etnografi

Suku Ternate, Suku Bangsa di Maluku Utara

Suku Ternate merupakan suku bangsa yang berdiam di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara, dan sekitarnya, dengan populasi sekitar 50.000 jiwa.

PublishedJuly 1, 2014

byDgraft Outline

Bahasa ibu orang Ternate adalah Bahasa Ternate, yang banyak memengaruhi bahasa Melayu Maluku Utara, yakni bahasa persatuan di Maluku Utara. Mata pencaharian Suku Ternate, terutama adalah bertani dan melaut (mencari ikan).

Komoditas pertanian yang terkenal dari kawasan ini adalah cengkeh, kelapam dan pala. Suku Ternate juga dikenal sebagai pelaut yang ulung. Menurut sensus 2010, 97% suku ternate memeluk Islam, sisanya Kristen Protestan dan sejumlah agama lainnya.

Table of contents

Open Table of contents

Sejarah Suku Bangsa Ternate

Sebelum masuknya Islam dan berdirinya Kesultanan Ternate, Suku Ternate terbagi dalam empat kelompok sosial masyarakat, yakni:

Keempat kelompok besar masyarakat tersebut terbagi-bagi lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, yang mendiami kawasan yang disebut gam. Penghuni gam umumnya terdiri dari beberapa keluarga/kerabat, yang dalam bahasa setempat disebut sebagai soa (kelompok marga).

Setiap soa dipimpin oleh seorang fanyira, dan para kepala soa atau fanyira tersebut dibawah kepemimpinan seorang momole (kepala kampung). Istilah“ momole ” mungkin diambil dari kata “ tomole ”, yang dapat berarti kehebatan atau kesaktian. Jadi, secara harfiah, “ momole ” berarti orang yang dipilih untuk dijadikan pemimpin karena ia dinilai mempunyai kelebihan kesaktian dalam berbagai hal.

Di antara kelompok-kelompok yang pada waktu tersebut masih menjalankan sistem pemerintahan yang sederhana tersebut, terkadang terjadi pertentangan demi memperebutkan hegemoni.

Setelah agama Islam hadir, sistem pemerintahan Momole berubah. Keempat momole tersebut, bersatu dengan dipimpin oleh seorang “ kolano ”. Seiring perkembangan dan menguatnya pengaruh Islam terhadap kehidupan sosial Suku Ternate, dan wilayah di sekitarnya, yakni Tidore, Bacan, dan Jailolo, berkembang juga pemerintahan-pemerintahan lokal dibawah para kolano.

Dalam perkembangan selanjutnya, keempat kolano ini yang masing-masing juga membawahi wilayah Bacan, Jailolo, Ternate, dan Tidore bersepakat bergabung untuk membentuk “konfederasi” persekutuan, yang disebut dengan persatuan “Moloku Kie Raha”.

Pada saat penggabungan, Ternate dipimpin oleh Sida Arif ma Lamao yang merupakan kolano ke-7. Ia memerintah kurang lebih selama sembilan tahun (1322-1331 Masehi). Dalam konfederasi ini, sistem pemerintahan di Ternate dan wilayah lainnya semakin disempurnakan.

Pada 1486 Masehi, ketika kepemimpinan kolano ke-19 yaitu Zainal Abidin. Beliau lah pemimpin Ternate pertama yang konon menggunakan sebutan “Sultan” untuk pemimpin pemerintahan dan juga merubah bentuk pemerintahan ke- kolano -an menjadi “kesultanan”. Sultan Zainal Abidin memerintah dari 1486-1500, dan bergelar Paduka Sri Sultan Zainal Abidin.

Di dalam struktur kepemimpinan tradisional kesultanan Ternate, memiliki semacam “Dewan Rakyat” yang disebut dengan “ Gam Raha ”. Gam Raha merupakan dewan dengan empat perwakilan kelompok masyarakat yang menyokong kesultanan Ternate, yakni::

Gam Raha berfungsi mengesahkan calon sultan. Dalam tradisinya, calon pengganti sultan umumnya adalah anak lelaki putera sultan, tidak hanya yang tertua, tapi semua anak laki-laki sultan punya kesempatan yang sama.

