etnografi

Suku Konjo Kajang, Sulawesi Selatan

Suku Konjo (Kondjo atau Tiro) atau disebut juga Suku Kajang adalah salah satu suku di Indonesia yang tinggal di daerah Kabupaten Bulukumba. 209 km dari kota Makasar, provinsi Sulawesi Selatan.

PublishedJuly 11, 2013

byDgraft Outline

Suku Konjo berjumlah 125.000 jiwa. Pada daerah tersebut, suku Konjo terdapat di empat kecamatan yaitu Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang, Kecamatan Bontobahari dan Kecamatan Herlang), yang semuanya berada di wilayah bagian Timur Kabupaten Bulukumba.

Suku Konjo Hitam termasuk dalam suku Konjo tersebut. Selain di Bulukumba, Suku Konjo juga mendiami wilayah Kabupaten Sinjai (yang berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba bagian Utara) dan Kabupaten Barru (beberapa Desa di Kecamatan Pujananting).

Dalam kehidupan sehari-hari, suku Konjo memilih hidup dengan menerapkan kebudayaan lama yang sudah turun temurun ada yaitu seperti berpakaian serba hitam, tidak diperbolehkan untuk menggunakan peralatan, dan mempraktekkan ilmu sihir sebagai bagian dari proses penyembahan.

Dalam tradisi Suku Konjo terdapat satu kearifan lokal yang menjadi pandangan hidup masyarakat Konjo yaitu “ Hutan tak boleh ditambah dan tak boleh dikurangi ”. Saat ini, hutan adat masyarakat Konjo yang berada di Desa Tanatowa seluas 331,70 hektar dalam kondisi yang terjaga. Tanah pertanian, ladang dan tanaman di area tersebut terjaga kesuburannya.

Filosofi Suku Konjo berakar dari kondisi Suku Konjo yang merupakan masyarakat agraris dimana kehidupan mereka bergantung kepada lahan pertanian. Selain itu, hutan adalah tempat sakral bagi masyarakat Konjo, dimana ada larangan untuk tidak masuk ke hutan. Suku Konjo mempunyai pandangan bahwa tidak boleh ada yang masuk ke dalam hutan.

Masyarakat Konjo percaya satu hal bahwa hutan akan memberi kesuburan bagi tanah mereka, menjaga sumber mata air desa. Mereka percaya bahwa hutan masih ada maka tanah mereka akan subur.

Hutan yang lebat juga akan memberikan mereka sumber air yang banyak. Sebagian besar Orang Konjo masih memanfaatkan air yang ada di sumber-sumber air yang biasanya keluar di samping pohon-pohon yang besar. Orang Konjo yang ada di dalam kawasan adat masih jarang yang memanfaatkan air tanah dengan membuat sumur.

Kesakralan Hutan bagi Suku Konjo juga karena hutan adalah tempat menyelenggaraan ritual adat mereka. Konon nenek moyang orang Konjo dimakamkan di hutan adat tersebut. Setiap tahun, ada upacara adat menziarahi makan tersebut perangkat adat Tanatowa. Selain itu, hutan adat juga digunakan sebagai media pemilihan Ammatowa (pemimpin tertinggi adat Orang Konjo).

Ammatowa dipilih dengan seleksi atau melewati ujian masuk ke dalam hutan. Tidak semua orang dapat sembarangan masuk ke hutan, ada sebuah prosesi ”mistis” yang dilakukan.

Bagi calon Ammatowa yang dapat keluar dari hutan dengan kondisi tegap dan sehat maka ialah Ammatowa yang dipilih oleh leluhur mereka. Orang Konjo percaya bahwa orang yang dapat keluar dengan selamat setelah memasuki hutan adat maka orang tersebut adalah pemimpin yang dipilih oleh Yang Maha Kuasa dan leluhur mereka.

Dalam urusan budaya masyarakat Konjo pesisir dan pegunungan ciri-ciri budaya sebagai berikut:

1. Saling membantu dalam pekerjaan dan keuangan, upacara perkawinan, menjenguk orang sakit, melayat orang meninggal. Sekalipun di antara anggota suku ini ada pertengkaran, mereka bersatu menghadapi ancaman dari pihak luar.

2. Materialisme diwujudkan dengan meminta secara terus terang kepada orang yang tidak takut bersaing mengumpulkan harta dan pemborosan agar orang lain terkesan.

