etnografi

Suku Banten; Sejarah, Budaya dan Tradisi

Suku Banten menggunakan bahasa Banten. Bahasa Banten adalah salah satu dialek bahasa Sunda yang lebih dekat kepada bahasa Sunda kuno yang pada tingkatan bahasa Sunda modern dikelompokkan sebagai bahasa kasar.

PublishedJuly 7, 2013

byDgraft Outline

Suku Banten, lebih tepatnya Orang Banten adalah penduduk asli yang mendiami bekas daerah kekuasaan Kesultanan Banten di luar Parahiyangan, Cirebon dan Jakarta. Sejak abad ke 11 hingga 12 saat berdirinya Kerajaan Sunda, di daerah Banten sudah ada pemukiman.

Daerah ini berkembang pesat pada abad ke-16 saat Islam masuk pertama kali di wilayah tersebut. Perkembangan pemukiman ini kemudian meluas atau bergeser ke arah Serang dan ke arah pantai.

Pada daerah pantai tersebut, didirikan Kesultanan Banten oleh Sunan Gunung Jati. Kesultanan ini seharusnya menguasai seluruh bekas Kerajaan Sunda di Jawa Barat.

Hanya saja Sunda Kalapa atau Batavia direbut oleh Belanda serta Cirebon dan Parahiyangan direbut oleh Mataram. Daerah kesultanan ini kemudian diubah menjadi keresidenan pada zaman penjajahan Belanda.

Mula-mula Banten merupakan pelabuhan yang sangat ramai disinggahi kapal dan dikunjungi pedagang dari berbagai wilayah hingga orang Eropa yang kemudian menjajah bangsa ini.

Pada tahun 1330 orang sudah mengenal sebuah negara yang saat itu disebut Panten, yang kemudian wilayah ini dikuasai oleh Majapahit di bawah Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk.

Orang asing kadang menyebut penduduk yang tinggal pada bekas keresidenan ini sebagai Bantenese yang mempunyai arti ”orang Banten”. Setelah provinsi Banten terbentuk, ada sebagian orang yang menerjemahkan Bantenese menjadi suku Banten sebagai kesatuan etnik dengan budaya yang unik.

Penggunaan nama Banten sebenarnya sudah muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Kata ini digunakan untuk menamai sebuah sungai dan dan daerah sekelilingnya yaitu Cibanten atau sungai Banten.

Perbedaan tata bahasa antara Bahasa Banten dan Bahasa Sunda dikarenakan wilayah Banten tidak pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram, sehingga tidak mengenal tingkatan halus dan sangat halus yang diperkenalkan oleh Mataram

Bahasa ini dilestarikan salah satunya melalui program berita Beja ti Lembur dalam bahasa Banten yang disiarkan oleh siaran televisi lokal di wilayah Banten. Selain Bahasa Sunda Banten, Suku Banten juga menggunakan Bahasa Banyumasan dan Bahasa Jawa Banten di daerah pesisir utara Banten.

Sebagian besar anggota Suku Banten memeluk agama Islam dengan semangat religius yang tinggi, tetapi pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai.

Kekhasan budaya Suku Banten antara lain seni bela diri Pencak silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman, Tari Topeng, Tari Cokek, Dog-dog, Palingtung, dan Lojor. Di samping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak peninggalan lainnya.

Di Banten terdapat Suku Baduy yang terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi antimodernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya.

Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak.

Sistem pengetahuan yang dimiliki Suku Banten adalah kosmologi, tentang alam semesta. Pada fase perkembangan awal pengetahuan tentang kosmologi Suku Banten, bahwa alam ini milik Gusti Pangeran yang dititipkan kepada Sultan yang berpangkat Wali setelah Nabi. Karena itu hierarchi Sultan adalah suci

Gusti Pangeran ini mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sebagian kecil dari kekuatannya diberikan kepada manusia melalui pendekatan diri. Orang yang mengetahui formula-formula pendekatan diri untuk memperoleh kekuatan itu adalah para Sultan dan para Wali, sehingga memperoleh kesaktian yang dapat disebarkan kepada keturunan dan kepada siapa saja yang berguru atau mengabdi.

