etnografi

Kebudayaan Minangkabau

Suku Minangkabau disebut sebagai ‘pemilik sah’ dari kebudayaan Minangkabau lengkap dengan kekayaan tradisi di dalamnya. Hal ini tidak terlepas dari keteguhan masyarakat Minang untuk mempertahankan kearifan dan kebudayaan sebagai warisan leluhur mereka.

PublishedMarch 19, 2014

byDgraft Outline

Padangse 1900
Image by C.B. Nieuwenhuis / geheugenvannederland.nl

Orang Minang tersebar di wilayah Sumatra Barat, daerah-daerah di daratan Riau, di bagian utara Bengkulu, di bagian barat Jambi, wilayah pantai barat Sumatra Utara, di wilayah-wilayah sekitar barat daya Aceh, dan juga di beberapa wilayah Malaysia.

Kebudayaan Minangkabau tersebar lebih kurang seluas Sumatra Barat sekarang, dikurangi wilayah Kepulauan Mentawai. Secara khusus Suku Minangkabau membagi daerah mereka menjadi dua wilayah kebudayaan yaitu derek / darek (darat) dan wilayah pasisie (Pesisir).

Masyarakat Minang menyebut wilayah pesisir juga sebagai rantau. Rantau Nan Duo yang terbagi atas Rantau di Hilia (wilayah pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (wilayah pesisir barat).

Wilayah derek dianggap sebagai pendukung utama dari kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini secara tradisional dibagi dalam beberapa luhak (seluas Kabupaten), yaitu yang utama: Agam, Lima Puluah Koto, dan Tanah Datar.

Berbeda namun tetap Minang ; Dalam beberapa kasus, Luhak berbeda dengan rantau. Budaya dan adat istiadat luhak homogen, eksklusif, dan matriarki. Berbeda dengan adat istiadat di rantau yang bersifat heterogen, terbuka terhadap pengaruh luar, cenderung bernuansa patriarki.

Table of contents

Open Table of contents

Asal Usul Orang Minang

Dari mana Mereka Berasal

Orang Minang diyakini merupakan bagian dari masyarakat Melayu Muda (Deutro Melayu) yang bermigrasi dari daratan Cina Selatan ke wilayah-wilayah di pulau Sumatra sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu.

Kelompok masyarakat ini diperkirakan memasuki Sumatra dari arah timur dan kemudian mereka telah menyusuri aliran dari sungai Kampar hingga tiba di dataran tinggi yang kemudian menjadi daerah-daerah yang dikenal sebagai kampung halaman orang Minang.

Seiring dengan berkembangnya pertumbuhan penduduk, masyarakat Minang menyebar ke kawasan darek dan kawasan pasisie lain untuk membentuk beberapa kawasan rantau.

Minangkabau berasal dari kata ‘Minang’ yang berarti Menang dan Kabau yang berarti Kerbau. Minangkabau berarti kerbau yang menang. Kata ini diduga berasal dari kisah perlawanan masyarakat Minang terhadap kekuasaan Raja di Jawa.

Kebanyakan Suku Minangkabau meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari Pariangan Padang Panjang. Mereka menganggap bahwa dulu nenek moyangnya berdiam di Gunung-gunung sekitar wilayah terebut.

Pendapat lain, ada juga yang menyatakan jika nenek moyang suku Minangkabau berasal dari keturunan Isakandar Zulkarnain. Hal ini terdapat dari kisah tambo yang diterima secara turun temurun.

Pembagian Wilayah Minangkabau

Wilayah tempat orang Minang tinggal di Sumatra Barat kerap dinamai Nagari. Dalam pembagian wilayah yang lebih besar, masyarakat Minang selanjutnya merujuk pada Luhak (Kurang lebih sama dengan Kabupaten).

Dalam Tambo Alam Minangkabau Luhak berarti kurang atau berkurang. Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, Luhak adalah wilayah konfederasi dari beberapa nagari yang merupakan pemukiman awal orang Minang.

