etnografi

Suku Kerinci, Suku Bangsa di Jambi

Suku Kerinci adalah kelompok masyarakat yang berada di wilayah kabupaten Kerinci di provinsi Jambi.

PublishedApril 23, 2014

byDgraft Outline

Suku Kerinci tergolong ke dalam kelompok Ras Melayu, akan tetapi beberapa ahli sejarah menduga suku Kerinci justru “lebih tua” dari suku Melayu yang mendiami wilayah Sumatra mulai dari provinsi Riau hingga Sumatra bagian selatan. Dugaan ini diperkuat oleh penemuan naskah Melayu tertua yang ditemukan di Kerinci pada abad ke-14 Masehi.

Menurut para menurut para peneliti sejarah, sewaktu kedatangan Proto Melayu ke wilayah Kerinci, daerah ini telah ditinggali oleh manusia. Manusia ini dikenal dengan istilah “ Manusia Kecik Wok Gedang Wok ”. Istilah ini merupakan sebutan yang digunakan oleh para pakar untuk menamai manusia ini

Asal usul manusia ini belum bisa diketahui oleh para ahli, mereka juga tidak memiliki nama sapaan atau panggilan, hanya kata Wok yang dipakai untuk memanggil sesamanya sehingga para ahli menamai manusia tersebut dengan nama tersebut. Manusia “ Kecik Wok Gedang Wok ” masih hidup primitif,mereka tinggal di dalam goa-goa dan tebing-tebing batu.

Manusia ini merupakan penduduk pertama yang menghuni wilayah Kerinci sejak 10.000 tahun lalu. Kedatangan Ras Melayu Tua ke wilayah Kerinci menyebabkan percampuran antara manusia Kecik Wok Gedang Wok dengan masyarakat Ras Melayu tua. Begitupun pasca kedatangan Ras Melayu muda, sehingga terbentuklah masyarakat Suku Kerinci.

Kata Kerinci berasal dari bahasa Tamil yakni Kurinji yaitu nama bunga kurinji ( Strobilanthes kunthiana ).tumbuhan ini tumbuh di India Selatan pada ketinggian di atas 1800 m. Penamaan ini ditujukan untuk menyebut kawasan pegunungan yang didiami oleh masyarakat Suku Kerinci.

Masyarakat Suku Kerinci tersebar di beberapa wilayah sekitar kabupaten Kerinci di antaranya wilayah Serampas, di daerah Sungai Tenang, wilayah Muara Siau dan di daerah Jangsukukat. Sebagian lagi konon telah melakukan migrasi ke Kerinci Rendah atau daerah sungai Manau (Tanah Renah) hingga sampai ke daerah Koto Baru yang merupakan wilayah Sumatra Barat paling Selatan.

Masyarakat suku Kerinci adalah masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat. Masyarakat suku kerinci menganut sistem kekeluargaan Matrilineal dimana silsilah keturunan menurut kepada keluarga ibu. Masyarakat suku ini berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Kerinci. Bahasa ini masih berkerabat dengan bahsa Minangkabau dan bahasa melayu Jambi.

Suku kerinci juga mengenal tulisan tradisional yang disebut dengan aksara Incung yang termasuk dalam salah satu variasi dari surat ulu. Masyarakat Suku Kerinci bermata pencaharian dalam bidnag pertanian. Suku Kerinci juga dikenal dengan berbagai kesenian daerahnya seperti tari Iyo-Iyo, Tari Rangguk, tari Tauh, Tale (nyanyian bersama) dan sebagainya.

Pada awalnya masyarakat suku Kerinci, hidup berkelompok dan menetap di duseung (dusun). Dalam sebuah dusun terdiri dari masyarakat yang merupakan satu akar kelompok keturunan berdasarkan pada garis keturunan matrilineal.

Dalam setiap Duseoung terdiri dari beberapa Laheik Jajou atau Larik (Rumah Panjang) yang mereka dirikan secara berderet dan saling terhubung dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Setiap Larik dipimpin oleh seorang Tetua Suku yang disebut sesuai marga-nya. Dalam larik terdapat kelompok yang dinamakan Tumbi.

Diantara Tumbu Tumbi yang ada, terdapat kelompok terpenting yang di sebut Kalbu dimana terdapat Pemangku Adat yang bertugas mengatur kehidupan masyarakat dalam kalbu tersebut.

