etnografi

Suku Biak, Suku Bangsa di Papua

Suku Biak merupakan salah satu kelompok masyarakat Papua yang hidup dan tinggal di kabupaten Biak Numfor. Dalam kesehariannya, suku Biak menggunakan Bahasa Indonesia dengan banyak dialek yang tersebar di 19 wilayah.

PublishedJuly 8, 2013

byDgraft Outline

Dialek yang digunakan Suku Biak, yaitu Ariom, Bo’o, Dwar, Fairi, Jenures, Korim, Mandusir, Mofu, Opif, Padoa, Penasifu, Samberi, Sampori (Mokmer), Sor, Sorendidori, Sundei, Wari, Wadibu, Sorido, Bosnik, Korido, Warsa, Wardo, Kamer, Mapia, Mios Num, Rumberpon, Monoarfu, dan Vogelkop.

Namun, secara prinsip dialek-dialek yang berbeda itu tidak menghalangi mereka untuk saling mengerti satu sama yang lain. Di Kepulauan Biak-Numfor sendiri terdapat sepuluh dialek sedangkan di daerah-daerah migrasi atau perantauan terdapat tiga dialek.

Nama Biak berasal dari kata v`iak. Mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan`,`orang-orang yang tidak pandai kelautan`, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain.

Nama tersebut diberikan oleh penduduk pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam hal-hal kelautan. Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung pengertian menghina golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian diterima dan dipakai sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah tersebut. Lalu huruf “V” dibaca “B”, sehingga menjadi Biak.

Pendapat lain berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite, yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen.

Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh, sehingga Pulau Warmambo hilang dari pandangan mata.

Mereka pun berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo, hingga sekarang nama itulah yang tetap dipakai

Adapun sejarah suku Biak menurut mite, moyang orang Biak berasal dari satu daerah yang terletak di sebelah timur, tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke daerah kepulauan ini dengan menggunakan perahu

Ada beberapa versi ceritera kedatangan moyang pertama itu. Salah satu versi mite itu menceriterakan, bahwa moyang pertama dari orang Biak terdiri dari sepasang suami istri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu.

Ketika air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang kemudian diberi nama oleh kedua pasang suami istri itu Sarwambo. Bukit tersebut terdapat di bagian timur laut Pulau Biak (di sebelah selatan kampung Korem sekarang).

Dari bukit sarwambo, moyang pertama itu bersama anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat terakhir inilah mereka berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-Numfor.

Daerah penyebaran suku Biak saat ini sangatlah luas, meliputi pulau Biak, Supiori, Numfor, Padaido, Rani, Insumbabi, Meosbefandi, Ayau, Mapia, Doreri, Manokwari, Ransiki, Oransbari, Nuni, Pantai Utara kepla burung hingga ke Sorong, dan pulau – pulau Raja Ampat.

Orang Biak sejak dulu menyembah dewa persatuan dan pujaan mereka yaitu ’Manseren Koreri’ yang disebut ’manarmakeri’. Manamakeri artinya suatu nama dimana panggilan penghinaan untuk orang tua yang berkudis, kadas, borok, dan kotor yang menyebabkan banyak orang jijik kepadanya.

Nama asli Manamakeri ialah yawi nusyado. Manamakeri selalu membuat tanda-tanda ajaib yaitu dapat menggantikan kulitnya yang berkudis, kadas, dan borok itu menjadi makanan dan harta kekayaan yang berlimpah ruah, ia dapat dipuja sebagai juru selamat.

Secara kekerabatan, Suku Biak memiliki kelompok kekerabatan berdasarkan marga atau disebut keret (famili). Sistem kekerabatannya luas berdasarkan pertalian darah. Berlaku adat menetap (virilokal)

Adapun pengetahuan yang dimiliki Suku Biak, yaitu mengetahui jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat yang dapat menyembuhkan sakit penyakit atau luka bakar, luka sayatan, maupun dapat digunakan untuk membunuh ikan, dalam jumlah sedikit. Jenis tumbuhan yang digunakan untuk membunuh ikan seperti Akar Tuba.