Luhak terdiri dari tiga wilayah administratif adat di Minangkabau diantaranya;

Ketiga luhak disebut luhak nan tigo (luhak yang tiga). Setiap nagari yang ada di dalam suatu luhak dipimpin oleh seorang penghulu, juga ada jabatan-jabatan dengan tugas khusus di tingkat desa yang disebut Angku Kadi

Budaya dan Identitas

Minangkabau banyak berbagi kesamaan dengan kultur Melayu yang berkembang karena sistem monarki laki-laki. Namun Minang khas karena menganut sistem adat melalui jalur perempuan.

Masyarakat Minang dikenal sebagai masyarakat yang menganut sistem matrilineal terbesar di dunia. Di samping itu, Mereka juga dikenal sebagai masyarakat yang menjalankan tradisi dan adat istiadat berdasarkan agama Islam.

Sistem Kepercayaan dan Religi

Kalau ada orang Minang tidak beragama Islam, boleh dikata itu hal yang aneh.Walaupun ada orang Minang tidak menjalankan kepercayaan mereka dengan sungguh-sungguh, dapatlah dianggap mereka tetap penganut Islam yang kuat.

Hal tersebut dapat kita lihat pada prinsip adat Minangkabau yaitu “ Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Kitab Al-Quran.“

Kepercayaan terhadap roh halus memang masih ada dalam masyarakat Minangkabau, terutama roh-roh jahat dan duku-dukun sakti yang bisa menangkalnya.

Islam berpadu dalam beberapa kebudayaan Minangkabau. Upacara khitan dan khatam merupakan upacara yang dan tradisi yang banyak digelar di Minang. Selain itu ada juga upacara yang berhubungan dengan hari besar keagamaan Islam, salah satunya tradisi Tabuik (Tabut) dimana Orang Minang memperingati Hari Asyura.

Selain itu ada juga upacara-upacara yang berhubungan dengan masa peralihan hidup manusia, seperti turun tanah ( turun Madi ) yang merupakan tradisi untuk merayakan pertama kali anak (bayi) menyentuh tanah.

Upacara yang berhubungan dengan kematian di Minangkabau berlangsung hingga hari yang ke-1000. Tujuh hari pertama sesudah seseorang dikubur, Suku Minangkabau akan berkumpul untuk mendoakan keselamatan orang yang telah meninggal tersebut. Hal ini kemudian diulang pada hari ke-40, ke-100 dan ke-1000.

Jabatan Pemimpin Keagamaan ; Beberapa Surau atau Masjid dan Lembaga Agama dipimpin oleh seorang Syekh atau Tuanku. Seorang Syekh tidak hanya mengajar membaca Al-Quran tetapi juga memimpin upacara dan tradisi yang bersendikan Islam.

Sistem Kekerabatan Minangkabau

Garis keturunan dalam Masyarakat Minangkabau diperhitungkan menurut garis matrilineal. Seorang termasuk keluarga ibunya dan bukan dari keluarga ayahnya. Seorang ayah bahkan berada di luar keluarga anak dan istrinya.

Kesatuan keluarga yang terkecil berdasarkan geologis dalam Suku Minangkabau disebut paruik (seperut/sekandungan). Kepentingan suatu keluarga ditangani oleh seorang laki-laki dewasa dari keluarga ibu yang disebut mamak, yang berarti saudra laki-laki ibu.

Selain Mamak, Pola sistem Kekerabatan Minangkabau yang penting  terutama dalam menyelenggarakan acara atau yang menyangkut urusan keluarga besar juga terdiri dari:

Kekerabatan dalam suku Minangkabau mirip sebuah klan matrilineal karenanya seorang laki-laki diharuskan mencari jodoh atau menikah diluar klan.

Perkawinan yang ideal menurut orang Minang adalah menikah dengan anak Mamak. Juga, diperbolehkan menikah dengan keponakan ayah (anak saudara perempuan Ayah) dan menikah dengan saudara perempuan ayah ( Bride Exchange ).