Selanjutnya beberapa Duseoung (Dusun) dan juga kelompok masyarakat adat itu di sebut Kemendapoan yang pemimpinnya disebut dengan Mendapo. Masyarakat suku Kerinci biasanya mendirikan Duseoung di sekitar wilayah yang dekat dengan sumber air seperti di tepi sungai atau danau.

Suku Kerinci merupakan tipikal masyarakat yang dekat dengan alam. Suku ini banyak melahirkan kebudayaan dan kearifan lokal yang kaya akan nilai kultural. Sebagai salah satu suku yang diidentifikasi sebagai ras Melayu tertua, masyarakat Kerinci menjadi sebuah bagian sejarah penting dalam peradaban manusia di Indonesia.

Oleh karena itu, tradisi dan budaya yang ada pada masyarakat Kerinci harus menjadi bagian dari kekayaan kebudayaan dan keragaman yang terus mendapatkan perhatian.

Bahasa Kerinci, Suku Kerinci di Jambi

Seperti halnya suku lain di Indonesia, suku Kerinci juga memiliki bahasa daerah dalam berkomunikasi sehari-hari yaitu Bahasa Kerinci. Bahasa kerinci merupakan salah satu cabang dari induk bahasa Austronesia sepert halnya bahasa Melayu lainnya.

Bahasa Kerinci mempunyai dialek tersendiri yang berbeda dengan suku-suku di Sumatra lainnya. Walaupun begitu, masyarakat Suku Kerinci mengerti bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Bahasa kerinci memiliki keunikan tersendiri yaitu dialek bahasa Kerinci yang banyak.

Di suku Kerinci, setiap desa (masyarakat persekutuan adat). Oleh karena itu jumlah dialek yang dimiliki oleh bahasa Kerinci lebih dar 177 dialek sesuai dengan jumlah desa di kabupaten Kerinci.

Faktor lain yang mempengaruhi banyaknya dialek bahasa Kerinci adalah terdapatnya kelompok–kelompok yang membentuk dusun ( luhah, nagehi ). Walaupun begitu, masyarakat antar desa dengan dialek berbeda sudah saling mengerti maksud dari pembicaraan masing-masing.

Perbedaan dilaek juga tidak menghambat hubungan silaturahmi diantara mereka karena mereka merupakan kesatuan masyarakat yang hidup dalam lingkungan budaya dan alam Kerinci. Dengan kata lain, Bahasa Kerinci adalah bahasa pemersatu di antara masyarakat kerinci yang berbeda-beda dialeknya.

Wilayah kerinci merupakan salah satu daerah tertua di nusantara. Hal ini dibuktikan dengan temuan arkeologi yaitu keramik Dinasti Han dari tahun 300 SM. Bahasa Melayu diperkirakan digunakan sekitar tahun 680 M. hal ini berdasarkan penemuan-penemuan prasasti berbahasa Melayu diantaranya prasasti Karang Berahi (Bangko), Kedukan Bukit (Palembang), Kota Kapur (Bangka), Talang Tuo (Palembang), dan beberapa prasasti lainnya.

Prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pallawa (India Kuno) dalam bahasa Melayu Kuno. Bahasa Kerinci sendiri diperkirakan lebih tua dari Bahasa Melayu mengingat peradaban dan kebudayaan Kerinci merupakan peradaban tua. Bahasa kerinci juga memiliki huruf sendiri yang dikenal dengan aksara Incung. Buktinya adalah ditemukan prasasti yang berusia ratusan tahun yang ditulis dengan Aksara Incung dengan memakai bahasa Kerinci Kuno

Bahasa Kerinci Kuno merupakan bagian dari bahasa Melayu lampau yang penyebaranya muali dari Madagaskar sampai ke lautan Pasifik. Bahasa Kerinci banyak memiliki kosakata yang berbeda atau tidak ditemui di daerah penyebaran bahasa Melayu yang lain.

Ini terjadi karena budaya lokal dan alam Kerinci yang memang memiliki kekhasan tersendiri sehingga bahasa pun menjadi salah satu bagian budaya local yang khas. Bahasa kerinci Kuno adalah cikal bakal dari bahasa Kerinci yang digunakan sekarang oleh masyarakat Kerinci

Bahasa ini menjadi bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Kerinci. Beberapa ahli juga beranggapan bahwa bahasa Kerinci merupakan cikal bakal dari Bahasa Melayu.

