etnografi

Aceh : Asal usul, Letak, dan Suku Bangsa

Aceh saat ini merupakan wilayah Indonesia dengan status otonomi khusus dan memiliki beraneka ragam budaya adi luhung dalam bentuk tarian, kerajinan, perayaan, pakaian, makanan, dan adat istiadat.

PublishedAugust 5, 2016

byDgraft Outline

Provinsi Aceh mempunyai empat suku utama yaitu suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas dan Suku Tamiang. Suku Aceh kebanyakan berada di daerah pesisir Aceh dan merupakan kelompok mayoritas walaupun demikian terdapat sedikit perbedaan budaya antara suku Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Selatan yang nampaknya dipengaruhi oleh kebudayaan Minangkabau.

Perbedaan ini mungkin disebabkan kedekatan wilayah dan pengaruhi di zaman kerajaan dulu di mana para leluhur mereka pernah saling kontak budaya, agama dan tentunya tidak lepas dari hubungan perdagangan.

Suku Gayo dan Suku Alas mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara dan mereka merupakan penganut agama Islam yang sangat kuat

Setiap suku di Aceh mempunyai ciri khas tersendiri dalam bidang bahasa, sastra, nyanyian, tarian, musik dan adat istiadat yang selalu diselimuti dengan nilai-nilai Islam

Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekah memiliki kebudayaan yang sangat kental dipengaruhi Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat dan bentuk budaya lainnya berakar pada nilai-nilai yang bersumber pada ajaran Islam.

Ragam hias Aceh, misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, dan ombak dan tidak ada yang menampilkan bentuk manusia atau binatang

Alasannya, karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan menampilkan bentuk manusia atau binatang sebagai ragam hias. Sebelum Islam datang, memang budaya Hindu pernah memengaruhi budaya Aceh namun setelah Islam datang, semuanya kebudayaan Aceh juga mengalami perubahan dengan memadukan beberapa unsur luar baik dari Arab, India, maupu China.

Table of contents

Open Table of contents

Asal Usul Nama Aceh

Menurut cerita orang-orang tua dulu yang disampaikan secara lisan maupun tertulis, Aceh artinya nyaman dan indah. Tjidaih / Tjeudaih=Tjantik. Atja=indah.

Nama Aceh sendiri mengalami perubahan beberapa kali. Sekitar tahun 400 M, orang Arab menyebut daerah Aceh dengan Rami (Ramni ), orang Tionghoa menyebut Lan-Li, Lanwu-li, Nan-Wuli dan Na-Poli. Buku Sejarah Melayu yang ditulis Tun Sri Lanang menyebutnya Lambri (Lamiri ) dan Marcopolo menyebutnya Lambri.

Sementara itu orang Portugis dan Itali menyebutnya Achem (Atjech), Achen, Acen. Di kemudian hari, orang Arab menggunakan sebutan baru yakni Asji, Dachem, Dagin, dan Dacin.

Orang Perancis menyebut daerah ini dengan Achem, Achin. Terakhir, orang Belanda menyebut daerah ini dengan Achem, Achim, Atchim, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjech dan pada akhirnya Atjeh. Sementara itu, para sultan Aceh dalam sarakata mereka menyebut dengan kata Atjeh.

Letak Geografis

Aceh terletak di ujung paling Barat pulau Sumatra. Secara geografis Provinsi Naggroe Aceh Darussalam terletak di antara 2 – 6° Lintang Utara dan 95 – 98° Bujur Timur di sebelah Utara berbatasan dengan selat Malaka, di sebelah Barat dan Selatan dengan Samudra India, dan di Timur dengan Provinsi Sumatra Utara dengan total luas sebesar 57.365,57 Km2.

Tinggi rata-rata di atas permukaan laut adalah 125 m dengan kondisi daerah 74,8% berupa masih berupa hutan dan 11,68% berupa lahan pertanian, 1,59% berupa desa atau pemukiman, dan 8,7% berupa Gunung, Danau, dan Sungai (39 Gunung, 73 Sungai dan 2 Danau).

