki arti kebahagian, kesenangan, kemakmuran.

Tarian Radap Rahayu sebagai tari penolak bala dan tari meminta keselamatan berasal dari peristiwa dimana kapal Perabu Yaksa berisi patih Lambung Mangkurat yang pulang berkunjung dari kerajaan majapahit. Ketika sampai di Muara Mantuil dan akan memasuki Sungai barito, kapal ini kandas di tengah perjalanan. Perahu oleng dan nyaris terbalik.

Situasi itu membuat patih Lambung Mangkurat memuja “Bantam” yaitu meminta pertolongan pada yang maha kuasa agar kapal diselamatkan. Tak lama kemudian turun tujuh bidadari ke atas kapal kemudian mengadakan upacara beradap-adap. Akhirnya kapal selamat dan para bidadari kembali ke kayangan.

Hal itu ditandai dengan gerakan awal dan akhir tarian Radap Rahayu yaitu gerak “terbang layang”. Kini tarian Radap Rahayu lebih dilakukan saat acara-acara penyambutan tamu-tamu sebagai tanda penghormatan.

Pada tahun 1956, tari Radap Rahayu berkembang pesat dan dikenal oleh masyarakat luas. Perkembangan maju tari Radap Rahayu terjadi berkat jasa Amir Hasan Kiai Bondan yang mengembangkan tari Radap Rahayu melalui organisasi Badan Kesenian peradaban Kebudayaan Indonesia (Perpekindo Kalsel)

Ada beberapa teknik tari Radap Rahayu diantaranya adalah terbang layang, limbai kibas, dandang mangapak, mendoa (Sesembahan), mambunga, alang manari, lontang penuh, lontang setengah, gagoreh srikandi, mantang, tarbang layang, mendoa, membunga, tapung tawar, puja Bantam, angin tutus, tarbang layang.

Ladang Gunung, Sawah Dan Kehidupan Suku Banjar

Daerah Banjar terkenal dengan pertanian ladang dan pertanian sawah. Pertanian ladang atau disebut ladang gunung. Di samping menanam padi di ladang, juga ditanam jenis tanaman Sembilan terutama kacang-kacangan. Pertanian di ladang ini menempati tempat kedua setelah pertanian di sawah.

Teknik pertanian. Pertanian ladang ini biasanya dilakukan di daerah pegunungan di mana tanah masih banyak dan luas, yang memungkinkan mereka ini untuk berpindah-pindah tempat untuk mencari daerah-daerah yang subur.

Untuk pertanian ladang biasanya ada dua macam tanah yaitu tanah yang masih berhutan lebat dan tanah yang hanya ditumbuhi alang-alang.

Pada tanah yang berhutan lebat urutan pekerjaan yang dilakukan untuk melaksanakan pertanian ladang adalah menebang dan menebas hutan, memotong kayu dan membakar kayu tersebut.

Sedangkan pada tanah yang hanya ditumbuhi alang-alang yaitu membersihkan dan mencangkul tanah dalam gumpalan-gumpalan kecil dan alat untuk mencangkulnya diperlukan tajak gunung. Setelah itu dilubangi lagi dengan halu tugal dan ke dalam lubang dimasukan bibit.

A. Upacara-upacara dalam Pertanian Orang Banjar

Dalam upacara pertanian ladang di Kalimantan selatan ini dikenal adanya upacara yang disebut tandik sontokip, yakni sejenis tarian suku bangsa dayak di daerah Marindi —- Tabalon dari upacara ini adalah untuk meminta kepada Sang Hiang, agar dalam melaksanakan menanam padi selamat dan memberikan hasil yang memuaskan. Tarian ini dipimpin oleh seorang dukun wanita

Pertanian sawah. Daerah Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah penghasil beras utama di Indonesia di samping daerah Sulawesi Selatan.

Lokasi penghasil beras di Kalimantan Selatan meliputi, Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tapin dan daerah Barito Selatan serta Pleihari. Adapun jenis-jenis sawah di daerah Kalimantan Selatan adalah.

Sedang jenis padi yang dihasilkan sawah-sawah tersebut adalah padi bayar putih, bayar melintang, bayar kuning, karang dukuh, siam, ketan putih, ketan hitam, kencana, palun dan sebagainya.

