traveldraft

Masjid Cordoba di Andalusia, Spanyol

Pada abad ke-10, Cordoba merupakan kota yang spektakuler karena menjadi jantung dan pusat intelektual dunia. Perwujudan dari prestasi budaya Andalusia atau al-Andalus —nama Arab untuk wilayah di Semenanjung Iberia.

PublishedMarch 22, 2016

byDgraft Outline

Masjid Cordoba Andalusia, Spanyol
Image by Jocelyn Erskine-Kellie

Masjid Cordoba hanya sedikit berevolusi dari arsitektur gaya Moorish (bangsa Moor). Penambahan gaya lain seperti Gothic, Renaissance, dan Baroque dari karakter arsitektur Kristen Eropa tidak banyak memberikan pembeda yang signifikan.

Pada masa jayanya, Cordoba dikisahkan sebagai sebuah kota yang terkenal karena banyak perpustakaan dan jajaran toko buku; termasuk perpustakaan ke-khalifah-an yang konon memiliki koleksi 500.000 buku.

Masjid Cordoba Andalusia, Spanyol
Image by CEphoto, Uwe Aranas

Permata dan mahkota Cordoba adalah sebuah masjid kolosal yang digagas oleh Abd al-Rahman I pada tahun 785 Masehi, kemudian dikembangkan oleh penguasa-penguasa selanjutnya hingga menjadi simbol kekuasaan Dinasti Umayyah lebih dari 3 Abad lamanya.

Bangunannya cukup besar hingga sanggup menampung 40.000 orang. Kompleks ini juga digunakan sebagai universitas, tempat elit intelektual dunia Islam datang dan pergi untuk belajar berbagai hal.

Ketika Cordoba jatuh pada kekuasaan Ferdinand III dari Castile di tahun 1236, masjid Cordoba kemudian diubah fungsinya menjadi katedral; menjadi asal-usul nama yang sekarang melekat; ‘Masjid Katedral Cordoba’.

Kompleks bangunannya menempati area 23,400 meter persegi—sedikit lebih luas dari Basilika Santo Petrus di Roma. Sekitar sepertiganya ditempati oleh Patio de los Naranjos (kebun Jeruk?) dengan serambi-serambi yang mengelilingi di sebelah utara, timur, dan barat.

Pembagian ruangannya dibagi menjadi lima yang masing-masing menunjukkan langgamnya sendiri. Bagian interiornya adalah hutan pilar—kurang lebih 850 pilar—dengan lengkungan merah dan putih memberikan efek chromatic yang kuat.

Bagian mihrab sebagai salah satu yang paling penting bagi sebuah Masjid, adalah bagian terbaik dari arsitektur monumen ini.

Masjid Cordoba Andalusia, Spanyol
Image by Diego Cue

Dekorasi mosaik yang bertahta marmer dan emas gaya Bizantium (Byzantium) dengan interior labirin pilar-pilar berlengkung ganda dan tapal kuda, terbuat dari porfiri, jasper, dan marmer berwarna-warni.

Arsitektur di Masjid Cordoba memang lebih dikenal sebagai kekayaan sejarah dan budaya—selama sembilan abad konstruksi dan renovasi—dua agama; Islam dan Kristen.

Namun, beberapa sejarawan percaya bahwa sebelumnya, di tempat yang sama, telah berdiri gereja ‘San Vicente’ Basilic di era Visigoth kuno ( 572 Masehi). Gereja yang konon juga dibangun di atas reruntuhan sebuah kuil Romawi; kuil Dewa Janus.

Abd al-Rahman I (Abd al-Rahman ibn Mu’awiya ibn Hisham ibn Abd al-Malik ibn Marwan) kemudian membangun ”Masjid Alhama” atau Masjid utama kota, di tempat itu pada abad ke-8. Beberapa elemen yang konstruktif dari bangunan era Visigoth diduga terintegrasi.

Abd-ar-Rahman III kemudian tercatat membangun Alminar (menara) dan haram atau aula berdoa. Sementara di tahun 961, Al-Hakam II melakukan perubahan landskap dan memperindah mihrab.

Renovasi terakhir dilakukan oleh Al-Mansur pada tahun 987 hingga kompleks bangunan itu kemudian ber-transformasi dua kali lipat dari ukuran sebelumnya.

Setelah penaklukan Kristen, beberapa fitur untuk kelengkapan sebuah katedral lalu ditambahkan di dalamnya, termasuk sebuah altar utama bergaya Baroque, tempat paduan suara, dan lonceng di menara yang mengambil alih fungsi sebelumnya.

Masjid Cordoba Andalusia, Spanyol
Image by Toni Castillo Quero

Kini, struktur hybrid— katedral dalam masjid —itu dianggap mampu membangkitkan kenangan masa lalu yang harmonis; ketika umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup bersama dalam damai.

