etnografi

Mengenal Pupuh Sunda; Sejarah dan Ragamnya

Pupuh Sunda adalah lagu yang terikat oleh banyaknya suku kata dalam satu bait, jumlah larik, bunyi vokal akhir dalam tiap larik, dan permainan lagu dalam khazanah budaya Sunda

PublishedSeptember 28, 2015

byDgraft Outline

Pengenalan masyarakat Sunda terhadap pupuh berbarengan dengan pengenalan mereka terhadap tradisi wawacan, guguritan, undak-usuk bahasa yang lebih rumit, gamelan dan laras pelog-salendro. Serta, pelbagai budaya Jawa yang harus diterapkan oleh bangsawan Sunda.

Dalam pupuh Sunda, yang disebut juga dangding, suku kata atau engang disebut guru wilangan, setiap larik atau baris disebut pada atau padalisan atau guru gatra. Ada pun permainan lagu berupa bunyi vokal akhir di tiap padalisan disebut guru lagu.

Secara harfiah, pupuh bisa diartikan sebagai bait atau pada. Pupuh tidak hanya dikenal di Sunda, namun juga di Jawa, Bali, Madura, dan Lombok.

Table of contents

Open Table of contents

Sejarah Pupuh dan Macapat

Besar kemungkinan masyarakat Sunda mengenal pupuh setelah wilayah Priangan “tunduk” kepada Mataram zaman Sultan Agung pada abad ke-17. Terutama sejak berdirinya empat kabupaten baru tahun 1641 M, yakni Bandung, Parakanmuncang, Sukapura, dan Sumedang, lambat-laun pupuh dan sebagian budaya Jawa merembes ke dalam budaya Sunda.

Di Jawa pupuh disebut macapat, dari kata maca papat-papat, artinya “membaca empat-empat” (mengacu kepada membaca setiap empat suku kata). Mengenai umur macapat, terdapat dua pendapat. Ada yang berpendapat  macapat lahir di akhir zaman Majapahit dan berkembang pesat pada masa penyebaran Islam oleh Wali Songo pada abad ke-15.

Prijohoetomo berpendapat,  macapat merupakan turunan Kakawih. Sementara Poerbatjaraka dan Zoetmulder berpendapat bahwa  macapat merupakan metrum puisi asli Jawa yang lebih tua usianya daripada Kakawih dan  macapat baru muncul ke permukaan lebih massal setelah pengaruh Kakawih makin memudar.

Sekar kawi tidak lain adalah Kakawih, merupakan terjemahan puisi India yang dialih-bahasakan ke dalam bahasa Jawa kawi oleh pujangga Jawa kuno. Sekar kawi disebut juga Macasa Lagu atau “ wawacan pertama ”.

Menurut Ronggowarsito, sekar kawi diciptakan oleh Mpu Yogiswara pada tahun 1004 Saka (1082 Masehi). Pupuh yang termasuk sekar kawi di antaranya: Candaka, Dandaka, Dreti, Nitrakiya, Nuktra, Nustupa, Patra, Sasti, dan Trista. Dari semua sekar kawi ini, tidak ada satu pun yang dikenal lagi di masa kini.

Sekar ageng atau tembang gede disebut juga Macaro Lagu. Menurut Tedjo Hadisumarno, sekar ageng disusun oleh Prabu Daniswara pada tahun 1088 Masehi. Pupuh yang termasuk sekar ini di antaranya: Banjaran Sari, Candrawilasita, Dadap Mantep, Hasta Kuswala, Langenasmara, Madu Ratna, Padma Wicitra, Suraretna, dan Wisati Kendeh.

Sekar tengahan atau sekar dagelan disebut juga Macatri Lagu. Konon, sekar ini diciptakan oleh Prabu Daniswara Raja Medang Kamulan tahun 1090 Masehi. Pupuh yang termasuk sekar ini ada 51 jenis, di antaranya:

Girikatang, Duduk Wuluk, Jayaraga, Kalayar, Lambang Sari, Gambuh I, Gambuh II, Gambuh III, Gambuh IV, Balabak, Jurudemung, Kuswa Wirangrong, Lambang, Mahesa Jlaprang, Mahesa Langit, Mahesa Ketawang, Maskumambang, Megatruh, Rangsang, Rara Denok, Serang, Sumedang, Sumekar, dan Sumayang.

Di antara sekar tengahan ini ada pupuh yang kini dikenal dalam  macapat Jawa dan pupuh Sunda diantraranya: Gambuh, Balakbak, Jurudemung, Lambang, Wirangrong, Maskumambang, dan Megatruh.

Tembang atau sekar tengahan bisa digunakan dalam penulisan kidung, bentuk puisi tradisional Jawa lain yang berkembang di abad ke-16 dalam bahasa Jawa Pertengahan.

Mengenai pupuh Girisa, sebagian ahli memasukkannya ke dalam tembang gedhe, sementara ahli lain memasukkannya ke dalam t embang tengahan. Dalam hal ini, Girisa merupakan sebuah pengecualian, karena hanya Girisa yang jumlah gatra atau pada-nya 8 dan guru lagu -nya ‘a’ semua, sama seperti Kakawih yang didominasi bahasa Sansekerta dan berpola kelipatan empat (kecuali dalam jumlah guru wilangan ).

Sekar alit disebut  macapat Lagu atau tembang alit (tembang cilik), yang diciptakan oleh Prabu Banjaran Sari di Sigaluh tahun 1269 Masehi. Dari  macapat Lagu inilah muncul istilah  macapat dalam budaya tembang Jawa, yang kemudian dipakai untuk menamai pupuh.