Cara pertanian di awah untuk daerah Kalimantan Selatan masih dilaksanakan secara tradisional, dimulai dari menanam bibit padi, memelihara, dan menuai (panen). Bukan hanya itu, teknik pertanian pun disesuaikan dengan kondisi alam setempat, misalnya orang menanam bibit padi selain dilakukan di atas tanah tinggi, juga ditanam di atas rakit yang diberi tanah. Sedangkan ani-ani digunakan sebagai alat untuk memotong padi pada umumnya.

Selain itu waktu yang tepat waktu musim mengetan padi orang-orang secara bergotong royong mengetam padi di sawah yang disebut ba-arian atau bahandipan. Setelah diketan padi tersebut disimpan untuk sementara ditempatkan di tempat yang dinamakan kerambat.

Kemudian setelah diirik (dipisahkan dari tangkai) dan dipompa lalu dijemur dan kemudian disimpan di dalam tempat yang disebut kindai atau kerangking.

Dalam hal ini daerah Kalimantan Selatan dikenal dengan adanaya upacara-upacara yang bertujuan agar panen melimpah, antara lain.

Upacara memberasihi. Pada waktu akan mengetan, untuk pelaksanaan upacara ini disediakan sajen berupa nasi lemak dan kakulih yang disediakan dan dibacakan doa selamat. Sedang pada pondok-pondok orang yang akan mengetan dinaikkan bendera kuning.

Setelah itu mereka turun ke sawah menghampiri padi yang sudah masak itu dan mulai mengetan dengan membaca selawat. Padi yang diketan hanya tiga tangkai. Lalu dibungkus dengan kain kuning yang sudah disediakan dan dibawa ke pondok untuk seterusnya diletakan ke tengah kindai sebagai penyaru padi-padi yang lainnya. Setelah itu baru dimulai mengetan secara bergotong royong.

Selain itu adapula upacara ba-andi-andi. Dalam upacara ini lebih bersifat kesenian di mana kalangan rakyat Kalimantan selatan ba-andi-andi yang dinyanyikan pada waktu sedang mengetan padi dan mairik (memisahkan gabah dari tangkai padi).

Hal ini bertujuan untuk membangkitkan para pekerja agar mereka bekerja lebih giat dan menjadi agar padi tidak rusak. Adapula yang disebut lagu ahooi. Pada prisnsipnya sama dengan ba-andi-andi yakni bertujuan untuk menghilangkan rasa lelah dan membagkitkan gairah kerja.

B. Mealir, Sistem Berburu Suku Banjar

Di daerah Kalimantan Selatan, jenis binatang hutan umumnya diburu orang adalah meliputi binatang yang terdapat di darat yang dikenal dengan istilah Bagarti seperti: menjangan (kijang), pelandak (kancil).

Binatang liar lainnya seperti babi, kerbau liar, kera dan jenis unggas seperti burung belibis, burung punai, burung aanyaman, burung palung, burung titikusan, burak-burak burung putih dan sebagainya.

Sedang kalau berburu di perairan dikenal dengan istilah mealir. Biasanya yang diburu adalah buaya, biawak, ular sawah, dan puraca, yang diambil kulitnya saja dan tidak untuk dimakan. Akan tetapi kadang dagingnya dijadikan obat seperti daging buaya untuk obat gatal

Bisanya dalam perburuan dilakukan perhitungan, untuk menghitung waktu diperlukan kitab Tajulmuluk, yaitu membuka 3 lembar ke belakang lalu menafsirkannya dan perburuan dimulai ketika waktu baik tiba

Biasanya perburuan dilakukan pada waktu bulan muda dengan mencari hari ganjil dan bulan purnama. Berburu dilakukan pada waktu sore hingga menjelang petang, sedangkan jika siang hanya untuk berburu binatang seperti buaya, ular sawah dan paruca.

Perburuan di daerah Kalimantan Selatan umumnya dilakukan hanya untuk mengisi waktu senggang sesudah panen atau jika ada perlu untuk selametan desa. Di samping itu perburuan bukanlah mata pencaharian utama penduduk Banjar

Adapun pantangan-pantangan dalam melakukan perburuan antara lain:

  1. Tidak boleh melihat ke belakang pada waktu akan berangkat.
  2. Tidak boleh menyebut nama binatang yang akan diburu, seperti kalau menyebut menjangan harus mengatakan si Raja, kalau kancil disebut dengan istilah si Ratu dan sebagainya.
  3. Tidak boleh membakar terasi.
  4. Tidak boleh bertengkar.
  5. Tidak menunjuk bintang yang diburu dengan ibu jari.

Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk berburu umumnya menggunakan renggi, lipah, parang panjang, sumpitan, anjing, jebak, pulut, jaring dan sebagainya

Berbeda dengan berburu buaya, berburu buaya membutuhkan pawang dan tidak lupa upacara agar diberikan keselamatan. Untuk upacara nya diperlukan sesajen berupa nasi lemak putih dan kuning segantang 5 kati, telor 7 butir, 1 sisir pisang emas, piduduk.

Setelah sesajan tersedia pealiran dengan berpakaian kuning turun ke perahu yang telah disediakan dan menuju ke tempat buaya berada.

Setelah membaca mantera, buaya tersebut akan datang dengan sendirinya menyerahkan diri pada pealiran tersebut. Setelah diberi sesajen, kemudian buaya digiring dan dibunuh. Biasanya buaya yang dialiri adalah buaya yang suka memakan korban.

Secara singkat dapat dikemukakan lagi bahwa tujuan berburu di Kalimantan Selatan dibagi menjadi 3 macam:

Pada umumnya hasil perburuan dibagi dengan ketentuan sebagai berikut: apabila hasil itu untuk keperluan para peserta perburuan tersebut, maka hasilnya dibagi diantara mereka, akan tetapi, jika perburuan itu untuk kepentingan desa seperti untuk selamatan, maka hasilnya di-konsumsi oleh masyarakat desa.

Di samping kedua cara pembagian ini, maka terdapat pula sistem pembagian intern peserta perburuan sebagai berikut: apabila wanita sedang mengandung ikut berburu, maka wanita itu mendapatkan 2 hasil bagian dari hasil perburuan tersebut.

Tujuan lain dari berburu yaitu untuk membasmi binatang liar yang seringkali merugikan masyarakat seperti merusak hasil pertanian, kebun atau yang berbahasa adalah untuk keselamatan manusia.

C. Tradisi Meramu Hutan, Suku Banjar

Sejak dulu daerah Kalimantan Selatan banyak terdapat hutan-hutan yang merupakan tempat meramu baik untuk keperluan keluarga (membangun rumah, balai dan sebagainya) maupun untuk keperluan desa atau untuk diperdagangkan. Hutan-hutan lebat yang terdapat di-berbagai tempat itu merupakan subtropik yang berupa hutan-hutan payau, hutan nipah, hutan rawa, hutan gunung, hutan bukit dan sebagainya.

Tempat-tempat meramu yang terkenal di daerah Kalimantan Selatan ini antara lain Sungai Balu, Teluk Bagandi, Malintai, Garis, Muara Muning, Margasari, Bongkang, Muara Uya, Botok-botok, Panjaratan, Jilatan, Jorong, Pegatan, Tabunganen, Satui, Kintab, Pengaren Pulau Kedap dan sebagainya.

Tempat-tempat meramu yang banyak terdapat di daerah Kalimantan Selatan itu pada umumnya menghasilkan jenis-jenis ramuan seperti kayu ulin, kayu balangiran, rotan dan ulatong, damar dan berbagai getah kayu lainnya.

Kayu hutan lainnya seperti kayu maranti, karuing, sintuk lanan, bangkirai, galan, galih (kayu ulin yang sudah mati), bambu dan paring, daun nipah dan daun rumbia serta purun.

Untuk melakukan pekerjaan meramu yang sifatnya berat seperti meramu kayu ulin dan jenis kayu lainnya, biasanya dilakukan oleh kelompok atau keluarga, sedang meramu yang sifatnya ringan dan tempatnya tidak jauh kadang-kadang dilakukan oleh perorangan seperti meramu daun nipah atau rumbia

Biasanya terdapat jenis pembagian pekerjaan di antara kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan ini, seperti misalnya dalam masyarakat penebang kayu ulin, yang tua dan yang kuat, mereka mendapat tugas menebang, sedangkan anak-anaknya membuat sirap (bahan untuk atap).

Dalam masyarakat peramu galan, yang tua menebang dan mengangkat, sedangkan anak-istri dan yang muda memotong dan membelah untuk dijadikan kayu api.