Mata pencaharian suku Biak adalah nelayan (melaut) dan bertani (meramu). Mereka menangkap ikan dengan menggunakan jaring inanai dan arsam untuk menangkap ikan terbang dan juga ikan hiu. Hal ini dilakukan dengan menggunakan perahu yang disebut dengan waipapa.

Suku Biak juga meramu atau berburu binatang hutan sebagai makanannya seperti berburu babi, kuskus, tikus tanah, dan ular pohon. Dapat pula mengambil jenis sayur-sayuran yang ada di hutan sebagai makanannya

Adapun kesenian yang dimiliki suku Biak salah satunya adalah Tarian Yospan. Tarian ini merupakan tarian rakyat yang biasa dilakukan dalam kegiatan-kegiatan acara adat maupun peringatan hari-hari besar. Dan berkelompok dan memiliki irama dan ritme dilakukan secara riang, sangat unik dan menarik.

Selain tarian, suku Biak sering kali mengadaka upacara adat. Beberapa upacara tradisional suku Biak antara lain Upacara Gunting Rambut/cukur (Wor Kapapnik), Upacara Memberi atau mengenakan Pakaian (Wor Famarmar), Upacara Perkawinan (Wor Yakyaker Farbakbuk), dan lain-lain. Seluruh upacara diiringi dengan lagu dan tari bahkan merupakan sumbangan atau pendewaan kepada roh-roh para leluhur.

Table of contents

Open Table of contents

Keret, Mnu, Sim-Sim ; Asosiasi dan Perkumpulan Suku Biak

Masyarakat Biak secara tradisional terorganisir dalam keret dan mnu /kampung. Kampung merupakan suatu segmen yang terbagi-bagi dalam keret-keret atau klen-klen kecil dan selanjutnya dalam s im-sim atau keluarga-keluarga batih. Satu kampung dibentuk oleh penduduk yang berasal dari satu atau lebih keret.

Masing-masing keret punya pemimpin yang disebut Mamri, yang merupakan orang paling kuat di keret itu. Ia harus bisa berkelahi, harus bisa mencari ikan, harus bisa melindungi keretnya. Model kepemimpinan seperti itu tidak diwariskan secara turun-temurun, tapi harus diraih sendiri.

Kadang kala kalau ada anak yang tampak menonjol, anak ini akan dididik untuk suatu saat bisa menjadi Mamri. Karena pada masa lalu sering terjadi perang antar suku-suku papua, maka seorang Mamri juga adalah panglima perang di keret tersebut.

Seorang Mamri yang perkasa, apabila bisa memimpin perang menguasai keret-keret lain, ia bisa menjadi kepala suku yang disebut Mananuir.

Menurut tradisi Biak, seorang yang diangkat oleh tua-tua suku menjadi Mananuir harus memenuhi kriteria yang terdiri dari: bisa menjadi panglima perang, bisa memimpin rakyatnya, mempunyai (menguasai) tanah ulayat tertentu untuk memberi makan rakyatnya. Jadi ditekankan, Mananuir harus bisa memberi makan rakyatnya.

Kedudukan menjadi mananwir atau kepala keret itu tidak didasarkan atas umur, tapi ditentukan oleh kemampuan memperjuangkan kepentingan golongan, kerelaan mengorbankan diri demi kepentingan anggota warga keret, memiliki pengetahuan luas tentang aturan-aturan yang berlaku dalam keret, mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan anggota lain dari keret-nya seperti sering mengikuti ekspedisi pelayaran dan perang ke tempat-tempat yang jauh dan pandai berbicara di muka umum.

Tugas seorang mananwir adalah pertama, sebagai kepala dan hakim yang menangani berbagai urusan yang menyangkut kepentingan warga golongannya sendiri, seperti misalnya sebagai kepala untuk mengatur izin penggunaan tanah hak milik keret di antara warga keret dan sebagai hakim untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang timbul antara warga keret sendiri.

Peranan kedua dari seorang mananwir adalah sebagai wakil golongannya sendiri untuk untuk menangani masalah-masalah yang menyangkut kepentingan golongannya dengan golongan yang lain dalam kampung. Bersama-sama dengan mananwir-mananwir dari keret-keret lain menjaga dan mengawasi kepentingan warga kampungnya terhadap pihak luar (kampung lain).