Pupuh yang termasuk sekar alit adalah Asmarandana, Dhangdhanggula, Kinanti, Durma, Mijil, Pangkur, Sinom, dan Pucung. Semua pupuh ini kini dikenal dalam pupuh Sunda dan macapat Jawa.

Pupuh dan Mantra Dalam Budaya Sunda

Walau mengenal pupuh setelah abad ke-17, namun bukan berarti pada zaman sebelumnya masyarakat Sunda tidak mengenal jenis puisi yang berkaitan dengan guru wilangan tertentu. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah karya sastra Sunda kuno yang kebanyakan ditulis pada abad ke-15 dan ke-16.

Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian (kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dengan nama register Kropak 630 ) yang ber-titimangsa 1518 M menyebutkan sejumlah kawih (dari kata kawi ), yakni lagu yang dinyanyikan.

Kawih-kawih tersebut adalah kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan, bongbongkaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan, kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, dan kawih igel-igelan. Ada pun ahli yang mengetahui seluk-beluk kawih disebut paraguna.

Bahkan ada naskah Sunda kuno lain berjudul Kawih Paningkes “kawih pelipur lara”. Walau bentuk dan polanya sudah tidak diketahui, namun tentu kawih-kawih tersebut merupakan puisi yang dilagukan dan terikat kepada jumlah suku kata tertentu.

Mengenai metrum 8 suku kata, karya-karya sastra Sunda kuno memperlihatkannya. Misalnya, naskah prosaistik Bujangga Manik (ditulis sekitar awal abad ke-16) setiap baris atau lariknya jelas berisi 8 guru wilangan. Perhatikan delapan baris dari cuplikan naskah tersebut, yang mana guru lagu -nya adalah 8-i, 8-u, 8-u, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-e.

Saur a(m)buing sakini (Ibuku berkata) Itu ta eugeun si utun (Tuh, itu anakku) Ayeuna cu(n)duk ti timur (kini kembali dari timur) ayeuna datang ti wetan (sekarang datang dari timur) datangna ti Rabut Palah (datang dari Rabut Palah) Anaking deudeuukanan (Anakku, duduklah) Anaking papalayanan (Anakku, istirahatlah) Aing dék nyiar seupaheun (Aku akan ambil sirih-pinang)

Berbeda dengan pupuh yang tidak semua jumlah guru wilangan -nya sama pada masing-masing guru lagu -nya, maka puisi-puisi Sunda kuno tetap berjumlah 8 suku kata.

Jika menelusuri sejarahnya, kita dapati kenyataan bahwa keberadaan 8 suku kata berkaitan dengan mantra. Mantra, sebagai kata-kata yang dipercaya memiliki kekuatan supernatural, menggunakan sistem canda alias suka kata yang bervariasi jumlahnya. Mantra bisa terdiri dari 8 hingga 24 suku kata dalam satu bait yang terdiri atas 4 larik.

Beberapa canda yang paling sering dijumpai adalah: Gayatri (terdiri atas 3 x 8 suku kata), Anustubh atau Sloka (4 x 8 suku kata), Tristubh (4 x 11 suku kata), Jagati (4 x 12 suku kata), dan Sakkari (4 x 14 suku kata).

Canda bentuk anustubh bisa dilihat pada Prasasti Ciaruteun, Prasasti Tugu, Prasasti Kebonkopi, dan Prasasti Lebak di Jawa Barat peninggalan Purnawarman dari Tarumanagara abad ke-5 Masehi.

Berikut contoh metrum Anustubh dalam baris pertama pada Prasasti Tugu (baris ini dipenggal menjadi empat bagian agar mempermudah penghitungan suku kata):

Pu-ra-ra-ja-dhi-ra-je-na (8 suku kata) Gu-ru-na pi-na-ba-hu-na (8 suku kata) Kha-ta- khya-tam-pu-rim-pra-pya (8 suku kata) Can-dra-bha-gar-nna-vam-ya-yau (8 suku kata)

Dengan begitu, jelas tradisi metrum berima bukan hal baru bagi masyarakat Sunda dan setidaknya telah ada sejak abad ke-5. Seiring perkembangan zaman, metrum 8 suku kata yang asalnya dipergunakan dalam mantra, berubah menjadi kebutuhan bagi penulisan puisi dan kawih atau lagu.

Metrum kemudian berkembang menjadi Kakawih di Jawa pada abad pertengahan, lantas (bila pendapat Poerbatjaraka dan Zoetmulder diabaikan) menjadi macapat, dan di Sunda menjadi pupuh. Pola pupuh sendiri bisa dibuat parancah, mantra pengusir malapetaka.

Struktur Pupuh Sunda

Berdasarkan lagu yang diterapkannya, pupuh Sunda dibagi 2 jenis, yaitu sekar ageng dan sekar alit. Pupuh sekar ageung dapat dinyanyikan dengan menggunakan lebih dari satu jenis lagu, sedangkan sekar alit hanya bisa dinyanyikan dengan satu jenis lagu.

Sekar ageung terdiri atas 4 jenis pupuh: Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula. Sekar alit terdiri atas 13 jenis pupuh: Pucung, Wirangrong, Maskumambang, Ladrang, Balakbak, Magatru, Lambang, Jurudemung, Gurisa, Gambuh, Mijil, Pangkur, dan Durma.