Iklim di Aceh termasuk iklim tropis dan Aceh sendiri mempunyai dua musim yakni, musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau berlangsung pada bulan Maret sampai Agustus sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Februari sampai Februari. Curah hujan rata-rata di Aceh berkisar antara minimal 23-35 derajat celsius dan maksimal 30-33 derajat celsius dengan kelembaban relatif 65% sampai 75%.

Bahasa Aceh, Bahasa Suku Aceh

Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Chamic, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia.

Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rade dan 6 bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamic. Bahasa-bahasa lainnya yang juga berkerabat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau.

Bahasa Aceh tersebar terutama di wilayah pesisir Aceh. Bahasa ini dituturkan di 10 kabupaten dan 4 kota di Aceh, yaitu: Kota (Sabang, Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa), Pesisir Utara Timur (Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur (kecuali di 3 kecamatan, Serba Jadi, Peunaron and Simpang Jernih di mana bahasa Gayo dipakai).

Pesisir Barat Selatan Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya (kecuali di kecamatan Susoh di mana bahasa Aneuk Jamee dituturkan), Aceh Selatan (bercampur dengan bahasa Suku Kluet dan bahasa Suku Aneuk Jamee)

A. Bahasa Aceh dalam Literatur

Sampai saat ini manuskrip berbahasa Aceh tertua yang dapat ditemukan berasal dari tahun 1069 H (1658/1659 M) yaitu Hikayat Seuma’un.

Sebelum penjajahan Belanda (1873 – 1942), hampir semua literatur berbahasa Aceh berbentuk puisi yang dikenal dengan hikayat. Sedikit sekali yang berbentuk prosa dan salah satunya adalah Kitab Bakeu Meunan yang merupakan terjemahan kitab Qawaa’id al-Islaam.

Setelah kedatangan Belanda barulah muncul karya tulis berbahasa Aceh dalam bentuk prosa yaitu pada tahun 1930-an, seperti Lhee Saboh Nang yang ditulis oleh Aboe Bakar dan De Vries. Setelah itu barulah bermunculan berbagai karya tulis berbentuk prosa namun demikian masih tetap didominasi oleh karya tulis berbentuk hikayat.

B. Fonem-fonem bahasa Aceh

Vokal biasanya berada di pasangan mulut/sengau, meskipun hanya ada tiga vokal sengau pertengahan dan ada vokal oral pertengahan yang jumlahnya dua kali lebih banyak. /ʌ/ tidak benar-benar di tengah, meskipun ditampilkan di sini karena alasan estetika.

Demikian pula, /ɨ/ juga ditampilkan sebagai ([ɯ] yang lebih ke belakang. Selain vokal monoftong di atas, bahasa Aceh juga memiliki 5 diftong oral, masing-masing dengan pasangan sengau:

/iə ɨə uə ɛə ɔə/ /ĩə ɨ̃ə ũə ɛ̃ə ɔ̃ə/

/s/ adalah alveodental laminal. /ʃ/ secara teknis berupa post-alveolar tapi dikelompokkan dalam kolom langit-langit untuk alasan estetika.

C. Bentuk Ejaan dalam Bahasa Aceh

Bahasa Aceh telah mengalami berulang kali perubahan ejaan, mulai penggunaan huruf Arab, huruf latin ejaan lama, dan sekarang adalah ejaan yang disempurnakan. Berikut adalah pedoman ejaannya:

E e ([ə]) dibaca seperti huruf /e/ dalam kata “dekat”. Contoh: le (banyak).

EU eu ([ɯ]) tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Contoh: eu (lihat).

È è ([ɛ]) dibaca seperti huruf /e/ dalam kata “bebek”. Contoh: pèng (uang), pèh (pukul/tumbuk), dll.

É é ([e]) dibaca seperti huruf /e/ dalam kata “kue”. Contoh: lé (oleh).

Ë ë, tidak ditemui padanannya dalam bahasa indonesia.