Di atas kepala keret, pada tiap mnu atau kampung, terdapat seorang kepala yang disebut mananwir mnu. Seorang mananwir mnu tidak dipilih, melainkan diangkat oleh penduduk kampung dari salah seorang mananwir keret berdasarkan dua kriteria pokok: pertama berdasarkan sejarah asal usulnya yaitu harus berasal dari golongan keret pendiri dan kedua berdasarkan kemampuan dari salah seorang mananwir yang melebihi kemampuan yang ditunjukkan oleh mananwir lain dalam lingkungan kampungnya.

Kriteria terakhir ini lebih penting dari kriteria pertama. Hal ini karena seorang mananwir yang berasal dari golongan manseren mnu atau keret pendiri kampung tetap mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan tanah dan pemanfaatan hasil-hasil hutan dalam wilayah kekuasaan kampungnya.

Seorang Mananuir harus berakhlak, bermoral. Apa yang ia ucapkan harus sesuai, dan tidak dibenarkan menarik kembali apa yang sudah ia ucapkan. Seorang Mananuir yang menyalahi adat tradisi Biak, menurut kepercayaan mereka, ia akan dimakan tanah.

Pelapisan Sosial

Dalam masyarakat Biak tidak terdapat pembagian menurut lapisan sosial yang jelas, namun ada perbedaan antara golongan masyarakat bebas dengan golongan masyarakat budak

Golongan pertama, masyarakat bebas disebut manseren, artinya yang dipertuan, pemilik, yang membuat putusan dan yang berkuasa. Tetapi bukan dalam arti bangsawan atau ningrat yang sesungguhya seperti yang terdapat pada orang Jawa atau orang Bugis

Golongan masyarakat bebas atau manseren itu terdiri dari golongan masyarakat yang berasal dari keret pendiri kampung dan golongan masyaraakat yang berasal dari keret-keret lain yang bergabung kemudian.

Perbedaan antara kedua golongan manseren itu ialah bahwa golongan pertama disebut manseren mnu, artinya golonan pendiri dan pemilik kampung, sedangkan golongan kedua hanya disebut golongan manseren saja

Golongan masyarakat yang disebut budak atau women berasal dari tawanan-tawanan perang. Mereka ini tidak berhak untuk membentuk rumah keret sendiri seperti yang sudah dijelaskan di atas, tetapi mendapat kamar atau bilik tertentu di rumah keret.

Tugas utama golongan ini adalah membantu melakukan pekerjaan-pekerjaan bagi siapa mereka dipertuan, seperti berkebun, mencari ikan, membangun rumah dan lain-lain.

Oleh karena tugas yang demikian, maka seorang budak sering dinamakan juga dalam bahasa Biak manfanwan, artinya yang dapat disuruh untuk melaksanakan pekerjaan tertentu.

Tidak jarang terjadi bahwa seorang budak dapat merubah statusnya menjadi anggota masyarakat keret asli, tetapi untuk membedakannya dengan anggota masyarakat keret asli maka ia dan keturunannya mendapat sebutan keret kasun, atau keret kecil.

Dengan demikian mereka berhak menggunakan nama keret, namun tidak mendapat hak penuh atas hak-hak keret seperti yang dipegang oleh anggota-anggota asli keret.

Sistem Kekerabatan Suku Biak

Dalam hubungan kekerabatan, orang Biak mengusut keturunannya melalui garis ayah atau bersiaf patrilineal. Sedangkan tipe pokok kekerabatan yang dianut menurut pembagian adalah sistem Iroquois, yaitu penggunaan satu istilah yang sama untuk menyebut kelas kerabat tertentu.

Misalnya istilah naek digunakan untuk saudara-saudara kandung dengan sudara-saudara sepupu paralel—anak-anak saudar laki-laki ayah, dan anak-anak dari saudara perempuan ibu—yang berbeda dari istilah napirem untuk menyebut semua saudara sepupu silang—anak-anak dari saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara laki-laki ibu—pada generasi Ego.

Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah disebut juga dengan istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu disebut, sna. Sebaliknya semua saudara perempuan ayah disebut bibi, mébin, dan semua saudara laki-laki ibu disebut paman, .

