etnografi

Bali

Kebudayaan Bali merupakan mikrokosmos yang luar biasa, epitom yang istimewa tentang alam, sejarah, kesusasteraan, legenda, agama, seni, arsitektur dan manusianya itu sendiri. Bali Subur dengan ritus agama. Pulau Dewata di antara mitos dan realita.

PublishedAugust 23, 2019

byDgraft Outline

Bali 1915
Image by Tropenmuseum

Dengan luas wilayah hanya 5.561 km2, atau 0,3 persen dari keseluruhan luas negara-nya, Bali merupakan salah satu provinsi terkecil namun paling masyhur di Indonesia.

Pulau ini terletak di atas dua lempengan tektonik yang saling tumpang tindih. Didominasi oleh sederetan puncak gunung berapi dengan ketinggian di atas 2.000 meter. Gunung Agung dengan ketinggian 3.140 meter merupakan yang tertinggi dan masih aktif.

Pulau para Dewa ini dibelah oleh sungai, kanal, dan juga ngarai yang diselimuti hutan. Lembah dan bukitnya diwarnai hamparan padi. Ujung pantai-pantai yang indah, dengan danau-danau yang mengisi sisa kawah.

Pemandangan alam pulau ini memperlihatkan sebuah tempat yang hampir memadukan khayalan dengan kenyataan. Jangankan manusia, Dewa pun konon menganggapnya surga.

Di sebelah barat, Bali dipisahkan dengan Pulau Jawa oleh Selat Bali dan di sebelah timur, dipisahkan dengan Pulau Lombok oleh Selat Lombok. Bali juga menjadi rantai terakhir dari jajaran pulau-pulau tropis yang dipisahkan garis imajiner zona ekologi Asialis dan Australasia.

Garis Wallace dan Weber ; Garis imajiner pemisah Australasia dengan Asialis adalah Garis Wallace — antara Borneo dan Sulaweis; antara Bali di barat dan Lombok di timur. Tapi garis ini kemudian sedikit dikoreksi dan digeser ke daratan Pulau Sulawesi oleh Weber; Garis Weber. Di satu sisi tanah hijau subur, di sisi lain tanah coklat; di satu sisi terdapat tupai dan kera di sisi lain terdapat komodo dan kakatua.

Table of contents

Open Table of contents

Asal-usul Orang Bali

Jumlah keseluruhan penduduk Bali mencapai tiga juta jiwa lebih, meliputi unsur Hindu mayoritas dan unsur Bali Aga minoritas. Yang terakhir kerap dianggap sebagai penduduk Asli Bali.

Konon, status “minoritas” mereka merupakan akibat dari perpindahan penduduk Jawa sejak abad ke-10. Sekarang kelompok-kelompok kecil masyarakat Bali Aga dapat ditemui terutama di bagian timur pulau ini.

Pada abad ke-15 Masehi, ketika kerajaan Majapahit dikalahkan oleh kekuatan kerajaan Islam Demak, ratusan orang Jawa-Hindu dari berbagai kelompok; bangsawan, cendekiawan, rohaniwan, seniman, dan rakyat biasa yang notaben -nya orang-orang setia Majapahit kemudian ramai-ramai mengungsi ke pulau Bali.

Jauh sebelum mendapat pengaruh Majapahit, Bali telah berpenghuni. Bukti peninggalan dari masa prasejarah banyak ditemukan di Desa Sembiran dan di wilayah pesisir timur serta tenggara Danau Batur.

Peninggalan-peninggalan artefak berupa kapak perimbas, kapak genggam, alat serut dan lain-lain. Peninggalan Prasejarah di Bali juga berlanjut hingga masa Perundagian, yang terkenal adalah Nekara Perunggu (Pejeng).

Dalam perkembangannya, Danau Batur juga merupakan salah satu tempat berkembangnya kebudayaan Bali dan hingga kini merupakan tempat bermukinya masyarakat Bali Aga.

Asal mula Suku Bali diperkirakan berasal dari Austronesia yang bermigrasi melalui wilayah Tonkin 2000 tahun sebelum Masehi. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan purbakala yang tersebar di Bali berupa kapak persegi kreasi-kreasi seni seperti hiasan pada nekara dan sarkofagus.