Dalam sistem lapisan sosialnya bisa ditelusuri pada awal di jaman Kesultanan. Lapisan atas dalam stratifikasi sosial adalah pada Sultan dan keluarganya/keturunannya sebagai lapisan bangsawan.

Kemudian para pejabat kesultanan, dan akhirnya rakyat biasa. Pada perkembangan selanjutnya, hilangnya kesultanan, yang sebagian peranannya beralih pada Kiyai (kaum spiritual), dalam stratifikasi sosial merekalah yang ada pada lapisan atas. Jika peranan itu berpindah kepada kelompok lain, maka berpindah pulalah lapisan itu

Adapun mata pencaharian suku Banten umumnya adalah bertani. Dalam sistem pertaniannya ada tradisi yang masih nampak, misalnya hubungan antara pemilik tanaman (petani) dan orang-orang yang berhak ikut mengetam dengan pembagian tertentu menurut tradisi. Selain bertani, Suku Banten yang tinggal di dekat laut bermata pencaharian sebagai nelayan.

Table of contents

Open Table of contents

Dialek Dan Bahasa Banten; Bahasa Sunda Lama

Bahasa Sunda Dialek Banten (Bahasa Banten) ini dipertuturkan di daerah Banten selatan. Daerah Ujung Kulon di sebelah selatan Banten, semenjak meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883, tidak dihuni lagi dan sekarang menjadi taman nasional.

Bahasa Banten adalah salah satu dialek dari Bahasa Sunda lama. Sesuai dengan sejarah kebudayaan-nya, bahasa Sunda dituturkan di provinsi Banten khususnya di kawasan selatan provinsi tersebut—kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi dimana penutur bahasa ini semakin berkurang prosentasenya.

Perbedaan tata bahasa antara Bahasa Banten dan Bahasa Sunda dikarenakan wilayah Banten tidak pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram, sehingga tidak mengenal tingkatan halus dan sangat halus yang diperkenalkan oleh Mataram.

Bahasa ini dilestarikan salah satunya melalui program berita Beja ti Lembur dalam bahasa Banten yang disiarkan oleh siaran televisi lokal di wilayah Banten.

Perbedaan antara bahasa Sunda di Priangan dengan di Banten dilihat dari dialek pengucapannya, sampai beberapa perbedaan pada kosa katanya. Bahasa Sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan. Bahasa Sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuna.

Namun oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan (Priangan), Bahasa Sunda Banten (Rangkasbitung, Pandeglang) digolongkan sebagai bahasa Sunda kasar.

Namun secara prakteknya, Bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai Bahasa Sunda dialek Barat. Pengucapan bahasa Sunda di Banten umumnya berada di daerah Selatan Banten (Lebak, Pandeglang).

Meski berbeda pengucapan dan kalimat, bukan berarti beda bahasa, hanya berbeda dialek saja. Berbeda halnya dengan bahasa Sunda Priangan yang telah terpengaruh oleh kerajaan Mataram.

Hal itu yang menyebabkan bahasa Sunda Priangan, memiliki beberapa tingakatan. Selain Bahasa Sunda Banten, Suku Banten juga menggunakan Bahasa Banyumasan dan Bahasa Jawa Banten di daerah pesisir utara Banten.

Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak ini dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah. Banten juga menggunakan beberapa kosakata dan dialek Banyumasa.

Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).

Adapun Bahasa Jawa Banten mulai dituturkan di zaman Kesultanan Banten pada abad ke-16. Di zaman itu, bahasa Jawa yang diucapkan di Banten tiada bedanya dengan bahasa di Cirebon, sedikit diwarnai dialek Banyumasan.

Asal muasal kerajaan Banten memang berasal laskar gabungan Demak dan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir utara Kerajaan Pajajaran.

Namun, bahasa Jawa Banten mulai terlihat bedanya, apa lagi daerah penuturannya dikelilingi daerah penuturan bahasa Sunda dan Betawi.