Ö ö ([ʌ]) dibaca seperti huruf vokal dasar /ɔ/, tetapi diucapkan dengan mulut terbuka. Contoh: mantöng (masih), böh (buang), Ô ô ([o]) dibaca seperti huruf /o/ dalam kata “soto”, “foto”, “tato”. Contoh: bôh (taruh), sôh (tinju), tôh (mengeluarkan).

O o ([ɔ]) dibaca seperti huruf /o/ dalam kata “tolong”, “bom”. Contoh: boh (buah), soh (kosong), toh (mana)

D. Huruf Vokal Sengau dalam Bahasa Aceh

‘A ‘a pengucapannya sengau seperti /a/ dalam kata “maaf”; contohnya: ‘ap (suap), meu’ah (maaf)

‘I ‘i pengucapannya sengau seperti /i/ dalam kata “angin”; contohnya: ca’ië (laba-laba), kh’iëng (busuk), dll

‘U ‘u pengucapannya sengau; contohnya: meu’uë (bajak),

‘È ‘è pengucapannya sengau seperti /e/ dalam kata “pamer”; contohnya: pa‘è (tokek), meu‘èn (main)

‘O ‘o pengucapan-nya sengau; contohnya: ma’op (hantu/untuk menakuti anak-anak)

E. Sebaran Penutur Bahasa Aceh

Di antara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk Aceh.

Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai timur dan barat provinsi Aceh. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang.

Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan.

Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh.

Selain itu, di luar provinsi Aceh, yaitu di daerah-daerah perantauan, kelompok-kelompok masyarakat Aceh tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka.

Sistem Sosial dan Kekerabatan Suku Aceh

A. Stratifikasi Sosial Suku Aceh

Dalam suatu masyarakat akan terdapat golongan paling atas yang disebut dengan lapisan elit. Dan lapisan paling bawah disebut dengan lapisan biasa atau orang kebanyakan. Antara lapisan atasan dan lapisan bawahan kadang-kadang terdapat lagi beberapa lapisan seperti yang terdapat pada masyarakat Aceh.

Dasar-dasar Stratifikasi Sosial

Suku Aceh pada zaman kerajaan dahulu dapat dibagi ke dalam:

  1. Lapisan Raja
  2. Lapisan Ulee Balang
  3. Lapisan Ulama
  4. Lapisan Rakyat biasa

Lapisan Raja berasal dari keturunan raja-raja yang memegang kekuasaan kerajaan. Raja dan keturunannya dianggap sebagai lapisan elit. Maka lapisan raja dihormati karena kekuasaan dan keturunan-keturunan mereka. Hingga sekarang penghormatan masyarakat kepada keturunan raja-raja masih tampak dalam pergaulan hidup sehari-hari seperti mengenai panggilan.

Panggilan yang lazim kepada keturunan raja dalam kehidupan sehari-hari disebut ampon, bila laki-laki, dan cut nyak (cut) bila perempuan. Walaupun perbedaan-perbedaan yang lain tidak tampak lagi antara keturunan raja dengan orang biasa.

Di bawah lapisan raja, terdapat lapisan Ulee balang, sebagai wakil raja untuk daerah-daerah kerajaan kecil. Maka, kadang-kadang untuk seorang ulee balang disebut juga dengan ulee balang cut.

Di samping lapisan itu terdapat juga lapisan yang menentukan dalam bidang agama. Maka pada tiap-tiap kerajaan munculah golongan ulama. Dan lapisan yang paling bawah adalah lapisan rakyat biasa.

Sesungguhnya pada masyarakat Gayo tidak ada dasar pelapisan yang tegas. Karena itu dasar pelapisannya cepat bergeser. Sebagai dasar utama dari pelapisan sosial dalam masyarakat Gayo adalah senioritas dalam umur.

Pihak yang usianya lebih tua lebih mendapat status yang tinggi dalam masyarakat Gayo. Selain daripada usia yang tua itu, juga orang yang dituakan. Seseorang dapat dituakan karena statusnya akibat perkawinan. Memang pada akhirnya dasar stratifikasi sosial ini telah mengalami perubahan-perubahan.