3. Kegemaran kumpul-kumpul dan mengobrol.

4. Cenderung berkelit dalam menjawab pertanyaan.

5. Mempertahankan harga diri, dengan mempertahankan status sosial.

Masyarakat Konjo pesisir 100% beragama Islam. Bagi masyarakat Konjo Hitam, Islam merupakan agama resmi. Akan tetapi praktek animisme masih dijalankan. Pemimpin agama Islam dalam budaya mereka memiliki pengaruh yang kecil.

Mereka dipilih oleh rakyat untuk memimpin upacara- upacara keagamaan dan tugas-tugas di masjid. Orang Konjo Hitam memanggil dukun untuk upacara-upacara dan menolong orang sakit. Amma Toa (ayah tua) dari orang Konjo Hitam dianggap sebagai pemimpin keagamaan di daerah itu dan ditakuti karena kekuatan sihirnya.

Dalam segi mata pencaharian masyarakat Konjo Pesisir dan pegunungan berprofesi sebagai petani. Mereka menanam berbagai jenis tanaman, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Sistem pertanian mereka biasanya berdasarkan sistem bagi hasil antar sesama warga desa, yang dikerjakan secara beramai-ramai atau gotong-royong. Sebagian pula dari mereka berprofesi sebagai nelayan, mereka menangkap ikan di laut sesuai dengan waktu dan cuaca yang sudah diperhitungkan dengan matang Bahasa yang digunakan adalah bahasa Konjo Pesisir dengan beberapa dialek yaitu Tana Toa, Konjo Hitam dan Kajang.

Konjo sendiri adalah sebutan bagi masyarakat yang menggunakan bahasa Konjo sebagai penutur. Konjo adalah bahasa perpaduan antara bahasa Bugis dan Makassar yang konon sering digunakan oleh orang-orang di Kajang.

Bahasa Konjo; Bahasa Masyarakat Konjo-Kajang

Masyarakat Konjo-Kajang memiliki sistem bahasa sendiri. Bahasa tersebut adalah bahasa Konjo yang menurut para peneliti linguistik adalah salah satu bahasa dari cabang Melayu-Polinesia rumpun bahasa Austronesia.

Penutur bahasa Konjo tinggal di kawasan pesisir, di sudut tenggara bagian selatan pulau Sulawesi. Bahasa Konjo adalah bahasa daerah warga Kajang, Kabupaten Bulukumba

Bahasa Konjo merujuk pada sebuah dialek bahasa Makassar yang di tuturkan di desa-desa perbatasan kawasan berbahasa Makassar dan Bugis. Dalam dialek Makassar arti “Konjo“ adalah “disini“.

Masyarakat Konjo/Kajang sekitar 75 persen kosakata dasar mereka dengan bahasa Makassar standar. Dialek Konjo terbagi ke dalam dua sub kelompok yaitu: “Konjo pegunungan’’. Jumlah penutur sekitar 100.000 di pakai di sekitar Gunung Bawakaraeng.

“Konjo Pesisir “ Jumlah penutur sekitar 100.000 jiwa di pakai di pantai teluk Bone.

Konjo pesisir dan pegunungan berhubungan dengan level kesamaan leksikostatistik sebesar 75 persen, sehingga keduanya tidak lebih dekat dari masing-masing ketimbang dengan Makassar standar.

Pada level morfonemik, morfologi, dan sintaksis keduanya hampir-hampir sama. Menurut Gibson, 2009, Konjo pegunungan telah mencapai subjek sejumlah penelitian yang terpublikasi, masing-masing oleh Rossler (1987,1990,2000) dan Rottger – Rossler (1989,2000). Di daerah Konjo di kecamatan-kecamatan timur Kabupaten Bulukumba masuk dalam kelompok “Konjo Pesisir’’.

Konsep kecamatan pertama dan kabupaten berasal dari bahasa Jawa. Keduanya menggantikan istilah pemilihan Belanda, regenensi dan distrik, pada Tahun 1960-an sebagai sistem administratif yang terseragamkan di seluruh Indonesia.

Sebagian dari unit-unit sesuai dengan kerajaan-kerajaan lama,sebagian lainnya merepresentasikan penggabungan atau pemilahan dari unit-unit kerajaan lama itu. Kecamatan di pesisir Bulukumba meliputi kecamatan zkajang, Hero Lange-lange (Herlang), Bonto Tiro, dan Bontobahari.

Ibu kota Bulukumba dan sekitarnya memiliki penghuni yang semua populasi berbahasa Bugis yang besar sejak abad ke-17. Saat kawasan ini berada dibawah kendali VOC, yang menyerahkan ke kerajaan Bone.

Para penutur Konjo menyimpan perasaan satu identitas etnolinguistik khususnya dalam konteks lokal di kabupaten, dimana mereka selalu membentuk satu faksi yang bereposisi dengan penutur Bugis.

