traveldraft

Kesultanan Kubu dan Sejarah Kabupaten Kubu Raya

Kesultanan Kubu merupakan institusi pemerintahan Islam yang daerah kekuasaannya hari ini termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

PublishedApril 8, 2014

byDgraft Outline

Sejumlah sumber menyebutkan, Kesultanan Kubu dibangun atas prakarsa para penganjur Islam dari Hadramaut (Yaman Selatan), yang datang ke wilayah Kalimantan pada 1720 Masehi.

Kerajaan Kubu bertahan melalui berbagai pergantian zaman, sebelum akhirnya meleburkan diri ke dalam pemerintahan administratif Republik Indonesia pada 1958.

Pada awal abad ke-18, atas anjuran sang Guru, rombongan saudara seperguruan yang berjumlah kurang-lebih 45 orang, bertolak dari Hadramaut menuju negeri-negeri Timur untuk menyebarkan Islam, sekaligus mencari tanah subur untuk berniaga. Dalam rombongan tersebut, terdapat sejumlah nama yang kelak banyak dicatat dalam sejarah, yakni Syarif Habib Hussein Alqadrie, Syarif Idrus, Syarif Abdurakhman As Segaf, dan Syarif Akhmad.

Pada awalnya mereka tiba di Trengganu (sekarang masuk dalam wilayah negara Malaysia), untuk selanjutnya menuju Aceh, Palembang, Banten, Batavia, Cirebon, Demak, Mataram, Semarang, hingga akhirnya menjejak tanah Kalimantan, lebih tepatnya di wilayah Kesultanan Matan/Tanjungpura, di Ketapang, Kalimantan Barat. Di tanah-tanah yang mereka singgahi, tidak luput mereka menyebarkan ajaran-ajaran Islam pada penduduk setempat.

Setelah menetap di kesultanan Matan, rombongan Syarif Idrus memutuskan untuk menuju kerajaan Mempawah (sekarang terletak di Kabupaten Pontianak). Namun demikian, tidak semua anggota rombongan turut serta. Sebagian lainnya, terutama para pengikut Syarif Habib Hussein Alqadrie, memilih bertahan di Kesultanan Matan.

Pada akhirnya nanti, justru rombongan Syarif Habib Hussein Alqadrie yang tiba di Mempawah, dan menjadi bagian dari keluarga besar kerajaan Mempawah, karena rombongan Syarif Idrus dalam perjalanannya memutuskan untuk menetap di daerah sekitar Sungai Kapuas yang dianggap subur. Di sana mereka mendirikan perkampungan.

Dalam perkembangannya, perkampungan yang didirikan Syarif Idrus semakin besar karena banyak orang-orang Dayak yang tinggal di sekitar perkampungan tertarik untuk bergabung dengan komunitas mereka. Perlahan namun pasti, perkampungan itu tumbuh menjadi sebuah bandar perdagangan yang ramai. Pada 1772, segenap penduduk bersepakat untuk mengangkat Syarif Idrus menjadi pemimpin mereka.

Kemasyuran perkampungan baru di tepi Sungai Kapuas tersebut membuat mereka berada di bawah bayang-bayang ancaman dari para gerombolan perompak.

Setekah beberapa kali mendapat serangan dan menderita kerugian, Syarif Idrus memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah di pinggir anak Sungai Kapuas Besar (dikenal juga sebagai Sungai Terentang), dan membangun sistem pertahanan yang lebih kuat, dengan cara menimbun sungai agar tidak dapat dicapai musuh. Perkampungan baru tersebutlah yang kemudian disebut sebagai Kubu dan menjadi cikal bakal Kesultanan Kubu.

Pemindahan pusat pemerintahan dan pertahanan baru yang mereka bangun terbukti tidak sia-sia. Kendati beberapa kali mendapat serangan musuh, benteng pertahanan tersebut tidak dapat ditembus. Sekian lama hidup merasa aman dan terlindungi, pada akhirnya menjadikan mereka lengah.

Di penghujung abad ke-18, mereka mendapat serangan dari orang-orang Siak. Dalam huru-hara itu, Syarif Idrus tewas. Dari sinilah riwayat sentimen negatif penduduk Kubu terhadap orang-orang Siak, di mana mereka bersumpah tidak akan menjalin kekerabatan, termasuk menikah dengan orang Siak dan anak-cucu mereka.

Setelah wafatnya Syarif Idrus, tahta kesuktanan Kubu dilanjutkan oleh putranya, Syarif Muhammad bin Syarif Idrus. Semasa pemerintahan Syarif Muhammad, Kesultanan Kubu diketahui memiliki hubungan dagang yang sangat baik dengan pihak Belanda (VOC), sebagaimana yang telah dirintis oleh ayahnya, Syarif Idrus. Lebih jauh, kedua belah pihak memiliki sejumlah kerjasama yang dituangkan dalam kontrak politik pada 7 Juni 1823.

Kondisi ini pada kenyataannya tidak memuaskan semua kalangan di dalam kesultanan, karena muatan dalam kontrak politik tersebut lebih menguntungkan pihak Belanda. Figur yang paling dikenal paling vokal menyuarakan keberatan adalah Syarif Alwi bin Syarif Idrus, yang tak lain adalah saudara kandung Sultan Syarif Muhammad.

Sebagai bentuk kekecewaan, Syarif Alwi beserta pengikutnya hengkang dari kesultanan Kubu. Di Gunung Ambawang, Syarif Alwi bersama pengikutnya mendirikan pemerintahan baru, yang kemudian dikenal sebagai kesultanan Ambawang.

Pada 1829, Sultan Syarif Muhammad bin Syarif Idrus meninggal dunia, dan berturut-turut, kedudukannya digantikan oleh anak-cucunya, yakni Sultan Syarif Abdul Rahman bin Syarif Muhammad (1829-1841), Sultan Syarif Ismail bin Syarif Abdul Rahman (1841-1864), Sultan Syarif Hassan bin Syarif Abdul Rahman (1864-1900), Sultan Syarif Abbas bin Syarif Hassan (1900-1911), Sultan Syarif Zin bin Syarif Ismail (1911-1921), Sultan Syarif Saleh bin Syarif Idrus (1921-1943), Sultan Syarif Hassan bin Syarif Zin (1943-1958).

Riwayat kesultanan Kubu berakhir pada 1958, di mana pada tahun itu, sultan terakhir, Syarif Hassan bin Syarif Zin mengintegrasikan kesultanan Kubu ke dalam pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu, wilayah kesultanan Kubu berubah menjadi kecamatan Kubu, di dalam wilayah administratif Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Pada 2007, Kecamatan Kubu memekarkan diri dari Kabupaten Pontianak, dan menjadi kabupaten baru, dengan nama Kabupaten Kubu Raya.