etnografi

Tengger; Sejarah, Legenda, dan Budayanya

Budaya orang Tengger bertahan bukan karena pengayoman kerajaan atau perwujudan dalam seni, tetapi karena menyatu ke dalam kehidupan dan jati diri penduduknya. Mereka hidup di sekitar orang Jawa yang telah mengalami banyak perubahan sejak abad ke-19, yang perlahan memaksa tradisi Tengger menyesuaikan diri dengan perubahan budaya itu.

PublishedOctober 3, 2015

byDgraft Outline

Sejatinya orang Tengger merupakan masyarakat pegunungan, tanpa kerajaan, kasta, atau embel-embel lainnya yang berperan besar seperti dalam budaya Hindu-Bali. Mereka disebut Tengger karena mereka tinggal di sekitar pegunungan Tengger.

Menurut legenda Jawa, Ketika kerajaan Hindu-Buddha Majapahit jatuh ke tangan tentara Kerajaan Islam pada awal abad ke-16 Masehi, para pendeta dan bangsawan Majapahit ramai-ramai mengungsi ke Bali dan dengan tradisi mereka tetap bertahan sampai saat ini.

Meski demikian, konon banyak di antara penduduknya yang mengungsi ke Pegunungan Tengger, suatu daerah pegunungan yang luas di sebelah timur ibu kota Majapahit. Di sana, para pengungsi itu bercampur dengan penduduk asli yang menerima mereka dengan tangan terbuka.’Pengungsi Majapahit dan masyarakat yang sudah ada jauh sebelumnya itu kemudian menjadi leluhur orang Tengger ( wong Tengger ) masa kini.

Meski beberapa wilayah di Jawa lain kini telah beralih kepercayaan, ada sekitar 50.000 orang tengger yang menempati 28 daerah pemukiman merupakan masyarakat Jawa yang memelihara tradisi kepercayaan pra-Islam yang konon diturunkan langsung dari agama pada masa Majapahit.

Budaya orang Tengger bertahan bukan karena pengayoman kerajaan atau perwujudan dalam seni, tetapi karena menyatu ke dalam kehidupan dan jati diri penduduknya. Mereka hidup di sekitar orang Jawa yang telah mengalami banyak perubahan sejak abad ke-19, yang perlahan memaksa tradisi Tengger menyesuaikan diri dengan perubahan.

Table of contents

Open Table of contents

I. Sejarah Tengger

Setidaknya di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terdapat beberapa data arkeologis yang dapat mengungkapkan kesejarahan orang Tengger.

Dalam prasasti yang berangka tahun 929 Masehi (Prasasti Tengger) dan juga prasasti logam yang berangka tahun 1402 Masehi, disebutkan bahwa di wilayah pegunungan Tengger itu ada sebuah desa bernama Walandhit/wancalit yang dihuni oleh orang-orang yang menghabiskan hidupnya melayani dan mengabdi kepada Dewa, mereka dikenal sebagai hulun hyang.

Prasasti Penankalan yang berangka tahun 1402 Masehi itu lebih lanjut menyebutkan bahwa desa Walandhit yang dihuni oleh hulun hyang dengan daerah yang disebut hilahila (Suci).

Kawasan mereka merupakan tanah perdikan dan penduduknya dibebaskan dari beban pajak karena mereka melakukan peribadatan yang berpusat di Gunung Bromo. Mereka juga menyembah dewa yang dinamai Sang Hyang Swayambuwa. Dalam Tradisi Hindu, dewa tersebut dikenal sebagai Dewa Brahma.

Nama Walandhit ini lebih lanjut juga terdapat dalam kitab Nagarakrtagama yang ditulis oleh Prapanca. Walandit sebagaimana dalam keterangan Prapanca, adalah tempat suci yang sangat dihormati oleh orang-orang Majapahit dan juga oleh kalangan Istana. Di tempat tersebut tinggal kelompok masyarakat yang menganut kepercayaan Siwa-Buddha.

Dari keterangan ini bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa di wilayah pegunungan Tengger atau Desa yang disebut Walandhit itu merupakan sebuah mandala yang telah berpenduduk dan dipimpin oleh seorang pendeta atau siddhapandita yang memiliki ilmu tinggi.

Mandala merupakan tempat tinggal pendeta yang biasanya jauh dari keramaian atau hutan yang disebut sebagai wanasrama. Mandala merupakan tempat pemujaan yang sering didatangi oleh para resi dan kaum pertama yang mengasingkan diri dari dunia luar.

II. Orang Tengger

Tengger kemungkinan diambil dari nama Pegunungan tempat masyarakat ini tinggal. Namun begitu, belum ada keterangan yang pasti kapan nama Tengger dipakai dan dari mana. Dalam tradisi masyarakatnya, mereka percaya bahwa Tengger berasal dari gabungan nama nenek moyang mereka; Rara Anteng dan Jaka Seger.

Sebagian lagi meyakini bahwa kata Tengger mengacu pada Tenggering Budi Luhur kurang lebih artinya tanda keluhuran budi pekerti. Dalam bahasa Jawa, Tengger bermakna berdiri tegak, diam tidak bergerak.

