etnografi

Suku Sunda di Tatar Pasundan, Jawa Barat

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang mayoritas mendiami provinsi Jawa Barat, yang terletak di bagian barat Pulau Jawa. Wilayah ini sering disebut sebagai Tatar Pasundan. Kurang lebih sekitar 15,41 % penduduk yang tersebar di Indonesia berasal dari suku Sunda.

PublishedMay 31, 2014

byDgraft Outline

Sunda sebagai nama kerajaan diperkirakan muncul pada abad ke-8 Masehi sebagai perpanjangan tangan dari pendahulunya yaitu Kerajaan Tarumanegara (358 – 669 M) yang mengalami perpecahan menjadi dua kerajaan; Galuh dan Sunda.

Kata Sunda menurut Rouffaer (1905) dan Williams (1872) berasal dari akar kata “ sund ” atau kata “ suddha ” yang dalam bahasa Sansekerta mempunyai pengertian bersinar, terang, putih.

Dalam bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi) dan juga bahasa Bali terdapat kata “sunda” yang memiliki pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela atau bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: Mardiwarsito, 1990; Winter, 1928).

Table of contents

Open Table of contents

Sistem Kepercayaan Hidup

Sebelum masuknya agama Hindu di Tatar Pasundan, Suku Sunda menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Banyak versi mengenai kepercayaan lampau masyarakat Sunda selain Sunda Wiwitan, diantaranya Jatisunda dan Pitarapuja.

Yang pada akhirnya perdebatan tersebut mengerucut pada sebuah kepercayaan leluhur yang berpusat pada pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur

Beberapa pendapat mengatakan bahwa leluhur Sunda telah memiliki unsur monotheisme purba, yaitu diatas para arwah leluhur dan kekuatan alam terdapat pula satu zat yang berkuasa yaitu Sang Hyang Kersa.

Kepercayaan Sunda Wiwitan masih dianut oleh beberapa Suku Sunda, sebagian besar berpusat di Baduy, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan

Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang Siksakanda ng Karesian, yang merupakan naskah didaktik berisi ajaran agama dan tuntunan moral, aturan dan budi pekerti. Salah satu ajaran dari naskah ini adalah sanghyang dasa kreta atau sepuluh ajaran bagi mereka yang ingin mencari kebahagiaan hidup.

Selain “agama”, ada banyak kearifan lokal yang menjadi pandangan hidup Suku Sunda. Pandangan hidup yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang Suku Sunda dapat dilihat dari ungkapan tradisonal atau dari naskah kuno. Biasanya berisi tuntunan dalam hubungan dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan bangsanya.

Sistem Kekerabatan Suku Sunda

Dari segi kekerabatan, Suku Sunda menggunakan sistem kekerabatan mengikuti garis keturunan kedua orang tua. Garis keturunan ini sangat kuat ikatannya, hingga tujuh turunan ke atas dan tujuh turunan ke bawah.

Dalam sistem kekerabatan, orangt Sunda mengenal istilah pancakaki, yaitu proses penelusuran hubungan silsilah dalam keluarga, dari mulai pihak orang tua sampai tingkat yang lebih tinggi

Biasanya hal tersebut terjadi ketika seseorang bertemu dengan orang asing atau di suatu daerah. Ikatan keluarga inilah yang membuat seseorang bisa langsung akrab bertemu dengan orang asing.

Banyak sekali istilah yang bersangkutan dengan hubungan keluarga dalam Suku Sunda. Ikatan keluarga paling jauh disebut sebagai bau-bau sinduk, yaitu masih memiliki ikatan saudara meski dalam pancakaki atau silsilahnya sudah hampir tidak dapat ditelusuri.

Pancakaki; Penelusuran Silsilah dalam Tradisi Sunda

Pancakaki memiliki dua arti. Pertama pancakaki sebagai hubungan seseorang dalam sebuah silsilah keluarga. Kedua, pancakaki juga dapat diartikan sebagai proses penelusuran hubungan seseorang terhadap jalur kekerabatan yang dimilikinya.