Kebudayaan dan bahasa Kerinci dalam perkembangannya turut dipengaruhi oleh agama Islam yang berkembang pesat sekitar abad ke – 16 di nusantara. Masyarakat Suku Kerinci juga menganut agama Islam. Hal ini membuat kebudayaan kerinci yang ada ikut terpengaruh oleh agama Islam.

Namun begitu, masuknya pengaruh Islam tidak serta merta mengahapuskan kebudayaan yang telah ada di kerinci. Islam mempengaruhi dan memperkaya kebudayaan Kerinci. Begitupun halnya dengan bahasa Kerinci, beberapa naskah kuno yang ditemukan banyak mengandung bahasa-bahasa yang datang dari budaya Islam.

Kekinian, bahasa kerinci juga telah banyak dipengaruhi oleh budaya Islam, mengingat islam hidup tidak hanya sebagai budaya tapi juga menjadi agama yang dianut oleh masyarakat Kerinci.

Larik dan Tanoh Mendapo ; Tata Ruang Suku Kerinci

Sebagai sebuah kelompok masyarakat yang hidup secara tradisional, masyarakat komunal Suku kerinci mengenal berbagai kearifan lokal yang lahir dan berkembang dari kebudayaan masyarakatnya.

Salah satunya adalah dalam mengelola tata ruang wilayah teritorial kekuasaan suku atau marga, suku kerinci mengenal istilah dusueoung (dusun) dan di dalam sebuah dusun tersebiut terdiri dari beberapa Laheik/Larik dan Tanoh Mandapea.

Larik merupakan rumah adat Kerinci yang merupakan rumah larik rumah panjang yang terbagi atas petak-petak. Rumah ini ditempati oleh satu keluarga batih yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak mereka.

Rumah ini tidak hanya ditempati oleh satu keluarga tapi ditempati oleh beberapa keluarga menurut pada sistem kekeluargaan matrilineal.

Larik atau Rumah Panjang dibangun dengan menghubungkan pintu dari satu rumah ke rumah yang lain. Setiap Larik didiami oleh keluarga yang merupakan satu marga.

Di dalam Larik terdapat Tumbi yang merupakan kelompok kecil masyarakat di dalam Larik. Diantara Tumbi terdapat kelompok yang memegang peranan penting yang disebut dengan kalbu.

Di dalam kalbu terdapat pemangku adat yang mengatur kehidupan masyarakat adat dalam kalbu. Dalam setiap laheik atu larik dipimpin ole seorang tetua suku.

Salah satu bagian petak rumah yang tertua dari rumah larik dijadikan Umouh Gdeang sebagai tempat yang berperan dalam kegiatan spiritual masyarakat Kerinci yang juga berfungsi sebagai tempat menyimpan benda benda pusaka nenek moyang.

Seperti keris,tombak,tambo,piagam cap raja, tempat musyawarah para ketua kelebu atau perut yang jabatan/gelarnya Depati, Permenti atau ninik mamak,tempat kepatan Anak jantan anak betino, tempat penobatan anak jantan untuk menjadi Depati ninik mamak yang telah dipilih oleh anak negeri.

Prosesi itu biasanya diadakan pada saat kenduri Sko, dan tempat para ninik mamak memutuskan hukum adat, jika timbul sesuatu masalah yang menyangkut undang Adat.

Rumah larik terbuat dari tiang kayu bersisi delapan dan diameter sama besar. Pada tiang-tiang kayu tersebut terdapat ukiran-ukiran bermotif tumbuhan semacam padma.

Tiang bersisi delapan itu mengandung makna suku empat puyang delapan yakni asal usul suami istri ditarik silsilahnya ke atas. Dindingnya terbuat dari papan tebal yang dihiasi dengan ukiran selampit simpai dengan beragam motif tumbuhan; Atap rumah larik terbuat dari potongan-potongan bambu yang disebut atap lapis.

Selain Larik, masyarakat Suku Kerinci juga mengenal istilah Tanah Mendapo dalam mengelola tata ruang di wilayah dusun.

Tanah Mendapo berarti tempat atau balai pertemuan para Depati Ninik Mamak dengan anak kemenakannya untuk membicarakan sesuatu masalah atau menggelar ritual uopacara adat seperti upacara penobatan para pemangku adat,ninik mamak,perang dan sebagainya.