Dalam konteks ini mereka menunjukkan diri mereka dalam bahasa Indonesia sebagai “orang di atas“, Frase ini juga mengandung konotasi dalam bahasa Indonesia sebagai “kelas atas“.

Ammatoa Tampuk Kepemimpinan Suku Konjo

Dalam masyarakat Konjo/ Kajang terdapat sistem sosial yang mengatur tentang urusan yang berkaitan dengan pemerintahan adat setempat. Masyarakat Konjo/Kajang memiliki pemimpin yang disebut Ammatoa, seorang bapak atau pemimpin tertua.

Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di masyarakat Konjo (Tana Toa) sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Dalam proses pemilihan Ammatoa terbilang sulit.

Ammatoa bukan dipilih oleh rakyat, tetapi seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Tu Rie’A’ ra’na. Selain sebagai pemimpin adat, Ammatoa bertugas sebagai penegak hukum.

Pada awal mulanya, saat Amaota belum ada yang ada adalah Sanro atau Sanro Lohe (dukun yang sakti). Sanro Lohe adalah dukun yang dapat mengobati penyakit.

Selain itu, Sanro lohe adalah tokoh pimpinan dalam upacara ritual keagamaan sekaligus sebagai pemimpin kelompok.

Perkembangan selanjutnya adalah muncul istilah Amma dan terbentuk organisasi di masyarakat Konjo/Kajang. Struktur organisasi atau kekuasaan kepemimpinan dalam masyarakat Konjo termaktub dalam pasang ri Kajang yaitu dalam prosesnya Ammamana ”ada” (Amma melahirkan adat) dan Ammamana ”karaeng” (Amma melahirkan pemerintahan).

Ammatoa memiliki pendamping yaitu dua orang Anrong (ibu) masing-masing Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina dan para pemangku adat. Anrongta ri Pangi bertugas melantik Ammatoa.

Selain itu, Ammatoa juga dibantu oleh yang disebut sebagai Ada’ LimaKaraeng Tallu. Ada’ Lima (ri Loheya dan ri Kaseseya) adalah pembantu Ammatoa yang khusus bertugas mengurusi adat (ada’ pallabakki cidong).

Di antaranya, mereka bergelar Galla Puto yang bertugas sebagai juru bicara Ammatoa dan Galla Lombo’ yang bertugas untuk urusan pemerintahan luar dan dalam kawasan (selalu dijabat oleh Kepala Desa Tana Toa).

Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah ritual keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan.

Setiap pemangku adat mempunyai tugas dan kewenangan berbeda-beda. Sementara Karaeng Tallu bertugas membantu dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan (ada’tanayya).

Karaeng Tallu merupakan tri tunggal dalam pemerintahan, dan dikenal dengan tallu karaeng mingka se’reji. Yang berarti bahwa apabila salah satu di antaranya telah hadir dalam upacara adat, maka Karaeng Tallu sudah dianggap hadir.

Dalam perkembangannya, kendati Ammatoa adalah orang tertinggi dalam struktur pemerintahan Tana Toa, keberadaan pemerintah diluar kawasan adat tetap diakui. Bahkan karena dianggap lebih berpendidikan, pemerintah di luar Tana Toa juga sangat dihormati.

Pemerintah dalam hal ini adalah camat, bupati, dan seterusnya. Bukti penghormatan ini terlihat dalam upacara adat atau sebuah pertemuan di mana pejabat pemerintah mendapat kappara dengan jumlah piring lebih banyak dari Ammatoa .

Kappara adalah baki yang berisi sejumlah piring dengan beragam makanan. Dengan kappara ini pula kedudukan seseorang akan terlihat karena semakin besar sebuah kappara atau makin banyak piringnya, maka makin tinggi kedudukannya.

Bila seorang Ammatoa meninggal (a’linrung), majelis adat menunjuk pejabat sementara yang memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda dengan Ammatoa. Jabatan sementara dijabat selama tiga tahun.

Selepas masa tersebut, tepat pada malam bulan purnama (bangngi kentarang) dilaksanakan appa’runtu pa’nganro , yaitu upacara ritual anyuru’ borong, memohon petunjuk Tu Rie’ A’ra’na untuk memilih Ammatoa yang baru.

Para calon Ammatoa ini biasanya harus tahu betul adat istiadat di Tana Toa. Selain itu mereka harus bisa menjelaskan asal-usul manusia secara rinci di Tana Toa sejak yang pertama. Ini tentu saja bukan hal mudah dilakukandan diyakini masyarakat memang hanya orang tertentu yang bisa melakukannya.