Bila di Sunda jumlah pupuh ada 17, maka di Jawa jumlahnya ada 15. Namanya pun bukan pupuh, melainkan macapat. Kelima belas  macapat itu adalah Asmarandana, Balabak, Dhangdhangula, Durma, Gambuh, Girisa, Jurudemung, Kinanthi, Maskumambang, Megatruh, Mijil, Pangkur, Pucung, Sinom, dan Wirangrong. Dengan begitu, Ladrang dan Lambang merupakan karya cipta seniman Sunda.

Tidak hanya mengenai jumlah pupuh, dalam hal jumlah sekar pun terdapat perbedaan. Pupuh Sunda hanya terdiri atas sekar ageung dan sekar alit, sementara macapat Jawa terdiri atas tiga sekar atau tembang: tembang cilik (sekar alit), tembang tengahan (sekar madya), dan tembang gedhé (sekar ageng).

Bahkan, menurut pujangga Jawa Ronggowarsito, macapat Jawa dibagi menjadi 4, yaitu sekar kawi, sekar ageng, sekar tengahan, dan sekar alit.

Yang termasuk sekar alit adalah Dhangdhanggula, Maskumambang, Sinom, Kinanti, Asmarandana, Durma, Pangkur, Mijil, dan Pucung. Yang termasuk sekar madya adalah Jurudemung, Wirangrong, Balabak, Gambuh, dan Megatruh. Dan yang termasuk sekar ageng adalah Girisa.

Dengan begitu, terdapat pertukaran tempat jenis sekar untuk beberapa pupuh dalam tradisi Sunda, di mana tidak ada sekar madya atau tembang tengahan dalam tradisi Sunda.

Semua pupuh dalam tembang tengahan tradisi Jawa dimasukkan ke dalam sekar alit dalam pupuh Sunda, sementara embuah buah pupuh dalam sekar alit Jawa dimasukkan ke dalam sekar ageung Sunda. Ada pun Girisa yang dalam tradisi Jawa termasuk sekar gede, dalam tradisi Sunda malah dikelompokkan ke dalam sekar alit.

Ada satu lagi sekar dalam tradisi Jawa, yang oleh Ronggowarsito, dimasukkan ke dalam tradisi sekar, yakni sekar kawi. Berbeda dengan tembang cilik dan tembang tengahan yang memakai bahasa Jawa dan mengabaikan perbedaan suku kata panjang-pendek dalam struktur puisinya, maka sekar kawi atau Kakawih berbahasa Sansekerta dan sangat mengutamakan suku kata panjang dan pendek.

A. Padalisan, Guru Wilangan, dan Guru Lagu

Setiap kelompok sekar atau tembang memiliki aturan masing-masing. Aturan pada sekar alit dan sekar tengahan menyangkut jumlah padalisan atau baris tiap bait, guru wilangan, dan guru lagu. Sedangkan aturan pada sekar ageung dan sekar kawi menyangkut guru laku dan pedotan yang teratur.

Jumlah baris atau padalisan setiap bait pupuh sangat menentukan bentuk pupuh. Misalnya, Maskumambang harus diwujudkan dalam 4 padalisan untuk setiap baitnya, Magatru harus diwujudkan dalam 5 baris padalisan. Di samping jumlah padalisan, sebuah pupuh pun terikat oleh guru wilangan atau engang adalah jumlah suku kata dalam tiap padalisan.

Selain padalisan dan guru wilangan, sebuah pupuh terikat oleh guru lagu. Dalam dunia pupuh, guru lagu adalah bunyi vokal akhir pada setiap padalisan (berbeda dengan makna guru lagu dalam Kakawih atau sekar kawi). Dalam tembang Sunda, guru lagu disebut sora panungtung atau engang panuntung.

Berikut pupuh Magatru berjudul “Seni Gamelan Sunda” karya Atik Soepandi. Perhatikan jumlah padalisan, jumlah guru wilangan masing-masing padalisan, dan guru lagu pada tiap suku kata terakhir pada masing-masing padalisan.

Sora goong lambang muji Maha Ag u ng =12 suku kata, guru lagunya u Sora kempul lima kal i =8 suku kata, guru lagunya i Eta simbul lima wakt u =8 suku kata, guru lagunya u Wilah saron genep sik i =8 suku kata, guru lagunya i Lambang iman ka Yang Man o n =8 suku kata, guru lagunya o

Di bawah ini padalisan, guru wilangan, dan guru lagu masing-masing pupuh.

1. Sekar Ageung

2. Sekar Alit

B. Watek Pupuh Sunda (Perwatakan)

Watek atau watak adalah karakteristik bait pupuh. Berikut penggambaran Watek dalam pupuh sunda:

C.  Guru Laku dan Pedotan

Sekar ageung dan sekar kawi terikat kepada aturan berupa guru laku dan pedotan. Aturan ini dipraktikkan saat melagukan sekar bersangkutan.

Guru laku adalah frase-frase dalam tiap baris. Frase pertama disebut guru, frase kedua/terakhir disebut laku. Pada dasarnya, sebuah lagu terdiri atas guru dan laku.

Jika guru terdiri dari 4 suku kata dan laku terdiri dari 4 suku kata, maka lagu terdiri atas 8 suku kata. Dalam tembang Sunda, istilah guru mengacu kepada angkatan wirahma, istilah laku mengacu kepada pungkasan wirahma.

Dalam sekar kawi, lagu setidaknya harus diwujudkan minimal oleh 5 suku kata pada setiap baris atau padapala. Berikut contoh jumlah suku kata pada beberapa sekar kawi.

