etnografi

Suku Cirebon, Suku Bangsa di Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat tidak hanya dihuni oleh Suku Sunda, ada beberapa suku yang terdapat di provinsi Jawa Barat. Salah satunya adalah Suku Cirebon.

PublishedJuly 10, 2013

byDgraft Outline

Suku Cirebon yang berada di daerah pantai utara memiliki keanekaragaman budaya bahkan suku Cirebon merupakan suku yang memiliki kebudayaan sendiri dan mandiri.

Suku Cirebon adalah perpaduan antara dua suku besar yaitu suku Jawa dan suku Sunda. Akulturasi kedua suku tersebut melahirkan suku yang mandiri yaitu suku Cirebon. Sejak dahulu hingga sekarang suku Cirebon adalah suku yang berbeda dari suku Jawa dan suku Sunda.

Hal itu terlihat dari jejak sejarah yang termuat dan terungkap dalam kitab Purwaka Caruban Nagari, nama “Cirebon” berasal dari kata Sarumban yang jika diucapkan maka menjadi caruban. Seiring perkembangan caruban berubah menjadi carbon, cerbon dan akhirnya menjadi Cirebon. Sarumban memiliki arti Campuran, maka Cirebon berarti Campuran.

Pada Abad 15 keberadaan Suku Cirebon bermula dari sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Situasi di Muara Jati sangat produktif. Sektor perdagangan menjadi ladang usaha yang kuat di daerah tersebut. Banyak kapal-kapal singgah disana termasuk kapal dari luar negeri. Seiring perkembangan daerah Muara Jati menjadi kerajaan Cirebon pada masa pangeran Walangsungsang putra Prabu Siliwangi yang sampai saat ini ada.

Sejak perdagangan mulai berkembang pesat di daerah Muara Jati yang sekarang menjadi Cirebon, perkembangan Islam di daerah tersebut sudah mulai berkembang. Mayoritas masyarakat Cirebon memeluk agama Islam.

Adapun Islam yang ada dalam masyarakat Cirebon memiliki kekhasan. Hal itu karena Islam di Ceirebon berakulturasi dengan kebudayaan setempat. Selain itu penyebaran agam Islam berkembang pesat diantaranya karena ada walisongo yang terkenal yaitu Sunan Gunung Jati yang menyebarkan agama Islam di Daerah Cirebon.

Masyarakat Cirebon adalah masyarakat yang lahir dari akulturasi budaya Sunda dan Jawa termasuk lahir dari masa animisme dan dinamisme yang percaya kepada hal-hal yang bersifat kepercayaan.

Seiring perkembangan zaman serta masuk agama Islam, masyarakat Cirebon lebih mulai rasional dalam memandang apapun termasuk persoalan yang ada. Banyak perubahan dalam masyarakat Cirebon yang mengedepankan sikap-sikap rasional dalam menentukan banyak hal dalam kehidupan.

Dalam segi tata kelola pemerintahan serta organisasi sosial dalam masyarakat Cirebon terdapat sistem pemerintahan seperti adanya Bupati dan Walikota beserta aparatur. Namun secara budaya setempat dan sejarah yang telah terjadi dalam masyarakat Cirebon ada pula Sistem pemerintahan kerajaan yaitu keraton.

Dalam lingkungan keraton ada keturunan raja yang menjabat sebagai Sultan Cirebon. Ada beberapa keraton di daerah Cirebon yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan.

Untuk mata pencaharian masyarakat Cirebon bervariatif seperti nelayan, pedagang, petani dan industri. Cirebon terkenal dengan mata pencaharian nelayan dimana Cirebon adalah salah satu pemasok terbesar terasi. Hal ini bisa kita urut dari sejarah bahwa Cirebon adalah pelabuhan.

Selain itu dari segi nama Cirebon memiliki arti Ci adalah air dan Rebon adalah udang. Di daerah pesisir selatan Cirebon mayoritas masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Di daerah pegunungan atau daerah dekat pusat kota masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai petani. Ada pula pabrik-pabrik dan toko-toko sebagai mata pencaharian masyarakat Cirebon

Hal unik lain dari Cirebon adalah kesenian dan kerajinan yang banyak dan berlimpah diantaranya adalah kesenian tari Topeng, Sintren, Batik, Kesenian Gembyung, Lukisan kaca, Tarling, Sandiwara Cirebonan dan Topeng Cirebon. Salah satu ciri khas dari kerajinan Cirebon adalah Batik yang terkenal dengan motif Mega Mendung.

Table of contents

Open Table of contents

Bahasa Cirebon (Cerbon)

Ada hal yang unik dari masyarakat Cirebon yaitu adalah bahasa. Masyarakat Cirebon dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Cirebon. Bahasa Cirebon mendapat pengaruh dari budaya Sunda. Hal itu terjadi karena Cirebon berbatasan langsung dengan kebudayaan Sunda khususnya Sunda Kuningan dan Sunda Majalengka, dan juga dipengaruhi oleh Budaya China, Arab dan Eropa.