Dalam kisah Mundinglaya diceritakan lengser Muaraberes ditugaskan mencari honje, jenis tanaman berkelopak seperti jahe yang buahnya masam dan biasa dijadikan bumbu atau bahan manisan. Ketika itu, permaisuri raja yang sedang mengandung rupanya mengidam honje.

Singkat kata, lengser mendapatkannya. Tapi di tengah jalan ia berpapasan dengan lengser Pajajaran, yang juga sedang mencari honje untuk permaisuri Pajajaran yang sedang mengandung pula. Apa daya, kala itu honje amat langka.

Lengser Pajajaran tak kehabisan akal. Kepada lengser Muaraberes ia berkata, “ Tatkala kakekku kawin dengan nenekku, kakekmu juga kawin dengan nenekmu; lalu sama-sama punya anak: ayahku dan ayahmu. Bapakku kawin dengan ibu, bapakmu kawin dengan ibumu. Lalu sama-sama punya anak lagi, yaitu aku dan kamu. Jadi, kita ini sama-sama anak ayah dan ibu. (Kita) masih bersaudara, tetapi lain ayah lain ibu. Kamu harus memanggilku kakak ”.

Dari paparan di atas, jelas bahwa di antara keduanya tidak memiliki hubungan kekerabatan apapun. Hanya saja pembicaraan Lengser Pajajaran begitu memikat hati Lengser Muaraberes sehingga lengser Muaraberes rela memberikan sebagian honje-nya.

Demikianlah Edi S. Ekadjati mencontohkan dalam Pancakaki, Asal Usul dan Maknanya (2005).

Dalam Bahasa Sunda, Pancakaki memiliki dua arti. Pertama pancakaki sebagai hubungan seseorang dalam sebuah silsilah keluarga. Ikatan keluarga pada Suku Sunda bisa sangat luas.

Karena tidak hanya ikatan yang bersentuhan langsung atau vertikal seperti orang tua dengan anak, cucu, dan sebagainya, tetapi juga bisa terjadi secara horizontal seperti paman, bibi, keponakan, dan sebagainya. Atau malah tidak di antara keduanya, seperti keponakan anak adik, keponakan anak kakak, dan seterusnya.

Kedua, pancakaki juga dapat diartikan sebagai proses penelusuran hubungan seseorang terhadap jalur kekerabatan yang dimilikinya.

Hal ini bisa secara sengaja ketika menelusuri tali keluarga yang hilang, atau bisa jadi sebagai obrolan yang berguna sebagai penghilang kekakuan dalam sebuah percakapan dengan seseorang yang baru dikenal seperti yang dilakukan Lengser Pajajaran kepada Lengser Muaraberes di atas.

Mengenai sistem kekerabatan, Suku Sunda menggunakan sistem kekerabatan bilateral, yaitu dilihat dari garis yang diturunkan ayah dan ibu. Oleh karena itu, dalam tradisi Sunda tidak mengenal istilah marga atau embel-embel nama keluarga seperti yang terjadi pada masyarakat Batak yang menggunakan sistem patrilinear.

Dalam Bahasa Indonesia terdapat istilah silsilah yang berarti daftar asal-usul keluarga, atau bagan yang menampilkan hubungan keluarga dalam sebuah struktur. Pancakaki, barangkali sepadan dengan silslilah.

Meskipun pada beberapa sisi memiliki perbedaan yang cukup jelas. Persamaannya terletak pada hal yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Sedangkan perbedaannya terletak pada penekanan hubungan kekerabatan yang dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu bagi makna pancakaki, atau secara sederhana berkaitan dengan masalah panggilan terhadap seseorang.

Hal tersebut berkaitan dengan tradisi Sunda mengenai hubungan seseorang dalam keluarga yang mendapat posisi penting. Bukan hanya nampak dari banyaknya istilah tentang hubungan kekeluargaan atau kekerabatan (seperti bapa, aki, buyut, incu, dulur, dulur misan, besan, hingga baraya laér ), tetapi juga berdampak pada masalah ketertiban dan kerukunan sosial, terutama dalam hal menggunakan bahasa.