Pada Suku Aceh Tamiang zaman kerajaan dahulu, dasar-dasar stratifikasi sosial dapat dibagi ke dalam:

  1. Lapisan raja
  2. Lapisan datuk empat suku.
  3. Lapisan khadli dan Imam.
  4. Lapisan datuk delapan suku.
  5. Lapisan rakyat biasa.

Perubahan-perubahan dalam Stratifikasi Sosial

Pada zaman kemerdekaan dasar-dasar stratifikasi sosial masyarakat Aceh pada umumnya seperti di atas tadi, sudah mulai berubah.

Namun lapisan-lapisan tersebut masih tampak dalam masyarakat, tetapi lapisan-lapisan tersebut tidak memperlihatkan lagi perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kehidupan sehari-hari.

Susunan golongan-golongan yang memerintah sudah banyak berubah. Sudah ada orang-orang dari lapisan lain yang menduduki fungsi pemerintahan, mulai dari susunan pemerintahan paling bawah sampai kepada pemerintahan atasan seperti Kecik, Kepala mukim dan Camat kepala pemerintahan Kecamatan.

Dahulu untuk memilih susunan penjabat pemerintahan tersebut, harus dilihat dari keturunan secara turun-temurun, dan berikutnya mengenai kecakapan.

Dengan perkembangan beberapa Perguruan Tinggi di Aceh seperti Universitas Syiah Kuala, IAIN Jamuah Arraniry, APDN, dan beberapa perguruan tinggi swasta, maka semakin mendorong proses perubahan stratifikasi sosial di Aceh

Banyak pimpinan-pimpinan pemerintahan tingkat kabupaten telah menjabat Bupati yang bertitel kesarjanaan dari perguruan-perguruan tinggi tersebut di atas

Begitu pula Camat Kepala Pemerintahan Kecamatan, hampir semua bertitel sarjana muda dari APDN. Jabatan Mukim dan Kecik sudah banyak dijabat oleh orang-orang yang mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk mengatur dan memerintah.

Tidak lagi berpola kepada keturunan secara turun-temurun. Proses perubahan di atas mendorong rakyat untuk berlombalomba memasukkan anaknya ke Perguruan Tinggi tersebut di atas, agar dapat menduduki fungsi tertentu dalam pemerintahan.

Seirama dengan itu pendidikan non formal yang sudah lama dibina seperti pesantren-pesantren, sekarang sudah banyak yang kosong.

Karena tamatan dari Pesantren, tidak banyak memberikan arti terhadap status sosial dewasa ini. Dari proses perubahan stratifikasi sosial di atas, maka dewasa ini masyarakat Aceh pada umumnya dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu:

  1. Kelompok penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan, dan pegawai negeri
  2. Kelompok Ulama, orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama.
  3. Kelompok kekayaan (hartawan).
  4. Kelompok rakyat.

Keempat kelompok masyarakat tersebut, tampaknya tidak memberikan batas-batas yang tajam. Antara suatu kelompok dengan mudah dapat memasuki kelompok yang lain.

Timbulnya kelompok-kelompok itu, tampaknya dari hasil kompetisi ilmu pengetahuan. Seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan dengan mudah dapat masuk ke dalam kelompok penguasa atau seseorang yang mempunyai pengetahuan di bidang keagamaan dengan sendirinya menjadi bagian dari kelompok Ulama.

Kelompok kekayaan dan kelompok rakyat biasanya dengan mudah beralih ke dalam kedua kelompok tersebut di atas, andaikata telah memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang cukup.

Tetapi dewasa ini tampaknya kelompok kekayaan lebih mudah beralih ke dalam kelompok-kelompok lain. Karena bagi kelompok ini mempunyai kemampuan yang besar untuk menyekolahkan anaknya.

Tetapi bagi rakyat biasa, ulama dan sebagian pegawai negeri kesempatan menyekolahkan anaknya banyak terbentur dari segi keuangan.