Dalam perkawinan Suku Minangkabau sebetulnya tidak mengenal adanya mahar atau maskawin yang diberikan pria kepada wanita. Bahkan kadang-kadang terjadi pihak wanita yang akan memberi mahar kepada keluarga pria yang diseut uang jemput.

Hubungan Kekerabatan dan Sosial

Perkawinan bukan satu-satunnya tali untuk menjalin hubungan kekerabatan di Suku Minangkabau, ada empat hubungan kekerabatan lainnya yaitu: Mamak Kemenakan, Suku Sako, Induk Bako Anak Pisang, dan Andan Pasumandan.

Mamak kemenakan : Tali kerabat antara seorang anak laki-laki dan saudara laki-laki ibunya, atau hubungan seorang laki-laki dengan anak saudara perempuannya. Hubungan ini memerankan peran laki-laki sebagai pemimpin di lingkungan sosial bahkan hampir sama dengan tugas seorang ayah.

Induk Bako Anak Pisang: Hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan saudara perempuan ayahnya atau hubungan seorang perempuan dengan anak saudara laki-lakinya. Seorang perempuan adalah Induk Bako anak saudara laki-lakinya dan ia pun merupakan anak pisang saudara perempuan bapaknya.

Hubungan kekerabatan Induk Bako Anak Pisang: lebih memerankan peran perempuan dalam kehidupan sosial. Jika anak laki-laki mendapat bimbingan dari mamak -nya, maka anak perempuan mendapat bimbingan dari bako -nya.

Andan Pasumandan: Hubungan antara anggota suatu rumah gadang, atau kampung dengan rumah gadang, dan atau dengan kampung yang lain yang disebabkan salah satu anggora kerabatnya melakukan perkawinan.

Suku Sako : Sistem kekerabatan geneologis dari rumah sampai nagari. Nagari terdiri dari beberapa kampung di isi beberapa kelompok rumah Gadang yang disebut kaum dipimpin oleh seorang mamak kaum. Tiap-tiap rumah gadang diisi oleh saparuik dipimpin oleh tungganai ; Paruik Gadang adalah paruik utama dan Paruik Ketek (kecil) adalah hasil pemekaran dari Pauik Gadang.

Ada Kewajiban Sebelum Hak

Hubungan kekerabatan Suku Minangkabau pada akhirnya memang terpusat pada satu pribadi yang statusnya baik sebagai suami, istri dan anak. Setiap pribadi akan membentuk lingkaran hubungan Sanak Sudaro atau kerabat yang mempunyai hak dan kewajiban sendiri.

Dengan demikian, hubungan kekerabatan juga dapat dilihat dari individu yang menjadi penghubung kerabat antara satu individu dengan individu lainnya. Tali-tali kerabat terjalin dalam suatu anyaman yang mendukung falsafah suku Minangkabau, yakni adat. Saat seseorang membuat kontak dengan orang Minang, hubungan itu akan mengalir ke segenap nagari.

Ekonomi dan Mata Pencaharian Suku Minangkabau

Suku Minangkabau sebagian besar hidup sebagai petani penggarap sawah. Mereka yang tinggal di daerah pegunungan yang subur menanam sayu-mayur untuk diperjual-belikan, sedangkan wilayah yang kurang subur tanahnya mereka tanami pisang.

Suku Minangkabau yang tinggal di wilayah pantai dan tepi danau mempunyai mata pencaharian sebagai petani kelapa dan juga nelayan penangkap ikan, namun pekerjaan sebagai nelayan jarang menjadi mata pencaharian yang utama.

Selain mengarap hasil alam, ada juga yang hidup dari kerajinan tangan. Kerajinan perak dari Koto Gadang di wilayah Bukit Tinggi adalah yang paling dikenal selain Songket. Sentra pengrajin songket dan tekstil yang utama adalahtenun dari Silungkangdan Kubang.

