etnografi

Suku Kulawi, Suku Bangsa di Sulawesi Tengah

Salah satu kelompok masyarakat yang beradal di kabupaten Donggala provinsi Sulawesi Tengah adalah Suku Kulawi (To Kulawi). Dataran Lindu merupakan salah satu tempat yang didiami oleh suku Kulawi.

PublishedJune 2, 2014

byDgraft Outline

Suku Kulawi tinggal di wilayah Kalora di desa Tomado. Sejak 1980 mereka mulai pindah dan menetap di wilayah dataran Lindu. Pemukiman terbesar Suku Kulawi selain di sekitar danau Lindu, mereka juga menempati dataran Gimpu, dataran Kulawe dan wilayah di sekitar daerah aliran sungai Koro (sungai Lariang).

Wilayah-wilayah tersebut sudah mereka tinggal sejak masa prasejarah. Ini dibuktikan dari temuan-temuan arkeologis yang ditemukan diantaranya yang bisa diamati saat ini adalah temuan dari tradisi megalitik.

Di masa lalu, konon beberapa kelompok kecil dari suku Kulawi juga sempat membentuk sebuah kerajaan yang dinamakan Kerajaan Kulawi dan sempat menjadi kerajaan besar di wilayah Sulawesi Tengah.

Pada tahun 1905 masehi Masyarakat Kulawi bahkan ikut mengangkat senjata untuk melawan kolonial Belanda. Perang terjadi di Bulu Momi Rakyat kulawi saat itu di bawah kepemimpinan seorang tokoh Kulawi yang cukup dikenal di masyarakat kulawi yaitu Towualangi yang juga terkadang disebut sebagai Taentorengke

Berita yang cukup sipmpang-siur adalah bahwa tujuan Belanda justru untuk menjadikan wilayah Kulawi sebagai daerah kerajaan. Kabarnya, pada tahun 1906 Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengangkat Towualangi menjadi raja di kerajaan Kulawi yang pertama.

Wilayah dataran Lindu dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Kerajaan Kulawi oleh kolonial Belanda. Masih perlu dicari bukti kebenaran mengenai cerita ini. dan menuliskannya pada bagian khusus mengenai sejarah Kerajaan Kulawi.

Suku Kulawi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu dengan melakukan pertanian. Umumnya mereka menanam padi di sawah dan berkebun ladang. Tanaman lain selain padi adalah jagung, ubi.

Selain itu, orang-orang Kulawi juga menanam kopi dan cengkih. Kegiatan lainnya yang masih mereka lakukan adalah berburu binatang namun sudah tidak sesering dahulu. Biasanya mereka berburu di sekitar hutan yang dekat dengan perkampungan tempat tinggal mereka. Suku Kulawi dalam berkomunikasinya menggunakan bahasa Moma. Sebagian besar dari masyarakat Kulawi umumnya adalah penganut Kristen.

Table of contents

Open Table of contents

Pembagian Zona adat Masyarakat adat Lindu

1. Suaka Ngata. Keseluruhan dari wilayah adat Lindu yang dibatasi oleh puncak-puncak gunung.

2. Suaka Ntode. Wilayah yang dimanfaatkan menjadi lahan-lahan pertanian atau wilayah pemukiman

3. Suaka Nu Maradika. Juga disebut Lambara, merupakan wilayah yang dijadikan tempat perburuan dan terkadang juga dijadikan sebagai wilayah penggembalaan hewan

4. Suaka Nuwita. Wiata dalam Bahasa Lindu berarti roh atau mahluk halus. Suaka nu wiata adalah wilayah larangan mutlak yang tidak boleh dirusak. tempat inimerupakan wilayah konservasi.

Rakeho, Ritual Meratakan Gigi Suku Kulawi

Matang secara usia terkadang memang bukan masalah umur saja, beberapa kebudayaan di Nusantara menunjukkan bahwa seseorang akan dianggap telah layak sebagai anggota masyarakat, justru ketika mereka telah berhasil melakukan kegiatan yang diamanatkan oleh leluhur mereka.

Dalam kehidupan sosial masyarakat Kulawi, saat seseorang pria dinyatakan telah cukup matang adalah ketika pria tersebut sudah melakukan upacara Rakeho.

Rakeho secara umum mempunyai pengertian meratakan gigi bagian depan, atas, dan bawah menjadi rata dengan gusi.

Rakeho juga dapat dimaknai sebagai upacara adat dalam menyambut masa peralihan dari masa anak-anak ke masa selanjutnya. Upacara ini biasanya dilaksanakan oleh seorang laki-laki, dan berlaku secara ntodea (orang kebanyakan) di Suku Kulawi, Sulawesi Tengah. Upacara Rakeho menurut tradisi setempat juga sebagai upacara dalam keadaan setengah berkabung.

Upacara Rakeho tidak berlaku bagi anak perempuan. Tetapi kalangan perempuan keturunan bangsawan Kulawi mengenal upacara sejenis yang disebut Ratompo (menanggalkan gigi) yang ditujukan bagi perempuan yang sudah cukup umur.

Berbeda dengan Ratompo yang dilaksanakan atas pengaruh istana baik berdasarkan keturunan atau pun terlebih dahulu harus mendapat izin dari istana, Rakeho dilaksanakan berdasarkan pada adat yang mengikat masyarakat umum ( ntodea ).

Upacara Rakeho ternyata tidak hanya bertujuan untuk memenuhi tuntutan adat berdasarkan atas motivasi tradisi semata. Upacara adat ini dan juga sama halnya dengan upacara-upacara adat di daerah lainnya mengandung suatu makna yang jauh lebih dalam yang dapat menunjukkan ciri dan cara kehidupan sosial mereka.