Raffles dalam bukunya “ The History of Java ” ia seolah mengagumi orang-orang Tengger yang hidup dalam keteraturan dan damai. Mereka juga digambarkan sebagai para pekerja yang jujur dan jauh dari hal-hal aneh yang merusak moral seperti di perkotaan. Laporan-laporan peneliti Belanda lainnya menyatakan bahwa orang Tengger mengenal dewa-dewa Hindu yang menjadi bagian dari kegiatan peribadatan mereka

Asal-usul orang Tengger masih banyak menyimpan kabut misteri. Tengger bukanlah suku terasing, Tengger seperti halnya wilayah lain di Indonesia merupakan daerah yang sedang berkembang.

Munculnya gerakan pembaharuan Hindu tahun 1970-an, menimbulkan sedikit ketegangan dalam hal tata cara peribadatan—yang sangat Siwais—dengan budaya keagamaan populer—yang lebih dekat dengan kejawen, menjadi ciri keagamaan orang Tengger.

Tengger sepertinya memang sedang mendefinisikan kembali jati diri mereka, sementara referensi yang ada hanya bersandar pada sumber-sumber budaya setempat yang masih berlaku.

Tengger juga bukanlah nama desa, kurang lebih ada beberapa tempat yang disebut sebagai “desa Tengger” di mana masyarakatnya masih berkeyakinan dan memegang adat-istiadat Tengger.

Yang disebut “desa Tengger” itu kini mungkin hanya tersebar di beberapa kabupaten di Jawa Timur, seperti di Probolinggo tersebar di beberapa desa di Kecamatan Sukapura dan Kecamatan Sumber, di Pasuruan tersebar di beberapa desa di Kecamatan Tosari dan Kecamatan Puspo, Juga di beberapa wilayah di Lumajang dan Malang.

Namun yang paling banyak mereka tinggal di sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, terutama di daerah Pegunungan Tengger.

A. Sistem Kekerabatan Suku Tengger

Masyarakat Tengger mempunyai hubungan yang khas dalam hubungan kekerabatan. Garis keturunan masyarakat Tengger adalah berdasarkan pada prinsip bilateral yaitu garis keturunan pihak ayah dan ibu.

Ada tiga macam kelompok kekerabatan Suku Tengger yang masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat Tengger. Kelompok kekerabatan terkecil yaitu keluarga inti yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak yang disebut sa’omah.

Kelompok kekerabatan yang kedua yaitu sa’dulur. Fsm kelompok kekerabatan yang ketiga dan yang terbesar adalah yang dinamakan wong Tengger.

Masyarakat Tengger yang hidup sa’omah terdiri dari pasangan suami istri dengan anak-anak dan juga ditambah beberapa anggota kelompok terdekat seperti kakek atau nenek dan beberapa anak angkatnya.

Keluarga ini bernaung di bawah satu atap dengan kepala keluarga yang memikul tanggung jawab kehidupan keluarga tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa suami istri saja yang bekerja untuk mencari nafkah.

Kedua kelompok kekerabatan sa’dulur. Kelompok kekerabatan ini merupakan kelompok kekerabatan kedua yang dikenal oleh masyarakat Tengger.

Hal ini berarti selain mengenal ayah, ibu, kakak, adik, kakek, nenek, juga mengenal kerabat-kerabat lainnya seperti saudara-saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu, kerabat dari angkatan satu tingkat ke atas dari orang tua, saudara sepupu derajat kedua dari pihak ayah atau ibu, saudara-saudara orang tua dari pihak ayah atau ibu, kerabat dari satu tingkat ke bawah dan seterusnya yang biasanya kerabat-kerabat tersebut berkumpul dalam suatu aktivitas tertentu sekitar rumah tangga.

Kelompok kekerabatan yang ketiga dan yang terbesar ialah yang disebut dengan wong Tengger yang dapat disamakan dengan kelompok kekerabatan disebut sebagai kelompok besar yang berarti memiliki fungsi menyelenggarakan kehidupan keagamaan dari seluruh kelompok sebagai satu kesatuan.

Seperti yang diyakini oleh semua masyarakat Tengger bahwa upacara-upacara adat seperti upacara Kasada dan upacara Karo merupakan suatu bentuk yang dilakukan oleh seluruh orang Tengger.

Dalam urusan perkawinan, adat perkawinan pada masyarakat Tengger hampir sama dengan adat pernikahan masyarakat Jawa, yang membedakan diantara kedua perkawinan itu adalah dalam perkawinan masyarakat Tengger yang bertindak sebagai penghulu dan wali keluarga adalah dukun Pandita.

Setelah menikah ada tradisi Adat menetap atau neolokal yaitu pasangan suami-istri bertempat tinggal di lingkungan yang baru. Untuk permulaan pasangan pengantin berdiam terlebih dahulu dilingkungan kerabat istri. Selain itu, dalam tradisi masyarakat Tengger poligami dan perceraian tidak pernah terjadi. Perkawinan dibawah umur juga jarang terjadi.

Dalam proses pertunangan (pacangan) dalam tradisi masyarakat Tengger ada beberapa ritual yang harus dilakukan yaitu pertama, pertemuan antara kedua calon atas dasar saling senang dan menyukai diantara kedua pihak.

Kedua, lamaran yang dilakukan oleh orangtua pria. Setelah itu, apabila kedua belah pihak telah sepakat, maka orangtua pihak wanita (sebagai calon) berkunjung ke orangtua pihak pria untuk menanyakan persetujuannya atau notok.

Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari pihak orangtua pria untuk menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan hari perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sesudah itu, upacara perkawinan dilakukan

Adapun saat akan melangsungkan perkawinan para orangtua kedua calon akan meminta nasehat kepada dukun mengenai kapan hari baik melangsungkan perkawinan. Dukun akan memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat, papan tempat pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya.