Dalam kaitannya dengan pengklasifikasian anggota kerabat seperti tersebut di atas adalah adanya larangan perkawinan antara saudara-saudara sepupu, baik saudara-saudara sepupu sejajar maupun saudara-saudara silang. Larangan tersebut merupakan ketentuan adat yang menetapkan perkawinan tersebut sebagai perkawinan inses.

Menurut pengklasifikasian tersebut, semua saudara sepupu sejajar, dikelompokkan ke dalam satu kelas dengan saudara-saudara kandung ego sendiri. Hal itu terlihat pada penggunaan istilah yang sama untuk menyebut saudara-saudara kandung sendiri dengan saudara-saudara sepupu sejajar.

Konsekwensi dari penyamaan saudara-saudara sepupu sejajar dengan saudara-saudara kandung sendiri adalah, bahwa di anatara mereka tidak mungkin akan dilakukan ikatan perkawinan.

Fenomena larangan terhadap perkawinan antara saudara-saudara sekandung merupakan gejala universal, juga terdapat pada orang Biak, sehingga tidak menarik perhatian kita di sini untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan apa yang menjadi alasan larangan tersebut.

Hal yang paling menarik dalam kekerabatan suku Biak adalah larangan terhadap perkawinan antara anggota-anggota saudara sepupu silang dalam kebudayaan orang Biak. Pada banyak kebudayaan di tempat lain, baik di luar Papua maupun di Papua sendiri, misalnya pada orang Waropen, perkawinan antara saudara-daudara sepupu silang justru merupakan preferensi.

Larangan tersebut merupakan manifestasi dari hubungan avunkulat (atau relasi paman-keponakan) yang disimbolisasikan dalam upacara inisiasi pemuda yang disebut war k’bor. Dalam upacara tersebut terjadi bahwa saudara perempuan makan makanan yang telah dicampurkan dengan tetesan darah yagn diambil dari kulit bagian atas alat kelamin saudara laki-laki yang menjadi inisiandus.

Tindakan ini mengungkapkan secara simbolik penyatuan dua person (inisiandus dan saudara perempuannya). Akibat pengidentifikasian diri ini ialah bahwa anak-anak saudara laki-laki adalah juga anak-anak saudara perempuan atau sebaliknya. Konsekwensinya ialah bahwa di antara mereka tidak boleh diadakan ikatan perkawinan

Bantuk-bentuk manifestasi lain dari hubungan avunkulat (relasi paman-keponakan) ialah peranan paman sebagai mentor bagi keponakannya (keponakan laki-laki) untuk berkebun, menangkap ikan berburu dan teknik-teknik berperang. Jika paman kebetulan memiliki keahlian tertentu seperti misalnya pandai besi, atau ahli membuat perahu, maka keahlian-keahlian ini dapat diajarkan juga kepada keponakannya.

Hubungan tersebut juga diwujudkan dalam bentuk hak waris, ialah pewarisan gelar paman kepada keponakan laki-laki yang sulung. Suatu tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang biasanya berlaku dalam masyarakat yang menganut prinsip kekerabatan yang bersifat patrilineal.

Perkawinan Suku Biak

Prinsip perkawinan yang dianut dalam kekerabatan suku Biak dalam oleh kesatuan sosial yang disebut keret itu adalah eksogami, artinya antara anggota-anggota warga satu keret tidak boleh terjadi perkawinan. Dengan demikian istri harus diambil dari keret lain, apakah keret lain itu berada pada mnu yang sama atau bukan.

Selanjutnya pola perkawinan ideal menurut orang Biak, terutama pada waktu lampau, adalah perkawinan yang disebut indadwer, atau exchange marriage, yaitu pertukaran perempuan antara dua keluarga yang berasal dari dua keret yang berbeda.

Di samping pola perkawinan ideal tersebut, orang Biak mengenal juga bentuk perkawinan lainnya seperti perkawinan melalui peminangan dan perkawinan ganti tikar baik yang bersifat levirate maupun sororate. Bentuk perkawinan yang paling banyak terjadi adalah perkawinan melalui peminangan, fakfuken.

Menurut tradisi pihak laki-lakilah yang berkewajiban untuk melakukan peminangan pada pihak perempuan. Unsur-unsur penting dalam proses peminangan adalah penentuan jumlah maskawin yag dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan penetuan waktu pelaksanaan perkawinan, apabila pihak yang disebut terakhir setuju dengan peminangan tersebut.