Upacara Rakeho pada gilirannya memberikan sebuah pengakuan, sebuah status sosial. Bahwa seorang laki-laki telah diakui menjadi matang secara usia di lingkungannya dan laki-laki tersebut akan mendapat kepercayaan diri karena sudah dianggap kedudukannya dalam masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anggota masyarakat lainnya.

A. Waktu dan Tempat Upacara Rakeho

Dalam menyelenggarakan upacara Rakeho, Masyarakat Kulawi tidak terikat kepada rentang perhitungan waktu, baik hari ataupun bulan. Hanya saja pelaksanaan upacara Rakeho ini digelar pada saat siang hari. Upacara ini biasanya dikaitkan dengan ada atau tidaknya kesempatan atau kemampuan orang tua yang hendak menyelenggarakan.

Menurut tradisi setempat, waktu pelaksanaan upacara ini biasanya dilangsungkan sesudah panen, jika panen berhasil. Pertimbangannya adalah bahwa sesudah panen orang tua sudah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan upacara adat ini.

Tempat untuk menyelenggarakan upacara Rakeho biasanya dipilih tempat-tempat tertentu, pada masa lalu upacara Rakeho ini dilakukan di bawah pohon yang besar dan jauh dari keramaian. pada perkembangannya tempat upacara kemudian telah disiapkan oleh pihak orang tua, seperti di sebuah rumah yang sudah dikosongkan dan letaknya agak terpencil agar terhindar dari keramaian.

Tidak sembarangan orang yang ditunjuk untuk melakukan upacara Rakeho. Hanya mereka yang sudah mempunyai keahlian khusus yang dipercaya untuk melakukan tradisi mengikir gigi ini. Upacara Rakeho ini dipimpin oleh seorang topekeho (dukun) dengan didampingi empat orang tadulako mabago yang bertugas membantu Topokeho. Selain dipilih berdasarkan keahliannya, Topekeho juga merupakan keahlian yang dimiliki secara turun temurun.

B. Persiapan dan Pelaksanaan Rakeho

Peralatan dan perlengkapan yang biasanya dipersiapkan dalam upacara Rakeho meliputi pakaian berwarna putih, celana atau cawat dari kulit kayu ( puruka ), tikar ( lide ), bantal ( luna ), kain penutup ( nunu ), kikir besar ( pengoaha ), air hangat, ketan putih ( putili ), telur, dan rumput Parania mavau.

Setelah pihak orang tua dan Topehaku sepakat mengenai hari pelaksanaan Rakeho, maka di hari yang telah ditentukan tersebut, di rumah orang tua yang akan diupacarakan biasanya telah berkumpul sanak keluarganya. Upacara dimulai dengan si anak yang akan direheko dipakaikan pakaian berwarna putih beserta Puruka. Pakaian putih yang dikenakan melambangkan keikhlasan hati yang bersih untuk dirakeho.

Topekaho kemudian akan menyuapi yang diupacarakan dengan putili dan juga telur. Ketan putih dan telur ini mengandung makna kebulatan hati yang putih dan bersih dalam melaksanakan upacara Rakeho.

Selanjutnya pihak keluarga bersama-sama mengantar anak yang akan diupacarakan ke tempat yang telah ditentukan untuk melaksanakan Rakeho. Topekaho dan tadulako mobago kemudian menuju tempat upacara Rakeho, sedangkan pihak keluarga yang diupacarakan kembali ke rumah menunggu hingga Rakeho selesai dilaksanakan.

Tadulako sudah menghamparkan tikar dan meletakan bantal di atasnya untuk tempat tidur yang diupacarakan selanjutnya dikaitkan kain nunu di kedua matanya, anak yang akan direhiko itu lalu ditidurkan. Tadulako kemudian berada di kanan dan kiri anak yang diupacarakan. Keempat Tadulako itu bertugas memegangi anak yang diupacarakan.

Topekeho lalu membacakan mantera ( gane ): “ ane motomeloko potumpako, ane motumpako patumeleko, Bona nemo madea ra mehuko tiroi daka kami ”. Artinya bila tidur tengadah dan tengkurap, bila tidur tengkurap dan tengadah, jangan sampai banyak darah, maka lihatah kami.

Topekeho mulai melakukan pekerjaannya dengan mengayunkan pangaha (kikir) pada bagian gigi atas sampai benar-benar hampir serata dengan gusi, demikian seterusnya sampai selesai. Bersamaan dengan itu Tapekeho bekerja para tadulako mulai memegang erat tubuh dan bagian kaki yang diupacarakan.

Sesudah pengikiran gigi selesai, anak yang diupacarakan kemudian diberi air hangat untuk dikumur-kumur dan diberi Parania mevau (sejenis rumput) untuk digigit. Anak yang direkeho kemudian dibopong oleh Tadulako Mbogo dan Topekeho kembali ke rumahnya dan diserahkan kembali kepada orang tuanya.

Selama masa perawatan anak yang diupacarakan tidak boleh memakan makanan yang keras. keluarga yang dirakeho harus benar-benar menjaga dan melakukan perawatan, sedangkan Topehako masih akan bertanggung jawab dalam pengobatan hingga sembuhnya. Menurut perhitungan waktu, biasanya pelaksanaan rakeho ini mulai dari pagi hari sampai sore hari sedangkan proses kesembuhannya cukup lama bahkan hingga berbulan-bulan.

Upacara Rakeho ini sekarang sudah jarang dilakukan, terbukti dengan mereka yang digelari Topehako kini sudah sangat sulit untuk ditemukan.