etnografi

Tradisi Pembakaran Mayat di Bali, Ngaben

Upacara dan tradisi pembakaran mayat di Bali disebut Ngaben. Ngaben adalah upacara kematian yang terdiri dari berbagai rangkaian kegiatan yang rumit dan sakral. Ngaben lebih jauh tidak hanya bermakna sebagai akhir kehidupan justru akan menjadi awal dari perjalanan seseorang.

PublishedOctober 3, 2015

byDgraft Outline

Tradisi pembakaran mayat atau pengabuan orang Bali terkenal abadi sebagai upacara kematian yang “terindah” di dunia. Di Indonesia, dalam bentuk yang hampir sama, upacara serupa pernah dilakukan oleh beberapa wilayah Jawa seiring dengan perkembangan agama Hindu.

Selama beberapa abad, masyarakat Bali—serta di pulau tetangganya, Lombok—memberi kita gambaran mengenai tradisi pembakaran mayat. Tradisi yang secara berulang-ulang diperindah dengan cerita tentang pengorbanan orang terkasih.

Orang Bali kini satu-satunya masyarakat di Indonesia yang masih melaksanakan upacara pembakaran jenazah sebagai sarana pelepasan orang mati. Pun ada sebagian masyarakat Indonesia yang juga mengkremasi jenazah, namun tidak seperti Bali yang eratdengan tradisilama Nusantara.

Penemuan arkeologi di Bali sampai abad ke 2 Masehi menunjukkan bahwa penguburan dahulu dilakukan, mayat-mayat dimasukkan dalam sebuah kubur batu dan juga Sarkofagus.

Bukti dari teks-teks Jawa dan Bali Kuna memberi kesan bahwa pembakaran mayat memang telah diperkenalkan di istana jawa abad ke-12 sampai abad ke-14 Masehi sebagai bagian dari perkembangan budaya dan agama dari India yang masuk ke kawasan ini.

Bersamaan dengan penguasa Hindu-Jawa Majapahit memperluas daerah kekuasaannya ke Bali abad ke-14, keluarga kerajaan Bali mungkin mengadopsi kebiasaan ini sebagai proses “penghinduan” budaya Bali. Selanjutnya, budaya ini dikembangkan oleh kelompok lain di bawah pengaruh penguasa kerajaan.

Di Bali saat ini, pembakaran mayat merupakan kebiasaan paling umum dilakukan untuk merawat orang mati, meski mungkin didahului penguburan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sementara keluarganya mengumpulkan hal-hal yang diperlukan.

Dalam kaitan ini dapat diperdebatkan bahwa pembakaran jenazah dipahami menjadi cara penguburan dan upacara kematian tambahan yang tersebar di Indonesia.

Table of contents

Open Table of contents

Perjalanan Jiwa ke Dunia Atas

Banyak naskah dan kisah mengenai pemeliharaan jenazah dan nasib jiwanya “di dunia atas”, yakni dunia yang sangat indah, tetapi juga hukuman keras bagi jiwa yang tidak dipersiapkan.

Keluarga menyadari pentingnya melakukan tugas dengan benar untuk orang yang mati, sehingga dapat menolong jiwa memperoleh keadaan yang menyenangkan.

Urutan upacara disusun sekitar perjalanan jiwa, yang harus melalui “dunia tengah” jagad raya, dunia kehidupan manusia untuk menuju ke “dunia atas” ( Suarga ) para dewa dan leluhur, Ada berbagai cara upacara dilaksanakan dalam masyarakat yang berbeda.

Seringkali, dua atau tiga hari sebelum pengabuan, jiwa yang mengembara dipanggil kembali ke jasadnya (atau ke dalam bentuk patung) dan berkali-kali dimandikan, dibersihkan, dan dibuat segar oleh keluarganya.

Puncak rohani tahap ini adalah pada malam hari sebelum diabukan. Pendeta mempersembahkan sesajen kepada kekuatan gaib guna memperlancar perjalanan toh dan keluarganya berdoa untuk keberhasilan arwahnya dapat lepas ke “dunia atas.”

Hari berikutnya, nyala api pembakaran akan mengembalikan tubuh pemiliknya, panca maha buta (Tanah, angin, api, air, dan udara) dan mempercepat perjalanan arwahnya.

Pada sore hari, patung orang mati berisi abu tanah yang sudah dingin, dibawa dalam arak-arakan ke laut atau sungai dan “dibuang” dalam lindungan lautan.

Hari pengabuan merupakan perayaan yang bagi keluarga kaya berarti “mempertinggi” kedudukan sosial. Mereka mengadakan perjamuan mewah bagi para tamu dan menggelar serangkaian upacara dengan perlengkapannya seperti menara yang indah yang akan membawa mayat ke tempat pengabuan.

Selanjutnya dilaksanakan proses penyucian jiwa, berbulan atau bertahun-tahun setelah pengabuan, ketika biaya sudah tersedia. Upacara sesudah pengabuan —dengan mudah dibedakan karena warna kemurnian, kuning dan putih berbeda dengan panduan warna cerah yang digunakan saat pengabuan—mencapai tahap pemisahan antara orang mati dengan orang yang masih hidup.

Akibat adanya ikatan perasaan yang tersisa dan melepaskan jiwa ke dunia lain di atas awan, dunia atas. Yang menarik, penjelmaan kembali jiwa di masa depan tidak akan mengalami upacara pengabuan dan sesudah pengabuan.

Lebih dari itu, gugusan tentang toh, menandai perbedaan dengan ajaran Hindu India, arwah mereka dihalangi untuk kembali ke lingkungan keluarga sendiri dan tidak ke bentuk kehidupan lain.

Kerumitan pembuatan patung orang mati dari beberapa segi merupakan ciri semua tahap upacara kematian orang Bali dan menjadi pusat kegiatan upacara.