Sesudah semua selesai maka akan ada selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur putih). Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka dengan diiringi gamelan.

Pada upacara perkawinan pengantin wanita memberikan hadiah bokor tembaga berisi sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan lain, sedangkan pengantin pria memberikan hadiah berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.

Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang utusan. Para wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan disaksikan oleh seorang dukun.

Pada upacara pernikahan dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan.

Biasanya setelah melakukan perkawinan pengantin pria harus tinggal dirumah (mengikuti) pengantin wanita.

Dalam urusan hak waris, masyarakat Tengger mempertahankan hak waris tanah untuk anak keturunan mereka. Apabila ada keluarga yang terpaksa menjual hak tanah, diusahakan untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat. Pewarisan kepada anak-turunannya ditentukan oleh kerelaan pihak orang tua, bukan atas dasar aturan ketat yang dibakukan.

Selain itu, pembagian merata antara perolehan hak waris laki-laki dan perempuan sama. Apabila kedua orang tua tidak sanggup lagi mengerjakan ladangnya, maka kedua orang tua tersebut akan ikut salah satu anaknya dan setelah meninggal hak warisnya jatuh pada anak yang merawat orang tua tersebut

Biasanya pembagian warisan diberikan sebelum kedua orang tua meninggal dan tidak jarang pula orang tua memberikan hak waris kepada anaknya apabila anak tersebut dianggap mampu mengerjakan sendiri ladangnya.

III. Petani dan Peladang Tradisional

Orang Tengger mayoritas adalah petani dan peladang tradisional yang tanggung, mereka menempati wilayah bukit-bukit secara berkelompok dan tidak jauh dari lahan garapan mereka. Hasil pertanian utama dari orang Tengger adalah sayur-sayuran, dan Jagung

Aktivitas berkebun sudah mereka lakukan secara turun temurun. Pun sudah banyak jenis mata pencaharian lain, bercocok tanam di ladang tetap menjadi aktivitas yang dilakukan oleh orang Tengger.

Mereka menanam jagung sebagai makanan pokok, akan tetapi nasi sekarang sudah menjadi makanan pokok mereka atau kadang dicampur–nasi jagung merupakan panganan yang terkenal dari Tengger.

Pada musim penghujan lahan-lahan mereka akan menanam sayuran dan di penghujung musim hujan mereka kembali menanam jagung untuk cadangan makanan pokok.

Sistem berladang yang digunakan orang Tengger adalah sistem perladangan Tumpang Sari berupa dua jenis atau lebih tanaman dalam satu lahan tanam di waktu yang bersamaan.

Secara umum, tumpang sari yang dilakukan oleh masyarakat Tengger adalah penanaman dalam waktu bersamaan untuk dua jenis tanaman budidaya yang sama seperti tanaman jagung dan kedelai atau jagung dan kacang tanah.Pada setiap rumah di Tengger mereka juga melakukan penanaman di area pekarangan.

Tanaman yang ditanam seperti tanaman obat-obatan; dlingo, bengkhe, kencur, dan kunhir. Mereka juga menanam tanaman lain seperti jenis bunga dan tanaman hias lainnya yang diperuntukkan bagi upacara atau sesaji. Kehidupan masyarakat Tengger telah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan keyakinan.

IV. Tentang Upacara-upacara dan Peribadatan

Tentang Keagamaan orang Tengger dipaparkan secara detail dalam serat Centhini, dalam Serat itu menceritakan bagaimana adat dan tata cara beragama masyarakat Tengger dan Dewa-dewa mereka, seperti Dewa Brahma, Wisnu, Indra, Bayu, Sambo, dan juga kepercayaan terhadap Kala.

Orang-orang Tengger beribadah dan menjalankan adat istiadat mereka dengan menghayati sesanti Titi Luri, yaitu mengikuti jejak leluhur, meneruskan kepercayaan dan budaya nenek moyang mereka. Tetap terpelihara selama berabad-abad dalam naskah lontar yang hanya dibaca oleh para pendeta, tata cara peribadatan tersebut memberikan cakrawala yang sangat penting mengenai tradisi keimanan mereka.

A. Tempat Peribadatan

Ada tiga prinsip ajaran dalam keagamaan masyarakat Tengger antara lain:

  1. Pemujaan kepada Tuhan
  2. Pemujaan kepada Leluhur
  3. Pemujaan kepada alam semesta

Masyarakat Tengger mempercayai Sang Hyang Agung, roh para leluhur, hukum karma, reinkarnasi, dan moksa.Kepercayaan Suku Tengger terhadap roh diwujudkan sebagai danyang (makhluk halus penunggu desa) yang di puja di sebuah punden. Punden biasanya terletak di bawah pohon besar atau dibawah batu besar.

Roh leluhur pendiri desa mendapatkan pemujaan yang lebih besar di sanggar pemujaan. Setahun sekali masyarakat suku tengger mengadakan upacara pemujaan roh leluhur di kawah Gunung Bromo yang disebut dengan upacara Kasada. Ajaran agama tersebut di satukan dalam sebuah kitab suci yang ditulis di atas daun lontar yang dikenal dengal nama Primbon.

Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.

Dalam melaksanakan peribadatan, masyarakat Tengger melakukan ibadah di punden, danyang dan poten. Poten adalah tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu. Keberadaan poten ada pada sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada.

Poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala/zona yaitu:

1. Mandala Utama ( Jeroan )

Tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri dari: padma serupa candi lengkap dengan pepalihan. Fungsi utama padma adalah tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Padma tidak beratap dan terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, badan/batur dan kepala dengan nama sari lengkap dengan Bedawang, Nala, Garuda dan Angsa

Bedawang Nala melukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor Naga, Garuda dan Angsa posisi terbang di belakang badan padma. Masing-masing hewan tersebut melambangkan keagungan bentuk dan fungsi padmasana

Bangunan Sekepat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana, menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan dan terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.

Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar segi empat atau sisi banyak dengan sisi-sisi sekitar depa alit, depa madya atau depa agung.

Tinggi bangunan dapat berkisar dari sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan pula dibuat lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan proporsi candi bentar. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba pura menuju mandala sisi/nista atau jaba tengah/mandala utama bisa berupa candi gelung atau kori agung dengan berbagai variasi hiasan.

Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba tengah/Mandala Madya ke jeroan Mandala Madya sesuai keindahan proporsi bentuk fungsi dan besarnya atap bertingkat-tingkat tiga sampai sebelas sesuai fungsinya. Untuk pintu masuk yang letaknya pada tembok penyengker/pembatas pekarangan pura.

2. Mandala Madya ( Jaba Tengah )

Tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari: Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar, segi empat atau segi banyak dengan sisi-sisi sekitar satu depa alit, depa madya, depa agung

Bale Kentongan, disebut bale kul-kul berada di sudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan kul-kul/kentongan. Fungsinya untuk tempat kul-kul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara. Bale Bengong atau disebut Pewarengan suci berada diantara jaba tengah/mandala madya, mandala nista/jaba sisi

Bale Bengong memiliki bentuk bangunan empat persegi atau memanjang deretan tiang dua-dua atau banyak luas bangunan untuk dapur. Fungsinya untuk mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.

3. Mandala Nista ( Jaba Sisi )

Tempat peralihan dari luar ke dalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar/bangunan penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan atau di jabaan tengah/sisi memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan utama memakai Kori Agung. Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya

Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghadap ke arah timur ke arah terbitnya matahari. Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan.

B. Upacara dan Ritual

Meskipun dalam keseharian disebut dukun–yang kini kata itu lebih banyak dimaknai negatif– dahulu istilah ini dipakai hampir di seluruh Jawa untuk ahli adat yang memiliki pengetahuan khusus, dalam doa yang sangat tua dan sangat rahasia, para pendeta Tengger ini juga disebut resi pujangga.

Para pendeta bukanlah dari kelas sosial tertentu. Tugas pendeta adalah menyapa dan memohon kepada para dewa dan leluhur pelindung. Pada saat seperti itu, kehadiran kepala desa dibutuhkan untuk menyaksikan permohonan.

Seorang Dukun dalam tugasnya ia dibantu oleh Wong Sepuh yang bertugas membantu menyiapkan sesaji upacara. Legen, yang bertugas mempersiapkan peralatan dan perlengkapan upacara perkawinan. Dukun Sunat, dan dukun Bayi.

1. Upacara Kasadha

Dalam banyak upacara, termasuk upacara Kasadha, para pendeta seolah memohon kepada para leluhur, dalam peribadatan para pendeta mengucapkan sesuatu tidak menyebut Dewa Kusuma atau leluhur lainnya.

Sebaliknya, doa-doa yang diucapkan, seperti yang terjadi pada bulan terakhir kalender Tengger, upacara itu merupakan permohonan bagi pembaruan dunia yang ditujukan pada dewa maha agung yang diakui dalam peribadatan; Siwa.

Pada perayaan Tengger terbesar, Kasadha, orang-orang desa berduyun-duyun ke lereng Gunung Bromo mempersembahkan kurban dan hewan kepada roh gunung berapi yang masih aktif untuk meminta keselamatan dan berkah.

Tema persembahan kepada roh gunung merupakan tema yang umum dalam tradisi masa lalu dan mungkin menjadi cikal bakal upacara Gunung Bromo seperti terlukis dalam catatan kerajaan Jawa lebih dari seribu tahun lalu. Dalam tradisi masyarakat setempat upacara Kasadha juga ditujukan sebagai peringatan pengorbanan dari Raden Kusuma yang merupakan keturunan Jaka Seger dan lara Anteng.

Upacara ini digelar setiap tahun padat tanggal 14 sampai dengan 16 saat bulan purnama pada bulan ke-12; Asuji (Kasadha). Melalui permohonan kepada Siwa dan istrinya, Uma, dan dengan usaha membersihkan dunia dari gangguan setan Kala dan Durga, dalam tata cara peribadatan-nya, memiliki unsur yang sangat banyak kesamaan dengan peribadatan resi bujangga di masa Bali modern, yaitu pendeta dari kalangan biasa ( non Brahman dan non-triwangsa ).

Doa yang dikenal di Bali dan Tengger merupakan “pujian awal terciptanya dunia” ( Purwabumi ), terdapat ke sejajaran baris demi baris, sesuatu yang cukup menarik mengingat Hindu Bali dan Tengger tidak lagi memiliki hubungan budaya langsung sejak akhir abad ke-18.