Pasalnya, di Tana Toa, tabu membicarakan asal-usul manusia bahkan tentang keturunan seseorang. Dikisahkan Pak Sekdes Tana Toa, setiap kali penobatan Ammatoa dilakukan, seekor ayam jantan dilepas.

Kalau sudah tiba saatnya, atau sudah tiga tahun, para calon dikumpulkan dan ayam yang sudah dilepas saat penobatan terdahulu, didatangkan lagi. Di mana ayam itu bertengger maka, dialah yang jadi Ammatoa.

Patuntung, Keyakinan Hidup suku Konjo-Kajang

Dalam adat istiadat masyarakat Konjo/Kajang terdapat ajaran mengenai bagaimana menjaga lingkungan dan berperilaku sederhana yang tertuang dalam ajaran yang mereka sebut Patuntung, sebuah keyakinan hidup suku Konjo/Kajang. Patuntung, secara bahasa, dapat diartikan sebagai penuntun atau tuntunan. Penuntun untuk mencari “sumber kebenaran” bagi masyarakat Konjo/Kajang.

Dalam ajaran ini masyarakat Konjo/Kajang mesti berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Panuntung juga adalah ajaran yang mengharuskan masyarakat Konjo/Kajang menghormati nenek moyang mereka. Setiap tahun selalu ada upacara untuk menghormati mereka.

Dalam aktivitas keagamaan, masyarakat Konjo/Kajang menyembah dan mempercayai yaitu: 1. Menyembah kepada Tuhan Maha Pencipta yang menciptakan alam ini.

2. Percaya kepada Nabi Adam as sebagai utusan Tuhan ditanah Toa.

3. Percaya akan adanya arwah leluhur yang memberikan kekebalan ditanah Toa.

4. Percaya akan adanya kelahiran yang kedua kalinya.

5. Taat dan patuh kepada segala perintah Amma Toa Pemimpin dan Pengawas Kepercayaan terhadap pesan leluhur.

Ada pun kitab suci agama Patuntung masyarakat Konjo/Kajang adalah Kitab suci masyarakat Konjo/Kajang adalah: Kitab Panuntung dan menjadi “kalompoang” di Tanah Toa. Yakni semacam “Arajang” di kalangan orang Bugis. Dalam kalimat lain juga memiliki fungsi “tuah” semacam Kitunggulwulung (bendera) dikalangan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Isinya:

1. Kaidah-kaidah kerohanian 2. Sejarah tanah Toa 3. Jampi-jampi

Ajaran utama dari Patuntung mengajarkan bagi manusia yang ingin mendapatakan “sumber kebenaran” maka manusia itu harus menyandarkan diri kepada tiga pilar utama yaitu: hormat kepada Turiek Akrakna (Tuhan, Sang Penguasa), menjaga tanah yang telah diberikan Turiek Akrakna ( tana toa atau lingkungan secara umum) dan juga menghormati nenek moyang (To Manurung atau Ammatoa).

Mempercayai kepada Turiek Akrakna adalah hal yang paling mendasar dan penting dalam agama Patuntung. Msyarakat Konjo/Kajang meyakini bahwa Turiek Akrakna itu Maha Mengetahui, Maha Perkasa, Maha Kuasa, dan Maha Kekal.

Tuhan ( Turiek Akrakna ) menurunkan perintah kepada masyarakat Konjo/Kajang melalui pesan atau wahyu ( passangI ) yang disampaikan kepada manusia pertama yang telah diturunkan ke bumi yaitu To Manurung yang dikenal juga dengan nama Ammatoa (pemimpin masyarakat Konjo/Kajang).

Pesan/wahyu ( Passang ) ini adalah panduan yang berisi tentang pengetahuan hidup yang senantiasa harus ditaati. Saat tidak mentaati panduan tersebut maka akan terjadi kejadian buruk

Agar pasang dapat tersampaikan dengan baik dan sempurna maka Turiek Akrakna akan memerintahkan Ammatoa untuk menjaganya dan menyebarkan kepada seluruh masyarakat Konjo/Kajang. Ammatoa memiliki kemampuan sebagai perantara Turiek Akrakna dengan umat manusia. Maka dari itu adat suku Konjo/Kajang ini sering disebut sebagai adat Ammatoa.

