traveldraft

Pura Besakih, Komplek Pura Terbesar di Bali

Jika bertanya “apa nama pura terbesar di Bali?”, jawabannya adalah Pura Besakih. Pura ini berdiri di kaki Gunung Agung yang merupakan gunung tertinggi di Bali.

PublishedSeptember 23, 2016

byDgraft Outline

Pura Besakih terletak di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Pura ini bisa ditempuh dengan waktu dua jam berkendaraan dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar.

Pura Besakih juga dijadikan objek wisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan asing dan mancanegara. Para turis wajib menggunakan sarung dan selendang untuk mengunjungi areal pura. Dan bagi pengunjung yang lagi datang bulan tidak diperkenankan masuk ke areal pura.

Pura Besakih terdiri dari beberapa komplek Pura. Satu Pura pusat yang benama Pura Penataran Agung dan 18 pura pendamping lainnya. Ada tiga candi besar yang terdapat di pura Penataran Agung.

Candi tersebut merupakan simbol stana dari sifat Tuhan yang disebut juga Tri Murti. Dewa-dewa tersebut ialah Dewa Brahma merupakan Dewa perlamban pencipta, Dewa Wisnu sebagai Pencipta dan Dewa Siwa sebagai pelebur. Sesuai dengan konsep hidup kita: lahir, hidup dan mati. Pura Besakih merupakan Mother Tample atau induk pura yang ada di Bali.

Konon, proses pembangunan pura ini memakan waktu hingga seribu tahun. Hal tersebut ditunjukan dengan bukti-bukti peninggalan sejarah masa megalitik, di komplek pura seperti menhir, tahta batu, dan struktur teras pyramid. Puncak Ritual yang paling besar di pura ini adalah Eka Dasa Ludra diambil dalam kurun 100 tahun sekali, upacara ini terkahir tahun 1979.

Pura Besakih dalam Lintasan Sejarah

Pura Besakih pada zaman dahulu belum ada apa-apa, hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali).

Pada saat itu Pulau Bali dan pulau Jawa masih menjadi satu daratan. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.

Resi Markendeya berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan, dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap).

Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah “Diyeng” di Jawa Tengah yang berasal dan kata “Di Hyang”).

Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.

Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.

Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten/sesaji).

Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula. Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung.

Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini.

Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu.

Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upacara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya.

Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara.

Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal, dan perumahan.

Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten/sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci).

Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama Basuki. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu.

Itulah cerita yang berasal kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.

Sumber lain yang ditulis antropolog David J. Stuart Fox, mengungkapkan secara historis mengenai pura Besakih secara konperhensif. Dalam bukunya Pura Besakih: Pura, Agama dan Masyarakat Bali ia menceritakan berbagai legenda tentang Besakih darisumber-sumber tertulis seperti Usana Bali maupun kisah-kisah lisan dalam cerita rakyat.

Menurut sumber-sumber tersebut Sri Kesari Warmadewa, pendiri dinasti Warmadewa yang menguasai Bali selama beberapa abad, dipercaya sebagai pendiri pertama kompleks pura di Besakih.

Namun David meragukan kebenaran cerita-cerita tersebut karena aspek cerita tentang Sri Wira Dalem Kesari (Sri Kesari Warmadewa) tersebut menunjukkan hubungan dengan dinasti Jaya yang memerintah Bali pada abad ke-12, antara tahun 1131-1200.

Dinasti Jaya yang dimaksudkan David adalah Jayasakti, Ragajaya, Jayapangus, dan Ekajaya-Lancana. Berdasarkan data prasasti Sading C (Bantiran), David memperkirakan bahwa Sri Wira Dalem Kesari adalah nama lain dari Jayasakti yang memerintah Bali antara tahun 1131-1150.

Keberadaan tokoh sejarah Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah juga dikaitkan dengan dengan cerita tentang Besakih. Mpu Kuturan secara tradisional dihubungkan dengan Pura Peninjoan dan sebagai arsitek pembangunan Pura Besakih.

Tempat ini konon dipakai oleh Mpu Kuturan sebagai titik pangkal tertinggi untuk merancang pembangunan kawasan Pura Besakih. Mengenai hal ini pun David masih meragukannya.

Nama Rsi Markandeya yang dikisahkan berasal dari Gunung Raung Jawa Timur dikaitkan dengan pendirian Pura Basukian. Legenda ini menurut David merupakan sesuatu yang baru yang sumbernya tidak ditemukan baik di dalam teks seperti Usana Bali maupun sumber lainnya.

Legenda tentang Rsi Markandeya ditemukan berdasarkan koleksi E. Korn tahun 1932 yang ditulis bersumber dari cerita seorang pedanda di Lebah Gianyar.

Sumber-sumber lain yang menyangkut legenda Rsi Markandeya ini pun oleh David dianggap sebagai sesuatu yang baru muncul sekitar tahun 1930-an. Semua keraguan yang disampaikan David yang selama ini diyakini sebagai sesuatu yang ‘benar’ oleh masyarakat Bali mestinya menantang para sejarawan atau arkeolog untuk memperoleh jawaban yang benar.

Kecuali menunjukkan keraguannya, David tidak (dapat) menjelaskan tentang kemungkinan perlakukan para penguasan zaman Bali Kuna terhadap Pura Besakih. Bahkan ia ingin mengingatkan bahwa Pura Penulisan di Kintamani memiliki peranan yang sangat penting.

Menurut David, walaupun lebih baik daripada yang lain sebagai tempat suci yang utama di Gunung Agung, Pura Besakih pada saat sekarang ini tidak perlu menjadi pura gunung yang paling penting.

Setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, perhatian terhadap Pura Besakih mulai diberikan oleh Dalem Ketut Ngulesir, penguasa kerajaan Gelgel pertama (1380-1480), karena keyakinan pada gunung sebagai tempat bersemayamnya para Dewa.

Gunung dalam kepercayaan Hindu (Jawa) disebut sebagai lingga acala (lingga alam semesta). Pada saat inilah tanggung jawab terhadap penataan dan penyelenggaraan upacara di Pura Besakih jelas-jelas menjadi tanggung jawab penguasa (raja).

Dua buah Purana (sejenis prasasti yang dikenal dengan nama Raja Purana Besakih) yang kini disimpan di Pura Besakih diyakini berasal dari raja Gelgel ini. Kedua prasasti tersebut menyatakan bahwa desa hulundang di Basuki (Besakih) merupakan sebuah desa yang “dilarang” atau “terlarang” untuk dilewati siapa saja.

Raja Purana Besakih ini secara jelas menjaga wilayah kekeran (radius yang disucikan) Pura Besakih, yang sayang saat ini telah banyak dilanggar, sehingga kesuciannya sebagai huluning jagat Bali sangat terancam.

Raja Purana menunjukkan bahwa ada tiga bagian divisi yang bertanggung jawab terhadap pura dan ritual di Besakih, yaitu Ida Dalem bersama-sama Anglurah Sidemen atas Pura Penataran Agung, Arya Karangasem dan Ksatria Tamanbali untuk Pura Kiduling Kreteg dan Pura Batumadeg, serta para pejabat lokal.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Pura Besakih yang berada di pulau Dewata ini berfungsi sebagai tempat ibadah dan upacara bagi umat hindu umat dari zaman dahulu sampai saat ini,dan juga termasuk salah satu peninggalan bersejarah di Indonesia dan pulau dewata khususnya.