Dalam upacara Kasadha atau juga sering disebut dengan upacara kurban, biasanya digelar serangkaian hiburan dan pertunjukan seperti tari-tarian, balapan kuda dan kemeriahan lainnya. Tahapan upacara Kasadha ini yaitu Puja purkawa, Manggala, Ngulat umat, Tri sandiya, Muspa, Bija, Diksa widhi, Palukatan, Penyerahan kurban di kawah Bromo.

Prosesi dimulai saat Sadya kala puja dan berakhir saat Surya puja ketika seluruh masyarakat Tengger berduyun-duyun menuju Gunung Bromo untuk menyerahkan korban. Setelah selesai upacara, ongkek (yang secara harfiah berarti sesuatu yang dipikul dengan bahu) yang berisi sesaji 30 macam buah-buahan dan makanan yang di lempar ke kawah Gunung Bromo sebagai sebuah simbol pengorbanan nenek moyang.

Yang menarik dari ongkek adalah bahan untuk membuatnya harus diambil dari wilayah desa yang selama setahun atau lebih tidak terdapat wargayanya yang meninggal. Dalam wilayah-wilayah tertentu, ongkek merupakan upacara tersendiri yang dilaksanakan beberapa hari sebelum upacara Kasadha di Lereng Gunung Bromo.

Tujuan upacara untuk memberi tahu Dewa gunung api itu bahwa akan diadakan upacara. Sesajen ongkek dianggap salah satu upacara yang tua dan memiliki unsur yang lebih tradisional dari upacara Kasadha yang sebenarnya.Upacara Kasadha juga dipakai untuk mengukuhkan calon dukun baru ( Diksa Widhi ), pengukuhan sesepuh Tengger, dan pemberkatan serta penyucian umat ( Palukata ).

2. Upacara Karo

Selain itu juga ada Upacara Karo. Perayaan desa yang cukup besar yaitu Karo yang secara sederhana artinya “dua” atau “keduanya”. Hari raya Karo ini biasanya dirayakan pada bulan Karo (Bulan ke-2 dalam sistem kalender orang Tengger).

Umumnya dipahami sebagai upacara suci yang saling berpasangan yang merupakan sumber kehidupan: bumi dan langit, tanah dan air, lelaki dan perempuan, dan, yang sangat menarik, Muhammad dan Ajisaka.Ajisaka adalah “tokoh” budaya Jawa yang sangat populer juga legendaris, yang oleh masyarakat Tengger dianggap sebagai pendiri kepercayaan merreka.

Pada pertengahan abad ke-20, ketika makin banyak tekanan bagi orang Tengger untuk beralih ke agama Islam, dengan menggelar tema kebersamaan antara “pengikut Muhammad” dan “pengikut Ajisaka”, merupakan pusat perayaan umum yang mengiringi Karo, dan dirayakan dalam berbagai upacara yang didasarkan atas legenda yang terkenal tersebut.

Para peneliti Belanda yang bekerja di Tengger pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 tidak menemukan rujukan Ajisaka dan Muhammad. Tata cara dalam peribadatan yang masih berlaku masa kini di puncak perayaan Karo sama sekali tidak menyebut dua tokoh itu.

Sebaliknya, doa yang dibawakan oleh para pendeta justru memohon “dewa bunga” dan jika diperhatikan dengan saksama, ia adalah julukan lain Siwa

Budaya keagamaan populer yang tercermin dalam Karo tampaknya telah banyak mengalami sinkretisme dengan Islam di Jawa dengan memperkecil rujukan agama Hindu dan menekankan rujukan kerohanian Jawa.

Masyarakat Tengger bisanya akan mengenakan pakaian-pakaian baru, dengan makanan dan minuman yang melimpah di setiap rumah. Karo benar-benar seperti perayaan lebaran atau hari raya islam–atau mungkin sesebaliknya, mereka akan saling berkunjung dan bermaaf-maafan ke rumah sanak saudara maupun kerabat, tetangga untuk silaturahmi.

Perayaan Karo bisa digelar selama berhari-hari bahkan minggu.Perayaan yang penuh suka cita, dan pesta ini dirayakan oleh hampir seluruh orang Tengger tanpa terkecuali. Tujuan perayaan Karo adalah pemujaan pada Sang Hyang Widi Wasa, menghormati leluhur, memperingati asal-usul mereka, kembali kepada kesucian, memusnahkan angkara murka, berbagi, dan rasa syukur.

3. Entas Entas, Menyucikan Jiwa

Entas-entas merupakan suatu upacara yang berlangsung selama tiga hari untuk membantu roh orang mati menemukan jalan ke surga. Tiga jenis roh didiwakilileh patung-patung kecil ( Petra/bespa ) yang dibuat dari dedaunan dan bunga.

Mereka merupakan Roh keluarga dekat yang harus disucikan sebelum naik ke surga, roh-roh keluarga dari generasi dahulu yang bertindak sebagai saksi, dan dewa pelindung yang akan memimpin roh yang sudah disucikan itu ke surga.

Puncak upacara ialah pada hari ketiga ketika dilaksanakan upacara penyucian ( palukaten ). Petra-petra itu ditaruh dalam bejana tanah liat berisi uang logam (Sebagai bekal kubur bagi roh). Si sepannya, wadah-wadah bambu berisi beras yang di dalamnya diletakkan gelang tali yang dipakai toh yang sedang disucikan, kemudian sesajian makanan.