Jika tidak ditemukan dalam garis pertama, maka tahta akan bergeser ke pada anak-anak dari kakak sultan atau anak-anak dari adik sultan (keponakan), bahkan dimungkinkan dapat langsung ke cucu Sultan (catatan sejarah silsilah para raja-raja di Ternate). Pun telah ditetapkan menurut hukum adat, calon Sultan itu tetap lah harus disahkan Gam Raha.

Para calon biasanya terlebih dahulu diajukan oleh pihak dari Soa-Sio dan Sangaji. Selanjutnya apabila calon yang diajukan tersebut ditolak oleh pihak Cim dan Heku, maka mau tidak mau harus diganti.

Sistem ini merupakan keunikan dan ciri khas “ demokrasi ” ala Ternate, di mana sistem pemerintahan adalah berbentuk monarki, tetapi pewaris kekuasaan dilakukan melalui pemilihan atau penunjukan dari Gam Raha, berdasarkan kriteria tertentu.

Alam Roh dalam Kepercayaan dan Tradisi Suku Ternate

Kendati hari ini Suku Ternate telah memeluk ‘agama resmi’, jejak-jejak keyakinan lama mereka masih bisa ditelusuri dari kepercayaan berkenaan dengan keberadaan ‘roh halus’ di sekitar mereka.

Sebagai misal, praktik menjadikan roh halus sebagai ‘teman’ bagi manusia atau ritual-ritual mengusir roh yang dinilai jahat masih ada di tengah Suku Ternate, terutama di kalangan masyarakat desa. Roh-roh halus tersebut, di antaranya adalah Wonge, Meki (Lobi-Lobi), Puntiana (Kuntilanak), Caka (Suwanggi), dan Giki.

Wonge adalah sejenis roh halus yang hingga hari ini masih diyakini oleh sebagian kecil Suku Ternate. Konon, dalam upaya menjadikan Wonge sebagai teman, orang yang bersangkutan harus menyediakan tempat untuknya.

Tempat bersemayam Wonge dalam bahasa setempat disebut “ Fala Wonge ” atau “ Wonge ma Fala”. Fala Wonge biasanya berada di salah satu sudut rumah atau di tempat lain, di sekitar rumah.

Pemilik Fala Wonge pada saat tertentu wajib menyediakan sesaji, yang biasanya berupa sirih, pinang, batangan rokok, darah ayam dan sebagainya

Apabila si pemilik menghendaki sesuatu bantuan kekuatan gaib atau pengobatan dari roh gaib, maka ia harus melaksanakan upacara ritual dengan menyajikan sesaji yang khusus. Kegiatan memanggil roh gaib tersebut dikenal dengan “ Karo Wonge ”.

Roh halus lainnya, yakni “ Meki ”, adalah roh halus yang juga biasa dimintai bantuan oleh manusia, seperti halnya Wonge. Hanya saja, Meki biasanya selalu meminta imbalan berupa tumbal nyawa manusia, sehingga sering dikaitkan dengan praktik “ilmu hitam”.

Istilah lain untuk Meki adalah “ Lobi-Lobi ”. Jenis lain dari Roh Jahat yang dikenal di Ternate adalah “ Puntiana ” yang di daerah lain dikenal dengan nama Kuntilanak. Sementara itu, “ Caka ” adalah salah satu jenis roh gaib yang berada dan tidak jauh dari lingkungan manusia.

Selama ini, Caka biasanya melakukan penampakan dengan dua cara, yaitu melalui penampakan di tempat-tempat tertentu, yang kedua adalah dengan merasuk ke dalam raga seseorang, sehingga orang tersebut dengan tanpa sadar melakukan hal-hal di luar kesadarannya, seperti dalam ritual Cakalele.

Roh halus lainnya adalah “Giki”, yang sejatinya merupakan roh yang kedudukannya dianggap paling tinggi dan mulia, yang pada perkembangannya diasosiasikan sebagai Tuhan. Dalam bahasa Ternate lama, Tuhan disebut dengan istilah “ Giki Amoi ”. Kata “ amoi ” sendiri berarti “hanya satu-satunya”.

