traveldraft

Kuda Lumping; Tarian Prajurit Berkuda dari Jawa

Tarian Kuda Lumping pada dasarnya menampilkan kesan sekelompok prajurit yang tengah menunggang kuda. Hanya saja kuda yang dimaksud terbuat dari bambu yang dianyam dan dipotong hingga menyerupai bentuk kuda dan prajurit tersebut bergerak kompak dan harmonis mengikuti irama lagu.

PublishedAugust 28, 2013

byDgraft Outline

Kuda Lumping juga dikenal sebagai tradisi Jathilan dan J aran Kepang. Namun nama Kuda Lumping merupakan sebutan yang lebih populer di Indonesia untuk seni pertunjukan yang serupa tapi tak sama.

Dari kata jathil yang merupakan sebutan untuk prajurit berkuda dalam kesenian Reog mengapa kesenian itu dinamai Jathilan; jathil juga bisa dimaknai sebagai bergerak dan melonjak girang berbahagia. Disebut Jaran Kepang karena alat peraga yang digunakan; Jaran Kepang kurang lebih maknanya Kuda yang di kepang atau dianyam.

Lalu Kuda Lumping mempunyai arti yang hampir sama dengan Jaran Kepang. Lumping berarti kulit [bambu] yang dianyam–anyaman bambu yang akan dihias dengan cat dan kain beraneka warna.

Seni rakyat Kuda Lumping yang semula hanya digemari oleh masyarakat Jawa kini mulai dikenal dan digemari oleh masyarakat luar Jawa. Jathilan yang sangat tradisional kemudian berkembang menjadi tari kuda lumping dengan kreasi baru, membuat kesenian ini menarik untuk dinikmati berbagai kalangan.

Table of contents

Open Table of contents

Sejarah dan Perkembangan Kuda Lumping

Sejarah atau latar belakang kesenian Kuda Lumping memiliki banyak versi, terutama karena seni pertunjukan ini tumbuh dan berkembang di beberapa daerah di Jawa dan kini hampir tersebar di seluruh Indonesia, tentunya masing-masing daerah itu mempunyai cerita dan versi yang berbeda satu sama lain.

Ada versi yang menyebutkan, bahwa kuda lumping sebagai bentuk apresiasi terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tariannya menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda.

Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda. Informasi lain mengatakan Kuda Lumping bersumber dari cerita Panji, dari zaman Jenggala dan Kediri yang mengisahkan kebahagiaan pertemuan Dewi Sekartaji dengan Panji Asmorobangun.

Tari Kuda lumping pada masa kemerdekaan dimaknai sebagai bentuk kesenian yang merefleksikan heroisme dan semangat melawan penjajahan.

A. Raja Ponorogo dan Cerita Pasukan Berkuda

Menurut buku yang dikeluarkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tahun 2005 berjudul Kesenian Tradisional Provinsi Banten, kuda lumping berasal dari daerah Ponorogo Jawa Timur. Dalam sebuah legenda, Raja Ponorogo selalu kalah dalam peperangan.

Sang raja masygul dan gundah. Iapun meninggalkan kerajaan sementara waktu untuk bertapa. Saat melakukan pertapaan, dia dikejutkan oleh suara Sang Jawata. Suara itu mengatakan, apabila raja ingin menang perang, harus menyiapkan pasukan berkuda. Ketika pergi ke medan perang, para prajurit penunggang kuda itu diiringi dengan “bande” dan rawe-rawe.

Konon, bande dan rawe-rawe itu menggugah semangat menyala membabi buta di kalangan para prajurit penunggang kuda. Ketika bertempur mereka tidak sadarkan diri tapi dengan semangat keberanian yang luar biasa menyerang musuh-musuhnya.

Demikianlah dalam setiap peperangan para prajurit bergerak dalam keadaan kalap dan mengalahkan musuh-musuhnya dengan kekuatan yang ajaib. Sejak saat itu, raja pun selalu memperoleh kemenangan dalam setiap medan peperangan.

B. Kuda Lumping sebagai Versi Baru dari Jathilan

Kisah Raja Ponorogo lebih mendekati sejarah pertunjukan pada tahap awal. Jathilan semula memang dimaksudkan sebagai ritual untuk mendatangkan arwah atau roh halus untuk berbagai kepentingan. Dari tradisi tersebut pertunjukan Kuda Lumping memang dipentaskan agar para penari dirasuki dan kehilangan kesadarannya guna melakukan hal-hal di luar nalar.

Bagaimana para penari bisa kehilangan kesadaran, hal tersebut masih butuh banyak penelaahan. Namun bisa jadi hilangnya kesadaran pemain Jathilan sebagai akibat irama statis dari musik pengiring, gerakan monoton, dan juga suasana yang mendukung hal itu terjadi.

Pemain Jathilan yang berkonsentrasi dengan keinginan terhadap datangnya roh atau arwah ketubuh mereka, ditambah Jathilan yang digelar pada malam hari atau dalam suasana gelap, mungkin saja hal itu yang membangun prakondisi hilanganya kesadaran.

