traveldraft

Masjid Agung Djenne: Simbol Solidaritas Muslim di Mali

Sebagai salah satu keajaiban dari Afrika dan pencapaian terbesar dari arsitektur Sudano-Sahel, Masjid Agung Djenné kini justru mendapat ketenaran sebagai salah satu bangunan keagamaan yang paling unik di dunia.

PublishedMarch 31, 2016

byDgraft Outline

Masjid Agung Djenne (Great Mosque of Djenné)
Image by Andy Gilham

Struktur bangunan lumpur terbesar di dunia ini diperkirakan telah dibangun antara 800 dan 1250 Masehi. Dalam perkembangannya—bahkan hingga detik ini—Masjid Djenné dikenal sebagai pusat perdagangan, pengetahuan, dan Siar Islam.

Saat kekuatan kolonial Prancis mencengkeram Afrika di abad ke-19, Masjid ini kemudian menjadi simbol politik bagi rakyat Mali.

Masjid Agung Djene juga menjadi cerminan budaya solidaritas. Festival tahunan yang disebut Crepissage de La Grand Mosquée ; ‘Memelester Masjid Agung’, adalah salah satunya.

Menurut cerita, bangunan itu awalnya diprakarsai oleh Raja Koi Konboro-penguasa Djene ke-26 dan merupakan sultan muslim pertama.

Raja Koi mendedikasikan dan membangun tempat ibadah muslim itu dengan menggunakan bahan-bahan lokal dan teknik ‘desain’ tradisional untuk menghargai budaya setempat.

Masjid Agung yang kita lihat hari ini adalah rekonstruksi ketiga yang selesai diperbaiki sekitar tahun 1907. Dalam catatan sejarahnya, Masjid itu dibangun oleh masyarakat dari desa-desa yang berada di wilayah sekitar Masjid.

Untuk menemani dan memotivasi pekerja, para musisi memainkan drum dan seruling. Pekerja mencampur berton-ton lumpur, pasir, sekam, dan air untuk membentuk batu bata yang membentuk struktur saat ini.

Dibandingkan dengan gambar dan deskripsi dari bangunan sebelumnya, Masjid Agung yang berdenah bujur-sangkar (75 m × 75 m) ini memang telah mengalami beberapa penambahan.

Seperti penambahan ruangan khusus yang disediakan untuk perempuan dan pintu masuk utama dengan pilar-pilar dari tanah. Selain itu juga ada makam dari pemimpin agama setempat.

Sebagian besar bangunan tertutup oleh dinding eksterior dengan atap yang memiliki beberapa lubang ditutup oleh kelopak terra-cotta ; mampu menyediakan interior ruang dengan pencahayaan dan udara segar bahkan selama hari-hari terpanas di kota Djenné.

Bagian luar Masjid Agung Djenne mencakup tiga menara dan serangkaian kolom yang berpasangan menciptakan efek ritmis.

Di bagian atas pilar, ekstensi kerucut dengan hiasan telur burung unta—yang ditempatkan di bagian paling atasnya—konon menjadi simbol kesuburan dan kemurnian dari wilayah Mali.

Kayu-kayu balok pada seluruh eksterior memenuhi kaidah dekoratif dan struktural. Unsur-unsur ini juga berfungsi sebagai perancah saat melakukan plesteran ulang selama festival tahunan Crepissage.

Crepissage de La Grand Mosquée

Di padang Sahel—zona transisi antara Sahara dan Sabana—bata dan lumpur seperti yang ada di Masjid Agung Djenne membutuhkan plesteran ulang secara periodik; tiap tahun.

Jika plesteran ulang tidak dilakukan, struktur bangunan akan ‘meleleh’ ketika musim penghujan tiba.

Crepissage de La Grand Mosquée, adalah festival tahunan yang menjadikan kegiatan memelester ulang Masjid Agung sebagai kegiatan utamanya. Hampir seluruh penduduk kota bekontribusi dalam kegiatan ini.

Para tetua dan pengurus Masjid biasanya mengambil tugas dalam pencampuran bahan plester. Seperti di masa lalu, musisi akan menghibur mereka selama pekerjaan, Sementara wanita tak sungkan ikut membantu. Bagi anak-anak, festival ini adalah bekerja dan bermain.

Bertahun-tahun penduduk Djenné telah berulang kali ‘digoda’ untuk mengubah karakter Masjid dan sifat dari festival tahunan mereka. Sebagai contoh, beberapa telah mencoba untuk menekan perayaan, dan ada juga yang menawarkan untuk membangun masjid agar lebih ‘modern’.

Masyarakat Djenné nyatanya keukeuh untuk terus mempertahankan warisan budaya nenek moyang mereka dan juga karakter yang unik dari Masjid Agung kebanggaan kota tua itu.

Pada tahun 1988, upaya dan kegigihan mereka membuahkan hasil. UNESCO bahkan menyatakan seluruh kota Djenné—termasuk Masejid Agung—sebagai Situs Warisan Dunia.