Tentang pernyataan setuju atau tidak baik dari pihak calon penganten pria maupun calon penganten putri terhadap siapa ia akan dinikahkan tidak dipersoalkan dalam peminangan. Dengan kata lain orang itulah yang menentukan siap calon isteri atau calon suami anaknya.

Keadaan yang dilukiskan di atas ini pada waktu sekarang sudah berubah, sebab anak-anak sendiri yang menentukan sendiri siapa yang akan menjadi calon pasangan hidupnya nanti. Biasanya penentuan pilihan itu didasarkan atas hubungan yang terjalin antar seorang pemuda dengan seorang pemudi sebelumnya.

Penentuan pilihan itu kemudian disampaikan kepada pihak orang tua, terutama dari pihak laki-laki, yang selanjutnya diproses sampai kepada upacara perkawinan lewat peminangan biasa seperti tersebut di atas.

Pola menetap sesudah kawin yang dianut adalah patrilokal, yaitu pasangan baru yang menikah menetap di rumah atau lokasi tempat asal suami. Sering terjadi juga bahwa sesudah menikah, pasangan baru itu menetap untuk waktu tertentu di rumah orang tua atau wali istri.

Hal ini disebabkan oleh karena sang suami dari keluarga baru itu harus melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu misalnya membantu membuka kebun baru, membangun rumah baru atau melakukan suatu pekerjaan lain bagi orang tua istrinya sebagai pengganti mas kawin yang belum lunas dibayar

Biasanya apabila pekerjaan tersebut sudah selesai dan dianggap tenaga yang dikeluarkan untuk melakukan pekerjaan itu layak sebagai pengganti sisa maskawin, maka pasangan baru itu kembali menetap di tempat asal sang suami.

Dalam adat perkawinan suku Biak, hal pertama yang dilakukan adalah melamar. Ada dua cara melamar pada suku Biak. Pertama dinamakan Sanepen, yaitu pinangan yang dilakukan oleh pihak orang tua sewaktu anaknya masih kecil. Cara melamar yang kedua disebut fakfuken, yaitu pinangan yang dilakukan oleh orang tua pria setelah anak berumur 15 tahun ke atas.

Setelah itu diadakan acara perkawinan. Sehari sebelum hari pernikahan, masing-masing pihak mengadakan samrem, yaitu acara makan bersama semua saudara laki-laki dari pihak ibu. Pihak wanita memberikan asyawer, yaitu seperangkat senjata berupa tombak, panah, dan parang kepada pihak pria. Pihak pria harus menebusnya dengan asyawer pula, baru acara pernikahan dapat dilanjutkan.

Upacara dilakukan oleh kepala adat. Mula-mula kepala adat memberikan sebatang rokok untuk diisap pengantin pria dan selanjutnya diisap pengantin wanita. Kemudian kedua mempelai saling menyuapi makanan dengan ubi atau talas bakar.

Dengan demikian selesai lah upacara pernikahan dan kedua mempelai sah sebagai suami istri. Pemberkatan pernikahan oleh kepala adat disebut wafer. Acara ditutup dengan makan bersama.

Kepercayaan Terhadap Para Roh Pada Suku Biak, Papua

Orang Biak sebagian besar telah menganut agama Kristen. Tetapi, orang Biak masih banyak memiliki kepercayaan terhadap para roh, yaitu suatu kepercayaan yang telah terbentuk dari nenek moyang mereka. Mereka percaya akan adanya penguasa yang melebihi kekuatan atau kekuasaaan manusia biasa yang menurut mereka penguasa tersebut mendiami Nanggi (surga) yang berada di Mandep (langit).

Selain itu, mereka percaya akan adanya penguasa-penguasa yang mendiami Farsyos (Jagad raya) dan ada juga yang menghuni abyab (gua), karui beba (batu besar), bon bekaki (gunung tinggi), soren (dasar laut), war besyab (sungai), ai beba (pohon besar), dan lain-lainnya.

Penguasa yang mendiami Nanggi merupakan pusat kekuatan atau kekuasaan yang mengatur alam semesta. Penguasa Nanggi (Sang Langit) dikenal dengan sebutan Manggundi (Dia sendiri). Penguasa-penguasa yang mendiami Farsyos, abyab, karui beba (batu besar), bon bekaki, dan lain-lainnya yang disebutkan di atas adalah bersifat roh (spirit).