Dalam ajaran agama Patuntung, suku Konjo/Kajang juga senantiasa diwajibkan menghormati nenek moyang, roh para leluhur. Setiap tahun masyarakat Kajang ini biasanya mengadakan sebuah ritual agar dapat berkomunikasi dengan roh para leluhur yang mereka namai sebagai ritual bersih kubur yang dilaksanakan pada tanggal 24 bulan Ramadhan dalam tahun Hijriah.

Ritual Bersih Kubur memiliki arti yang sangat penting. Setiap keturunan Suku Kajang tanpa terkecuali diwajibkan selalu hadir dalam ritual ini. Jika mereka telah berada di luar Tana Toa, maka ia harus datang untuk terus menjalin komunikasi dengan nenek moyangnya.

Ritual utama dilaksanakan di makan Bohetomi, makam Ammotoa pertama suku ini. Membakar kemenyan, berdoa dan memberikan sesaji alam mewarnai rangkaian dari ritual bersih kubur ini. Ritual kemudian ditutup dengan acara makan bersama di rumah Ammotoa yang menjadi tanda kerukunan serta kepatuhan mereka terhadap pesan leluhur

Aturan adat Ammatoa juga mengikat pada aktifitas sehari-hari mereka, baik dalam hubungan sosial maupun hubungan dengan alam. Ajaran yang mebuat suku Kajang selalu bersahaja dan mewujudkan kebersamaan di atas segalanya. Perempuan sangat dihormati kedudukannya dalam kehidupan sosial mereka.

Selain upacara bersih kubur, juga terdapat upacara lainnya seperti upacara Rumatang. Rumatang adalah wujud terimkasih kepada Sang Pencipta yang maha kuasa karena telah memberikan hasil panen sehingga mereka selalu terhindar dari kelapanan.

Upacara dimulai dengan persiapan yang dilakukan oleh kaum wanita, yaitu memasak berbagai jenis makanan, termasuk diantaranya memasak nasi dengan empat warna yang berbeda. Di waktu yang bersamaan, kaum pria mulai mengikat padi hasil panen mereka dalam ikatan-ikatan besar.

Sebelum menggelar upacara puncak, mereka berkumpul terlebih dahulu untuk makan siang bersama. Makan siang di dekat sawah dengan nasi yang berasal dari beras hitam. Konon, jenis beras hitam lah yang di tanam pertama kali oleh leluhur mereka. Para pria juga meminum Ballo sebagai simbol persaudaraan.

Usai makan siang bersama itu, padi-padi yang telah diikat kemudian di bawa ke desa. Selanjutnya dilaksanakan upacara rumatang, dengan doa dan sesajian yang dipersembahkan kepada Penguasa. Delapan jenis sesajian telah dipersiapkan.

Nasi empat warna, Buah-buahan dari alam, lauk-pauk yang terlebih dahulu di berkati Ammatoa kemudian di bawa ke berbagai penjuru sesuai arah mata angin. Mereka meletakan sesajian itu di tempat yang berbeda-beda yang menandakan hasil panen tidak hanya dinikmati oleh mereka, melainkan juga semua unsur bumi yang telah membantu panen berhasil.

Andingingi; Agar Terhindari Bencana di suku Konjo-Kajang

Upacara Andingingi adalah ritual yang sangat sakral bagi masyarakat Konjo. Tujuan upacara tersebut adalah untuk memohon keselamatan agar dapat terhindar dari segala bencana alam yang diawali dengan menjaga kelestarian alam terutama keutuhan hutan yang ada di sekitar lingkungan masing-masing.

Sikap dan perilaku masyarakat Konjo-Kajang yang menjaga dan melestarikan hutan berdasarkan aturan adat setempat menciptakan kondisi hutan di daerah masyarakat Konjo lebih baik.

Selain itu, ada satu upacara pada masyarakat Konjo yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan, alam dan keseimbangan manusia dengan alam. Upacara tersebut dalam masyarakat Konjo adalah Upacara Andingingi.

Andingingi adalah ritual upacara yang dilaksanakan pada bulan purnama sekitar bulan Januari dan Februari, setahun sekali. Letak upacara Andingingi berada di Pa’rasangang Iraja, tepat berada di Pammotokang Bombonga ri Pattirotiroang. Pada tempat tersebut ada panggung memanjang dengan dihiasi Janur Areng

Awal mula upacara Andingingi, pimpinan adat Ammatoa ( Bohe’amma ) mengawali dengan Appalenteng Ere yaitu menuang air ke dalam wadah/pasu dengan alas satu pelepah pisang basah, ditambahkan Tobo Rappo / Bunga Pinang yang belum mekar direndam dalam air, lalu ditambah sehelai daun sirih yang telah dilipat dan sebuah Pinang yang diiringi dengan Doa yang dilangsungkan pada malam purnama.