Dalam tradisi Sunda, mengenal istilah undak-usuk basa, yaitu tingkatan atau tata krama dalam berkomunikasi dengan seseorang. Jadi, ketika tahu siapa yang sedang diajak bicara (misalnya lebih muda, lebih tua, atau memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam sebuah silisilah keluarga), maka kita dapat menyesuaikan bahasa yang akan digunakan.

Masih harus terus digali informasi mengenai awal mula pancakaki digunakan dalam tradisi Sunda hingga hal tersebut begitu melekat dengan tradisi Suku Sunda, hingga dapat dilihat dari cerita rakyat yang dicontohkan di awal.

Pancakaki, pada masa kini masih digunakan terutama untuk mengetahui dari mana kita berasal, mengingat bahwa sekarang Suku Sunda tidak hanya menetap di satu daerah. Selain itu, hal yang paling kentara adalah ber- pancakaki ketika seseorang akan melangsungkan pernikahan.

Pancakaki, memiliki peranan penting dalam kehidupan orang Sunda. Ia mencerminkan gambaran tata sosial masyarakat Sunda yang berasas kekeluargaan dan selalu ingin menempatkan seseorang dalam hubungan silsilah keluarga agar tercipta kerukunan, keakraban serta saling menghormati sesuai dengan tingkat pancakaki -nya.

Mata Pencaharian, Sosial dan Pengetahuan

Tanah Sunda dikenal memiliki wilayah yang subur, sehingga mayoritas Suku Sunda berprofesi sebagai petani dan peladang. Banyak sekali teknologi peralatan tradisonal yang mendukung jalannya pertanian. Selain dari teknologi, tercatat banyaknya upacara atau ritual penghormatan yang berhubungan dengan pertanian.

Upacara dilakukan semata-mata sebagai bentuk dari rasa terima kasih masyarakat terhadap alam yang telah mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Khusus, untuk padi, sebagai makanan pokok, Suku Sunda mengadakan persembahan khusus terhadap Dewi Sri atau Nyai Pohaci, yang dipercaya sebagai asal muasal padi dalam kepercayaan masyarakat Sunda.

Besarnya peran Dewi Sri dalam kegiatan pertanian Suku Sunda, dapat dilihat dalam rentetan upacara penghormatan kepada Dewi Sri yang bisa dimulai semenjak pemilihan bibit padi hingga panen tiba.

Selain teknologi pertanian, terdapat banyak pula teknologi-teknologi tradisional yang berhubungan dengan peralatan rumah tangga, peralatan berburu, peralatan transportasi. Selain itu terdapat pula produk-produk tradisional berupa alat musik dan mainan anak-anak.

Peralatan-peralatan tradisonal Suku Sunda ini tentunya masih dipakai hingga saat ini terutama di daerah-daerah pedesaan yang masih hidup dalam segala kesederhanaannya.

Bahasa dan Aksara Sunda

Di Tatar Sunda, masyarakat biasanya menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa dalam pergaulan. Tercatat beberapa dialek dalam Bahasa Sunda yang tersebar di seluruh Jawa Barat dan Banten hingga perbatasan Jawa Tengah. Mulai dari dialek Sunda Banten hingga dialek Sunda Jawa Tengahan

Ahli-ahli bahasa kemudian mengerucutkan dialek Bahasa Sunda ini menjadi enam jenis berdasarkan wilayah tumbuhnya dialek tersebut. Diantaranya Dialek Barat, yaitu dialek Bahasa Sunda yang dipergunakan di daerah Banten Selatan; Dialek utara mencakup daerah Bogor dan beberapa daerah Pantura; Dialek selatan adalah dialek yang digunakan masyarakat Priangan yang mencakup Bandung dan sekitarnya.

Dialek tengah timur adalah dialek di sekitar Majalengka; Dialek timur laut tersebar di daerah Kuningan; dan Dialek tenggara adalah dialek yang digunakan di daerah Ciamis dan Sekitarnya.

Dalam perkembangannya, pengguna Bahasa Sunda telah jauh menurun akibat dari adanya pandangan bahwa bahasa daerah merupakan bahasa kelas dua setelah bahasa nasional, sehingga masyarakat terlebih generasi muda terkesan malu untuk menggunakan Bahasa Sunda dalam keseharian.