Keluarga orang yang mati duduk di bangku sambil memegang perta dan ditutup oleh kain putih. Upacara penyucian meliputi menjahit kain di atas kepala setiap anggota keluarga, dan juga daun pada petra, oleh pendeta.

Rambut anggota keluarga dan perta kemudian dibakar. Seekor bebek dilintaskan di atas kepala mereka sebelum dilemparkan ke dalam ruangan. Proses itu diulangi dengan memakai seekor ayam

Akhirnya pendeta kemudian mengucapkan doa-doa singkat atas setiap orang kemudian tiga kali memutar petra berlawanan dengan arah jarum jam sebelum menempatkand alam bakul nasi yang mengepul. Kain putih dilambai-lambaikan di atas kepala anggota keluarga kemudian roh-roh diperintahkan untuk pergi.

Kini roh orang-orang yang mati dapat pergi ke surga dengan bebas. Petra-petra dibawa ke tempat upacara di desa dan dibakar. Di desa-desa yang sangat kuat dengan tradisi Parisadha, pembakaran petra dirayakan dengan lebih meriah karena memiliki yang kuat dengan gagasan orang Bali mengenai pengabuan mayat.

4. Unan unan

Upacara ini digelar setiap lima tahun sekali atau dalam sistem kalender tengger disebut sewindu. Dalam upacara unan unan selalu diadakan penyembelihan binatang yaitu kerbau. Kepala kerbau dan kulitnya kemudian diletakkan pada sebuah tempat yang terbuat dari bambu untuk diarak ke tempat pemuja.

Seluruh warga beserta tokoh-tokoh agama dan sesepuh desa dengan berpakaian adat ikut dalam arak-arakan yang diiringi oleh gamelan dan tarian reog itu. Doa-doa dan juga mantra dirafal sepanjang perjalanan agar kelancaran dalam upacara didapat.

Dukun dan Tokoh adat kemudian melakukan sembahyang dan memantrai air suci. Air suci inilah yang kemudian dipercikkan kepada seluruh peserta upacara, sebagai simbol pengusiran sifat jahat dan kesilauan hidup.

Unan unan berasal dari istilah tuna alias rugi. hal ini berhubungan dengan sistem kalender mereka dan perhitungan hari sehingga ada hari-hari yang digabungkan sehingga dianggap tuna, rugi.

Unan unan juga merupakan upacara yang bertujuan mengusir gangguan dari roh-roh jahat dan menyucikan desa dari malapetaka, dan menyempurnakan kekurangan serta perbuatan yang merugikan kehidupan.

Perayaan unan-unan ini biasanya diselenggarakan serentak oleh beberapa desa di lereng gunung Bromo. Selain itu, ritual unan-unan juga dipercaya dapat menyempurnakan para arwah yang belum sempurna untuk kemali ke alam asalnya, surga.

Selain upacara, perayaan, dan ritual di atas, juga terdapat upacara lain, seperti upacara Kapat yang digelar pada bulan keempat menurut perhitungan Saka dan bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta penyucian terhadap arah mata angin.

Upacara Kawalu , yang diselenggarakan pada bulan kedelapan tahun Saka, yang digelar untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan alam semesta.

Upacara Kasanga , yang jatuh pada bulan sembilan di mana masyarakat akan berkeliling desa membawa kentongan dan obor dan sesaji untuk memohon keselamatan

Upacara Mayu Desa , yang diselenggarakan untuk melestarikan sumber air, dan terhindar dari bencana.

Upacara Pujan Mubeng, Tugel kuncung, Barikan, Liliwet, dan masih banyak lagi.Dalam peribadatannya, orang Tengger melakukan ibadah di tempat yang mereka sebut punden, danyang dan poten. Poten adalah istilah bagi tempat pemujaan masyarakat Tengger yang beragama Hindu

Biasanya poten ada pada sebidang lahan seperti pura sebagai tempat berlangsungnya upacara yang terdiri atas beberapa bangunan ditata dalam tata susun/komposisi berdasar tiga Mandala atau zona; Mandala Utama (Jeroan) Mandala Madya (Jaba Tengah) Mandala Nista (Jaba Sisi).

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pengislaman semakin jauh ke pegunungan dekat desa-desa Tengger dan pemerintah mendorong masyarakat memeluk salah satu agama yang diakui. Sebagai tanggapan, muncullah gerakan pembaharuan Hindu di antara orang Tengger tahun 1960-an hingga 1980-an

Gerakan ini berhubungan dengan Parisadha, yaitu gerakan pembaharu modernis. Gerakan diprakarsai oleh guru-guru dan orang-orang Tengger yang pernah bepergian ke dan yang belajar di Bali. Namun demikian, dinyatakan bahwa tidak seorang pun tokoh pembaruan Hindu Tengger ini memiliki latar belakang pendidikan sebagai pendeta, dan mengenal isi peribadatan yang telah kuna, yang dianggap bukan Hindu.

Pada awal tahun 1970an, salah satu pendeta Tengger yang cukup terpelajar melakukan kajian mendalam tentang doa-doa Tengger dan Bali, menemukan bahwa kedua tradisi itu mempunyai hubungan sangat erat. Sejak itu kebanyakan pendeta dan kepala desa Tengger bersatu mendukung gerakan pembaruan Hindu.

Pejabat setempat memperkenalkan perayaan keagamaan yang diilhami parishada, sembahyang harian di pura, dan pendidikan agama Hindu di Sekolah Dasar, yaitu sebagai usaha membela dan memperdalam tradisi.