Lagu 5, guru 1 dan laku 4, disebut angkat Nanda Lagu 6, guru 2 dan laku 4, disebut angkat Badra Lagu 7, guru 3 dan laku 4, disebut angkat Nari Lagu 8, guru 4 dan laku 4, disebut angkat Badrasri Lagu 5, guru 4 dan laku 1, disebut angkat Tyukta Lagu 6, guru 4 dan laku 2, disebut angkat Tyukta Lagu 7, guru 4 dan laku 3, disebut angkat Madyama Lagu 8, guru 4 dan laku 4, disebut angkat Patista

Umumnya, pupuh-pupuh sekar kawi terdiri atas 4 baris atau 4 padapala. Misalnya pada Kakawih berikut.

Langleng ramya nikang, sasangka kumenyar mangrenggo rum ing puri Mangkin tanpa siring, haleb ikang umah, mas lwir murub ing langit Tekwan sarwa manic, tawingnya sinawung, prasasat sekar sinuji Unggwan sang Bandowati, yan amrem alangen, lan nata Duryudana

Sementara itu, pedotan adalah tempat atau waktu untuk mengambil nafas saat menyanyikan sebuah pupuh. Tanpa pedotan tidak mungkin penembangan rumpaka memiliki rasa keindahan, di samping bahwa si penyanyi akan kehabisan nafas. Pedotan dibedakan menjadi pedotan kenceng dan pedotan kendor.

Pedotan kenceng adalah tempat atau waktu untuk mengambil nafas yang terletak pada akhir guru di tiap baris. Dalam melakukan pedotan kenceng seorang penyanyi hanya busa mempergunakan waktu yang terbatas untuk mengambil nafas. Berikut pedotan kenceng (tanda ‘) pada tiga lagu.

Sekar manis( ‘) kasilir ku angin Sekar ligar( ‘) katebak ku maruta Jangkrik( ‘) dihantem diundu

Pedotan kendor adalah tempat atau waktu untuk mengambil nafas yang terletak pada akhir laku atau padalisan di tiap baris. Akhir baris ini disebut juga selehan atau sumeleh. Dengan begitu, pedotan kendor terletak pada selehan lagu.

Dalam melakukan pedotan kendor, seorang penyanyi bisa mempergunakan waktu sebanyak-banyaknya untuk mengambil nafas. Berikut pedotan kendor (tanda *) serta pedotan kenceng (tanda ‘) pada tiga lagu.

Siyang pantara latri( ‘) among cipta pukulun (*) Ta lyan kaeksi (‘) mila katur kang cundumanik (*) Parsasat rageng( ‘) hulun kang sumembah (‘) munggwing padanta prabu (*)

Ada pun makna guru lagu pada sekar kawi adalah berat-ringannya tekanan dalam membaca puisi, terutama yang berbahasa Sansekerta atau Kawi. Dengan guru lagu ini lahirnya irama bahasa.

Irama bahasa tersebut memiliki ukuran nama masing-masing. Berikut ukuran dan nama irama bahasa dalam Sansekerta menurut Ronggowarsito.

Ma (- – -), Ya (+ – -), Ra (- + -), Ta (- – +), Bha (- + +), Ja (+ -+), Sa (+ + -), Na (+ + +). Tanda “-” melambangkan penekanan yang ringan dan “+” tekanan berat.

D. Sasmita dan Laras pada Pupuh

Sebagai rumpaka yang dinyanyikan, pupuh terkait dengan sasmita dan laras. Sasmita pupuh adalah kalimat atau ucapan tertentu yang dipergunakan sebagai isyarat untuk menghidangkan pupuh. Melalui pupuh, si penyanyi akan mengerti pupuh apa yang hendak ditampilkan.

Ada pun laras atau surupan adalah jenis tangga nada tertentu dalam karawitan Sunda, Jawa, dan Bali. Dalam karawitan Sunda terdapat sejumlah laras, yakni: melog, nyalendro, madenda, mataraman, dan degung. Ada pun penggunaan laras pelog dapat dibagi dalam tiga surupan yaitu jawar, liwung, dan sorog ( nyorog ).

Laras melog (yang berarti “mirip pelog”) terdiri atas lima, enam, atau tujuh nada yang jaraknya tidak sama, di mana nada-nadanya mengesankan ketenangan dan keluhuran. Laras nyalendro (yang berarti “mirip salendro”) terdiri atas lima nada yang jaraknya hampir sama.

Berikut pupuh dengan sasmita dan laras-nya masing-masing:

E. Sandi Asma dan Candrasengkala dalam Pupuh

Pada sebuah pupuh rumpaka, kadang terselip sandi asma, yakni susunan huruf atau suku kata tertentu yang membentuk kata untuk menunjukkan nama si pengarang pupuh. Susunan huruf atau suku kata tersebut biasanya ditempatkan pada: suku kata pertama, suku kata sebelum pedotan, suku kata setelah pedotan.

Berikut contoh susunan suku kata pertama pada pupuh Asmarandana.

Nyi cikeun cai sekendi Ra jeun hanteu matak setra Den ok ge sok kurang sorot Pur un leumpang huhujanan Wa ktos ngawitan ngarang Sa najan damel di dapur Ri kat ngarakit kasmaran

Nama penyusun rumpaka Asmarandana di atas dapat dilihat pada suku-suku kata pertama dari tiap padalisan. Jelas bahwa penyusunnya adalah Nyi Raden Purwasari.