Hal ini terbukti dengan adanya kata “Taocang (Kuncir)” yang merupakan serapan China, kata “Bakda (Setelah)” yang merupakan serapan Bahasa Arab dan kemudian kata “Sonder (Tanpa) yang merupakan serapan bahasa eropa (Belanda).

Bahasa Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno bahasa Jawa seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya isun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh bahasa Jawa Baku.

Suku Cirebon secara demografis adalah perpaduan antara dua suku besar yaitu suku Jawa dan suku Sunda. Akulturasi kedua suku tersebut melahirkan suku yang mandiri yaitu suku Cirebon. Sejak dahulu hingga sekarang suku Cirebon adalah suku yang berbeda dari suku Jawa dan suku Sunda.

Hal itu terlihat dari jejak sejarah yang termuat dan terungkap dalam kitab Purwaka Caruban Nagari, nama “Cirebon” berasal dari kata Sarumban yang jika diucapkan maka menjadi caruban. Seiring perkembangan caruban berubah menjadi carbon, cerbon dan akhirnya menjadi Cirebon. Sarumban memiliki arti Campuran, maka Cirebon berarti Campuran.

Dalam tradisi masyarakat Cirebon mengenal sistem bahasa sendiri yaitu bahasa Cirebon. Bahasa Cirebon atau disebut Basa Cerbon adalah bahasa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat

Beberapa daerah tersebut diantaranya daerah Pedes hingga Cilamaya di Kabupaten Karawang, Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, Pusaka Ratu, Compreng di Kabupaten Subang, Jatibarang di Kabupaten Indramayu, Ligung, Jatitujuh, Sumberjaya, Dawuan, Kasokandel, Kertajati, Palasah, Jatiwangi, Sukahaji dan Sindang, di Kabupaten Majalengka sampai Cirebon dan Losari Timur di Kabupaten Brebes di Provinsi Jawa Tengah.

Meski banyak perdebatan tentang bahasa Cirebon, masyarakat Cirebon meyakini bahwa bahasa Cirebon adalah bahasa mandiri.

Dalam bahasa Cirebon terdapat aksara Cirebon yang merupakan jenis aksara yang digunakan dalam penulisan bahasa Cirebon sejak masa penggunaan Bahasa Cirebon Kuna

Aksara yang digunakan terbagi pada dua yaitu Aksara Arab Pegon dan Aksara Cacarakan. Aksara Arab Pegon merupakan aksara Arab Melayu yang dalam penulisan di Cirebon menggunakan bahasa Cirebon sementara Cacarakan merupakan jenis aksara yang sama dengan yang digunakan pada kebudayaan Jawa dan Bali dengan dikenalnya “Ha Na Ca Ra Ka”.

Selain itu, dalam banyak hal sebagian besar kosakata asli dari bahasa Cirebon tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik.

Pada masyarakat Cirebon sudah ada buku yang berkaitan dengan bahasa Cirebon yaitu “Kamus Bahasa Cirebon” yang ditulis oleh Sudjana. Penerbitan “Wyakarana. Tata Bahasa Cirebon” pada tahun 2002. Hal itu menunjukan bahwa bahasa Cirebon sebagai bahasa yang mandiri.

Pandangan Hidup Orang Cirebon dan Filosofi Hidup Sunan Gunung

Masyarakat Cirebon memiliki tokoh panutan yang merupakan salah satu dari Wali Songo. Beliau adalah Sunan Gunung Jati. Kepemimpinan dan ketauladan Sunan Gunung Jati masih menjadi panutan masyarakat Cirebon dalam bertindak dan berperilaku.

Banyak yang menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Syarif Hidayatullah yang lahir sekitar tahun 1450. Beliau merupakan salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat

Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.

Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda’im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.

Salah satu ajaran Sunan Gunung Jati yang menjadi landasan dan pandangan hidup masyarakat Cirebon saat ini adalah “ Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin ”.

Ingsun titip Tajug

Beliau berpesan agar wong Cirebon selalu memelihara Tajug. Tajug adalah masjid tempat umat Islam melakukan ibadah ritual (Mahdhoh) seperti sholat lima waktu: Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh.

Di manapun dan dalam keadaan apapun wong Cirebon, jangan pernah meremehkan, apalagi melupakan tajug. Tajug harus dimakmurkan dengan kegiatan ibadah ritual seperti sholat dan dzikir dan ibadah sosial.

Ingsun titip fakir miskin

Fakir miskin adalah simbol kesinergian hubungan antara sesama manusia (hablum minannas). Sunan Gunung Jati memberikan ajaran tentang untuk tidak lupa dengan keadaan di sekitar. Salah satunya menciptakan kesejahteraan bersama kepada orang fakir.