Bahasa ini menjadi bahasa utama Kesultanan Banten (tingkatan bebasan) yang menempati Keraton Surosowan. Bahasa ini juga menjadi bahasa sehari – harinya warga Banten Lor (Banten Utara).

Bahasa Jawa Banten atau bahasa Jawa dialek Banten ini dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah barat Kabupaten Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga banyak pengaruh bahasa Sunda dan Betawi.

Bahasa Jawa di Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu tingkatan bebasan (krama) dan standar. Dalam bahasa Jawa dialek Banten (Jawa Serang), pengucapan huruf ‘e’, ada dua versi.

Ada yang diucapkan ‘e’ saja, seperti pada kata “teman”. Dan juga ada yang diucapkan ‘a’, seperti pada kata “Apa”. Daerah yang melafalkan ‘a’ adalah kecamatan Keragilan, Kibin, Cikande, Kopo, Pamarayan, dan daerah timurnya.

Sedangkan daerah yang melafalkan ‘e’ adalah kecamatan Serang, Cipocok Jaya, Kasemen, Bojonegara, Kramatwatu, Ciruas, Anyer, dan seberang baratnya. Sementara wilayah Utara Banten, seperti Serang, umumnya menggunakan bahasa campuran (multi-bilingual) antara bahasa Sunda dan Jawa.

Debus Banten; Seni Mengagumkan Juga Mengerikan

Pertunjukan kemampuan orang menahan ‘siksaan’ jasmani seperti dipukuli dengan rotan, bergulingan diatas hamparan tumbuhan berduri tajam, berjalan di atas bara, mengunyah kaca dan lain-lain. Itulah Debus Banten.

Masih banyak kita jumpai sebagai seni tradisional yang umum di kampung- kampung. Yang satu ini, yakni permainan debus sungguh mengerikan. Permainan ini terdapat di berbagai daerah seperti Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat dan Banten. Dari semua itu yang paling terkenal debus dari daerah Banten.

Debus sangat mungkin berasal dari kata Arab dablus, yang berarti sejenis senjata penusuk berupa besi runcing. Debus sebagai kata benda yang dimaksud disini juga berupa alat tusuk dari besi panjang antara 50 – 60 cm yang ujungnya runcing, sedangkan pada pangkal¬nya diberi tangkai kayu yang sangat besar. Tangkai itu bentuknya silinder (garis tengahnya ± 20 cm), dihias dengan rantai besi dan berfungsi sebagai tempat pemukul. Alat pemukulnya dari kayu yang di-sebut gada.

Dengan demikian debus adalah sejenis pahat raksasa yang berujung runcing. Permainan debus pada pokoknya ya permainan de¬ngan alat debus itu, tetapi disamping yang pokok ini masih banyak kegiatan yang lain.

Ditinjau dari bentuk permainannya, debus dapat digolongkan salah satu pertunjukan (upacara) syaman, tetapi ditilik dari isi dan pelaksanaannya bertahan erat dengan keagamaan (Islam). Tidak mustahil memang telah terjadi perpaduan diantara berbagai unsur budaya tersebut.

Ini mungkin juga merupakan jalan untuk menjawab pertanyaan sejak kapan permainan debus ada di Indonesia. Bila jalan ini benar maka unsur-unsur permainan debus sudah ada sejak masa prasejarah, sedangkan bentuk seperti kita dapati sekarang ini berasal dari masa awal perkembangan Islam di Indonesia.

Yang menonjol dalam permainan ini adalah pertunjukan kekebalan orang terhadap berbagai senjata tajam. Permainannya merupakan permainan kelompok. Di kerajaan Banten dahulu, yang terkenal sebagai penyebarluasan agama dan budaya Islam, pertunjukan kekebalan yang sangat digemari dan dibanggakan oleh Suku Banten ini dimanfaatkan sebagai sarana untuk penyiaran agama Islam, seperti halnya dilakukan oleh para Wah.

Pada masa perlawanan terhadap penjajahan Belanda kesenian ini digiatkan sebagai penegak disiplin dan memupuk keberanian rakyat.

Unsur-unsur Permainan Debus : 1. Pemain, terdiri atas syeh atau pemimpin permainan debus, para pezikir, pemain dan penabuh.