Dalam budaya tulis, Suku Sunda mengenal berbagai macam aksara yang digunakan sehari-hari. Terbagi menjadi tiga jenis berdasar pada waktu berkembangnya aksara tersebut.

Dimulai dari aksara Kaganga atau Sunda Kuna, yang dipakai paling tidak sejak abad ke-14 hingga abad ke-18 yang merupakan turunan dari aksara Pallawa atau aksara Pra Nagari untuk menulis menggunakan Bahasa Sangskerta. Bentuk awal penggunaan aksara Sunda Kuna dapat dilihat salah satunya pada prasasti di Astana Gede, Kawali.

Setelah adanya ekspansi Kerajaan Mataram ke wilayah Sunda yang mengakibatkan bangsawan-bangsawan Sunda yang lebih banyak menjadikan Budaya Jawa sebagai tipe ideal.

Hal tersebut memengaruhi keberadaan aksara Sunda Kuna yang tergerus oleh Aksara Cacarakan atau Hanacaraka, karena banyak para penulis Sunda lebih memilih menggunakan aksara ini ketimbang Aksara Ngalagena atau Sunda Kuna. Selain itu, terdapat pula aksara Arab Pegon, aksara ini khusus berkembang di wilayah pesantren-pesantren pasca masuknya Islam ke Tanah Sunda.

Bahasa Sunda; Undak Usuk Basa dan Perkembangannya

Bahasa Sunda merupakan bahasa yang dituturkan oleh sebagian besar Suku Sunda dalam kehidupan sehari-hari dalam keperluan komunikasi. Bahasa ini dituturkan terutama di wilayah Jawa Barat, Jakarta, Banten, serta daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Dari segi linguistik, Bahasa Sunda membentuk suatu rumpun yang dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa. Dengan kata lain, kelompok ini mempersatukan kelompok Melayik dan Chamik dengan beberapa bahasa di Jawa dan di Nusa Tenggara Barat, kecuali bahasa Jawa sendiri.

Pada saat ini, Bahasa Sunda ditulis dengan huruf latin, setelah sebelumnya menggunakan huruf arab pegon untuk kawasan pesantren, lalu hanacaraka setelah masuknya pengaruh Mataram, kemudian Sunda Kuna yang merupakan turunan dari aksara Pallawa.

Dari segi bunyi, Bahasa Sunda memiliki tujuh suara vokal terdiri dari a, i, u, é (dalam bunyi dialék), o, e (dalam bunyi melayu), dan eu (dalam bunyi 'kode', 'mode', 'metode', dan akteu). selain itu, Bahasa Sunda memiliki 18 bunyi konsonan yang terdiri dari, b, c, d, g, h, j, k, l, m, n, p, r, s, t, w, y, ng, dan ny.

Adapun bunyi konsonan yang berasal dari bahasa yang telah diserap dari bahasa di luar Bahasa Sunda berubah menjadi konsonan utama seperti bunyi f dan v menjadi p ; sy dan sh menjadi s ; z menjadi j ; q menjadi k ; dan kh menjadi h.

Salah satu keunikan yang dimiliki oleh Bahasa Sunda adalah terdapatnya undak usuk basa dapat diartikan sebagai strata bahasa, tingkatan berbahasa, atau tata krama dalam berbahasa. Undak usuk basa sepertinya hanya kental pada dialek Sunda-Priangan.

A. Undak Usuk Basa

Undak usuk basa dipercaya merupakan pengaruh pasca invasi Kerajaan Mataram ke wilayah Priangan. Karena sebelumnya pada periode Kerajaan Salakanagara hingga Kerajaan Islam Banten, Suku Sunda yang menggunakan Bahasa Buhun tidak mengenal stratifikasi bahasa. Budaya Jawa yang sejak lama mengenal Unggah-ungguh Basa, pada akhirnya menerapkan produk budayanya ke Tanah Sunda.

Secara garis besar, undak usuk basa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: bahasa halus, bahasa sedang, dan bahasa kasar. Bahasa halus digunakan jika seseorang berbicara dengan seseorang yang lebih tua; bahasa sedang digunakan jika seseorang berbicara dengan teman sebaya; dan bahasa kasar digunakan kepada binatang atau ketika seseorang sedang marah.