Dalam melaksanakan pekerjaan meramu di daerah Kalimantan Selatan tidaklah dikenal adanya upacara yang berhubungan dengan meramu. Pada umumnya kelompok yang akan meramu itu hanya melanjutkan tradisi dulu

Apabila pekerjaan yang dilakukan memakan waktu yang lama, mereka berangkat dengan membawa perbekalan secukupnya dan biasanya mereka membawa pisang dan gula merah lebih banyak dari pada yang lainnya

Bahan-bahan yang diramu itu dicari dan dikumpulkan dari hutan-hutan dan kemudian ditunjuk lebih dahulu di tepi-tepi sungai untuk kemudian diangkut dengan perahu atau dirakit ke tempat tinggal kelompok itu atau ke tempat penjualan, seperti misalnya kayu galan yang dihasilkan dari daerah Barito Kuala.

Kayu ini dicari di hutan-hutan di tepi-tepi atau di sekitar sungai dan ditumpuk di tepi sungai yang kemudian dibawa dengan perahu ke Banjarmasin untuk dijual. Demikian juga dengan bahan-bahan yang lainnya seperti purun, daun nipah dan sebagainya.

Sedangkan untuk penebangan kayu ulin di daerah Pleihari seperti di Jorong, Asam-asam, Kintab para peramu telah mendapatkan hasil secukupnya, maka untuk mengangkut kayu-kayu tersebut digunakan tenaga kerbau sebagai penarik yang disebut dengan istilah pehadangan.

Cara ini telah mereka lakukan secara turun temurun, di mana kayu-kayu ulin yang diperoleh ditarik dari pedalaman dengan gelinding kerbau.

Hasil-hasil yang dikumpulkan itu umumnya digunakan untuk keperluan masyarakat seperti kayu ulin digunakan untuk sirap, tongkat, balok-balok untuk membangun gedung, jembatan, tiang-tiang telepon atau listrik, bantalan rel kereta api dan sebagainya.

Kayu-kayu hutan lainnya seperti karuing, sintuk lanan dan sebagainya, di samping untuk bangunan rumah juga untuk membuat perkakas rumah tangga seperti lemari, kursi dan lainnya. Kayu galan digunakan untuk bahan bangunan, jembatan, kayu api dan sebagainya.

Rotan digunakan sebagai bahan untuk membuat barang-barang kerajinan yang merupakan salah satu hasil khas dari daerah Kalimantan Selatan ini seperti anyaman-anyaman tikar, lampit, kipas, bakul, kursi dan sebagainya.

Sedangkan lampit merupakan salah satu barang export daerah yang bersifat khas, di samping itu rotan juga digunakan sebgai alat pengikat. Daun nipah digunakan untuk membuat kajang dan daun rokok.

Kajang ini digunakan untuk atap perahu, atap rumah, sedang buah nipah dibuat sebagai manisan dan pelepahnya dijadikan keranjang, lampit dan sebagainya. Purun digunakan untuk membuat alat-alat keperluan rumah tangga seperti bakul, tikar, kampil dan lain-lain. Kerajinan anyaman purun ini merupakan mata pencaharian tambahan.

Kerajinan Suku Banjar, Seni Ukir Dan Anyaman

Faktor kekayaan alam Kalimantan memberikan berbagai kemungkinan kepada penduduknya untuk memanfaatkan hasil-hasil kekayaan alam tersebut dengan berbagai cara antara lain dengan usaha-usaha kerajinan yang sejak dulu telah dikembangkan di desa yang ada di Kalimantan Selatan.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa usaha-usaha kerajinan yang terbanyak dikerjakan oleh penduduk desa adalah sebagai usaha tambahan di samping mata pencaharian utama bertani atau menangkap ikan.

Usaha-usaha kerajinan tangan ini yang berhubungan dengan kerajinan menganyam sejak turun temurun tetap hidup dan berkembang sebagai tambahan penghasilan yang besar artinya bagi penduduk.

Sejak dulu sampai sekarang terutama pengerjaannya masih manual, terutama penduduk desa ialah kerajinan anyaman yang meliputi pembuatan anyaman tikar purun, bakul purun dan topi purun.

Demikian juga dengan anyaman rotan yang masih tradisional. Maka tidak heran jika hasilnya ada yang halus dan masih ada juga yang kasar. Barang-barang anyaman yang halus dan yang kasar dihasilkan di daerah Margasari, seperti bermacam-macam tangguk, kipas, bintingan, kotak jahitan, kopiah.

Sebenarnya seni anyaman ini di Kalimantan biasanya dibagi dalam dua macam yaitu, seni anyaman suku bangsa Dayak dan seni anyaman yang bukan suku Dayak.