Sesungguhnya pengalian mayat tidak terlalu dianggap penting, karena patung yang mewakili orang mati kadang dianggap benar-benar mewakili dan dapat digunakan.

Bentuk yang menyerupai badan atau ukur dapat disusun dari uang logam kuna (kepeng) yang dirangkai membentuk tubuh manusia, dan dianggap mewakili jenazah si mati, dibuat dengan lambang kekuatan keagamaan pada kain katun putih panjang.

Orang Bali kadang-kadang percaya tulisan di kain kafan, dianggap sebagai “kunci” bagi orang mati untuk masuk ke dalam dunia atas,

Pikiran dan perasaan orang mati diwakili oleh susunan benda rapuh yang disebut lambu agenan yang dibuat dari kulit kelapa, dihias dengan benang berwarna-warni.

Bentuk-Bentuk Upacara dan Tradisi Pembakaran Mayat di Bali

Sawa Wedana merupakan upacara pembakaran mayat yang melibatkan jenazah yang masih utuh atau tanpa melalui proses penguburan terlebih dahulu yang dilaksanakan dalam kurun kurang dari satu minggu saat orang tersebut meninggal.

Ada juga yang dilangsungkan setelah satu bulan. Jenazah biasanya terlebih dahulu diberi ramuan campuran tempah-rempah untuk memperlambat proses pembusukan. Si mati selama dalam proses menunggu persiapan segala sesuatu atas upacara pembakaran, ia akan diperlakukan selayaknya masih hidup.

Ada juga yang dikenal sebagai Asti Wedana, yaitu jenazah terlebih dahulu telah dikuburkan dan saat digali kembali akan digelar upacara ngagah.

Jenazah dikuburkan terlebih dahulu biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, selain menyiapkan keperluan persiapan upacara bagi keluarga. Penundaan ini juga bisa dikarenakan aturan dari tempat tinggal atau desa yang tidak memperkenankan dahulu upacara kematian.

Tempat jenazah dikubur disebut Makingsan ring Pertiwi, kurang lebih maknanya dititipkan pada ibu Pertiwi (bumi).

Upacara pembakaran mayat tanpa melibatkan jenazah atau kerangka mayat disebut swasta. Hal ini dimungkinkan karena alasan-alasan khusus misalnya meninggal di tempat yang jauh (luar negeri), jenazah tidak ditemukan dan lain-lain.

Jenazah akan disimbolkan dengan boneka kayu ( pengawak ) yang diberi tulisan dan mantra sebagai badan orang yang bersangkutan. Juga ada Ngelungah, bagi anak yang belum tumbuh gigi, dan Warak Kruin bagi bayi yang keguguran.

Rangkaian Upacara Ngaben

Ngulapin. Upacara untuk memanggil roh yang meninggal.

Nyiramin/Ngemandusin. Upacara memandikan dan membersihkan jenazah.

Ngajum Kajang. Upacara yang ditujukan sebagai kemantapan keluarga yang ditinggalkan, melepas kepergian untuk perjalanannya ke alam selanjutnya.

Ngaskara. Upacara penyucian roh.

Mameras.Upacara untuk menuntun jalan dan karma baik yang mereka lakukan bagi yang sudah memiliki cucu.

Papegatan. Upacara yang bertujuan untuk memutuskan hubungan duniawi yang akan menghalangi perjalan roh.

Pakiriman Ngutang. Upacara mengusung jenazah dan semua perlengkapan upacara menuju kuburan.

Ngeseng. Upacara pembakaran jenazah.

Nganyud. Upacara menghanyutkan abu jenazah ke laut, atau sungai.

Makelud. Upacara untuk membersihkan serta menyucikan kembali lingkungan keluarga dari kesedihan setelah ditinggalkan.

Sistem Kebersamaan, Sebuah Solusi

Ngaben, begitu upacara pengabuan atau tradisi pembakaran mayat di Bali ini dikenal luas. Ngaben dengan segala ritual dan tahapannya yang rumit ituternyatamemerlukan biaya yang tidak sedikit, beberapa pihak punmencari cara untuk mengatasinya, ada yang membagi tanggungan, ada yang menunggu hingga bisa tercukupkan.

Catatan awal dasawarsa abad ke-29 melukiskan upacara yang berlangsung di suatu masyarakat desa kecil (banjar) secara bersama-sama bekerja sama mengabukan sejumlah mayat, yang mungkin telah meninggal beberapa tahun sebelumnya,

Dahulu, pada pengabuan keluarga istana, ada kesempatan bagi pelayan atau keluarga kelas bawah, dan juga yang memperoleh perlindungan raja, untuk “bergabung” ( ngiring ) dalam upacara pengabuan atau sesudah pengabuan keluarga yang berkedudukan lebih tinggi itu dilaksanakan.

Penganut Brahma bergabung bersama-sama dalam pengabuan pemimpin mereka, beberapa orang memilih menunggu peristiwa itu, karena percaya pendeta berkemampuan luar biasa memimpin perjalanan menuju dunia atas.

Kebiasaan kerja sama sejenis ini berlangsung sampai sekarang, didukung oleh organisasi Hindu yang berharap dapat meringankan beban biaya upacara pembakaran mayat yang dipikul oleh rakyat biasa di Bali.

Perlu diatur dan direncanakan untuk membantu orang terhindar dari “kemiskinan” karena upacara itu membutuhkan biaya besar sementara keluarga kurang mampu dalam hal keuangan.

Kelompok yang melakukan kerja sama untuk upacara pembakaran mayat ini membagi biaya untuk hiburan, menyambut tamu, dan pendukungnya, juga untuk keperluan seperti sesajen dan lainnya. Sementara itu ada juga yang memang mampu melakukan pengabuan sendiri.