Di samping sandi asma, dalam pupuh rumpaka sering dijumpai candrasengkala. Candrasengkala adalah kalimat yang menunjukkan angka tanggal, bulan, tahun disusunnya rumpaka bersangkutan. Terkadang candrasengkala ini menunjukkan tanggal dan bulan saja.

Berikut contoh candrasengkala pada pupuh Asmarandana.

Sim kuring mimiti nulis Nuliskeun ieu wawacan Bulan Rayagung nu tangtos Tanggal opat nu kaetang Kuring teh pangangguran Tamba ngajentul ku bingung Landong sae kana manah

Jelas pupuh di atas disusun pada tanggal 4 bulan Rayagung.

Pembagian Pupuh dan Contohnya

A. Contoh Pupuh Sekar Ageung

1. Contoh Pupuh Kinanti

Watek -nya menggambarkan penantian, kekhawatiran, atau kecintaan terhadap seseorang. Padalisan -nya ada 6. Guru wilangan dan guru lagu : 8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, 8-i.

Berikut pupuh Kinanti karya R. Memed Sastrahadiprawira “ Panganten Bandung ” (dalam Parahiyangan Taun I nomer 31, 1 Agustus 1929).

Ngibingna lungguh tur ampuh (menarinya tenang dan ampuh) Matak heroy para istri (membuat terpana para wanita) Anu tadi ngais budak (yang tadi menggendong anak) Poho mawa anak leutik (lupa ia sedang membawa anak kecil) Budak kapaduk ngagoak (anak tersenggol berteriak) Mata deudeuh aci teuing (mata menatap iba)

2. Contoh Pupuh Sinom

Watek-nya menggambarkan kegembiraan atau rasa kecintaan. Padalisan-nya ada 9. Guru gilangan dan guru lagu : 8-a, 8-i, 8-a, 8-i, 7-i, 8-u, 7-a, 8-i, 12-a

Berikut pupuh Sinom karya M.A.S. berjudul “ Ngalayung ka Tungtung Lembur ”.

Panonpoe rek pamitan (matahari hendak pamit) Layungna beureum jeung kuning (lembayungnya merah dan kuning) Hurung ngempur semu ruhay (nyala benderang) Matak resep nu ningali (membuat orang senang melihat) Bangunna warna-warni (bentuknya warna-warni) Siga sato siga manuk (bagai hewan bagai burung) Sawareh sisiakan (separuh bercericit) Jeung paul pasulang-seling (dan biru selang-seling) Siga ombak lautan sagara emas (bagai ombak lautan samudra emas)

3. Contoh Pupuh Asmarandana

Watek -nya menggambarkan rasa rasa kasmaran atau kasih sayang. Padalisan -nya ada 7. Guru wilangan dan guru lagu : 8-i, 8-a, 8-é/o, 8-a, 7-a, 8-u, 8-a.

Berikut pupuh Asmarandana karya Abdurohman M.S. dalam judul “ Implengan Jatining Diri ”.

Rasa jati dina diri (rasa sejat dalam diri) Ku loba pisan rupana (banyak sekali rupanya) Nu jadi amarah bae (yang ada hanya amarah) Jail dengki jeung kangewa (jahil dengki dan benci) Welas asih jeung kacinta (kasih sayang dan rasa cinta) Nu mana kudu diturut (yang mana yang harus dipenuhi) Kabeh hayang kacumponan (semua ingin terpenuhi)

4. Contoh Pupuh Dangdanggula

Watek -nya menggambarkan rasa kedamaian, keindahan, keagungan, atau kegembiraan hati. Padalisan -nya ada 10. Guru wilangan dan guru lagu : 10-i, 10-a, 8-é/o, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, 7-a.

Berikut pupuh Dandangdula karya R. Memed Sastrahadiprawira “ Panganten Bandung ” (dalam Parahiyangan Taun I nomer 31, 1 Agustus 1929).

Dayeuh Bandung ngadak-ngadak salin (Kota Bandung tiba-tiba berdandan) Salin rupa mingkin tambah hegar (bersalin rupa makin tambah ceria) Waktu pinuh ku karesmen (penuh dengan kekaguman) Cekas kawas disipuh (jelas bagai disepuh) Ku sipuhan cahya rinukmi (oleh sepuhan cahaya) Naon gara-garana (apa gara-garanya) Kananga jeung tanjung (kenanga dan tanjung) Kembangan lain mangsana (berkembang bukan masanya) Kawas hayang geura nyebarkeun seuseungit (seperti ingin segera menebarkan wewangi) Ngawur kabirahian (menabur kebirahian)

B. Contoh Pupuh Sekar Alit

1. Contoh Pupuh Pucung

Watek -nya menggambarkan penyesalan terhadap diri sendiri atau ketidaksetujuan hati. Padalisan -nya ada 4. Guru wilangan dan guru lagu : 12-u, 6-a, 8-é/o, 12-a.

Utamana jalma kudu loba batur (utamanya manusia harus banyak teman) Keur silih tulungan (untuk saling menolong) Silih titipkeun nya diri (saling menitipkan diri) Budi akal lantaran ti pada jalma (budi akal dari sesama manusia)

2. Contoh Pupuh Wirangrong

Watek -nya menggambarkan rasa malu atas perilaku sendiri. Wirang sendiri berarti malu. Padalisan -nya ada 6. Guru wilangan dan guru lagu : 8-i, 8-o, 8-u, 8-i, 8-a, 8-a.