Masyarakat Minang dari zaman dahulu dikenal memiliki keunggulan dalam bidang perniagaan dan intelektual. Mereka juga dipercaya sebagai pewaris tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang dahulu terkenal akan perdagangannya.

Tradisi Merantau ;Orang Minang juga memiliki tradisi merantau, saat ini orang Minang tercatat menduduki hampir seluruh wilayah [kota besar] Indonesia bahkan sampai ke luar negeri.

Seni dan Tradisi

Alat Musik Kebudayaan Minangkabau

Serunai / Puput Serunai

Alat musik tiup Sumatra Barat ini mirip dengan shenai ; terompet pemikat pemikat ular India. Serunai memiliki panjang sekitar 20 cm, untuk bagian penata bunyi diberi 4 lubang berjarak 2,5 cm dan menghasilkan nada pentatonis (do-re-mi-fa-sol) yang lazim pada alat musik tradisional Minangkabau.

Serunai terbuat dari sejenis kayu atau bambu, tanduk kerbau atau kelapa. Kayu bambu talang atau capo ringkik biasanya dipilih sebagai bahan utama.

Puput dari serunai (bagian yang ditiup) umumnya terbuat dari kayu atau talang, bisa juga terbuat dari batang padi tua. Antara bagian puput dan badannya ada penyambung yang berfungsi sebagai pangkal puput.

Bagian corong-nya terbuat dari kayu (kayu gabus), atau dari tanduk kerbau bisa juga dari daun kelapa. Fungsi bagian corong adalah untuk mengatur volume suara.

Acara keramaian adat seperti perkawinan batagak panghulu (perhelatan penghulu), menjadi ajang didendangkannya puput serunai. Alat musik ini juga kerap ditiup oleh perorangan; memberi syahdu kalbu khas Minang.

Bisa juga serunai dimainkan secara solo, koor, atau dikolaborasikan dengan alat musik tradisional lainnya, seperti talempong, dan gendang sebagai ensemble.

Talempong Pacik

Talempong (gong kecil) terbuat dari bahan logam. Biasanya terbuat dari kuningan, besi, atau tembaga, sehingga menghasilkan suara yang mendengung. Talempong Minangkabau ini juga dikenal sebagai talempong duduak. Dimainkan secara ensemble dalam kesenian batalempong atau bacalempong.

Permainan musik dalam talempong pacik mengutamakan jalinan permainan ritmik berupa melodi-melodi pendek. Sebagai pengiring alat musik lain, Talempong biasanya dimainkan sebagai melodis bersama gandang dan rapa’i, dan alat musik pupuik gadang.

Saluang Minang

Saluang adalah seruling panjang yang menjadi alat musik pengiring dalam pertunjukan musik Saluangjo Dendang-saluang. Saluang sendiri merupakan salah satu alat musik tradisional khas kebudayaan Minangkabau, Sumatra Barat.

Alat musik tiup di kebudayaan Minangkabau ini terbuat dari talang atau bambu Manyisiahango atau cara meniup dan menarik nafas secara bersamaan ( circular breathing ) adalah teknik penting dalam memainkan Saluang.

Namun, tiap nagari di Minangkabau punya teknik tersendiri dalam meniup saluang. Singgalang, Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah adalah nama daerah sekaligus nama gaya dalam meniup saluang

Gaya Singgalang dianggap paling sulit dimainkan. Ratok Solok dari daerah Solok dianggap gaya meniup saluang yang yang paling pilu menyayat kalbu.

Ensemble Saluang hadir di pesta-pesta perkawinan dan batagak rumah (Mendirikan Rumah). Saluang biasanya dimainkan saat malam menjelang.

Seni dan Tradisi; Seni Pertunjukan Kebudayaan Minangkabau

Randai Minang

Randai adalah teater yang menggabungkan drama, musik, lagu, dan juga tarian. Teter tradisional Minangkabau ini ditujukan untuk menyampaikan kaba (cerita rakyat) melalui lantunan syair dan iringan gerakan silat.