Setelah itu ditutupi dengan daun pisang yang dilapisi kain putih, di atasnya ditaruh Pa’mamang (Talang kecil yang berisi daun sirih dan potongan buah pisang ditutup anyaman yang terbuat dari daun lontar).

Saat matahari naik setinggi ukuran 1½ tombak, para pemangku adat berkumpul di atas panggung untuk melanjutkan upacara Andingingi. Para perempuan sibuk menata/mengatur sesaji Passalama untuk Tu Rie’ A’ra’na dan memanjatkan puji syukur ke-hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.

Setelah acara passalama selesai dilanjutkan dengan acara Abbe’bese yaitu mengangkat Tobo Rappo yang telah direndam lalu dipercikkan kepada kumpulan orang dan lingkungan sekitar. Acara selesai, warga yang hadir berebut sesaji dan janur untuk dibawa pulang sebagai berkah dan tolak bala.

Dalam melaksanakan upacara Andingigi, ada tiga tingkatan yang harus dilaksanakan yaitu.

1. Andingingi Sibatu Lino (Andingingi Sejagat) Acara ini dilakukan setiap 10 tahun sekali, digelar di Pa’rasangan Ilau Boronga ri Karanjang. Bertujuan untuk memanjatkan syukur atas karunia hasil bumi yang diberikan oleh Tu Rie A’ra’na.

2. Andingingi Pattaungan (Andingingi Tahunan) Dilaksanakan setiap tahun untuk mensyukuri atas karunia yang diberikan oleh Tu Rie A’ra’na berupa hasil panen yang dapat mencukupi kebutuhan dalam setahun, kayu-kayuan yang tumbuh subur dan air yang masih mengalir adalah karunia yang tak terhingga. Ritualnya sama dengan Andingingi Sibatu Lino.

3. Andingingi Batang Kale (Andingingi Keluarga) Acara ini diadakan secara perorangan / per-keluarga oleh masyarakat Adat Ammtoa Kajang karena pertama, berhasil membangun rumah baru, acara ini diadakan oleh pemiliknya. Acara ini dilakukan pada 3 hari setelah rumah tersebut selesai.

Berhasil melakukan pesta adat Kalomba (Pesta Perkawinan), tanpa ada rintangan dan masalah berarti. Andingingi diadakan 1 hari setelah pesta selesai.

Berhasil menyelesaikan prosesi ritual kematian keluarga selama 100 hari yang ditutup dengan acara A’dangan. Andingingi dilaksanakan 3 hari setelah acara A’dangan.

Ketiga acara ini, rangkaian ritualnya dilaksanakan di rumah yang bersangkutan oleh Uragi (orang yang cerdik pandai dalam membuat rumah, dan dapat mengetahui hari baik dan naas).

Tallasa Kamase-Masea, Kearifan dari suku Konjo-kajang

Dalam hubungan dengan alam/hutan, masyarakat Konjo/Kajang meyakini bahwa hutan adalah kawasan adat yang memiliki tempat yang sakral bagi mereka. Pada masyarakat Konjo/Kajang, kawasan adat tersebut terbagi dalam tiga bagian: Hutan Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Adat

Masyarakat Konjo/Kajang mempunyai sebuah ajaran yang termuat dalam pesan-pesan leluhur mereka yaitu Pasang ri Kajang. Pesan-pesan tersebut merupakan pedoman hidup masyarakat Ammatoa yang terdiri dari kumpulan amanat leluhur.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pasang dianggap sakral oleh masyarakat Ammatoa yang bila tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari akan berdampak buruk bagi kehidupan kolektif orang Ammatoa

Apabila Pasang Ri Kajang tidak dilaksanakan dengan baik maka yang terjadi adalah kerusakan dan tidak seimbang ekologis dan sistem sosial yang kacau. Begitulah keyakinan masyarakat Ammatoa terhadap Pasang ri Kajang. Pasang mengandung panduan bagi hidup manusia dalam segala aspek, baik itu apek sosial, religi, mata pencaharian, budaya, lingkungan serta sistem kepemimpinan.

Dalam hubungan dengan alam/hutan, masyarakat Konjo/Kajang meyakini bahwa hutan adalah kawasan adat yang memiliki tempat yang sakral bagi mereka. Pada masyarakat Konjo/Kajang, kawasan adat tersebut terbagi dalam tiga bagian.