Kehadiran gerakan pembaharuan Hindu membantu “memperkenalkan” perayaan keagamaan yang diilhami Parisadha. Perayaan-perayaan itu antara lain meliputi ibadah harian di pura, suatu kebiasaan yang tidak ada dalam tradisi Tengger Sebelumnya.

Meski demikian, sampai saat ini, beberapa orang masyarakat Tengger menolak bekerja sama dengan agama Hindu nasional, dan sebagai akibatnya beberapa memilih untuk pindahan agama ke Kristen dan Islam.

V. Siklus dan Pandangan Tentang Hidup

Hidup bagi orang Tengger harus penuh dengan kedamaian dan rasa syukur. Segala masalah harus diselesaikan dengan musyawarah. Jika ada pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan dengan baik-baik dan diberi arahan oleh tokoh adat atau tokoh desa dan biasanya mereka patuh.

Masyarakat Tengger juga mengenal hukuman sosial bagi pelanggar, yaitu disatru, tidak boleh diajak bicara oleh seluruh penduduk. Masyarakat tengger umumnya patuh pada peraturan yang ada, seperti kewajiban sebagai masyarakat, kerja bakti dan sebagainya.

Ini terbukti bahwa hampir setiap wilayah orang tengger tingkat kejahatannya relatif kecil.Sikap dan pandangan hidup damai dan tenteram dan tidak rumit ini terlihat dari harapan masyarakat yaitu waras, wareg, wastra, wisma, dan widya ; sehat, kenyang, berpakaian, memiliki tempat tinggal, berpengetahuan.

Selain itu, mereka mempunyai pandangan yang berhubungan dengan bagaimana mereka bersikap ( kawruh buda ), yaitu: Prasaja (jujur, apa adanya), Prayoga (bersikap bijaksana), Pranata (patuh pada pimpinan), Prasetya (setia), prayitna (waspada).

Pembangunan karakter orang Tengger lainnya yaitu sikap rasa malu dalam arti dan makna yang positif, malu saat tidak bisa ikut dalam kegiatan sosial dan adat. Masyarakat Tengger cenderung tidak banyak mengambil risiko, pekerja keras, aja jowal-jawil (tidak suka mengganggu orang lain), dan melaksanakan aturan secara turun-temurun.

Sikap nyadhang dan bersikap tat twam asi serta mikul dhuwur mendhem jero, memuliakan orangtua.Dalam tradisi dan adat masyarakat Tengger, Ada ungkapan jika masih mentah sama adil, jika telah masak tiada harga, kurang lebih agar manusia pada waktu muda dapat bersikap adil dan ketika matang secara usia harus menyiapkan dirinya untuk masa tua serta hari akhir

Ada tiga tahap penting dalam siklus usia orang tengger yaitu:Umur 0 sampal 21 tahun (wanita) dan 27 tahun (pria) , dilambangkan sebagai bramacari yaitu masa yang tepat untuk mencari penegtahuan.

Usia 21 tahun (wanita) atau 27 tahun (pria) sampai 60 tahun dilambangkan sebagai griasta, yaitu masa yang tepat untuk membangun sebuah rumah tangga dan hidup mandiri.

Usia 60 tahun ke atas, dilambangkan sebagai biksuka, yaitu manusia yang harus lebih mementingkan masa-masa akhir dalam hidupnya.

Selain itu juga ada siklus penting dalam kehidupan orang tengger, di mana setiap siklus ini selalu diwarnai oleh upacara-upacara; Kelahiran, Pernikahan, dan Kematian.

A. Kelahiran

Menyambut masa kelahiran terdapat sekurangnya enam upacara yang berkaitan; ketika bayi masih dalam kandungan dan berumur tujuh bulan diadakan upacara atau selametan nyayut ada juga yang menyebutnya upacara sesayat. Maksud upacara adalah agar si bayi lahir dengan selamat dan juga lancar dalam proses persalinan.

Setelah bayi tersebut lahir dengan selamat diadakan upacara sekul brokahan, ari-ari si bayi yang disebut batur (teman) mereka simpan dalam kendi/wadah kemudian mereka taruh di sanggar. Pada hari ketujuh dan atau hari kedelapan setelah kelahiran, diadakan upacara cuplak puser, yaitu untuk menghilangkan kotoran yang masih tersisa di tubuh bayi agar bisa selamat saat pusar telah cukup kering dan bagian yang kotor akan lepas.

Pada saat bayi diberi nama, diadakan upacara selamatan jenang abang (bubur merah) dan jenang putih (bubur putih) yang kurang lebih maksud upacara ini agar sang bayi diberi keselamatan. Kemudian upacara Kekerika yang diadakan saat bayi telah berumur 40 hari.

Dalam upacara kekerik ini lidah bayi dioles-oles dengan sejenis rumput yang bertujuan agar kelak sang bayi tidak salah ucap dalam bicara. Saat bayi berumur 44 hari diadakan upacara among-among, agar bayi terbebas dari gangguan mahluk jahat.

Saat anak berumur 4 tahun diselenggarakan upacara Tugel Kuncul atau juga dikenal dengan upacara Tugel Gombak. Rambut bagian depan Anak dipotong agar senantiasa mendapat keselamatan Sang Hyang Wishi.

B. Perkawinan

Perkawinan merupakan bagian penting dalam perjalanan umat manusia. Bagi orang Tengger, perkawinan bukan hanya peristiwa yang menyangkut dua orang tetapi melibatkan dua keluarga dan juga masyarakat secara umum.