Dengan demikian pada suatu saat kelompok kekayaan akan menjadi kelompok penguasa. Pada masyarakat Gayo dasar untuk menentukan adanya pelapisan sudah berubah-rubah dalam tempo yang relatif cepat.

Pernah pihak yang dipandang tinggi dalam masyarakat adalah orang yang mendapat kedudukan menurut adat. Pada masa yang lain atas dasar pengetahuan dalam agama, pengetahuan sekuler, kekayaan, kejujuran dan lain-lain. Namun dasar utama yaitu senioritas dalam usia selalu masih terlihat.

B. Sistem Kekerabatan Suku Aceh

Sistem kelompok keluarga pada Suku Aceh umumnya menganut sistem keluarga batih. Rumah-tangga terdiri atas keluarga kecil yaitu ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin. Apabila seseorang anak sudah kawin, ia akan mendirikan rumah-tangga sendiri sebagai keluarga batih pula.

1. Keluarga Batih

Seseorang yang baru kawin, tidak seberapa lama menetap bersama-sama dalam keluarga batih dari ayah atau mertuanya. Ada yang menetap beberapa bulan saja atau sampai lahir seorang anak.

Seseorang yang sudah memisahkan diri dari keluarga batih ayahnya atau mertuanya disebut dengan peu meukleh, atau jawe di Gayo. Keluarga batih dalam masyarakat Aceh tidak mempunyai istilah tersendiri, kecuali dalam masyarakat Gayo istilah keluarga batih disebut dengan sara ine. Ayah dan ibu dalam keluarga batih, mempunyai peranan penting untuk mengasuh keluarga sampai dewasa.

Peranan ini sudah menjadi tanggung-jawab ayah dan ibu meliputi segala kebutuhan keluarga seperti kebutuhan akan sandang-pangan, kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya sangat penting bagi Suku Aceh. Karena menurut sudut pandangan agama, orang tua tidak boleh mengabaikan pendidikan anaknya, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.

Kegiatan dalam keluarga batih, merupakan kegiatan bersama. Kegiatan ini tampak pada waktu tron u blang (turun ke sawah), atau turunku urne di Gayo, meulampoh (berkebun) semua anggota keluarga batih menjadi tenaga pelaksana.

Pembagian kerja antara anggota keluarga sesuai menurut kemauan mereka masing-masing. Biasanya anak-anak diberikan pekerjaan yang lebih ringan, karena ia belum mampu mengerjakan pekerjaan yang berat.

2. Keluarga Luas

Sistem keluarga luas hanya terdapat pada masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Ukuran keluarga dalam masyarakat Gayo hanya ditentukan oleh tempat tinggal dan hidup dalam satu kesatuan ekonomi. Keluarga luas di Gayo ini bisa disebut sara dapur (satu dapur) atau sara kuren (satu periuk).

Mereka tinggal dalam suatu rumah besar (rumah belah rang atau rumah time ruang bersamasama -dengan keluarga luas lainnya. Keluarga-keluarga luas seperti itu sering juga disebut sara berine

Apabila salah satu anggota keluarga sudah kawin, ia akan pindah ke dalam satu bilik (kamar), tetapi masih dalam rumah itu juga, dan masih dalam kesatuan ekonomis dengan keluarga batih senior. Pada satu saat keluarga batih ini berdiri sendiri secara ekonomis (jawe) dan terpisah dari keluarga luasnya.

Kesatuan keluarga luas yang mendiami satu rumah besar ini sering disebut sara kuru, atau saudere. Kelompok seperti ini kadang-kadang tidak harus dalam satu rumah, tetapi berada pada beberapa rumah. Setiap rumah di Gayo pada masa lalu mempunyai nama-nama tersendiri seperti: Umah Melige, Kuli, Berukir, Genuren, Kul, Nangka, Kedeusa dan lain-lain.