Pertama, hutan rakyat. Kedua hutan kemasyarakatan, hutan ini boleh digarap dengan persyaratan harus ada pengganti pohon sebelum pohon ditebang. Ketiga, hutan adat hutan pusaka. Hutan ini hanya diperuntukkan untuk kegiatan ritual pemilihan Ammatoa. Dalam tradisi masyarakat Konjo/Kajang, hukum mematahkan ranting adalah haram.

Dalam Pasang Ri Kajang yang terdapat dalam ajaran masyarakat Konjo/Kajang terdapat prinsip yaitu “ tallasa’ kamase-masea ” yang merupakan prinsip masyarakat Konjo/Kajang dalam melestarikan hutan yang berada di kawasan adat Amma Toa. Ibrahim (2006) menjelaskan hal ini secara gamblang.

“Prinsip hidup sederhana seperti Balla’ situju-tuju (rumah seadanya) berimplikasi pada pemakaian kayu yang efisien, menjadikan hutan sebagai tempat yang multi-fungsi dan memiliki peran yang sangat penting dan sakral menjadikan hutan terjaga dengan lestari. Hal tersebut dapat terlihat dari kawasan adat Amma Toa yang dimana pepohonan ada seperti sedia kala dan meski ada pohon yang tumbang dengan sendirinya, maka ia tetap tidak boleh diambil oleh masyarakat.

Selain prinsip hidup sederhana yang merupakan implementasi dari nilai-nilai Pasang, juga terdapat aturan-aturan pemanfaatan hutan yang juga berasal dari Pasang. Aturan-aturan ini secara jelas mengatur masyarakat adat Kajang dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungannya. Aturan itu pun lengkap dengan sanksi yang jelas dan tegas di dalamnya. Dan masyarakatnya pun patuh terhadap aturan-aturan itu hingga hari ini.

Tamzil Ibrahim 2006, dalam penelitiannya mengatakan bahwa Ammatoa selaku pemimpin adat membagi hutan menjadi 3 bagian, yaitu:

A. Borong Karamaka (Hutan Keramat), Borong Karamaka yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan mengganggu flora dan fauna yang terdapat di dalamnya.

Adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kediaman leluhur ( pammantanganna sikamma To riolonta ), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah Pasang, yaitu:

Makna : Tidak bisa diganti kayunya, Itu saja kayu yang tumbuh Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu. Orang dilarang menanam di dalam hutan Sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.

Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah diganggu oleh komunitas Amma Toa. Dan kalau ternyata terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat ini, maka akan dikenakan sanksi yang disebut Poko’ Ba’bala’.

Poko’ Ba’bala’ atau sanksi atas pelanggaran berat merupakan sanksi yang tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulonnua real. (12 real) atau 24 ohang.

Denda ini jika dirupiahkan setara dengan Rp. 1.200.000 ditambah dengan sehelai kain putih dan kayu yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan.

Jenis pelanggaran berat dalam hutan keramat itu, antara lain: ta’bang kaju (menebang kayu), rao’ doang (mengambil udang), tattang uhe’ (mengambil rotan), dan tunu bani (membakar lebah).

B. Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) Borong Batasayya merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Amma Toa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir bisa tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Amma Toa.

Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Amma Toa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.

Hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh dan Pangi. Jumlahnya yang diminta harus sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga tidak jarang, kayu yang diminta akan dikurangi oleh Amma Toa. Kemudian ukuran kayunya pun ditentukan oleh Amma Toa sendiri.

Syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon, maka pertama-tama orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru bisa dilakukan. Penebangan 1 jenis pohon, maka seseorang harus menanam 2 pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Amma Toa.

Penebangan pohon itu memakai alat tradisional berupa kampak atau parang. Dan kayu yang habis ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.

Pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti menebang tanpa seizin Amma Toa atau menebang kayu lebih dari yang diperkenankan, akan dikenai sanksi. Sanksinya dikenal dengan istilah Tangnga Ba’bala’.

Sanksi ini mendenda pelakunya sebesar Sangantuju real (8 real) atau 12 ohang, yang setara dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih.

Selain itu, dikenal juga sanksi ringan ( Cappa’ Ba’bala’ ), yang dikenakan atas pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan mengalami kerusakan/tumbang.

Untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi berupa denda sebesar Appa’ real (4 real) atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,- ditambah satu gulung kain putih. Sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang menebang pohon dari kebun warga masyarakat Amma Toa, yang selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.

C. Borong Luara’ (Hutan Rakyat) Borong Luara merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini masih berlaku. Tidak diperbolehkan adanya kesewenang-wenangan memanfaatkan hutan rakyat ini.

Selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat sanksi berupa hukuman adat. Hukuman adat sangat mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa sanksi sosial yang dianggap oleh komunitas Amma Toa lebih berat dari sanksi denda yang diterima.

Sanksi sosial itu berupa pengucilan. Dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan ini akan berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai generasi ke tujuh (tujuh turunan).

Hutan di kawasan adat Amma Toa diakui oleh masyarakatnya sebagai hutan adat karena adanya kepercayaan bahwa keberadaan mereka bersamaan dengan keberadaan hutan. Selain itu juga kehidupan mereka sangat erat dengan hutan, seperti pelaksanaan upacara adat yang dilakukan dalam hutan.

Masyarakat juga percaya bahwa hutan mereka adalah sebagai tempat turunnya To mariolo (manusia terdahulu) yang diyakini sebagai Amma Toa I (Amma’ Mariolo) dan kemudian lenyap di tempat tersebut.

Dan mereka juga meyakini bahwa hutan adalah tempat turun-naiknya arwah manusia dari langit ke bumi dan sebaliknya. Keyakinan atau kepercayaan inilah yang menyebabkan kuatnya keterikatan antara komunitas ini dengan hutan, sehingga tidak mengherankan jika hutan mereka relatif stabil dan lestari hingga hari ini.

Pasang Ri Kajang, Ungkapan dan Tuntunan Kehidupan

Pasang Ri Kajang adalah kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan suci yang berisi pesan-pesan lisan dan disampaikan dari mulut ke mulut (bukan secara tertulis). “Pasang Ri Kajang” merupakan pencerahan atau penuntun hidup bagi masyarakat tanah adat suku Konjo.

Masyarakat Konjo/Kajang memiliki tradisi dan budaya hidup yang sederhana. Ajaran tersebut telah diajarkan secara turun temurun. Kesederhanaan hidup masyarakat Konjo/Kajang termaktub dalam ajaran agama Panuntung.

“Pasang Ri Kajang” adalah pesan-pesan luhur. Penduduk Tanah Toa yaitu masyarakat Konjo/Kajang harus senantiasa ingat kepada Tuhan.

Mereka harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Mereka juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal.

“Pasang Ri Kajang” juga mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya. Yaitu dapat dikatakan bahwa isi “Pasang Ri Kajang” ada kaitannya dengan hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan makhluk lainnya (alam) dan hubungan manusia dengan Pencipta-Nya.

Selain itu, isi “Pasang Ri Kajang” bercerita tentang masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. “Pasang Ri Kajang” juga merupakan sebuah pesan-pesan moral atau kebajikan dan hakikat-hakikat kebenaran.

Dengan didasari isi ”Pasang Ri Kajang”, maka terbentuklah aturan-aturan adat. Yang berlaku dan harus dipatuhi. Karena itu, bagi yang melanggar aturan adat, diberi sanksi oleh “Bohe’ Amma”. Namun, sanksi-sanksi yang diberikan oleh “Bohe’ Amma” kepada si korban misalnya, itu memilki takaran-takaran sanksi tersendiri.

Dalam aturan adat, ada yang disebut “ma’ring’’ dan “talama”ring”. Dalam bahasa Indonesia “ ma’ring ” berarti boleh dilakukan atau diperdengarkan, disampaikan ke orang lain (perintah).

Sedangkan istilah “ talama’ring” berarti tidak boleh dilakukan atau bahkan tidak boleh diperdengarkan, tidak boleh disampaikan ke orang lain (larangan), kecuali orang yang ingin disampaikan tau betul tentang aturan adat.

Sehingga dapat dikatakan bahwa aturan-aturan adat yang tersirat dalam “Pasang Ri Kajang” (pesan suci yang penyampaiannya secara lisan) memiliki batasan-batasan untuk diketahui isi daripada pasang tersebut, termasuk bagi peneliti-peneliti, wisatawan, orang yang tidak punya hubungan darah dengan keturunan suku Konjo

Apalagi untuk dipublikasikan semua isi dari pasang tersebut, dilarang keras kecuali karena sudah menjadi ketentuan aturan adat.

Nilai kesederhanaan/ kebersahajaan yang melekat dalam kehidupan masyarakat Kajang membuat masyarakat ini identik dengan istilah “ Tallasa kamase-masea ” atau hidup bersahaja. Tallasa kamase-masea ini tercermin dalam Pasang (Wahyu):

Makna:

Dan juga dalam Pasang :

Makna:

Tallasa’ kamase-masea merupakan prinsip hidup masyarakat Konjo/Kajang. Prinsip ini dipegang teguh oleh seluruh masyarakat Konjo.