etnografi

Suku Jawa; Bangsa, Budaya dan Bahasa

Suku Jawa adalah suku bangsa terbesar yang ada di Indonesia. Selain menempati wilaya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta, mereka juga tersebar di berbagai penjuru tanah air, seperti Jawa Barat, Jakarta, Banten, Lampung, dan Sumatra Barat, dan jumlahnya mencapai 41,7 persen dari populasi bangsa Indonesia.

PublishedJuly 15, 2013

byDgraft Outline

Persebaran mereka ke berbagai tempat tersebut, selain dilatarbelakangi oleh adat-budaya (seperti mengembara), juga oleh faktor-faktor ekonomi-politik, seperti ekspansi kerajaan Mataram dan kebijakan transmigrasi Pemerintah Kolonial Belanda.

Tidak hanya tersebar di tanah air, komunitas besar suku Jawa juga hari ini banyak berdiam di Suriname, Kaledonia Baru, Malaysia, Singapura, dan Belanda. Di beberapa negara tersebut, dalam sejarahnya, orang Jawa dimobilisasi Pemerintah Kolonial Belanda sebagai tenaga kerja.

Walaupun mewarisi budaya hidup yang terkenal ulet, namun di sisi lain, orang Jawa memiliki falsafah hidup “ nrimo ing pandum ” atau sikap pasrah menerima jalan hidup yang ditakdirkan oleh Tuhan.

Hal tersebut senada dengan ungkapan yang terkenal di antara orang Jawa “ urip ora ngoyo ”, yang berarti bahwa dalam menjalani hidup tidak usah terlalu ambisius. Sikap hidup tersebut yang nampaknya membuat Suku Jawa terkenal dengan kehidupannya yang sederhana.

Mayoritas orang Jawa berkomunikasi dalam Bahasa Jawa. Bahkan banyak dari mereka yang hidup di perantauan pun masih sering berbahasa Jawa, terutama antar sesamanya. Suku Jawa memang terkenal akan solidaritas sosialnya yang tinggi dan loyaliasnya terhadap adat dan tradisi, termasuk dalam berbahasa.

Dalam Bahasa Jawa terkandung prinsip undhak-undhuk atau tata aturan mengenai penggunaan bahasa, dalam kaitannya dengan peran sosial para penuturnya, misalnya ayah kepada anak atau sebaliknya, remaja kepada teman sebayanya, dan lain sebagainya.

Sebagian besar Suku Jawa memeluk Islam, yang biasanya dikategorikan Islam santri dan Islam abangan atau Islam yang bercampur dengan berbagai ritus-ritus tradisi. Dominasi pemeluk Islam di kalangan orang Jawa tidak terlepas dari peran para penyebar Islam terkemuka, yakni Walisongo, yang hampir semuanya menyebarkan syi’ar di Tanah Jawa.

Selain Islam, Suku Jawa juga ada yang menganut Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan ada pula yang berpegang teguh pada Kejawen, yakni kepercayaan animisme khas orang Jawa, yang terutama dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Budha.

Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Semua unsur diatur secara harmonis dan berdampingan, baik itu hidup dengan mati, alam dengan makhluk hidup. Semua hal yang tidak cocok mengharuskan untuk dihindari; setiap yang bisa mengganggu keseimbangan itu cepat diperbaiki agar semua kembali harmoni.

Umumnya yang mengganggu keseimbangan manusia adalah pola manusianya, baik masalah manusia dengan manusia atau manusia dengan dengan alam. Untuk mengatur semua itu agar kembali benar adalah perlunya kepemimpinan dan tanggung jawab pimpinan masyarakat.

Kesulitan dalam masyarakat Jawa adalah setiap keseimbangan itu diganggu oleh pola manusia dengan manusia yang umumnya bisa menimbulkan konflik (harmoni terganggu). Untuk menghindari konflik, umumnya masyarakat Jawa mengutarakan ketidakcocokan itu dengan memendam-nya.

Di masyarakat Jawa umumnya ada golongan sosial, misalnya golongan priyayi (bangsawan) dengan rakyat biasa. Ada lagi golongan santri dengan golongan abangan (masyarakat yang konon “kurang peduli” dengan syariat agama). Dalam bahasa Jawa ada kelas atau tingkatan tingkatan yang bisa menggambarkan pengaturan pengucapan dalam golongan sosial.