Tanah Mendapo ini berfungsi sebagai tempat membentuk karang setia. Karang setia atau Karang buatan berarti kesetiaan kepada aturan yang telah disepakati.

Di Tanah ini biasanya dilakukan berbagai kegiatan adat yang melibatkan masyarakat Kerinci secara luas misalnya saja upacara adat, tempat berkumpu dan bermusyawarah dan lain sebagainya.

Kepatuhan dan ketaatan masyarakat Kerinci terhadap aturan-aturan adat membuat tempat ini menjadi tempat yang efektif dalam acara-acara adat.

Selain Tanah Mendapo, Suku Kerinci juga mengenal Tanah Hamparan. Tanah hamparan memiliki fungsi yang sama dengan tanah Mendapo tapi mencakup wilayah kekuasaan yang lebih luas yaitu kerajaan.

Dahulu, di tanah Kerinci sendiri terdapat 3 Tanah hamparan yaitu Hamparan tua di Hiang Tinggi, Hamparan Besar di Rawang dan Hamparan Kadipan di Sanggaran Agung.

Pola tata ruang masyarakat Suku Kerinci ini mengambarkan banyak hal mengenai kebudayaan Suku Kerinci yang bersifat matrilineal, komunal dan gotong royong.

Bagaimanapun kebudayaan dan kearifan masyarakat suku Kerinci memiliki aspek sejarah yang penting sehingga memerlukan penelitian dan apresiasi lebih lanjut.

Upacara Kenduri Sko ; Tradisi Pengukuhan Gelar Suku Kerinci

Kenduri sko merupakan sebuah rangkaian acara adat pengukuhan gelar suku atau kepala adat. Upacara ini selalu diiringi dengan upacara kenduri pusaka yaitu upacara membersihkan benda pusaka peninggalan nenek moyang.

Suku Kerinci tidak hanya sebuah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah kerinci tapi juga masyarakat tradisional yang hidup erat dengan adat istiadat dan budaya warisan leluhur.

Mereka masih mempertahankan kebudayaan warisan nenek moyang sampai saat ini. Walaupun mayoritas masyarakatnya telah memeluk agama Islam, masyarakat suku kerinci masih melakukan ritual-ritual adat seperti halnya nenek moyang mereka.

Upacara kenduri sko sendiri adalah sebuah rangkaian acara adat dalam menentukan kepala adat. Kata kenduri berarti selamatan dan sko bermakna perbuatan atau peraturan yang berlaku turun temurun.

Kata sko berasala dari kata saka yang bermakna keluarga atau nenek moyang dari pihak ibu. Dalam konteks adat sko bermakna pusaka yang berasal dari pihak ibu. Sko terdiri dari Sko tanah boleh di-ico (diolah,digarap,dimanfaat) dan Sko gelar boleh dipakai–sko gelar itu dihibahkan oleh ibu kepada mamak (saudara laki-laki dari pihak ibu) sebagai penerima mandat.

Masyarakat adat Kerinci mengenal sistem sko tiga takah. Sko tiga takah adalah bentuk struktur pelapisan sosial yang terdapat pada masyarakat Suku Kerinci. Sistem sko tiga takah itu diantaranya adalah Depati atau setingkat Depati, Permenti atau Ninik Mamak dan Tengganai atau anak jantan.

Depati dan Ninik Mamak adalah tingakatan tertinggi pada struktur lapisan sosial masyarakat Suku Kerinci. Kenduri Sko merupakan acara adat yang dilakukan untuk mengukuhkan gelar Sko pada Depati atau Ninik Mamak yang telah dipih oleh anak jantan yang memenuhi syarat

Gelar Sko Mamak Kelebu merupakan gelar pusaka turun temurun yang disandang oleh kepala suku atau pemimpin adat. Pelaksanaan Kenduri Sko selalu diiringi dengan Kenduri Pusaka.

Pelaksanaan Upacara Kenduri Sko

Dalam rangkaian upacara ini semua benda pusaka peninggalan nenek moyang dikeluarkan dari tempat penyimpanannya untuk disucikan atau dibersihkan oleh para kepala adat yang telah dikukuhkan disaat Kenduri Sko dan disaksikan oleh seluruh masyarakat suku kerinci.