Namun ada kasus pelik dalam bab kehidupan antar-agama di Spanyol. Andalusia memang tercatat sebagai puncak budaya dunia, tapi wilayah ini juga masuk dalam bagian sejarah kelam; peperangan atas nama agama yang hampir melenyapkan keberadaan Islam di Eropa pada masa itu.

Tidak mengherankan jika ada pandangan yang menganggap kehadiran Muslim di Eropa saat ini sebagai fenomena pasca perang— migrasi wilayah kolonial dalam kasus Paris dan London.

Terlebih ditambah Islamophobia pasca 9/11 dan beberapa peristiwa yang terjadi baru-baru ini,;secara fundamental hal itu ikut menantang upaya Muslim di Spanyol untuk melihat diri mereka sebagai bagian dari struktur sosial negaranya sendiri.

Namun yang seharusnya membedakan Muslim di Spanyol dengan wilayah lain justru bukan hanya masalah demografi, tapi ada pada kasus identitas.

Jika ditinjau dari sejarahnya, Muslim Prancis bisa dianggap sebagai tantangan baru bagi cita-cita revolusi—khususnya untuk ide laïcité (sekularisme). Muslim Spanyol, kontras, mereka bagaimana pun adalah bagian dari sejarah dan identitas negara itu sejak awal.

Sengketa yang terus berlanjut untuk Masjid Cordoba

Masjid Cordoba sehubungan dengan kasus pelik ini pun terkena imbasnya. Hilangnya, sesaat, kata ‘Masjid’ di Google Maps pada bulan November lalu adalah salah satu bab dalam sengketa yang berakar lama sehubungan dengan label dan makna monumen itu kepada dunia.

Kasus ini mulai mendapat sorotan pertengahan tahun 2000, saat cabang dari Gereja Katolik yang mengelola Katerdal tersebut dikabarkan perlahan-lahan menyeka kata “masjid” dari publikasi mereka.

Pada brosur pengenalan pun tidak disebutkan monumen dari masa Islam, sebaliknya, menyatakan bahwa bangunan “ditahbiskan sebagai Gereja pada tahun 1236”. Masa kekuasaan Islam hanya mengisi sebuah sidebar dengan judul “Intervensi Muslim.”

Untuk meyakinkan pengunjung bahwa monumen itu adalah peninggalan Kristen sebelum menjadi Masjid, dan bahwa lima abad kekuasaan Muslim dianggap sebagai ‘penjajahan’ dalam sejarah Córdoba sebagai kota Kristen.

Pihak Gereja telah mendanai penggalian untuk mendokumentasikan keberadaan gereja Visigoth, Basilika Saint Vincent, di bawah bangunan Masjid.

Kini, ketika Anda mengunjungi La Mezquita, hal pertama yang Anda temui adalah lantai berlubang yang ditutupi kaca, di mana Anda dapat mengamati usaha penggalian tersebut.

Pun demikian, rekonstruksi arkeologi gereja dinilai masih spekulatif. Sejarawan seni, Susana Calvo Capilla—spesialisasinya adalah sejarah bangunan—dalam sesi kuliah umumnya di Cordoba Oktober lalu mengungkapkan bahwa temuan arkeologi itu tidak memberikan bukti yang jelas.

Kebenaran sejarah akan muncul dari berbagai celah. Kebijakan gereja itu pun menimbulkan sejumlah protes lokal di Cordoba, tapi tidak sampai menjadi célèbre (terkenal) dalam skala internasional, setidaknya hingga beberapa tahun lalu.

Perhatian baru dari dunia internasional mulai merebak berkat intervensi kelompok aktivis yang menyebut diri mereka “ Platform for the Mosque-Cathedral of Córdoba ”. Termasuk tokoh-tokoh budaya seperti arsitek Inggris Norman Foster dan penulis Spanyol Juan Goytisolo ikut di dalamnya.

Kelompok ini secara tegas menuntut kata “Masjid” agar dikembalikan ke nama resmi monumen tersebut dan melestarikannya sebagai “mercusuar kerukunan antar-agama” bagi umat Islam, Katolik, Yahudi, dan semua agama.

Ide toleransi di Cordoba sejatinya juga telah menjadi landasan positif untuk strategi pemasaran wisata di bekas ibu kota kekhalifahan itu.

Pada saat yang sama, jika identitas Islam terhadap monumen itu terancaman, Cordoba sebagai kota tujuan utama pariwisata bagi umat Islam, diperkirakan akan terkena imbasnya.

Tapi secara tersirat hilangnya kata ‘Masjid’, khususnya bagi kebanyakan muslim Spanyol justru dianggap sebagai upaya yang lebih ‘jahat’; upaya berkelanjutan untuk menghapus semua jejak dan warisan Islam di Andalusia.