Randai secara umum bisa diartikan sebagai ‘bersenang-senang dengan membentuk lingkaran’. Karenanya, Teater tradisional Minangkabau ini juga dikelompokkan sebagai permainan tradisional.

Gerak dasar Randai berasal dari pencak silat Minangkabau. Gerak silat muncul pada awal pertunjukan, peralihan adegan, saat adegan perkelahian, dan pada akhir acara.

Dalam sejarah kemunculannya, Randai telah dipengaruhi oleh bentuk teater lama, seperti basijobang, komidi bangsawan dan juga tonil Belanda.

Tema-tema yang disuguhkan Randai diambil dari keseharian dan peristiwa sejarah. Bagian tuturan “pelajaran” ini disebut cakapan. Cerita yang dibawakan seperti cerita Anggun Nan Tongga, Cindua Mato, cerita Malin Deman, dan cerita rakyat lainnya.

Sebuah kelompok Randai beranggotakan antara 15 hingga 25 (disesuaikan dengan cerita). Para pemainnya membentuk lingkaran. Mereka menari, menyanyi, juga menciptakan irama dengan tepukan tangan dan hentakan kaki. Lagu mengiringi saat tuturan, saat pembuka adegan, dan juga penutupan. Semua gerakan Randai dituntun oleh aba-aba dari janang (pemimpin regu).

Busana yang dikenakan oleh pemain Randai adalah celana berwarna hitam, menggunakan kemeja yang khas dengan atau tanpa kerah. Para pemainnya juga menggunakan ikat kepala, dan kain yang dililitkan di pinggang. Pimpinan pemainnya biasanya membawa sebilah keris.

Randai biasanya digelar dalam rangka menyambut hasil panen, pesta perkawinan atau acara besar lainnya. Waktu pertunjukannya di malam hari dan dapat berlangsung selama beberapa hari tergantung lakon yang diangkat.

Tari Payung

Tari Payung adalah tari tradisional dari Sumatra Barat. Tarian ini membawakan cerita tentang hubungan kasmaran di antara muda-mudi. Koreografi Tari Payung mengeksplorasi interaksi antara penari laki-laki dan perempuan.

Payung adalah atribut penting dalam tarian ini, melambangkan penyatuan tujuan dalam satu naungan.

Tari payung dibawakan oleh para penari yang jumlahnya genap. Penari laki-laki menghampiri pasangan mereka masing-masing dengan payung terkembang, yang bermakna bahwa dia siap melindungi Sang Perempuan.

Sementara Sang Perempuan dengan selendangnya menyambut Sang Lelaki sebagai jawaban, dia siap mengarungi kehidupan bersama.

Lagu yang menjadi pengiring dalam tari payung adalah “Berbendi-bendi ke Sungai Tanang”, bercerita tentang sepasang kekasih di Sungai Tanang. Lagu dibawakan dengan hantaran musik yang dimulai dengan tempo lambat, cepat, hingga sangat cepat.

Tari Piring

Tari Piring (Piriang), merupakan seni tari tradisional Minangkabau, yang berasal dari Solok, Sumatra Barat. Tarian ini menggunakan piring sebagai media utamanya.

Tari piring awalnya merupakan ritual ucapan terima kasih masyarakat setempat pada Dewa-Dewi seusai musim panen. Piring-piring berisi berbagai makanan sembahan dibawa dan disajikan melalui gerakan-gerakan yang artistik. Setelah era Islam, tari piring berfungsi sebagai hiburan profan.

Gerakan Tari Piring menghadirkan rangkaian ‘atraksi’ penari mengayun-liukan piring di dua telapak tangannya ke sana kemari dalam tempo yang cepat dan teratur.

Jumlah penari ganjil, bisa tiga sampai tujuh orang. Mereka mengenakan pakaian khas Minagkabau yang didominasi warna-warna cerah, merah dan kuning keemasan.

Dengan iringan alat musik Talempong dan Saluang, Tari Piring hadir dalam acara-acara penting. Bagi orang Minangkabau, kurang lengkap mungkin jika pesta pernikahan tanpa sajian Tari Piring.