Barudak mangka ngalarti (anak-anak harus mengerti) Ulah rek kadalon-dalon (jangan terlena) Enggon-enggon nungtut elmu (lebih baik menuntut ilmu) Mangka getol mangka tigin (jadi rajin jadi giat) Pibekeleun sarerea (perbekalan semuanya) Modal bakti ka nagara (modal tuk berbakti kepada negara)

3. Contoh Pupuh Maskumambang

Watek -nya menggambarkan kesedihan atau kesakitan hati. Padalisan -nya ada 4. Guru wilangan dan guru lagu : 12-i, 6-a, 8-i, 8-a.

He barudak kudu mikir ti leuleutik (hey anak-anak harus berpikir sejak dini) Maneh kahutangan (kamu berhutang) Ku kolot ti barang lahir (oleh orang tua sejak dilahirkan) Nepi ka ayeuna pisan (hingga saat ini) Aduh aduh naha kaniaya teuing (aduh aduh mengapa terlalu aniaya) Teu aya rasrasan (tak berperasaan) Nyiksa teh leuwih ti misti (menyiksa dari yang semestinya) Abong ka nu hina papa (mentang-mentang kepada yang hina papa)

4. Contoh Pupuh Ladrang

Watek -nya menggambarkan lelucon dengan maksud menyindir. Padalisan -nya ada 4. Guru wilangan dan guru lagu : 10-i, 4-a (2x), 8-i, 12-a.

Nu kadua aneh aya ceuli (yang kedua, aneh ada telinga) Nu gunana (yang gunanya) Beda jeung ceuli nu galib (berbeda dengan telinga yang lazim) Ceuli naon tuduhkeun lebah gambarna (telinga apa, tunjukkan gambarnya) Nu katilu geura sidik-sidik (yang ketiga, perhatikanlah) Digelungan (disanggul) Ngarumbay ka cai (jatuh kena air) Musuh lauk di balong jeung di walungan (musuh ikan di empang dan di sungai)

5. Contoh Pupuh Balakbak

Watek -nya menggambarkan kejenakaan atau lelucon. Padalisan -nya ada 3. Guru wilangan dan guru lagu : 15-é, 15é, 15-é.

Aya monyet cing guntayangan dina tangkal, nerekel (ada kera bergelantung di pohon, memanjat) Jalu bikang jeung anakna sukan-sukan, rarecet (jantan betina dan anaknya, begitu bising) Ting calekroh ngakanan manggu nu asak, teu repeh (bersuara sibuk memakan manggu matang, ramai)

6. Contoh Pupuh Magatru

Watek -nya menggambarkan kesedihan, penyesalan karena perilaku sendiri, atau nasihat. Padalisan -nya ada 5. Guru wilangan dan guru lagu : 12-u, 8-i, 8-u, 8-i, 8-o.

Itu naon dicangcang di alun-alun (itu apa diikat di alun-alun) Siga-siga anak sapi (seperti anak sapi) Kagungan Dalem Tumenggung (kepunyaan Dalem Tumenggung) Bumina anu di loji (rumahnya yang di loji) Hateup genteng bilik tembok (atap genteng dinding tembok) Peuyeum sampeu dagangan ti Rancapurut (tape singkong dagangan dari Rancapurut) Dujual dua saduit (dijual dua satu keping duit) Dibungkusan daun waru (dibungkus oleh daun waru) Dituruban daun jati (ditutupi daun jati) Katuangan ano ompong (buat makan orang ompong)

7. Contoh Pupuh Lambang

Watek -nya menggambarkan kejenakaan yang kritis dan penuh perlambangan dan seloka. Padalisan -nya ada 4. Guru wilangan dan guru lagu :  8-a, 8-a, 8-a, 8-a.

Hayu urang ngala kembang (mari kita memetik bunga) Ka ditu ka sisi empang (ke sana ke sisi empang) Bari urang tararembang (sembari kita menembang) Dialajar lagu Lambang (belajar lagu Lambang) Riab anu lalumpuatan (banyak yang berlarian) Barina taratanggahan (sambil menengadah) Barudak salusurakan (anak-anak berseru-seru) Rek ngarucu langlayangan (hendak memburu layang-layang)

8. Contoh Pupuh Jurudemung

Watek -nya menggambarkan kebingungan mengenai apa yang harus dilakukan. Padalisan -nya ada 7. Guru wilangan dan guru lagu : 8-a, 8-u, 8-u, 8-a, 8-u, 8-a, 8-u.

Mungguh nu hirup di dunya (begitulah yang hidup di dunia) Ku kersaning Maha Agung (dengan kehendak Maha Agung) Ku kersaning Maha Agung (dengan kehendak Maha Agung) Jeung dua rupa perkara (dan dua rupa perkara) Senang paselang jeung bingung (senang berseling dengan bingung) Mungguh hirup di alam dunya (begitu hidup di alam dunia) Ku kersaning Maha Agung (dengan kehendak Maha Agung)

9. Contoh Pupuh Gurisa

Watek -nya menggambarkan orang yang sedang melamun. Padalisan -nya ada 8. Guru wilangan dan guru lagu : 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a.