Perkembangannya pada saat sekarang, menunjukkan suatu gejala akan lenyapnya umah timeu ruang sebagai tempat tinggal sedere. Sekarang ini kelihatan banyak bangunan perumahan di pedesaan meniru pola perumahan perkotaan. Rumah tidak lagi berbentuk memanjang yang terdiri atas kamar-kamar dalam bentuk panggung (tinggi).

Pola yang baru ini tidak seberapa membutuhkan kayu-kayu sebagai bahannya. Lagi pula keluarga sara ine tadi berkeinginan untuk memisahkan diri dari umah timeu ruang.

3. Klan kecil

Lama-kelamaan perkembangan sedere, tidak mungkin tertampung lagi di dalam umeh timeu ruang tadi, karena jumlahnya semakin besar dan semakin banyak pula membutuhkan tempat tinggal. Maka terjadilah pemisahan tempat dengan mendirikan rumah baru.

Rumah baru ini kemudian berkembang pula menjadi rumah besar seperti di atas tadi. Walaupun timbul pemisahan tempat tinggal, akan tetapi tali kekerabatan tetap tidak berubah

Antara satu rumah dengan rumah yang lain masih diikat oleh pertalian sedere. Dari ikatan pertalian ini terjadilah kien kecil dalam masyarakat Gayo yang disebut dengan belah. Anggota dari satu kien kecil (belah) ini memelihara adat exogami.

Pada saat-saat tertentu mereka mengadakan aktifitas bersama, misalnya dalam pertanian atau upacara adat (resam) yang lain. Pada belah tertentu rupanya pada masa lalu memiliki binatang totem. Setiap belah biasanya mempunyai nama tersendiri seperti cebero, jongok, melala, gunung, beno, munte, bukit, linge, dan lain-lain.

Pada masa kini kehidupan belah di Gayo mulai tidak berfungsi lagi seperti di masa lalu. Namun pada beberapa kampung tertentu tampak masih bertahan. Di pihak lain di kampung seperti itupun sudah sering terjadi pelanggaran terhadap norma belah itu, misalnya adanya pelanggaran terhadap exogami belah itu.

C. Prinsip-Prinsip Keturunan Masyarakat Aceh

Prinsip-prinsip keturunan pada Suku Aceh umumnya menganut prinsip patrilineal. Prinsip patrilineal masyarakat Aceh ditentukan oleh status anak, bila salah seorang orang tuanya meninggal dunia.

Apabila ibu meninggal, yang bertanggung-jawab térhadap anaknya adalah ayahnya. Tetapi apabila ayahnya meninggal, yang bertanggung-jawab, bukan ibu, tetapi adalah wali dari pihak ayah, yaitu saudara laki-laki dari ayah yang sekandung.

Kalau saudara laki-laki yang sekandung dengan ayah tidak ada, maka yang menjadi wali adalah saudara sepupu pihak ayah yang laki-laki dan saudara sepupu ini keturunan dari saudara sekandung dari ayah yang laki-laki pula.

Wali dari pihak ibu disebut dengan wali karong. Tetapi wali karong tidak dapat bertanggung-jawab terhadap keturunan.

Saudara-saudaranya yang perempuan, karena dianggap lemah dari segi hukum agama dan adat. Dalam masyarakat Gayo ada tiga bentuk perkawinan yaitu kawin ango atau juelen, kawin angkap, dan kawin kuso-kini, yang seakan-akan menentukan prinsip-prinsip keturunan

Bentuk perkawinan ango atau juelen, di mana pihak suami seakan-akan membeli wanita yang bakal dijadikan istri, maka si istri dianggap masuk ke dalam belah suami, karena ia telah dibeli. Oleh karena itu anak-anaknya akan menganut patrilineal, karena ia ikut masuk belah ayahnya

Apabila terjadi cere banci (cerai karena perselisihan), maka si istri menjadi ulak-kemulak (kembali ke belah asalnya). Anak-anaknya menjadi tanggung-jawab ayahnya.

Tetapi apabila terjadi cere kasih (cerai karena mati), tidak menyebabkan perubahan status istri, ia tetap dalam belah suami. Dan anak-anaknya menjadi tanggung-jawab belah ayah yaitu walinya

Bentuk perkawinan angkap, di mana pihak laki-laki (suami ditarik ke dalam belah si isteri Suami terlepas dari belahnya.