Table of contents

Open Table of contents

Kejawen; Agama dan Pandangan Hidup Suku Jawa

Kejawen merupakan Agama dan pandangan hidup orang Jawa. Istilah Kejawen merujuk pada seperangkat tataaturan hidup yang diyakini oleh masyarakat Jawa, baik sebagai agama maupun sebatas nilai-nilai pandangan hidup dalam bingkai tradisi.

Sebagai agama, Kejawen dianggap sebagai agama lokal yang dianut leluhur Tanah Jawa, jauh sebelum kedatangan agama-agama baru, seperti Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Sebagai pandangan hidup dalam bingkai tradisi, praktik-praktik Kejawen banyak ditempuh orang-orang Jawa dalam agama-agama baru yang mereka anut.

Tidak seperti konsep Islam, Kristen, dan agama pada umumnya yang cenderung baku, Kejawen mewakili bermacam pandangan dan praktik-praktik spiritual, yang biasanya memiliki kesamaan, terutama dalam bahasa pengantar, yakni bahasa Jawa, dan penggunaan simbol-simbol yang berkaitan dengan tradisi masyarakat Jawa, seperti keris, wayang, gamelan, pembacaan mantera, dan lain-lain.

Kesamaan lain dalam konsep Kejawen adalah keyakinan terhadap ke-esa-an Sang Pencipta dan nilai-nilai keseimbangan hidup serta keluhuran budi yang menjadi dasar dan tujuan dari dari ajaran tersebut

Bagi yang menganggap Kejawen lebih jauh sebagai agama, dua ritual ibdah yang paling umum dilakukan adalah tapa (topo) dan puasa (poso). Berikut adalah beberapa jenis tapa atau meditasi yang umum dikenal di kalangan pemeluk Kejawen:

  1. Topo Jejeg, tidak duduk selama 12 jam.
  2. Topo Lelono, melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 3 pagi (waktu ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).
  3. Topo Kungkum, masuk kedalam air sungai tanpa pakaian selembar pun, duduk dengan posisi bersila di dalam air, dengan kedalaman setinggi leher. Biasanya di pertemuan dua buah sungai, menghadang arus.
  4. Topo Ngalong, yaitu bertindak seperti kalong (kelelawar besar) dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada tahap tertentu, tapa ini dilakukan dengan kaki yang menggantung di dahan pohon, dan posisi kepala di bawah. Pada saat menggantung dilarang banyak bergerak. Biasanya puasa ini dibarengi dengan puasa ngrowot.
  5. 5. Topo Ngeluwang, adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam, dan membutuhkan keberanian yang sangat besar. Topo Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan daya penglihatan ghaib dan menghilangkan sesuatu. Topo Ngeluwang adalah topo dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat sepi.

Setelah seseorang selesai dari topo ini biasanya keluar dari kubur maka akan melihat hal-hal yang mengerikan (seperti arwah, jin dan sebagainya). Sebelum masuk dikubur, disarankan membaca doa: “Niat ingsun Ngelowong, anutupi badan kang bolong siro mara siro mati, kang ganggu marang jiwa ingsun, lebur kaya dene banyu krana Gusti.”

Sementara ritual-ritual puasa yang umum dilakukan para pemeluk kejawen, di antaranya adalah:

  1. Poso Mutih, yaitu tidak boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tidak boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula, garam dan lain-lain). Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dahulu, dan membaca do’a: “Niat ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahir, kabeh krana Gusti.”
  2. Poso Ngeruh, yaitu hanya boleh makan sayuran/buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur dan sebagainya.
  3. Poso Ngebleng, adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang menjalani Poso Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar. Waktu tidur pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang melakukan Poso Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam).
  4. Poso Patigeni, hampir sama dengan Poso Ngebleng. Perbedaannya adalah, tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dan seterusnya.
  5. Poso Ngelowong, lebih mudah dibanding puasa-puasa di atas. Seseorang yang melakukan Poso Ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.
  6. Poso Ngrowot, adalah puasa yang lengkap dilakukan dari jam 3 pagi sampai jam 6 sore. Saat sahur seseorang yang melakukan Poso Ngrowot ini, hanya boleh makan buah-buahan saja. Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu, tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.
  7. Poso Nganyep, adalah puasa yang hanya memperbolehkan makan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Poso Mutih, perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.
  8. Poso Ngidang, hanya diperbolehkan memakan dedaunan dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.
  9. Poso Ngepel, mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.
  10. Poso Ngasrep, hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja dalam sehari.
  11. Poso Senin-Kemis, puasa yang dilakukan setiap hari Senin dan Kamis saja seperti namanya. Dari jam 3 pagi sampai jam 18.
  12. Poso Wungon, adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.