Hayang teuing geura beurang (ingin sekali cepat siang) Geus beurang rek ka Sumedang (sudah siang kan ke Sumedang) Nagih ka nu boga hutang (menagih kepada yang punya utang) Mun meunang rek meuli soang (kalau berhasil mau beli bebek) Tapi najan henteu meunang (tapi walau tak berhasil) Mo rek buru-buru mulang (takkan buru-buru pulang) Rek terus guguru nembang (kan terus berguru tembang) Jeung diajar nabeuh gambang (dan belajar menabuh gambang)

10. Contoh Pupuh Gambuh

Watek -nya menggambarkan kesedihan, kesusahan, atau kesakitan hati. Padalisan -nya ada 5. Guru wilangan dan guru lagu : 7-u, 10-u, 12-i, 8-u, 8-o.

Ari dur bedug subuh > (bertalu bedug subuh) Arek hudang masih keneh tunduh (ingin bangun tapi masih mengantuk) Rarasaan diengke-engke guguling (perasaan dinanti-nanti oleh guling) Tatapi lamun diturut (tetapi kalau dituruti) Tangtu salat kudu kodo (tentu salat harus dikodo)

11. Contoh Pupuh Mijil

Watek -nya menggambarkan kesedihan namun dengan penuh harapan. Padalisan -nya ada 6. Guru wilangan dan guru lagu : 10-i, 6-o, 10-é, 10-i, 6-i, 6-u.

Kudu tigin ka janji pasini (harus tepat pada janji pasti) Ulah ngomong kosong (jangan berbohong) Najan leutik bisa jadi gede (walau kecil bisa menjadi besar) Ana hanteu telek dipalikir (kenapa tak dipikirkan) Jadi cacad diri (menjadi cacat diri) Ana geus kapatuh (sudah dipatuhi)

12. Contoh Pupuh Pangkur

Watek -nya menggambarkan kemarahan hati atau kegalauan dalam menghadapi tugas mahaberat. Padalisan -nya ada 7. Guru wilangan dan guru lagu : 8-a, 11-i, 8-u, 7-a, 12-u, 8-a, 8-i.

Republik Indonesia (Republik Indonesia) Nitih wanci dumugi ka kiwari (menapaki waktu hingga kini) Panceg ngadeg tujuh taun (teguh berdiri tujuh tahun) Sadaya sami bingah (semuanya merasa senang) Mugi-mugi nagara mulus rahayu (semoga negara sentosa) Taya berebedanana (tak ada rongrongan) Ayem tengtrem repeh-rapih (tenteram dan rukun)

13. Contoh Pupuh Durma

Watek-nya menggambarkan kemarahan, kebesaran hati, atau semangat. Padalisan -nya ada 7. Guru wilangan dan guru lagu : 12-a, 7-i, 6-a, 7-a, 8-i, 5-a, 7-i.

Moal ngejat sanajan ukur satapak (takkan kabur walau hanya setapak) Geus dipasti ku jangji (sudah diikat oleh janji) Mun tacan laksana (bila belum terlaksana) Numpes musuh sarakah (menumpas musuh serakah) Heunteu niat seja balik (Tak berniat pulang) Najan palastra (walau gugur) Mati di medan jurit (mati di medan pertempuran)

Penggunaan dan Kegunaan Pupuh

Pupuh dicipta untuk diapresiasi. Sebagai media seni dan komunikasi, pupuh bisa disampaikan dengan berbagai cara. Ia bisa ditulis sebagai wawacan atau puisi semata atau dinyanyikan sebagai rumpaka dengan iringan petikan kecapi, gesekan rebab, dan tiupan seruling. Bahkan ia bisa dipergunakan sebagai mantra.

Secara garis besar, pupuh dapat diterapkan dalam bentuk:

1. Tembang Sunda

Tembang Sunda banyak mempergunakan pola pupuh, terutama dalam lagu yang termasuk ke dalam rumpun dedegungan dan rarancagan. Pupuh yang digunakan biasanya Asmarandana, Dangdanggula, Kinanti, dan Sinom. Berikut pupuh Kinanti dalam lagu “ Ligar ” dalam rumpun rarancagan.

Gunung Agung di Cianjur (Gunung Agung di Cianjur) Gede nya katineung ati (besarnya pujaan hati) Jampana panjang dadakan (tandu dibuat mendadak) Panasaran mun teu jadi (penasaran bila tak jadi) Bilangan salapan dua (hitungan sembilan dua) Mangka welas ka sim abdi (mohon sayangilah saya)

2. Beluk

Beluk adalah sebuah bentuk seni vokal berirama bebas dengan pupub sebagai sumber rumpaka, yang banyak menggunakan nada-nada tinggi. Penyajian beluk diselenggarakan pada saat orang berkenduri, misalnya pada acara selamatan bayi 40 hari.

3. Parancah

Parancah adalah mantra yang dipergunakan untuk menolak bahaya atau gangguan roh jahat. Dalam hal ini, pupuh digumamkan atau diucapkan dalam hati, bukan dinyanyikan. Berikut contoh parancah yang menggunakan pupuh Asmarandana.

Jurig sia geura nyingkir (hantu cepat menyingkir) Setan sia geura nyingkah (setan lekas pergi) Kalong ulah newo-newo < (makhluk halus jangan mengganggu) Kunti anak ulah datang (kuntilanak jangan datang) Mun datang geura iang (jika datang cepat pulang) Auban ku nu rahaya (ayomilah dengan rahayu) Diraksa ku Nu Kawasa (dijaga oleh Yang Kuasa)

4. Wawacan

Wawacan adalah sebuah lakon dalam pola pupuh yang disajikan dalam bentuk nyanyian dan mulai ditulis pada abad ke-18. Isi wawacan bisa berupa kisah wayang, pantun (yang sebelumnya beredar secara lisan), fiksional, tokoh legendaris Sunda, dan tokoh sejarah.