Proses pelaksanaan upacara Kenduri Sko ini terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan taha penutupan. Dalan tahap persiapan ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum acara dilaksanakan seperti perlengkapan-perlengkapan berupa tenda atau taruk berukuran besar yang didirikan diatas Tanah Mendapo (tempat berlangsungnya Upacara adat Kenduri Sko ).

Umbul-umbul atau bendera warna-warni yang dipasang di sekitar tempat upacara, bendera merah putih berbentuk segitiga siku-siku berukuran besar (Karamtang) yang dipasang ditempat terbuka pada ketinggian mencapai 30 meter yang puncaknya digantunngkan Tanduk kerbau

Bendera ini berfungsi sebagai undangan bagi masyarakat untuk datang mengahdiri upacara dan isyarat keberadaan Kenduri, pakaian adat, keris, dan tongkat yang dipakai oleh para Pemangku adat, pakaian adat para Dayang ( Lita dan Kulok ), pedang Hulubalang untuk keperluan Pencak Silat, sesajian ( beras kuning, kemenyan, dan adonan sirih nan sekapur – rokok nan sebatang ) dan gong, gendang dan rebana untuk keperluan kesenian daerah yang akan ditampilkan dalam rangkaian prosesi upacara.

Pelaksanaan Upacara biasanya dilakukan pada pukul 08.00. Pada waktu ini biasanya masyarakat kerinci sudah berkumpul di tanah Mendapo untuk menyaksikan beberapa rangkaian acara yaitu pertunjukan seni Pencak Silat yang merupakan seni bela diri dengan menggunakan dua mata pedang.

Tari Persembahan yang merupakan tari untuk menyerahkan sekapur sirih kepada para petinggi-petinggi daerah yang hadir dan juga menyerahkan sekapur sirih kepada calon Depati, Ngabi, Permanti dan Mangku yang akan dinobatkan menjadi pemangku adat yang baru.

Tarian asyeak yang merupakan tarian upacara yang berunsur magis karena ada bagian dimana penari mengalami kesurupan. Tari Massal yang merupakan tarian yang memebntuk konfigurasi keadaan geografis kerinci.

Tari Rangguk yang dilakukan untuk menerima kedatangan Depati (tokoh adat Kerinci), tamu dan para pembesar dari luar daerah. Kemudian beranjak ke acara penurunan pusaka (kenduri pusaka), prosesi ini dilakukan oleh para sesepuh adat.

Dalam prosesi ini pusaka-pusaka dari rumah Gedang dibawa ke Tanah Mendapo lalu dibersihkan di hadapan masyarakat yang menonton sambil menceritakan sejarah pusaka tersebut. Acara intinya adalah penobatan para pemangku adat.

Pada prosesi ini semua calon Depati , Ngabi dan Ninik Mamak dipanggil naik ke atas pentas secara bergantian lima orang sambil dipanggil namanya seraya menjatuhkan Gelar Sko pada para bangsawan tersebut.

Dalam prosesi ini juga dikenal juga acara pidato adat yang disebut deto talitai yang merupakan rangkaian pidato adat yang disampaikan dalam bahasa berirama. Deto Talitai berbentuk prosa berirama dan didalamnya terdapat pepatah petitih.

Pidato ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang menjabat Pemangku, Ninik Mamak, Depati atau setingkat depati. Setelah Deto Talitai diikuti dengan maklumat Sumpah Karangsetio yang merupakan peringatan keras pada pemimpin adat terpilih.

Dalam upacara ini para Depati dan Ninik Mamak terpilih memakai pakaian adat khusus yang memilki makna tertentu. Para Depati biasanya memakai seluk, kain sarung lurus dan pakaian berwarna hitam dengan hiasan sulaman benang warna kuning di dada sementara Ninik Mamak memakai Lita, kain sarung miring dan pakaian berwarna hitam dengan hiasan sulaman benang warna kuning di dada.

Warna-warna dalam pakaian tersebut mengandung makna khusus seperti misalnya warna hitam yang melambangkan rakyat banyak berarti kekuatan Depati dan Ninik Mamak dan warna kuning yang melambangkan kekuasaan berarti berundang berlembago, arinya Depati dan Ninik Mamak melaksanakan kekuasaan berdasarkan undang-undang dan lembago.