Seni dan Tradisi; Tata Busana dan Pakaian Adat

Bundo Kanduang

Bundo Kanduang adalah busana wanita yang menjadi pakaian adat Sumatra barat. Ciri utama Pakaian adat Bundo Kanduang adalah penutup kepala yang disebut tengkuluk menyerupai tanduk kerbau terbuat dari selendang tenunan.

Baju kurung, baju ini tanda bahwa wanita yang mengenakan Bundo Kanduang berada dalam aturan agama dan adat. Baju kurung Bundo Kanduang memiliki hiasan sulaman benang emas dengan motif bunga. Pada lengan kiri, kanan atau pinggir bagian bawah baju ada jahitan tepi yang disebut minsia.

Minsia melambangkan wanita yang berhati lapang, sabar dalam menghadapi masalah. Hiasan tabur melambangkan kekayaan alam Minangkabau. Warna hitam melambangkan wanita yang ulet dan gigih dalam berjuang. Warna merah melambangkan keberanian dan tanggung jawab.

Kain sarung atau kodek melambangkan wanita harus punya rasa malu, sopan dan taat beragama. Selendang melambangkan tanggung jawab yang berada di pundak wanita.

Beberapa tempat yang mengenal pakaian adat Bundo Kanduang di Sumatra Barat adalah daerah Pariaman, Painan dan kota Padang.

Selain itu, pakaian adat Sumatra Barat ini juga populer di daerah Sungayang, Padang, Magek, Batipuah, Batusangkar dan lintaubuo. Kesamaan juga di daerah Matua, Maninjau, Bayua, Kuari Limo, Jorong dan Koto Gadang.

Songket Minangkabau

Warna dasar tenunan biasanya berwarna merah tua, hijau tua, atau biru tua. Benang yang dipergunakan kebanyakan dari bahan serat kapas atau benang sutra. Songket Minangkabau merupakan konstruksi anyaman benang bergantian dengan ragam hias yang dibentuk dengan benang emas.

Terdapat dua macam kain songket dalam kebudayaan Minangkabau yaitu: (1). kain songket dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang emas; (2). kain songket dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang yang berlainan warnanya dengan warna dasar.

Kain songket dengan motifnya dibuat dengan benang emas digunakan untuk busana tradisional dan atau busana pernikahan.

Motif-motif ragam hias biasanya dinamai berdasarkan kenampakan yang bersumber pada alam sekitar, apakah itu nama tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun benda-benda. “ alam takambang jadi guru ” (alam adalah guru), begitu Kata Orang Minang

Beberapa nama ragam hias dari Nagari Silungkang antara lain adalah Bungo Malur, Pucuak Ranggo Patai, Kudo-kudo, Pucuak Jawa, Pucuak Kelapa, Tigobaleh, Kain Balapak Gadang dan lain-lain.

Nama-nama motif ragam hias dari Padang Panjang diantaranya adalah Bungo Kunyik, Kaluak Paku, Bungo Ambacang, Barantai, dan Sisiak.

Sedangkan nama motif dari Pandai Sikek antara lain adalah Balah Kacang Gadang, Ragi Baserak, Kunang kunang, Pucuak Merah, Pucuak Rabuang dan Putiah.

Untuk hiasan tepi kain terdapat beberapa nama motif seperti Bungo Tanjung, Lintah Bapatah, Itiak Pulang Patang, Bareh Diatua, Ula Gerang dan lainnya.

Seni dan Tradisi; Rumah dan Arsitektur

Rumah Gadang

Rumah Gadang juga disebut dengan nama Rumah Bagonjong, ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung. Rumah Gadang mudah dikenali, puncak atapnya runcing, menyerupai tanduk kerbau yang seolah menantang gravitasi.

Tidak semua kawasan di Minangkabau boleh didirikan rumah adat ini. Hanya kawasan yang memiliki status sebagai nagari yang boleh mendirikan Rumah Gadang.