Lebih lengkapnya, menurut R.I Adiwijaya undak usuk basa dibagi menjadi enam tingkatan, yaitu: basa luhur (bahasa tinggi), basa lemes (bahasa halus), basa loma atau basa sedeng (bahasa sedang), basa kasar atau cohag (bahasa kasar), basa kasar pisan (bahasa sangat kasar), basa panengah (bahasa tengah).

B. Perkembangan Bahasa Sunda

Dalam penyebarannya, tercatat beberapa dialek dalam Bahasa Sunda yang tersebar di seluruh Jawa Barat dan Banten hingga perbatasan Jawa Tengah. Mulai dari dialek Sunda Banten hingga dialek Sunda Jawa Tengahan

Ahli-ahli bahasa kemudian mengerucutkan dialek Bahasa Sunda ini menjadi enam jenis berdasarkan wilayah tumbuhnya dialek tersebut. diantaranya:

Kesenian dan Tradisi Budaya Sunda

Sunda merupakan suku bangsa yang memiliki kesenian tradisional yang beragam. Dari seni tari seperti tari merak, tari jaipong, ronggeng gunung, tari topeng, dan lain-lain.

Dari seni musik tercatat berbagai macam alat musik dengan fungsi dan kebutuhan yang berbeda-beda, misalnya gamelan degung, calung, angklung, dog-dog, dan lain-lain.

Selain itu Tanah Pasundan juga terkenal dengan wayang goleknya, seni pertunjukan wayang (boneka) terbuat dari kayu yang dimainkan oleh seorang dalang. Wayang Golek, Jaipong, Angklung, Tari Merak, dan Tari Topeng merupakan beberapa jenis kesenian khas Sunda yang sangat populer.

Kosmologi Suku Sunda

Kosmologi menurut pengertian kamus bahasa sunda adalah ilmu yang menyelidiki asal-usul , struktur dan hubungan ruang waktu dari alam semesta. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu objek.

Kata Kosmologi sendiri sebenarnya berasal dari kata “Kosmos” yang berarti susunan, tatanan, dan ketertiban. Dalam kosmologi manusia mencari struktur-struktur dan hukum-hukum yang paling umum dan mendalam dalam kenyataan duniawi sebenarnya.

Dalam kosmologi manusia bertanya: dunia ini apa? materi itu apa? perubahan itu apa? ruang dan waktu itu apa? penyebaban atau kausalitas itu apa.? Pertanyaana pertanyaan itu mendorong manusia memikirkan dunia sebagai suatu keseluruhan menurut dasarnya, menurut intinya dan tempatnya dalam keseluruhan. ( Anton baker).

A. Pandangan Fa Hsien Terhadap Kosmologi Sunda

Di Ye-po-ti (Tolomo/Taruma) jarang ditemukan penganut Buddhisme, tetapi banyak dijumpai brahmana dan orang-orang beragama kotor) ”.

Keterangan Fa Hsien memberikan gambaran bahwa pada masa kerajaan Taruma di daerah Taruma sudah ada agama atau semacam kepercayaan yang di anut oleh masyarakat setempat yang berbeda dengan agama/kepercayaan yang Ia kenal selama ini.

Hal ini memberikan beberapa kemungkinan yaitu, bahwa kebudayaan yang ada pada masa Taruma bukan merupakan kebudayaan Budhis yang baru ada menjelang abad ke 4 Masehi, bisa saja Kebudayaan yang berkembang di Batujaya atau Tarumanegara merupakan Kebudayaan Asli bangsa Indonesia, akan tetapi, dari berbagai bukti yang ada saat ini menunjukan bahwa Hindu-lah yang berperan dalam pembentukan kebudayaan pada masa itu.

Orang Sunda memiliki kosmologi dan kepercayaan tersendiri, kosmologi Sunda sudah meyakini adanya Sang Hyang Tunggal, yang menciptakan Alam Niskala dan Alam Sakala (sudah dijelaskan di atas).

Memiliki sebuah Kosmologi dan akhirnya melahirkan sebuah kepercayaan bukan hal yang mudah, sehingga orang atau suku bangsa yang memiliki itu termasuk ke dalam suku bangsa yang memilki peradaban besar. Kebudayaan manusia sebenarnya sudah memiliki sebuah unsur-unsur yang universal.