Bentuk perkawinan rangkap ini dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk angkap nasap dan bentuk angkap sementara. Bentuk perkawinan nangkap nasap terjadi disebabkan oleh pihak keluarga perempuan tidak ada keturunan laki-laki.

Ia ingin memperoleh anak laki-laki yang dimasukkan ke dalam belahnya. Maka menantu laki-laki disebut dengan penurip-murip peunanom mate artinya memelihara semasa hidup dan menguburkan waktu mertua mati. Oleh karena itu anak-anaknya seakan-akan menganut matrilineal karena anaknya ikut belah ibunya

Bila terjadi cere banci, ayahnya tetap bertanggungjawab kepada anaknya. Tetapi semua harta asal dari ayah dan ibu, menjadi kepunyaan anak dan ibu.

Tetapi apabila terjadi cere kasih, misalnya suami meninggal, harta tetap dimiliki oleh anak dan ibunya tadi tetap tanggung jawab terhadap anak yang diserahkan kepada pihak ayah. Andaikata suami yang meninggal dunia dan ternyata tidak meninggalkan anak, harta miliknya otomatis semuanya menjadi miliknya istri

Bentuk perkawinan angkap sentaran sering pula disebut dengan angkap edet atau angkap perjanyin. Seorang laki-laki (suami) dalam jangka waktu tertentu menetap dalam belah istrinya, sesuai dengan perjanjian pada saat dilakukannya peminangan.

Status sementara ini berlangsung selama suami belum memenuhi semua persyaratan seperti mas kawin yang telah, ditentukan dalam perjanjian angkap sementara, atau syarat-syarat lain seperti misalnya saudara dari istri yang laki-laki belum menikah.

Status anak dalam bentuk perkawinan angkap sentaran ini tetap menganut istem “matrilineal” seperti dalam angkap nasap tadi. Status anak dalam kedua bentuk perkawinan angkap ini perlu diadakan studi lanjutan, karena masih kurang jelas dilihat dari segi pembagian harta pusaka dan fungsi wali dari pihak ayah.

Selain dari kedua bentuk perkawinan di atas dalam masyarakat Gayo, masih terdapat suatu bentuk perkawinan lain yang dapat menentukan prinsip-prinsip keturunan yaitu bentuk perkawinan kuso-kini (ke sana-ke mari)

Bentuk ini merupakan perkembangan baru di Gayo. Bentuk perkawinan ini memberikan kebebasan kepada suami-istri untuk memilih belah tempat menetap. Apakah masuk belah istri atau belah suami.

Sehubungan dengan kebebasan kepada suami-istri untuk memilih belah, maka anakanaknya tetap menganut prinsip patrilineal. Bentuk perkawinan inilah yang paling banyak sekarang dilakukan dalam masyarakat Gayo.

Dengan demikian bentuk perkawinan ango atau juelen dan bentuk perkawinan angkap sedang mengalami proses perubahan ke dalam bentuk perkawinan kuso kini

Generasi muda sekarang menunjukkan suatu gejala untuk menghindari perkawinan dalam kedua bentuk perkawinan di atas tadi, yang dapat mengikat mereka dengan belah (sering orang mengacaukan prinsip patrilineal dengan adanya perkawinan yang matrilokal di Gayo ini

Akan tetapi, mungkin meskipun seseorang kawin secara patrilokal ( juelen ), matrilokal ( angkap ) atau kuso-kini prinsip keturunannya tetap patrilineal).

D. Istilah Dan Tata Cara Pergaulan Dalam Kekerabatan Suku Aceh

Sistem istilah-istilah dalam kekerabatan, menunjukkan sopan santun pergaulan kekerabatan. Istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat Aceh hanya dikenal untuk tiga tingkat ke atas dan tiga tingkat ke bawah dari ego. (dalam masyarakat Gayo dikenal lima tingkat ke atas dan tiga tingkat ke bawah).