Bahasa Suku Jawa dan Berbagai Variannya

Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan Suku Jawa, baik yang bermukim di belahan Utara Pulau Jawa (sekarang Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta) sebagai tempat lahir bahasa tersebut, maupun di berbagai tempat lainnya, yang dihuni secara signifikan oleh para pendatang dari tanah Jawa, dengan berbagai latar belakang.

A. Persebaran Bahasa Jawa

Bahasa Jawa ( basa Jawa ) termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesian, yang hari ini menjadi bahasa ibu bagi lebih dari 40 persen penduduk dari populasi masyarakat Indonesia, yang tersebar hampir di seluruh penjuru tanah air.

Sensus tahun 1980 menunjukkan, bahasa Jawa digunakan di Yogyakarta oleh 97,6% dari populasi penduduk, di Jawa Tengah (96,9%), di Jawa Timur (74,5%), di Lampung (62%), di Sumatra Utara (21%), di Sumatra Utara (17%), di Bengkulu (15,4%) di Sumatra Selatan (12,4%), di Jawa Barat (13%), dan dituturkan oleh kurang dari 10% dari populasi penduduk di tempat-tempat lainnya di Indonesia.

Selain di Indonesia, bahasa Jawa dengan penutur yang terbilang signifikan juga bisa ditemui di sejumlah negara, yakni di Malaysia, Singapura, Suriname, Kaledonia Baru, dan Belanda.

B. Dialek Dalam Bahasa Jawa

Sebagai salah satu bahasa besar dengan banyak penutur, bahasa Jawa memiliki sejumlah dialek, seperti misalnya Jawa Tengahan, yang terutama di bawah pengaruh dialek Surakarta dan dialek Yogyakarta, yang dianggap sebagai standar. Berikut sejumlah dialek dalam ‘rumpun’ dialek Jawa Tengahan :

Kemudian, dikenal juga istilah Jawa Kulonan. Oleh penutur bahasa Jawa lainnya, dialek Jawa Kulonan ini sering disebut basa ngapak-ngapak. Jawa Kulonan dituturkan di bagian Barat Jawa Tengah dan di sejumlah wilayah Barat Pulau Jawa, yang meliputi:

Selain Jawa Tengahan dan Jawa Kulonan, dikenal juga istilah Jawa Timuran, yang dituturkan di ujung Timur Pulau Jawa, dari mulai wilayah Sungai Brantas di Kertosono, dan dari Nagnjuk hingga Banyuwangi, yang mencakup provinsi-provinsi di Jawa Timur, kecuali Pulau Madura. Dialek-dialek dalam ‘rumpun’ Jawa Timuran. Yakni:

Di samping tiga ‘rumpun’ dialek di atas, selebihnya, dikenal juga bahasa Jawa Suriname ( Surinamese Javanese ), yang umumnya berasal dari Jawa Tengah, terutama keresidenan Kedu.

C. Undhak-undhuk atau unggah-ungguh dalam Bahasa Suku Jawa

Bahasa Jawa mengenal istilah unggah-ungguh, undhak-undhuk atau aturan tatakrama dalam berbahasa, yang mencakup pertimbangan-pertimbangan relasi sosial dan peran sosial para penutur yang terlibat dalam percakapan. Setidaknya, dikenal tiga bentuk undhak-undhuk, yakni:

Aksara Jawa Hanacaraka Atau Carakan

Aksara ini merupakan aksara jenis abugida yang konon turunan dari aksara Brahmi dan merupakan turunan dari aksara Assyiria.

Aksara Jawa (kadang disebut Hanacaraka atau Carakan ) adalah aksara yang dipakai atau pernah dipakai untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahkan Makasar, Sunda, dan Sasak.

Bentuk aksara Jawa yang dikenal hari ini (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17). Urutan aksara Jawa dikenal unik, karena merangkai sebuah “cerita”: Hana Caraka (Terdapat Pengawal), Data Sawala (Berbeda Pendapat), Padha Jayanya (Sama kuat/hebatnya), Maga Bathanga (Keduanya mati).

Aksara Jawa terdiri dari 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, 5 aksara swara (huruf vokal depan), 5 aksara rekan dan 5 pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tatapenulisan ( pada ).

Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa telah berkembang dalam beberapa tahapan, yakni fase aksara Jawa-Hindu, aksara Jawa-Islam, aksara Jawa-Kolonial, dan aksara Jawa Modern.

Dalam priode Aksara Jawa-Hindu, aksara Jawa mengikuti sistem Panini, yaitu mengikuti urutan ka-ga-nga (yang hari ini digunakan dalam Unicode aksara Jawa). Dalam susunan abjadnya, belum ada penggolongan serta pemisahan aksara murda, seperti yang dikenal hari ini dalam tiap susunan abjad Jawa.

Selain itu, ditemukan juga sejumlah aksara yang keberadaannya wajib hadir untuk menuliskan kata-kata Jawa kuna.

Pada periode aksara Jawa-Islam, aksara Jawa berkembang pada dekade awal kedatangan Islam ke tanah Jawa, yakni di masa Jawa masih bebas dari dominasi politik pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, yang kurang lebih berlangsung pada era kesultanan Demak.

Pada fase ini, aksara Jawa diurutkan menggunakan urutan ha-na-ca-ra-ka, yang disusun untuk mempermudah penghafalan, seperti yang telah disinggung di awal tulisan.

Pada fase ini juga, pengertian aksara murda masih belum disamakan dengan huruf kapital, seperti halnya dalam tulisan Latin, namun sudah dipisahkan dari susunan huruf Jawa dasar.

Serta, mulai digunakan aksara rekan untuk menyesuaikan penulisan kata-kata Arab yang mulai banyak dikenal seiring semakin masifnya dakwah Islam.

Pada priode aksara Jawa-Kolonilal, yakni pada zaman dominasi pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, diterbitkan tatatulisan aksara Jawa dengan ejaan Sriwedari, sebagai hasil dari lokakarya yang diselenggarakan di Sriwedari, Surakarta, pada 1926, dalam rangka menyeragamkan tatapenulisan aksara Jawa.

Perbedaan yang paling jelas dalam fase ini adalah sebagian aksara murda sudah berubah fungsi sebagai huruf kapital, layaknya pada aksara Latin.

Kemudian, perubahan lainnya adalah dikikisnya penggunaan taling-tarung pada bunyi /o/ (“o” Jawa). Sebagai dampak, misalnya penulisan “Ronggawarsita” menjadi “Ranggawarsita”.

Periode aksara Jawa-Modern, adalah periode perkembangan aksara Jawa sejak zaman kemerdekaan Indonesia hingga sekarang. Beberapa penanda dalam fase ini, yakni diterbitkannya buku Karti Basa oleh Kementrian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 1946, yang isinya mengenai pedoman penulisan kata, aksara, dan angka Jawa, serta tentang pedoman penulisan kata Jawa dengan huruf Latin.

Penanda lain dalam fase ini adalah diselenggarakannya Kongres Bahasa Jawa I hingga III, pada 1991, 1996, dan 2001, yang masing-masing menghadirkan kebaruan dalam aksara Jawa.

Pada Kongres Bahasa Jawa II, diterbitkan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tiga gubernur, yakni gubernur Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, yang merupakan upaya penyelarasan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di tiga provinsi tersebut.

Sistem Kekerabatan dan Sosial Suku Jawa

Dalam masyarakat Jawa, sistem kekerabatan didasarkan pada garis keturunan bilateral (diperhitungkan dari dua belah pihak, ibu dan ayah). Dengan prinsip bilateral atau parental ini, seorang Jawa berhubungan sama luasnya dengan keluarga dari pihak ibu dan juga ayah.

Kekerabatan yang relatif solid biasnya terjalin dalam keturunan satu nenek moyang hingga generasi ketiga. Namun demikian, kualitas hubungan keluarga inti ( nuclear family ) dan keluarga luas ( extended family ) berbeda-beda antara satu lingkaran keluarga dengan yang lainnya, bergantung pada kondisi masing-masing keluarga.

Hari ini, dibanding warga yang bermukim di perkotaan, masyarakat desa relatif lebih baik dalam menjaga nilai-nilai kekerabatan dalam keluarga. Walaupun tidak terlepas dari imbas perubahan zaman, setidaknya, tradisi kerjasama dalam keluarga besar masih terasa dalam perayaan ritual adat, seperti pernikahan, kematian, pembangunan rumah, dan lainnya.