Orang atau suku bangsa yang berkebudayaan harus memiliki, yakni sistem religi, kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian dan sistem peralatan hidup. Ketujuh unsur kebudayaan diatas jelas sudah dimiliki oleh orang-orang sunda.

Pandangan yang ada dalam kitab jantiningrat dan orang-orang Baduy itu asli padangan orang Sunda tanpa dipengaruhi oleh pandangan dari luar, kalaupun ada kecil kemunginan pengaruhnya.

Setiap suku bangsa memiliki kosmologi masing-masing, dan itu semua merupakan sebuah bentuk jawaban terhadap tantangan alam yang di alaminya.

Dari kosmologi yang muncul dalam masyarakat akhirnya menjadikan sebuah kepercayaan. Kepercayaan inilah yang akhirnya menjadi sebuah tuntutan hidup Suku Sunda, mereka bersatu dengan alam dan menjadikan alam ini bagian dari hidupnya, sehingga harus dijaga dengan baik.

B. Kosmologi Sunda dan Jatiraja

Menurut Edi S. Ekadjati didalam Islam jagat raya terdiri dari 5 alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Kosmologi menurut konsep Islam didasarkan pada kronologis kehidupan manusia (dan makhluk lainnya).

Sedangkan Naskah Kosmologi Sunda membagi menjadi 3 alam, yaitu bumi sangkala (dunia nyata), buana niskala (alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati).

Bumi sangkala, alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa), yakni manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

Buana niskala, alam gaib tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut banyak dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi dari manusia. Buana niskala, merupakan katalain dari surga dan neraka”.

Kosmologi Sunda membicarakan tata dunia menurut pandangan Suku Sunda. Karena masyarakat Sunda itu berubah sepanjang sejarah keberadaannya, maka pandangan dunianya juga berubah-rubah. Dengan demikian terdapat berbagai kosmologi Sunda sesuai dengan perubahan masyarakatnya.

Tetapi perubahan itu dapat dijelaskan penyebabnya atau dipahami kausalitasnya, sebab perubahan adalah sesuatu menjadi sesuatu yang lain dari sesuatu itu sendiri. Sunda menjadi Sunda yang baru deri kesundaan itu sendiri. dengan demikian perlu dicari pengetahuan kosmologi sunda yang diduga menjadi kosmologi awalnya.

Naskah Kosmologi Sunda merupakan sebuah cerminan atau gambaran manusia penghuni dan tingkat kegaiban dari masing-masing alam.

Digambarkan pula kedudukan masing-masing, baik makrokosmos (yang berhubungan dengan masalah Sang Hyang Tunggal/ jatiniskala) yang menciptakan batas, tetapi tidak terkena batas, maupun penghuninya yang disebut bumi niskala.

Namun naskah tersebut tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala).

Atiniskala ini merupakan ruang dn waktu zat yang tunggal, Jatiniskala menjadikan dirinya Sang Hyang Tunggal yang dikenal manusia selama ini. Sang Hyang Tunggl “ Menjelma keluar dari ketiadaan ” bersama munculnya tekad, ucapan dan tenaga dari ketiadaan.

Teks buhun umumnya mengabarkan perihal cita-cita urang sunda buhun jika meninggalkan alam dunia, yakni “balik ka Hiyang, lain ka Dewa”. Namun yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatannya selama ia hidup di dunia.

Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya buruk dan bertentangan dengan ajaran agama, maka akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka.

Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang menyenangkan (surga). Mungkin masalah ini lebih jelas diuraikan didalam Naskah Sewakadarma, sebagaimana yang dijelaskan Ayatrohaedi.

Pada intinya menguraikan cara persiapan menghadapi maut dengan cara yang indah, serta bagaimana ketika jiwa setelah meninggalkan raganya.

Lebih jauh Edi S. Ekadjati menjelaskan tentang makna Kosmologi Sunda yang terkandung dalam naskah, bahwa : konsep kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan akhirnya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.