Pertunjukan untuk mendatangkan roh atau arwah pada gilirannya berkembang menjadi kesenian yang ditampilkan untuk menyongsong pemimpin, menyambut tamu yang dihormati, dan hiburan yang bisa dinikmati kebanyakan.

Meskipun dalam penampilannya masih ditemukan nuansa magis, tetapi pada prinsipnya Jathilan bentuk baru ini bukan lagi bertujuan untuk mendatangkan roh atau arwah. Gerakan penarinya pun sudah tidak lagi monoton namun menjadi lebih dinamis dan harmonis.

Dengan demikian Kuda Lumping memang berkembang pada dua bentuk pertunjukan yang serupa tapi tidak sama; yang satu menonjolkan seni dan gerak tari untuk hiburan, lainnya menghadirkan nuansa mistik-magis yang menakutkan, atau terkadang keduanya digabungkan dalam satu pertunjukan.

Jathilan sebagai bentuk hiburan bisa diamati pada alat musik yang mengiringi, bentuk jaran atau kuda-kudaan, busana para penari, prakondisi, jalannya pertunjukan dan sebagainya.

Hakikatnya, Tarian Kuda Lumping memang akan menampilkan adegan prajurit berkuda. Tetapi beberapa penampilan Kuda Lumping yang berfungsi sebagai hiburan juga masih menyuguhkan atraksi kekuatan magis dan atraksi ketahanan tubuh terhadap rasa sakit yang tentunya sebagai hiburan; seperti atraksi memakan pecahan kaca dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut.

Bukan hanya saat pertunjukan saja manifestasi magis itu dipertontonkan, sebelum acara utama dimulainya biasanya akan digelar ritual untuk menghentikan hujan jika hari itu hujan dan untuk memperahankan cuaca jika hari itu cerah. Ritual tersebut dilakukan oleh seorang pawang hujan.

Pementasan yang awalnya diselenggarakan untuk upacara atau ritual adat, saat ini Kuda Lumping bisa dipentaskan untuk acara pesta, acara penting keluarga, event, dan juga acara lainnya yang memungkinkan kesenian ini dapat digelar.

Pementasannya pun tidak lagi terikat oleh waktu dan tempat, tetapi dapat diselenggarakan di berbagai tempat dan untuk acara apa saja.

Perkembangan lainnya terlihat dari instrument yang mengiringi pertunjukan Kuda Lumping versi Jathilan tidak terlalu beragam. Sedangkan pada versi hiburan, alat musik pengiring pertunjukan sudah banyak tambahan bahkan sudah menggunaan instrument modern.

Demikian pula dengan bentuk Lumping-nya. Pada versi hiburan Lumping bentuknya dibuat lebih kecil dan lebih mengutamakan elemen estetis dibandingkan dengan sebelumnya. Bentuk tarinya juga lebih menyesuaikan dengan gerakan-gerakan keprajuritan yang tegas dan berjiwa ksatria di atas kuda.

C. Perkembangan dalam Pementasan Jathilan

Pertunjukan Kuda lumping biasanya menyuguhkan empat babak tarian yaitu Tari Buto Lawas yang dipentaskan dua kali, Tari Senterewe, dan Tari Begon Putri. Di kaki para penari dipasangkan kerincing (lonceng kecil), sehingga ketika mereka berjingkrak-jingkrak sambil menunggang kuda tiruan akan terdengan bunyi rincing kuda.

Para pemain kemudian berguling-guling di tanah. Saat inilah para pemain mulai mementaskan atraksi kerasukan roh. Mereka akan menari dalam keadaan tidak sadarkan diri dan mampu melakukan aksi di luar kelaziman dan kadang mengerikan.

Umumnya atraksi memakan pecahan kaca dan mengupas kelapa dengan gigi adalah standar prosedur mereka. Untuk mengembalikan kesadaran penari dan menghilangkan energi kerasukan roh, dibutuhkan seorang Datuk yang kadang merupakan pemimpin kelompok kesenian tersebut.

Pada babak selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe. Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi.

Bentuk pementasan Kuda Lumping kini sudah banyak jenisnya dan tidak terikat oleh patokan dan pakem khusus namun disajikan sesuai dengan keperluan.

Untuk kepentingan hari-hari besar atau pun event sering disuguhkan kuda lumping dalam bentuk yang diutarakan sebelumnya. Pemain Kuda Lumping terdiri dari tujuh hingga dua puluh satu orang.

Dalam kegiatan yang lebih besar, sering dipentaskan kuda lumping dalam bentuk masal dan ada pula dalam bentuk carnaval yang menghadirkan coreografi baru untuk menarik perhatian.

Bentuk lainnya adalah sendratari yang diselenggarakan di panggung atau gedung pertunjukan. Cerita yang menjadi lakon biasanya disadur dari lakon cerita Panji Asmorobangun dan Kelono Asmorodono.

Pertunjukan Jathilan yang awalnya dinikmati di daerah-daerah Jawa, kini tersebar ke berbagai daerah di Indonesia. Di Banten, Kuda Lumping mengalami pemaduan yang menarik. Seni debus sebagai seni pertunjukan dari Banten adalah partner yang menarik untuk Kuda Lumping.