Istilah-istilah tersebut terlihat dalam hubungan antar diri ( inter personal relationship ) sebagai berikut.

Sopan-santun pergaulan kekerabatan

Seorang ayah dalam kehidupan suatu keluarga sangat disegani oleh anggota-anggota keluarga. Maka seorang anak lebih rapat pergaulannya dengan ibu. Segala sesuatu masalah yang hendak disampaikan dalam keluarga tidak melalui ayah, tetapi selalu melalui ibunya.

Situasi kehidupan Suku Aceh sehari-hari urusan yang kecil-kecil menjadi urusan ibu, kecuali urusan itu memang perlu mendapat perhatian seorang ayah.

Hubungan mertua dengan menantu sangat terbatas, lebih-lebih dengan menantu laki-laki. Antara menantu dengan mertua sangat jarang berbicara, kadang-kadang sampai lahir seorang anak, kalaupun ada sangat terbatas.

Menurut pandangan masyarakat Aceh adalah tidak baik seorang menantu banyak berbicara dengan mertuanya, juga begitu sebaliknya. Maka tidak sedikit seseorang yang baru mengawinkan anaknya, ia akan pindah tempat tidur ke dapur, supaya jangan terdengar percakapan menantunya atau jangan saling bertemu pandangan

Bila ada sesuatu masalah yang sangat penting disampaikan oleh mertua, lebih-lebih mertua perempuan kepada menantunya yang laki-laki, ia tidak berhadapan langsung, kadang-kadang ia berbicara dari bilik dinding atau tabir.

Di Gayo pembicaraan antara menantu dengan mertua diusahakan melalui orang ketiga, meskipun orang ketiga itu adalah seorang bayi. Bila menantu berpapasan dengan mertua (terutama mertua laki-laki) ‘mereka biasanya saling mengalihkan pandangan atau tidak saling menatap. Namun keadaan ini sekarang sudah sedikit berubah.

Perasaan malu atau segan antara mertua dengan menantu, menandakan mertua sangat hormat kepada menantu, begitu juga sebaliknya. Tetapi hubungan mertua dengan cucunya sangat intim dan manja, kadang-kadang lebih dari anaknya sendiri.

Maka banyak orang-orang generasi sekarang, tidak mau anaknya tinggal bersama kakek atau neneknya. Karena terlalu dimanja menyebabkan si anak tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya yang murni.

Seorang menantu biasanya lebih akrab dengan adik iparnya yang lebih kecil. Adik ipar menjadi perantara antara menantu dengan mertua, bila istrinya tidak ada di rumah.

Mungkin menantunya ingin meminta sesuatu atau menyampaikan masalah penting. Anak biasanya lebih akrab dengan pihak saudara-saudara ibunya, walau saudara-saudara dari ayahnya yang bertanggungjawab, apabila ayahnya meninggal. Keadaan di Gayo, dengan kerabat pihak ayah tetap lebih akrab.

Hubungan kekerabatan yang sudah agak jauh, baik pihak istri maupun pihak suami (laki-laki) tidak begitu terbatas seperti antara menantu dengan mertua, asal tidak mengeluarkan kata-kata yang kotor. Menegur seseorang dengan hormat, tidak boleh bersenda gurau atau tertawa terbahak-bahak.

Linto Baro dan Dara Baro, Pakaian Adat Aceh

Dalam hal Pakaian Adat, Pakaian Adat Aceh mendapat pengaruh budaya Islam yang jelas terlihat dan menjadi kebanggan mereka. Seperti penjelasan mengenai pakaian adat daerah Aceh berikut ini:

Pakaian Adat Tradisional Laki-laki Aceh ( Linto Baro ):

Baju Adat Perempuan Aceh ( Dara Baro ):

Meski pada dasarnya kedua pakaian itu memiliki corak sama, namun dari segi ragam dan atribut ataupun simbol-simbol yang digunakan ada perbedaan antara pakaian yang digunakan laki-laki dan perempuan.