Konon, Rumah gadang pertama kali dibangun pada masa pemerintahan-pemerintahan Datuak Parapatiah nan Sabatang dan Datuak Ketemanggungan dengan pusat pemerintahan kerajaan berlokasi di Lagundi nan Baselo.

Rumah Gadang dibagi atas dua bagian, yaitu depan dan belakang dibuat dengan denah persegi panjang. Di bagian depan, Rumah Gadang dipasang dinding-dinding kayu vertikal. Biasanya bagian ini penuh dengan ukiran dan ornamen. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu.

Ukiran umumnya bermotif akar, bunga, daun, serta bidang persegi empat dan genjang. Penempatan ukiran tergantung pada susunan dan letak papan.

Sebagai tempat tinggal bersama, Rumah Gadang mempunyai ketentuan-ketentuan. Jumlah kamar bergantung pada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh satu kamar.

Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.

Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan.

Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.

Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam klan/kaum secara turun temurun. Tanah dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan. Di halaman depan terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi.

Pada sayap sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan adat. Karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai Rumah Baanjuang.

Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang, biasanya dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.

Ragam Hias dan Seni Ukir Minangkabau

Ragam hias Minangkabau sebagai bagian dari arsitektur tak kalah menariknya. Ragam hias ini diterapkan dalam bentuk seni ukir yang menghias hampir seluruh tubuh rumah adat Minangkabau.

Ragam hias Minangkabau selain diterapkan sebagai ukiran pada bangunan adat Rumah Gadang juga diterapkan pada bangunan adat lainnya, seperti Rangkiang, Balai Adat dan pada perkembangan selanjutnya motif-motif ukiran tersebut mulai pula diterapkan pada bangunan-bangunan lainnya seperti pada bangunan perkantoran, bangunan pertokoan, masjid, museum dan lain-lain.

Dalam kehidupan sehari-hari motif ukiran tersebut dipakai sebagai motif hiasan atau sulaman pakaian, motif ukir perabotan dan pada benda-benda pakai lainnya. Motif-motif itu dibuat dalam berbagai variasi bentuk, namun tetap berorientasi kepada bentuk motif yang asli.

Ditinjau nama-nama motif yang terdapat di ukiran dan ragam hias kebudayaan Minangkabau, dapat dibagi sebagai berikut:.

(1) Nama-nama Tetumbuhan Motif ragam hias Minangkabau yang berasal dari nama tumbuhan mencapai jumlah 37 motif. Beberapa nama yang cukup menonjol adalah: Aka Bapilin (Akar Berjalin), Aka Barayun (Akar Berayun), Aka Taranang (Akar Terapung), Bungo Palo (Bunga Pala), Bungo Matoari (Bunga Matahari), Kaluak Paku (Lengkung Pakis), Pucuak Rabuang (Pucuk Rebung) dan seterusnya.

(2) Nama-Nama Binatang Nama-nama motif yang berasal dari nama binatang mencapai jumlah 21 motif, antara lain adalah: Ayam Mancotok dalam Kandang (Ayam mematuk di dalam kandang), Bada Mudiak (Ikan beriringan ke hulu), Barabah Mandi (Burung Berbali Mandi), Gajah Badorong (Gajah Berkelahi), Harimau dalam Parangkok (Harimau dalam Perangkap), Kaluang Bagayuik (Kelelawar Bergantung), Ramo-ramo (Kupu-kupu), Tupai Managun (Tupai Berbunyi), Kudo Manyipak (Kuda Menendang) dan lain-lain.

(3) Nama benda dan Manusia Nama-nama motif yang berasal dari nama benda (benda mati) antara lain adalah: Aie bapesong (air berputar) Ampiang Faserak (Emping Terserak), Ati-ati (bentuknya menyerupai hati), Carano Kanso (Cerana Tembaga), Jarek Takambung (Jerat Terpasang), Kipeh Cino (Kipas Cina), Saik Kalamai (Irisan Makanan) dan Saluak Laka (Alas Periuk).

