traveldraft

Timphan; Kuliner Aceh, Pengikat Tali Silaturahmi

Timphan adalah kue ‘istimewa’ dalam tradisi masyarakat Aceh, khususnya di Sigli, Kota Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, Bireun, dan lainnya. Makanan ini biasanya disajikan pada saat menjelang hari raya, tapi di luar hari-hari besar sekalipun masakan ini masih dapat dijumpai khususnya dalam kegiatan penting mereka.

PublishedAugust 27, 2016

byDgraft Outline

Tidak hanya sebuah masakan yang kaya akan rempah, Aceh juga cukup kreatif mengolah masakan dan memanfaatkan kekayaan alamnya untuk sebuah racikan yang berbeda.

Jika datang ke dataran Aceh, kita akan menemukan masakan khas Aceh yang diberi nama Timphan. Setiap rumah penduduk, baik yang di kota hingga desa, pasti menghidangkan kue yang satu ini di hari-hari tertentu. Timphan adalah kue khas Aceh yang biasanya isinya kelapa dan srikaya, asoe kaya, dan dibungkus oleh daun pisang.

Timphan merupakan satu jenis masakan yang secara bentuk memiliki kemiripan dengan lontong yang sering kita temukan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Isian dari Timphan berasal dari jenis yang mudah ditemukan di Aceh. Masakan ini memanfaatkan apa yang bisa diolah dari tanah mereka.

Hampir seluruh keluarga yang terutama memiliki garis keturunan perempuan dapat membuat masakan ini. Pewarisan ini yang justru menjadi wadah dan jalan komunikasi antara perempuan Aceh. Bukan hanya dalam keluarga mereka saja, tetapi dengan tetangga ataupun sanak saudara yang lain pun hal ini selalu dilakukan. Sambil diajarkan cara membuatnya, mereka akan saling bercakap dan saling men-transfer tentang hal apapun sehingga tali silaturrahmi diantara mereka terikat erat.

Bahan baku kue aceh ini terdiri atas tepung ketan, pisang raja, gula, telur ayam kampung, kelapa, minyak goreng, dan pucuk daun pisang sebagai pembungkus. Kendati harga telur ayam kampung lebih mahal, para ibu di sana lebih memilih menggunakannya dibanding telur ayam buras. Karena rasanya jauh lebih enak.

Cara membuatnya pun tidak rumit, cuma butuh waktu cukup lama. Kalau membuatnya selepas shalat isya, maka Timphan baru masak mendekati subuh. dari isiannya, Ada dua jenis Timphan:  isi telur dan kelapa. Untuk membedakannya, daun pisang raja untuk membungkus berisi telur warnanya agak hijau muda keputihan. Sedangkan untuk isi kelapa, daunnya lebih hijau atau kemerahan setelah kena uap.

Cara memasak secara tradisional menggunakan periuk tanah liat yang bagian tengahnya diberi sekat dengan lubang-lubang halus seperti saringan untuk menempatkan. Di bagian bawah periuk diisi air. Jadi Timphan dikukus bukan direbus.

Ini biasanya dilakukan para ibu di kampung-kampung. Sementara tukang masak di toko roti di kota menggunakan panci aluminum atau stainless steel untuk mengukus hingga matang. Rasanya jela beda. Lebih enak Timphan yang dikukus dalam periuk.

Kue ini selalu menjadi bagian hidangan khas Aceh pada acara-acara penting di dalam kebudayaan Aceh. Sering dibuat khusus untuk hari lebaran, pesta pernikahan yang merupakan hidangan pembuka utama bagi tamu yang hadir pada Khenduri dalam kebudayaan Aceh.

Makanan ini sudah tersohor tidak hanya di lingkungan Aceh, tetapi Aceh sendiri yang merupakan sebuah wilayah yang kuat akan ajaran Islam membuat warga dari kebangsaan lain pun mengenal bahkan membuatnya di tanah mereka masing-masing.

Kue spesial lebaran yang tetap dipertahankan meskipun bahan bakunya semakin mahal. Tanpa Timphan srikaya ataupun kelapa pada hari raya, lebaran terasa kurang lengkap meskipun sudah ada aneka penganan lain.

Timphan yang biasanya ditempatkan di nampan lebar atau piring-piring ceper, menjadi kue utama untuk menjamu tamu lebaran. Bagi menantu, Timphan seolah menjadi hantaran wajib ke rumah mertua saat ber-lebaran. Bila sudah begini, rasanya tak berlebihan bila banyak orang yang bilang itu kue Aceh paling istimewa untuk lebaran.

Begitulah masakan Aceh yang sederhana namun kuat akan tradisi dan rasa kekeluargaan. Tidak hanya untuk mengenyangkan perut yang memakannya, tetapi juga nilai budaya yang terus mengalir ke anak-cucu.

Timphan menjadi simbol kepulangan bagi siapapun warga Aceh yang jauh dari rumah mereka, seperti pada ungkapan dalam pribahasa: “ Uroe goet buluen goet Timphan ma peugoet beumeuteme rasa ” (Hari baik bulan baik, Timphan ibu buat harus dapat kurasakan).

Timphan adalah pengikat dan pengingat. Mereka yang sedang di rantau akan segera pulang untuk dapat berkumpul di rumah lalu bersama-sama menyantap Timphan yang dibuat oleh ibu tercinta.