Roh-roh ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu roh-roh/arwah-arwah nenek moyang dan kerabat mereka yang telah meninggal dunia yang dikenal dengan istilah bahasa Biak yaitu Karwar.

Karwar ini mendiami Farsyos (jagad raya), sup/ meos aibui (wilayah/tempat atau pulau yang merupakan tempat berkumpulnya arwah-arwah itu) dan juga Amfyanir. Selain itu, roh-roh itu mendiami wilayah-wilayah yang tidak ada penghuninya ( sup bebewursba ), seperti lautan luas atau hutan-hutan belan-tara.

Kedua, roh-roh halus jin. Roh-roh ini dibagi menjadi tiga, yaitu : (a) roh-roh halus/jin yang mendiami pohon-pohon besar yang dalam istilah bahasa Biak disebut Arbur; (b) roh-roh halus/jin yang mendiami gua, gunung, batu, hutan rimba, sungai disebut dabyor, yang dikenal juga dengan sebutan Manggun (pemilik); dan roh-roh halu /jin yang mendiami laut atau lautan disebut Faknik.

Hal ini menunjukkan bahwa orang Biak percaya adanya makhluk supranatural. Agama tradisional mereka mempunyai hubungan erat dengan mitologi mereka. Tokoh mitologi mereka adalah Manarmakeri yang telah pergi ke sebelah barat dan dia akan datang kembali untuk memberikan kebahagian atau kekayaan bagi mereka yang telah lama ditinggalkan.

Mereka percaya bahwa Manggundi yang menjelma sebagai manusia biasa, yaitu Manarmakeri yang pernah melakukan karya Koreri di Meokbundi (salah satu pulau di Biak Timur).

Namun, ia tidak diterima oleh masyarakatnya (Orang Biak), sehingga ia pergi ke bagian barat yaitu Eropa, dan Ia akan kembali kepada mereka dengan membawa kembali koreri, yaitu dunia Kando Mob Oser, artinya dunia yang tidak ada kesusahan lagi/dunia bahagia. Selain itu, Wor merupakan unsur penting dalam agama tradisonal mereka. Dengan demikian mempunyai sifat religius cukup tinggi.

Oleh karena itu, Wor merupakan suatu perwujudan dari kehidupan religius yang menurut mereka sangat penting. Dikatakan sangat penting karena Wor mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas orang Biak dan merupakan simbol hubungan mereka dengan Penguasa (Manggundi) dan kerabat-kerabat mereka yang meninggal (Arwah-arwah nenek moyang).

Dalam kehidupan beragama orang Biak, Wor merupakan suatu kewajiban yang diatur berdasarkan sistem kekerabatan (patrilineal) dan sistem perkawinan mereka, sehingga apabila ada keluarga batih yang lalai melakukannya, maka keluarga tersebut akan mendapat sanksi dari Manggundi atau arwah-arwah nenek moyang mereka.

Upacara Wor Suku Biak; Mengundang Penguasa

Upacara Wor merupakan suatu kewajiban yang harus diselenggarakan oleh setiap keluarga batih/inti mereka. Wor mempunyai dua arti, yaitu sebagai upacara adat (upacara tradisional), sebagai nyanyian adat. Sebagai upacara adat, Upacara Wor merupakan upacara untuk memohon, mengundang atau meminta perlindungan dari penguasa alam semesta.

Upacara Wor diselenggarakan setiap keluarga batih/inti dengan melibatkan kerabat suami istri yang bertujuan memohon atau meminta kepada penguasa agar melindungi anak-anak mereka yang hidup di dunia. Oleh karena itu, Upacra Wor dilakukan dalam lingkaran hidup ( life cycle rites ) orang Biak, yaitu dilakukan untuk mengiringi pertumbuhan fisik anak dari sejak anak dalam kandungan ibu, lahir, hingga pada masa tua dan kematian.