Seni anyaman pada suku Dayak berhubungan erat dengan kepercayaan Kaharingan, terutama dalam nyanyian-nyanyian pujaan mereka, sehingga hasil anyaman mereka merupakan wujud atau manifestasi keagamaan mereka. Bahan-bahan yang dipakai adalah rotan dan cara pembuatannya sangatlah halus.

Seni anyaman yang bukan orang Dayak, termasuk Kalimantan Selatan bahan yang terutama dipakai adalah purun, rotan, bambu, juga masih dipakai, akan tetapi tidak sebanyak seperti pada purun. Jenis anyaman sebagai mata pencaharian rakyat terdapat di desa-desa seperti tikar, kampil, bakul belangsai, dan lain sebagainya.

Sebaliknya anyaman tikar perhiasan yang halus memakai sistem anyaman tunggal. Sifat dan kasar seni anyaman dari tikar perhiasan pada umumnya berasal dari seni anyaman suku bangsa Dayak dan dari luar. Corak tikar perhiasan kebanyakan bermotif tapak catur, bintang berhamburan, pancar walu, belah ketupat, gigi haruan dan daun melancar.

Selain itu ada juga yang terkenal teknik anyaman kopaih pekat dan kopiah janggang (bahan dari ekor kuda atau dari jangang ) yang dibuat oleh orang Banjar. Karena halus anyamannya dan hampir serupa dengan kain tenun.

Di samping kerajinan menganyam di Kalimantan Selatan terdapat kerajinan mengasah intan dan batu-batuan. Pusat pengasahan intan yang terkenal sejak dulu ialah Martapura.

Teknik pengasahan secara tradisional yakni dengan memakai alat-alat penggosok yang masih sederhana. Dari teknik penggalian yang sederhana ini telah menghasilkan intan-intan besar dengan harga jutaan misalnya, intan Trisakti dengan ukuran 166,72 karat ditemukan pada akhir tahun 1965.

Intan Galuh Cempaka dengan ukuran 29,75 karat yang ditemukan di pedalaman intan rakyat di kampung Cempaka pada tanggal 18 Agustus 1966. Intan Galuh Badu dengan ukuran 26,5 karat ditemukan pada tanggal 27 November 1967, di kampung Bentok, Kecamatan Bati-bati Pleihari.

Mengukir. Yang diukir adalah rumah-rumah dan alat-alat perkakas yang digunakan oleh masyarakat. Sifat dan dasar ukiran yang dijelmakan sebagian berasal dari pengaruh suku Dayak yang disebut ukir bini, misalnya dengan motif bunga-bungaan, pohon-pohonan, buah-buahan dan binatang

Bagian rumah yang diukir adalah pada puncak rumah, papilis, pintu ( dani lawang ), jendela ( dahi lalongkamg jendela ) dan dinding ruangan muka bagian dalam ( anjung ambin sayup ). Sedangkan alat untuk mengukir menggunakan tatah, jembangan, pucuk rabung, gigi haruan dan awan.

Sedangkan untuk alat-alat perkakas dikenal tiga macam yaitu ukiran surut, ukiran dalam dan ukiran berangkap. Ukir surut kebanyakan terdapat pada alat-alat rumah tangga seperti sampiran, cupak gantang (takaran beras), hulu pisau raut dan lain-lain.

Sedangkan ukir dalam dan ukir berangkap, terdapat pada macam-macam alat-alat perhiasan seperti penginangan kayu, pet, kalandan, tangkai gayung, kepala keris, badik, parang, sarung tombak, kepala tongkat, gerbong, nisan kubur dan lain-lain.

Salah satu kerajinan penduduk yang telah ada sejak dulu adalah mengukir (= menatah ), memberikan tatah =ukiran dari kayu untuk perhiasan rumah, pinti-pintu rumah (tatah dahi lawang), jendela, juga ukiran-ukiran pada perahu-perahu, makam.

Selain itu ada juga ukiran pada bahan-bahan kuningan seperti tempat sirih pinang ( penginangan ), peludahan, peti kuningan dan sebagainya terutama dibuat oleh orang Banjar Negara.

Selain itu dibuat pula ukiran-ukiran dari bahan tanduk dan kayu untuk kepala keris dna tongkat yang terutama dikembangkan di Amuntai, Barabai, Martapura dan Banjarmasin.