Dalam perayaan pernikahan, misalnya, anggota keluarga besar umumnya turut membantu kelancaran acara, terutama berhimpun dalam dapur umum untuk mempersiapkan berbagai hidangan pesta bagi kaum wanita, dan menata dekorasi tempat pernikahan bagi kaum pria. Sebaliknya, kerabat yang punya hajat akan membekali mereka dengan sejumlah makanan sepulangnya mereka.

Selain pernikahan, ritual berkabung atas kematian kerabat pun biasanya menjadi ajang untuk berkumpul di tempat kerabat yang berkabung tersebut, dari mulai hari kejadian, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hingga tiga tahun setelah kematian. Sebagai tanda terimakasih, kerabat dan juga para tetangga yang datang berpartisipasi akan dibekali makanan yang biasa disebut berkat.

Di samping pernikahan dan kematian, ritual lain yang biasanya mengundang solidaritas kerabat adalah membangun rumah ( puput rumah), sunatan, lebaran, dan masih banyak yang lainnya. Pada hari-hari tersebut, terlihat kebersamaan dan kerjasama dalam lingkaran keluarga besar.

Namun demikian, seperti sempat disinggung sebelumnya, nilai-nilai kekerabatan dalam keluarga, khususnya keluarga besar, semakin mengalami degradasi

Beberapa hal yang melatarbelakangi kondisi tersebut adalah:

  1. Jarak tempat tinggal antar satu anggota lain yang terlalu jauh,
  2. Lingkungan sekitar masing-masing keluarga inti yang telah banyak mempengaruhi cara hidup anggotanya, terutama yang berdomisili di luar lingkungan Jawa,
  3. Adanya pengaruh media massa dalam merepresentasikan kehidupan keluarga,
  4. Adanya pengaruh kepercayaan religi (agama) sehingga sedikit menggeser nilai kepercayaan Jawa.

Petuah-Petuah Orang Jawa; Teguh Berjuang

Setiap entitas sosial memiliki karakteristik dan keunikannya tersendiri, termasuk dalam cara pandang terhadap kehidupan atau nilai-nilai yang diyakini.

Berbagai pendekatan tentu bisa dilakukan untuk memahami karakteristik pandangan hidup suatu kelompok sosial, salah satunya adalah melalui telaah terhadap petuah-petuah yang lestari dan ada regenerasi di tengah kelompok sosial tersebut. Upaya tersebut bisa dicobakan terhadap kelompok sosial manapun, tak terkecuali terhadap masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa sejak lama terkenal sebagai kaum pengembara yang gigih memperjuangkan hidup, namun sekaligus juga suku bangsa rendah hati. Hal tersebut terbukti dengan keberhasilan orang Jawa dalam menaklukkan tanah-tanah rantau yang mereka datangi, tanpa memantik permusuhan dengan penduduk setempat.

Masyarakat Jawa juga terkenal akan kesederhanaan dan keteguhannya memegang nilai-nilai religius yang diyakini. Kenyataan tersebut tentu tidak akan mengherankan jika kita mengenal petuah-petuah populer yang hidup di tengah masyarakat Jawa selama ini

Beberapa Petuah-petuah Orang Jawa yang mengajarkan jiwa cinta damai dan kerendah-hatian orang Jawa, misalnya:

  1. Nngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha, yang artinya, berjuang tanpa perlu membawa massa; menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; kaya tanpa didasari kebendaan.
  2. Aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka, sing was-was tiwas, yang artinya, jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; jangan suka berbuat curang agar tidak celaka; dan barang siapa yang ragu-ragu akan binasa atau merugi.
  3. Aja adigang, adigung, adiguna, yang artinya, jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.
  4. Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti, keberanian, kekuatan dan kekuasaan dapat ditundukkan oleh salam sejahtera.

Petuah-petuah Orang Jawa yang mengajarkan untuk terus gigih dalam berjuang, namun tetap menjaga kesabaran, misalnya:

  1. Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan, yang artinya, jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.
  2. Sepi ing pamrih rame ing gawe, banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli, yang artinya, bekerja keras dan bersemangat tanpa pamrih; cepat tanpa harus mendahului; tinggi tanpa harus melebihi.
  3. Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman, yang artinya, jangan mudah terheran-heran; jangan mudah menyesal; jangan mudah terkejut-kejut; jangan mudah kolokan atau manja.
  4. Sing prihatin bakal memimpin, yang artinya, siapa berani hidup prihatin akan menjadi satria, pejuang dan pemimpin.