Wor merupakan suatu upacara yang sangat sakral. Dikatakan sakral karena upacara Wor berhubungan erat dengan kepercayaan tradisional mereka. Dalam upacara Wor mereka selalu berhubungan atau berkomunikasi dengan Manggundi (penguasa tertinggi) yang mereka sembah. Selain itu, mereka percaya bahwa dalam penyelenggaraan Wor melibatkan orang hidup dan yang mati, artinya mengikut-sertakan arwah-arwah nenek moyang dan kerabat-kerabat mereka yang telah meninggal dunia.

Hal demikian dapat diketahui dalam ucapan orang tua mereka yang mengemukakan, bahwa “ngo wor ba ido nari ngo mar”. Ucapan ini mengandung makna yang sangat penting dalam kehidupan orang Biak, karena Upacara wor mempunyai hubungan erat dengan objek-objek yang mereka sembah, seperti Manggundi, karwar (arwah-arwah), roh-roh halus lainnya, serta sesama kerabatnya yang dianggap masih hidup dalam alam tidak nyata.

Upacara Wor menjadi suatu kewajiban bagi setiap keluarga batih/inti orang Biak sehingga apabila tidak dilakukannya, akan mengakibatkan ketidakstabilan dalam kehidupan keluarga mereka, yaitu akan mendatangkan gangguan atau penyakit bagi keluarga yang lalai melakukannya. Selain itu, Wor orang Biak mempunyai beberapa fungsi: (a) merupakan suatu sarana untuk mendekatkan diri kepada penguasa/Manggundi; (b) sarana untuk mengatasi krisis; (c) sarana untuk pengendalian sosial; (d) sarana untuk mempererat hubungan sosial antara kerabat yang sudah ada; (e) mengikat solidaritas dalam kelompok dalam hal memupuk rasa kebersamaan hidup kelompok orang Biak.

Wor dalam lingkaran hidup Orang Biak, terdiri atas 17 jenis yang dibagi dua; (a) 12 Wor siklus hidup; dan (b) lima Wor insidental. Terdapat beberapa tahap dalam penyelenggaraan Wor. Pertama, Wor dilakukan pada masa (fafisu) Awow (janin). Pada masa ini, orang tuanya melakukan beberapa kegiatan.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam upacara Wor lingkaran hidup orang Biak terdiri atas tiga kegiatan, yaitu Fanfan (memberi makanan) dan Munsasu (membayar kembali), Ararem (mas kawin), Tari dan Nyanyi.

Kegiatan Fanfan dan munsasu merupakan suatu kegiatan yang tidak bisa lepas dari Wor terutama wor siklus/daur hidup. Kegiatan ini sangat menentukan wibawa atau status seseorang atau keret (klen) dalam suatu kelompok komunitas. Fafan adalah salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pihak keluarga dan kerabat suami terhadap pihak keluarga dan kerabat isteri dalam proses upacara Wor, yaitu keluarga suami dan kerabatnya memberi bahan makanan kepada keluarga dan kerabat istri berupa sagu tuman, umbi-umbian hasil kebun, dan hasil penangkapan ikan sebelum upacara diselenggarakannya Wor.

Munsasu adalah kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dan kerabat istri untuk membayar bahan-bahan makanan yang telah diterima sebelum penyelenggaraan Upacara Wor. Munsasu dilakukan pada saat upacara puncak dilakukan. Alat bayarnya menggunakan samfar (gelang terbuat dari siput/kerang), sarak (gelang terbuat dari perak), dan ben (piring porselin cina). Pada kegiatan Fanfan dan munsasu terlihat apa yang dikemukakan oleh Malinowski dan Marcel Mauss pada masyarakat Melanesia di Trobian, Samoa, dan Fiji, yaitu tentang resiprositas atau sistem tukar-menukar pemberian yang melibatkan kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat yang bersangkutan secara keseluruhan.

Ararem adalah harta maskawin yang harus diberikan oleh pihak calon suami kepada pihak calon istri sebelum Upacara Wor farbakbuk (upacara kawin) diselenggarakan. Kegiatan pemberian maskawin ini merupakan suatu kegiatan yang melibatkan semua kerabat dari calon suami, dan sebaliknya mereka (keret/kerabat calon istri) yang menerima mas kawin juga memperhatikan secara baik siapa yang berhak menerima mas kawin.