C. Kosmologi Sunda dalam Masyarakat Adat Sunda

Dalam Kosmologi dikisahkan, munculnya keberadaan ini pada awalnya sebelum apa yang disebut ada adalah tidak ada. Kosmologi Baduy menyebutkan tidak ada itu sebagai awing-awang uwung-uwungan. Itulah kosong yang mutlak.

Sedangkan dalam bahasa sunda yang kita kenal sekarang adalah Ayana Aya, Ayana Euweuh. Euweuh teh Aya, Aya teh Euweuh ). Suatu pernyataan yang seolah-olah tanpa makna dan arti. Kita tidak banyak tau apa arti dari pada “tida ada itu” atau kosong mutlak tersebut.

Carl Gustav Jung, menjelaskan paradoks Sunda ini, “ Saya mulai dengan kekosongan, kehampaan ”. Kosong yang dimaksud disini sama dengan kepenuhan. Kekosongan adalah kedua hal tersebut, kosong dan penuh. Sesuatu hal yang tidak terbatas dan abadi tidak membawa sifat, karena dia memiliki semua sifat.

Kekososngan yang dimaksud dalam kosmologi masyarakat Baduy muncul keluar dari tiga batara, yaitu Batara Keresa, Batara Kawasa, dan Batara Bima Maha Karana. Ketiga Batara ini sebenarnya menyatu atau satu yang disebut Sang Hyang Tunggal.

Keresa adalah kehendak, rasa dan nurani. Kawasa adalah kekuasaan, kekuatan dan tenaga. Mha karana adalah penyebab utama yang berarti ucapan, pikiran dan kata-kata.

Dengan demikian Sang Hyang Tunggal adalah entitas tunggal dari entitas sebelumnya, meloncat keluar dari tidak ada menjadi ada. Itulah awal mula terjadinya segala sesuatu ini atau munculnya bumi sangkala dan buana niskala.

D. Hakikat Kosmologi Sunda

Keberadaan yang tidak mungkin didekati oleh manusia adalah alam kekosongan, yang dalam kitab jatiraga disebut alam ketiadaan yang ditempati oleh Sang Hyang Tunggal. Dalam Kosmologi Baduy dan jatiraga selain kehendak secara serentak juga bereksisteni pikiran ( Ucapan, logos) dan tenaga (kekuata, kawasa, kuasa, perbuatan lahir).

Ketiganya ini menyatau atau ada dalam Sang Hyang Tunggal. Penataan dunia Sunda dimulai dari munculnya keberadaan empirik yang pertama yaitu munculnya Sang Hyang Tungga.

Karena Sang Hyang Tunggal ini muncul dari tiga kemampuan atau potensi, yakni Keresa, Kawasa dan Karana (kehendak, kuasa dan sebab). Maka sekarang mucul sebuah pertanyaa bagaiman sistem hubungan ketiganya itu yaitu, hokum sebab akibat atau kausalitas.

Sebagian orang menggap bahwa apa yang ada sekarang ini hanya merupakan sebuah kebetulan saja, sebab awalnya adalah karena kebetulan atau hukum alam, tidak ada yang menciptakan atau mengendalikan

Apakah itu semua dibenarkan dalam kosmologi sunda? Sebelumnya telah dibahasa bahwa dalam kosmologi sunda mengenal adanya awing-awang uwung-uwung (kosong) yang di dalamnya ada kehendak, pikiran dan kekuata ketiganya ini ada dalam satu kesatuan yaitu Sang Hyang Tunggal.

Dalam kitab jatirasa sendiri mengenal adanya Alam Jati Niskala (Sang Hyang Tunggal/Si Ijuna Jati), Alam Niskala (Alam Kedewaan) dan alam sakala (Alam manusia).

Dari keterangan yang sudah dijelaskan diatas ini jelas bahwa dunia ini muncul dari sebuah kekosongan, kosong ini muncul karena dirinya, kemudian dia mengadakan alam Niskala dan alam Sakala. I ni semua menandakan bahwa apa yang ada, dimunculkan atau berasal dari sebuah kekosongan (tidak ada) dan kekosongan itu sendiri sebenarnya yang benar-benar ada (mutlak keberadaanya).