Bahasa Ternate Sebagai ‘Lingua Franca’ di Maluku Utara

Bahasa Ternate dipertuturkan di daerah Ternate, khususnya di pulau Ternate, Kavoa, Bacan, Obi, serta bagian barat pantai utara Halmahera. Bersama bahasa Tidore dan sejumlah bahasa lainnya, bahasa Ternate merupakan bagian dari rumpun bahasa Halmahera Utara.

Bahasa Ternate mendapat banyak sekali pengaruh dari berbagai bahasa lain, baik bahasa asing (Eropa dan Asia) maupun bahasa dari wilayah nusantara lainnya, terutama sekali Melayu.

Sebelumnya perlu dipahami, istilah “bahasa Ternate” merujuk pada dua konsep, yakni “dialek Ternate” dan “bahasa Ternate”. Konsep yang pertama mengandung arti bahwa dialek Ternate atau dikenal juga sebagai “bahasa Melayu Ternate”, “bahasa Melayu Maluku Utara” atau “bahasa pasar”, merupakan gaya bicara dan tekanan suara serta intonasi yang sering dipakai oleh masyarakat di Ternate dan sekitarnya.

Dalam praktiknya, dialek Ternate ini dominan dengan kosakata Melayu, yang terkadang dicampur dengan bahasa asli Ternate, misalnya kata ganti orang, seperti “ ngana ” (kamu), “ kita ” (saya), dan “ kitorang ” (kita). Dialek Ternate ini merupakan lingua franca di kawasan Maluku Utara.

Sementara konsep kedua, bahasa Ternate adalah bahasa asli Ternate itu sendiri, dengan kosakata asli bahasa Ternate yang lebih banyak. Dialek-nya tidak jauh berbeda dengan bahasa pasar.

Perbedaannya terletak pada intonasi yang digunakan. Terdapat perbedaan intonasi dalam berbicara antara orang Ternate Selatan, Ternate Utara, masyarakat di pulau Hiri, juga di kalangan penutur bahasa Ternate di belahan lain di Maluku Utara.

Walau tidak se-ketat bahasa Jawa, bahasa Ternate juga mengenal undhak-undhuk, atau aturan pemakaian berbahasa yang mempertimbangkan peran sosial para penguna bahasa tersebut. Misalnya, untuk menyebut kata “aku” dalam percakapan sehari-hari dengan orang yang sederajat, penutur cukup menggunakan kata “ ngori ”.

Tetapi jika berbicara dengan orang yang lebih tua atau dianggap lebih tinggi derajatnya, maka kita harus memilih kata “ fangare ”, sebagai tanda merendahkan diri.

Kemudian, apabila kita berbicara dengan orang yang dianggap sederajat, maka kita cukup menyebut kata “kamu” dengan menggunakan kata “ ngana ”, akan tetapi apabila lawan bicara tersebut lebih tua atau lebih tinggi derajatnya dengan penutur, maka penutur menyebutnya dengan kata “ jou ” atau “ jou-ngon ”, sebagai tanda penghormatan.

Pengaruh Bahasa-bahasa Lain

Dalam sejarahnya, Ternate merupakan salah satu daerah penting di kawasan timur Nusantara, yang merupakan salah satu sentra perdagangan yang ter-sibuk di Nusantara.

Dalam berdagang komoditas, terutama rempah-rempah dengan kelompok-kelompok lain, sering digunakan bahasa Melayu ( lingua franca ). Sebagai hasil , hari ini cukup banyak kosakata Melayu yang diserap ke dalam bahasa Ternate.

Selain bahasa Melayu, bahasa Nusantara lainnya yang juga memengaruhi bahasa Ternate adalah bahasa Jawa, bahasa Bugis ( Sulawesi Selatan ) dan bahasa Bare’e ( Sulawesi Tengah ).

Sementara itu, bahasa asing yang juga turut menyumbangkan kosakata ke dalam bahasa Ternate, terutama adalah bahasa Arab, Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, dan Cina.