Dan petuah-petuah Orang Jawa yang mengajarkan agar tetap sederhana dan terus mengingat sang Pencipta dalam hidupnya, misalnya:

  1. Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman, yang artinya, janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
  2. Aja milik barang kang melok, aja mangro mundak kendo, yang artinya, jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.
  3. Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara, yang artinya, manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
  4. Sing sabar lan ngalah dadi kekasih Allah, yang artinya, yang sabar dan mengalah akan jadi kekasih Allah.

Primbon Dan Weton; Suku Jawa Menghitung Nasib

A. Primbon

Primbon merupakan himpunan berbagai prediksi nasib (ramalan) yang berkembang pada masyarakat Jawa, yang sudah dikenal sejak ratusan tahun silam. Sebagian kalangan meyakini Primbon, bukan sekedar ramalan, melainkan pengetahuan, hasil olah pengalaman para leluhur Jawa mengenai berbagai segi kehidupan.

Sebagai contoh, beberapa tanda-tanda dalam kehidupan manusia yang bisa ditelusuri maknanya lewat Primbon adalah mimpi, menstruasi, bentuk bibir, bentuk telinga, kedutan mata, bersin, telinga berdengung, perilaku hewan, dan lain sebagainya. Di samping contoh-contoh, masih banyak berbagai hal lainnya yang bisa dijelaskan Primbon.

Mengenai bentuk bibir, misalnya. Bibir yang lebar bermakna bahwa si Pemilik pandai mengatur uang, sabar, dan berani. Orang dengan bibir kecil bermakna bahwa yang bersangkutan memiliki kepribadian yang suka berterus-terang, berhati kecil, dan sering menganggap dirinya tidak bahagia. Bibir tipis bermakna si Pemilik mudah terpengaruh dan tidak punya prinsip

Bibir dower (merekah ke bagian bawah) bermakna si Pemilik selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mau mengalah. Sementara bentuk bibir kecil dan agak sempit berarti si Pemilik adalah orang yang selalu bimbang dan tidak bisa mengambil keputusan dengan baik.

B. Weton

Memiliki kemiripan dengan Primbon, Weton menjelaskan nilai dari berbagai peristiwa berdasarkan perhitungan hari berdasarkan kalender tradisional Jawa. Weton, terutama terkenal dalam menjelaskan makna hari lahir seseorang.

Weton seseorang merupakan gabungan hari dalam kalender Masehi (Senin, Selasa, dan seterusnya) dan hari dalam penanggalan Jawa yang disebut hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon). Jadi, total ada 35 Weton yang menjelaskan kepribadian dan nasib seseorang, dari mulai Jumat Legi, Jumat Pahing, Jumat Pon, Jumat Wage, Jumat Kiwon, Sabtu Legi, Sabtu Pahing, Sabtu Pon, dan seterusnya.

Sebagai misal, mereka yang memiliki Weton Jumat Legi cenderung bersifat jujur, bahkan, terkadang bisa terlalu jujur, sebab mereka adalah tipe orang yang suka mengungkapkan pikiran tanpa tedeng aling-aling.

Mereka cukup teguh dengan pendiriannya, tetapi sikap tersebut terkadang juga menghambat kemampuan mereka untuk menerima orang lain secara apa adanya. Bagi orang-orang yang berhubungan dengan pemilik Weton ini, disarankan untuk tidak memancing amarah mereka, karena mereka dapat bertindak ekstrim bila sedang naik darah.

Meskipun demikian, mereka setia dan murah hati terhadap orang-orang yang dicintainya. Simpati mereka mudah timbul sehingga tidak keberatan untuk bertindak di luar jalur mereka untuk membantu teman atau bahkan orang asing.

Lain Jumat Legi, lain Juga karakter dan nasib orang dengan Weton Jumat Kliwon. Mereka yang memiliki Weton tersebut diyakini berwatak sabar, murah hati, dan mudah membuat orang menyukai mereka.

Pribadi dengan Weton ini dianggap bisa menjadi seorang pemimpin yang baik, karena cenderung mempunyai kemampuan, dapat berpikir secara luas, dan dapat mempengaruhi banyak orang dengan lidahnya. Walaupun terkadang sedikit malas, tetapi orang-orang akan tetap mencintai mereka, dan mereka tidak akan pernah kekurangan teman.

Seperti dua contoh Weton di atas, Weton-Weton lainnya juga memiliki penjelasannya tersendiri. Hingga kini, Weton masih kuat diyakini sebagian masyarakat Jawa, terutama yang bermukim di daerah pedesaan.