Jumlah motif ini mencapai 31 buah, diantaranya terdapat juga nama tokoh atau sosok atau julukan seperti Ambun Dewi, Si Ganjua Lalai, si Kambang Maniih, dan masih banyak lagi.

Pandangan Hidup Orang Minang

Falsafah dan Nilai Kebudayaan Minangkabau

Masyarakat Minang adalah masyarakat yang kaya akan nilai-nilai dan filosofis. Pandangan hidup mereka kerap tertuang di dalamnya.

Kehidupan orang Minang juga sangat lekat dengan alam, mereka dikenal sebagai masyarakat yang hidup secara komunal dan mengedepankan kekeluargaan.

Kearifan Lokal Sosial

Falsafah Samo atau sama yang bermakna persamaan, kesamaan dan kebersamaan antar individu, antar kaum dan antar desa. Ada juga falsafah Masyarakat nan Sakato berarti masyarakat yang sekata, sependapat dan se-mufakat.

Unsur-unsur Masyarakat nan Sakato dalam kebudayaan Minangkabau yaitu Saiyo Sakato, Sahino Samalu, Anggo Tanggo, dan Sapikua Sajinjiang.

Saiyo Sakato berari mufakat dalam mengambil keputusan. Dengan demikian adat Minang mengenal musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan.

Sahino Samalu merupakan prinsip orang Minang yang mengedepankan aspek kedekatan dan kekeluargaan. Dengan kata lain prinsip ini adalah prinsip persatuan dan kesatuan orang Minang.

Anggo Tanggo adalah kepatuhan masyarakat Minang terhadap aturan-aturan adat yang berlaku. Dan terakhir adalah prinsip Sapikua Sajinjiang yang berarti saling membantu dan tolong menolong.

Prinsip-prinsip tersebut menjadikan Minang mampu mewujudkan cita-cita nenek moyang mereka “ Bumi Sanang Padi Manjadi, Padi Masak Jaguang Maupiah, Anak Buah Sanang Santoso Taranak Bakambang Biak ”.

Kearifan Lokal Alam

Kearifan Lokal yang berkaitan dalam menjaga Alam di Kebudayaan Minangkabau diantaranya: Rimbo Larangan, Banda Larangan, Tabek Larangan, Parak, Menanam pohon sebelum menikah, Goro Basamo dan lainnya.

Rimbo Larangan Yaitu hutan yang menurut aturan adat tidak boleh ditebang karena fungsinya yang sangat vital untuk kehidupan. Izin dari aparat Nagari dan para pemangku adat dibutuhkan jika ingin mengambil hasil hutan.

Banda Larangan Adalah aliran sungai yang tetap dijaga agar tidak tercemar. Ikan dari Banda Larangan adalah untuk kepentingan bersama. Biasanya Banda Larangan ini dibuka sekali setahun atau sekali dua tahun tergantung kesepakatan Para Pemangku Adat.

Tabek Larangan Yaitu Kolam air yang dibuat secara bersama oleh masyarakat untuk persediaan air. Di Tabek juga dipelihara berbagai jenis ikan, saat untuk membuka Tabek Larangan, sama dengan seperti di Banda Larangan.

Parak Yaitu suatu lahan tempat masyarakat bercocok tanam yang dapat dipanen sepanjang waktu secara bergiliran.

Menanam Pohon Sebelum Menikah. Ketika seorang laki-laki akan menikah, ia akan menanam pohon bertujuan untuk tabungan disaat sudah punya keturunan nanti untuk kebutuhan keluarga, biasanya tanaman yang ditanam berupa Kelapa, Kayu ( Surian ) Suren dan tanaman lainnya yang penuh dengan manfaat.

Goro Basamo adalah Kegiatan kerja bersama secara gotong royong untuk kepentingan umum. Seperti membuat jalan baru, bangunan rumah ibadah, membersihkan tali bandar (sungai), menanam pohon dan lain sebagainya.