Menurut keyakinan mereka, apabila ada anggota keluarga yang lalai dalam memperhatikan kewajiban-kewajiban tersebut, anggota keluarga tersebut akan mendapat sanksi dari Manggundi dan arwah-arwah nenek moyang mereka. Selain itu, karena harta maskawin adalah pengganti seorang wanita, maka posisi letak harta maskawin secara tradisonal merupakan simbol dari seorang wanita.

Tari dan Nyanyi, merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari Upacara Wor, karena tari dan nyanyi dalam wor merupakan media penyampaian maksud dan tujuan dari Wor yang bersifat religius itu. Misalnya syair dari nyanyian adat (wor) berisi permohonan atau ucapan syukur kepada Manggundi dan arwah-arwah nenek moyang. Selain itu, tari dan nyanyi juga menunjukkan kehebatan suatu keluarga batih atau suatu keret (klen).

Keramaian dan suguhan-suguhan berupa makanan dan hiburan-hiburan pada pelaksanaan Upacara Wor sangat menentukan status seseorang, suatu keluarga batih atau suatu keret dalam kelompok komunitas.

Sistem Berladang Suku Biak

Orang Biak, terutama yang tinggal di pedesaan, hidup terutama dari berladang dan menangkap ikan. Jenis mata pencaharian hidup yang disebut pertama, berladang, dilakukan oleh sebagian besar penduduk, sedangkan mata pencaharian yang kedua, menangkap ikan, dilakukan terutama oleh penduduk yang bertempat tinggal di Kepulauan Padaido, Biak Timur dan di Desa Rayori (Sowek), Supiori Selatan.

Sistem Berladang Suku Biak adalah berpindah-pindah. Suatu bidang tanah yang hendak dijadikan ladang pertama-tama dibersihkan dari semak-semak dan pohon-pohon kecil di dalamnya kemudian ditanami, biasanya dengan talas dan keladi. Apabila kebun sudah siap ditanami, maka segera pohon-pohon besar itu ditebang.

Setelah itu dahan-dahan dari pohon-pohon besar yang sudah rubuh itu dipotong-potong dan diratakan tersebar dalm kebun. Batang pohon, dahan dan daun dibiarkan membusuk menjadi kompos penyubur bagi tanaman yang sudah ditanami itu.

Jenis-jenis tanaman lain berupa buah-buahan misalnya pepaya, pisang dan sayur-sayur ditanam kemudian, dicelah-celah tanaman pokok. Pekerjaan berikut adalah membuat pagar keliling. Fungsinya utama dari pagar ialah untuk mencegah babi hutan yang merupakan hama utama bagi petani-petani di daerah ini.

Hasil suatu kebun dipanen setelah kurang lebih 8 bulan sejak ditanami. Sesudah panen pertama kebun masih digunakan lagi sekali, sesudah itu ditinggalkan dan pindah untuk membuka kebun baru di lahan lain. Pembukaan kebun baru dengan melakukan pekerjaan yang sama menurut tahap-tahap tersebut di atas terjadi tidak lama sesudah hasil pada kebun pertama dipanen.

Setelah kurang lebih 10 tahun, lahan yang telah digunakan pertama itu dibuka lagi. Karena telah ditinggalkan sekian lama, maka secara alamiah kesuburan tanah pulih kembali sehingga dapat memberikan hasil yang cukup baik seperti halnya pada penggunaan pertama.

Pada umumnya penduduk yang melakukan pekerjaan berladang sebagai pekerjaan pokok, juga melakukan penangkapan ikan sebagai mata pencaharian tambahan. Hal ini terjadi karena belum ada pembagian kerja yang bersifat spesialisasi. Seperti halnya di daerah Papua lainnya, di daerah Biak-Numfor, terutama di daerah pedesaan, tiap keluarga inti berfungsi unit produksi yang menghasilkan semua kebutuhan pokok bagi kehidupan angngota keluarganya sendiri, tidak tergantung pada keluarga lain.

Hasil yang diperoleh dari berladang dipakai terutama untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, jika ada kelebihan, maka dibagikan kepada anggota keluarga yang lain (di waktu lalu) atau di jual ke pasar (di waktu sekarang). Tetapi kebanyakan orang Biak masih menggunakan sistem barter atau tukar menukar hasil dari bercocok tanam/berladang.