Selain itu, pandangan masyarakat Cirebon yang lain yang menjadi landasan dan bertindak dan berperilaku adalah Ma Lima. Ma Lima adalah falsafah Jawa yang berisi ajaran tentang lima larangan yang harus dihindari dalam hidup.

Lima larangan dalam Ma Lima tersebut adalah:

Madat yaitu menghisap candu, termasuk melakukan bisnis dan kegiatan usaha narkoba.

Madon yaitu melacur atau bermain perempuan, termasuk selingkuh dan main laki-laki bagi perempuan merupakan zinah.

Mabuk yaitu mabuk minuman keras, termasuk terlalu mabuk akan dunia.

Main yaitu berjudi.

Maling yaitu perbuatan mencuri, termasuk korupsi yang merupakan mencuri uang rakyat.

Lima perilaku di atas adalah perilaku jahat. Apabila lima larangan tersebut dilakukan maka akan membawa hidup menjadi sial dan mengakibatkan kerugian diri dan masyarakat atau orang lain.

Upacara Adat Nadran; Syukuran dan Pesta Laut Suku Cirebon

Upacara Nadran bertambah semarak karena upacara ini menampilkan hiburan wayang yang merupakan kebudayaan Hindu. Selain itu, banyak tetabuhan dan nyanyian dalam proses upacara Nadran yang semakin bertambah semarak.

Setiap masyarakat dimana pun memiliki kekhasan tersendiri dalam segi kebudayaan. Salah satu masyarakat yang memiliki kekhasan dalam kebudayaan adalah masyarakat Cirebon.

Kekhasan masyarakat cirebon terlihat dari aktivitas mereka yang melakukan upacara Nadran atau biasa orang-orang Cirebon menyebutnya Sedekah Laut.

Upacara sedekah laut ini juga dilakukan oleh masyarakat Indramayu dan Subang. Dalam perkembangannya tradisi upacara Nadran tidak hanya berkembang di masyarakat Cirebon saja.

Upacara Nadran adalah upacara adat masyarakat pesisir Cirebon untuk mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia dan rizki yang telah diberikan kepada masyarakat setempat.

Selain itu, upacara Nadran merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur mereka, kepada penguasa laut agar diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka. Upacara Adat Nadran dilakukan setahun sekali kisaran bulan Juli s.d. Agustus.

Nadran memiliki arti janji atau rasa syukur. Nadran berasal dari kata nazar dalam bahasa Arab yang memiliki arti janji. Janji atau rasa syukur masyarakat pesisir Cirebon atas rezeki yang telah dilimpahkan yang maha kuasa kepada mereka. Secara turun temurun, upacara Nadran adalah upacara yang lahir dari akulturasi agama Islam dan Hindu. Perpaduan tersebut menciptakan upacara Nadran.

Dalam pelaksanaan upacara Nadran, pertama kali yang dilakukan adalah menyembelih kerbau dengan cara memotong kepala kerbau disertai memotong tumpeng. Kepala kerbau tersebut dibungkus dengan kain putih kemudian dengan sesaji lainnya dilepaskan ke tengah laut memakai ancak sejenis replika perahu dan kepala kerbau ditenggelamkan.

Selain itu, nasi tumpeng dan lauk pauk yang ada dibagi-bagikan kepada anggota masyarakat lainnya. Kegiatan itu disebut bancaan atau berkah. Pemakaian kerbau untuk dijadikan persembahan bukan sapi karena sapi merupakan hewan yang suci dalam agam Hindu sehingga mesti dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Sapi juga merupakan jelmaan dewa. Maka dari itu kerbau yang dijadikan persembahan.

Selain kegiatan memotong kepala kerbau dan melepasnya ke laut, kegiatan lainnya dalam upacara Nadran adalah membacakan mantera-mantera sambil membakar dupata atau kemenyan yang bertujuan untuk memohon perlindungan, keselamatan dan rizki yang banyak kepada para dewa laut.

Pembacaan mantera dalam upacara Nadran merupakan bagian untuk memanggil roh-roh leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan masyarakat pesisir Cirebon dalam mencari rezeki di laut.

Upacara Nadran yang dilakukan setiap setahun sekali oleh masyarakat Cirebon mempunyai nilai-nilai filosofi yang kuat. Nilai-nilai yang terbangun dari upacara tersebut adalah solidaritas, etis, kultural dan religius yang tercipta dari simbol-simbol yang ada dalam upacara tersebut.

Nilai-nilai kebersamaan yang ada dalam upacara Nadran ini menjadi sebuah dorongan ke depan untuk membangun masyarakat yang menjalankan nilai-nilai kebersamaan dan kepatuhan terhadap yang maha kuasa.