2. Peralatan permainan terdiri atas debus dengan gada nya, golok, pisau, bola lampu, kelapa, alat penggoreng dan lain-lain.

3. Alat musik untuk pingiring permainan debus terdiri atas: gendang besar, gendang kecil, rebana dan kecrek.

Seorang pemain debus harus kuat, tabah dan yakin kepada diri sendiri. Mereka harus taat menjalankan kewajiban-kewajiban agama Islam, tahan lapar, tahan tidak tidur, tahan tidak bergaul dengan istri selama waktu yang ditentukan dan lain-lain persyaratan yang un¬tuk orang kebanyakan dirasakan berat.

Macam-macam Kegiatan

Dalam pelaksanaan pertunjukan debus terikat pada ketentuan- ketentuan sebagai seni pertunjukan pada umumnya dan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi ada juga kegiatan-kegiatan atau pertunjukan- pertunjukan lainnya sebagai berikut.

1. Pembukaan, sebelum acara resmi dimulai maka beberapa lagu tradisional dimainkan sebagai lagu pembukaan atau “ gembung“.

2. Zikir.

3. Beluh atau macapat, puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

4. Pencak silat, dilakukan oleh satu atau dua pemain, dengan atau tanpa menggunakan senjata tajam. Seorang pesilat harus cepat, tepat, tajam penglihatan dan percaya diri.

5. Permainan debus. Seorang pemain memegang alat debus (kecil) dan ujungnya yang runcing ditempelkan ke perut.

Seorang pemain lain memegang kayu pemukul atau gada yang lalu dipukulkan kuat-kuat pada tangkai debus. Pukulan dilakukan berkali-kali dan ternyata tidak melukai.

Posisinya tidak hanya berdiri saja, atau pada perut saja tetapi juga dengan merebahkan diri dan pada bagian-bagian tubuh yang lain. Debus yang besar biasanya untuk main syeh atau ketua debus sendiri. Bila terjadi “kecelakaan” atau pemain terluka, biasanya segera disembuhkan oleh syeh.

6. Mengupas buah kelapa dengan gigi dan memecahnya dibenturkan pada kepala sendiri.

7. Menggoreng telur dan kerupuk di atas kepala.

8. Mengerat atau menoreh tubuh. Dengan senjata tajam (golok, pisau) perut, lengan, bahkan lidah ditoreh atau dipotong. Atraksi ini tampak sangat mengerikan sehingga terkadang ada penonton tidak tahan melihatnya.

9. Main api. Dengan obor menyala seorang pemain membakar tubuhnya, atau berjalan-jalan diatas bara tanpa luka bakar sedikit pun.

10. Makan kaca atau bola lampu listrik. Kaca atau bola lampu di¬makan seperti kerupuk.

11. Memanjat tangga yang anak tangganya tempat berpijak adalah mata golok-golok tajam. Dalam keadaan biasa tapak kakinya akan putus, tetapi sang pemain melakukan dengan tenang dan ternyata tanpa cidera. Permainan ini sangat mencekam para penonton. Rasa¬nya sungguh tidak masuk akal.

12. Dan lain-lain, sebenarnya masih banyak lagi atraksi lain yang dapat dipertunjukkan. Menurut keyakinan para pemain, semua atraksi tadi dapat dilakukan bukan karena ia yang kuat, melainkan berkat ridha dan lindungan Allah SWT semata-mata.

Seperti halnya seni tradisional yang lain, debus pun semakin sedikit penggunaannya, apalagi mereka yang tertarik untuk jadi pemain guna pelestariannya

Alangkah sayangnya kalau kepandaian yang langka ini punah. Ya, masih untunglah sekarang masih ada beberapa perkumpulan yang bertahan, bahkan dapat main digelanggang yang lebih luas seperti di Taman Ismail Marzuki Jakarta, tempat-tempat wisata dan bahkan di luar negeri.

Kesenian Debus Banten ini sungguh mencekam, bahkan mengerikan tetapi juga menarik perhatian, apalagi para turis asing yang umumnya tidak percaya akan hal-hal di luar nalar (irrasional).