Dalam alam kepercayaan mereka, peristiwa perkawinan akan disaksikan oleh arwah-arwah leluhur. Dengan demikian, sebelum upacara perkwainan digelar, mereka biasanya melakukan upacara nelasih (ziarah kubur).

Orang Tengger melaksanakan perkawinan dengan kalangan mereka sendiri atau yang disebut sebagai endogami. jika salah satu calon berasal dari dari daerah luar, maka pelaksanaan pernikahan harus sesuai adat Tengger

Akan tetapi dalam perkembangannya perkawinan ini juga boleh berlangsung mengikuti adat aturan tempat calon lain dan tetap akan diakui sebagai orang Tengger sebagai sedulur (kerabat).

Perkawinan dalam adat Tengger tidak boleh dilakukan jika masih memiliki kekerabatan dekat, misalnya satu canggah (Neneknya nenek), juga perkawinan akan dibatalkan jika kerubuhan gunung atau kesandung watang, yaitu ada musibah misalnya keluarga dekat meninggal.

Upacara perkawinan pada masyarakat Tengger biasanya dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang sesuai dengan saptawara atau pancawara dari kedua calon yang akan menikah. Juga diadakan perhitungan berdasarkan sandang (Pakaian(, Pangan (makanan), Lara (sakit), dan Pati (kematian).

Hari pernikahan haruslah menghindari lara dan pati, Jika terpaksa pun, harus diadakan upacara ngepras, yaitu dengan digelar sajian yang diberi mantra dan diadakan kurban. Tujuannya agar tetap selamat

Bagi mereka yang keukeuh melaksanakan upacara perkawinan dan jatuh pada hari lara dan pati-nya setiap tahun haru melaksanakan upacara ngepras.Puncak dari upacara perkawinan adalah Walagra, yaitu akad nikah yang dipimpin oleh seorang pendeta.

Dalam upacara ini pendeta akan membawa secawan air yang kemudian dituangkan dalam prasen yang telah diberi mantra. Selanjutnya kedua mempelai mencelupkan jari mereka ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada tunggu, pintu dan tangan para tamu, dengan maksud agar doa-dan restu serta keselamatan membimbing kehidupan baru mereka.

C. Kematian

Upacara kematian digelar secara bergotong-royong. semua orang memberi bantuan, baik itu perlengkapan dan keperluan untuk upacara penguburan yang disebut nglawuh. Setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai yang kemudian pendeta akan mendoakan dan memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah.

Sebelum kuburan digali, Dukun lebih dulu menyiramkan air dalam keranda yang telah diberi mantra dan doa. Tanah yang tersiram air doa itu kemudian digali untuk digunakan sebagai liang keubur. Mayat orang Tengger akan dibaringkan dengan kepala yang membujur ke arah Selatan yaitu ke arah Gunung Bromo.

Saat petang, keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan upacara dan orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari daun-daunan dan bunga dan juga terdapat berbagai macam sajian. juga upacara kematian lainnya adalah upacara entas entas, yang bertujuan mengantar si mati untuk pergi ke surga.

Sistem Perhitugngan Waktu, Kalender Orang Tengger

Orang Tengger mempunyai sistem kalender yang disebut Tahun Saka atau kadang juga disebut Saka Warsa. Sistem Kalender ini tidak jauh berbeda dengan sitem Kalender Jawa, sunda atau bali. Jumlah hari dalam Saka Warsa adalah 30 hari, dengan 12 bulan dan terdiri dari tujuh hari; Dhite (Minggu), Shoma (senin), Anggara (Selasa), Budha (Rabu), Respati (kamis), Sukra (Jumat), Tumpek (sabtu).

Tanggal 1 sampai dengan 15 disebut “tanggal hari” dan dari tangga 15 sampai dengan tanggal 30 disebut “ Panglong Hari/Panglong siji/panglong loro. Juga terdapat tanggal dan bulan tertentu yang akan digabungkan, tumbuknya dua tanggal ( wuku dan hari pasaran/hari tumbuk), sehingga akan terjadi pengurangan jumlah dari hari setiap tahunnya.

Untuk menyempurnakannya sistem kalendernya, tiap lima tahun atau dalam satu windu berdasarkan wuku, orang tengger akan mengadakan perhitungan ulang. Juga terdapat istilah Mecak yang dipakai untuk mencari tanggal yang baik dan tepat untuk menggelar upacara-upacara besar seperti perayaan Karo, upacara Kasadha maupun unan unan.

Bisanya ada bulan yang digunakan untuk perayaan unan unan, kemudian tanggal dan bulan seterusnya dimulai sebagai bulan Dhesta, bulan kesebelas.

Perhitungan Tahun Saka jatuh pada tanggal 1 ( sepisan) sasih Kedhasa (bulan kesepuluh), sehari setelah bulan mati (bulan tilem ) pada bulan Maret dalam perhitungan tahun Masehi.

Dalam 12 bulan sistem kalender Tengger terdapat 360 hari, ke-12 bulan itu secara berurutaan: Kartika (kasa), Pusa (Karo), Manggastri (Katiga), Sitra (Kapat), Manggakala (Kalima), Naya (Kanem), Palguno (Kapitu), Wisaka (Kawolu), Jito (Kasanga), Serawana (Kasepoloh), Pandrawana (Destha), Asuji (Kasadha ).