Contoh wawacan di antaranya: Wawacan Panji Wulung, Wawacan Sulanjana, Wawacan Siti Nungrum, dan Wawacan Gagak Lumayung.

Selain pada wawacan, pupuh dapat diterapkan pada guguritan. Bila wawacan berisi pupuh yang membentuk prosa, sementara guguritan berisi pupuh yang sifatnya lebih puitik dan lebih pendek serta berisi nasihat.

Walau demikian, ada pula guguritan yang lebih panjang dari wawacan. Namun, tidak semua ke-17 pupuh digunakan untuk guguritan atau wawacan dalam bahasa Sunda.

Pupuh yang jarang digunakan dalam guguritan atau wawacan misalnya Balakbak atau Ladrang. Dari kesemua pupuh, hanya empat yang sering digunakan oleh masyarakat Sunda dalam penulisan guguritan atau wawacan, yakni Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula, yang oleh M.A. Salmun disingkat KSAD.

Pemaknaan Teks dalam Pupuh Sunda

Pupuh sebagai sebuah teks terbuka untuk multitafsir. Sebagaimana puisi, bait-bait dalam pupuh bisa menceritakan sebatas sebuah kisah secara, bisa juga mengisahkan apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik teks bersangkutan.

Dengan begitu, pupuh bisa mengandung makna tersurat atau pun tersirat melalui seloka-seloka tertentu, bergantung apa yang ingin dihadirkan oleh si penciptanya.

Perhatikan pupuh Kinanti yang cukup popular di masyarakat Sunda berikut dengan terjemahannya.

Budak leutik bisa ngapung (anak kecil bisa terbang) Babaku ngapungna peuting (terbangnya malam hari) Ngalayang kakalayangan (melayang di udara) Neang ngan nu amis-amis (mencari hanya yang manis-manis) Sarupaning bubuahan (sejenis buah-buahan) Naon bae nu kapanggih (apa saja yang ditemukan)

Membaca bait di atas kita membayangkan seorang anak kecil terbang dan mencari makanan manis semacam buah-buahan atau apa pun yang terlihatnya.

Bagi kita tentu pupuh tersebut sangat “surealistik” dan tidak masuk akal, kecuali jika kita tafsirkan “si anak kecil” sebagai kelelawar, binatang yang berkeliaran di malam hari dan mengonsumsi buah-buahan di pohon.

Namun, apakah seniman pencipta pupuh tersebut hendak menceritakan itu? Mari kita perlihatkan salah satu tafsiran atas pupuh Kinanti tersebut.

Baris pertama “ budak leutik bisa ngapung ” bisa diartikan sebagai seseorang berwujud halus ( leutik berarti kecil, dan di sini diartikan halus) yang berkelana. “ Makhluk halus ” ini bisa diartikan sebagai roh leluhur.

Baris “ babaku ngapungna peuting ” bisa diartikan bahwa orang tersebut berkelana menembus waktu di malam saat orang lain terlelap. Malam di sini, lebih jauh, diartikan sebagai kegelapan atau ketidaktahuan masyarakat banyak akan peninggalan leluhur.

Baris “ ngalayang kakalayangan ” berarti bahwa orang tersebut terus mengembara sendiri di kegelapan.

Baris “ neangan nu amis-amis ” berarti bahwa pengembaraan sosk halus di kegelapan bertujuan menemukan “mangsa” sesuai seleranya. Mangsa yang ia cari adalah mereka, generasi yang hidup di masa kini, yang masih peduli terhadap warisan leluhur.

Baris “ sarupaning bubuahan ”, merupakan sambungan baris sebelumnya, yang bermakna bahwa mangsa itu tidak lain adalah orang-orang yang selalu rajin menggali warisan masa lalu, baik itu berupa artefak arkeologis, tulisan, dan kearifan lokal.

Baris “ naon bae nu kapanggih ”, juga merupakan sambungan baris sebelumnya, mengacu kepada mereka yang peduli terhadap warisan tersebut tanpa peduli ia bangsawan atau rakyat jelata, tua-muda.

Perhatikan pula pupuh Mijil berikut ini.

Mesat ngapung putra Sang Arimbi (melesat terbang putra Sang Arimbi) Jeung mega geus awor (dengan mega sudah akrab) Beuki lila beuki luhur bae (makin lama makin tinggi saja) Larak-lirik ninggali ka bumi (melarak-lirik melihat bumi) Milari sang rai (mencari sang adik) Pangeran Bimanyu (Pangeran Bimanyu)

Pupuh Mijil di atas secara gamblang mengisahkan seorang tokoh pewayangan yakni putra Arimbi (Gatotkaca) melesat terbang dan mengamati keadaan bumi di bawahnya dalam rangka mencari adik sepupunya, yakni Abimanyu putra Arjuna. Sebagai seorang yang sakti, Gatotkaca dengan mudah terbang melayang ke angkasa.

Pemaknaan terhadap bait dua pupuh di atas jelas. Pupuh Kinanti terang berisi seloka yang menuntut penafsiran, sementara pupuh Mijil dengan jelas berisi kisah yang eksplisit alias tersurat dan tidak memerlukan penafsiran.

Satu hal yang pasti, sebuah pupuh diciptakan sebagai media penerangan. Melaluinya, diharapkan kesadaran demi kesadaran baru muncul di tengah masyarakat yang makin kompleks.