Bali Aga (Bali Mula)

Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan disebut sebagai masyarakat Asli Bali. Bali aga juga disebut Bali Mula yang menandakan bahwa mereka masih teguh memegang kepercayaan leluhur Bali.

Bali Aga menghuni Desa Tenganan dan Desa Trunyan, dan tersebar di desa Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was, Padangbulia. Desa tersebut seolah terpisah dari budaya yang berkembang di Bali.

Umumnya mereka tinggal dalam area yang dikelilingi sebuah benteng yang menutup seluruh desa. Untuk memasuki kawasan tersebut dapat diakses melalui empat gerbang terbuka yang berada di utara, selatan, timur dan barat, mewakili empat arah mata angin

Jika Masyarakat Bali umumnya memperlakukan orang mati dengan cara kremasi (pengabuan/Ngaben), sedangkan masyarakat Bali Aga di Desa Trunyan menyimpan mayat dia tas permukaan tanah; tradisi yang diberi nama Mepasah; Tradisi Pemakaman Desa Trunyan, Bali.

Religi dan Keyakinan

Tradisi, Ritual dan Upacara

Sebagian besar orang Bali (hampir 95 %) beragama Hindu, walaupun Hindu yang berbentuk sinkretis ; atau kadang disebut juga Hindu-Bali. Keyakinan orang Bali merupakan fenomena kompleks yang dilandasi berbagai aspek; Hindu, Siwa, Buddha dan berpadu dengan tradisi leluhur.

Penyembahan roh-roh halus, nenek-moyang, Dewa, dan unsur-unsur alam digabungkan dengan ajaran Hindu. Dalam beberapa kasus upacara adat dan ritual keagamaan-nya terdapat perbedaan dari satu wilayah dengan wilayah lainnya.

Dalam, kehidupan keagamaan Hindu Bali percaya akan satu yang tertinggi, Tuhan yang disebut Ida Sanghyang Widi Wasa atau Sang Hyang Tunggal, sementara Dewa Dewa adalah manifestasi atau realisasi darinya.

Konsep Trimurti mempunyai tiga wujud manifestasi, yaitu Brahmana yang menciptakan, Wisnu yang melindungi dan memmelihara, dan wujud Siwa (Syiwa) yang melebur segala yang ada. Siwa juga disembah dalam bentuk lain seperti “Batara Guru”.

Teks suci yang ditemukan dalam Agama Hindu Bali adalah Weda (Veda) dan Upanishad. Kitab suci yang menjadi dasar ajaran Hinduisme Bali. Dewa di dihormati dalam berbagai upacara dan sesaji.

Di samping percaya berbagai Dewa, Orang Bali juga menganggap penting konsepsi roh abadi ( atman ), timbal balik dari setiap perbuatan ( karmapala ), kelahiran kembali dari jiwa seseorang ( punarbawa ) dan kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali ( moksa ).

Hindu Bali percaya bahwa ada empat tujuan yang tepat dalam kehidupan manusia, menyebutnya Catur Purusarthadharma (moral dan etis), artha (kekayaan dan aktivitas), kama (kesenangan dan cinta) dan moksa (pengetahuan diri dan pembebasan).

Tempat melakukan ibadah di Bali pada umumnya disebut pura. Tempat yang biasanya berupa kompleks bangunan-bangunan suci yang memiliki sifat dan fungsi berbeda. Ada yang umum untuk berbagai golongan seperti Pura Besakih, ada yang berhubungan dengan kelompok-kelompok tertentu.Sementara tempat-tempat pemujaan di rumah disebut sanggah.

Masing-masing pura dan sanggah memiliki ritual perayaan dengan waktunya sendiri terutama berkaitan dengan hari-hari suci pada kalender dan penanggalan Bali. Sistem kalender Hindu Bali berdasarkan atas punama tilem. Tahun baru Saka, jatuh pada tanggal satu dari bulan kesepuluh ( kedasa ) disebut Nyepi.

Perayaan penting lainnya adalah hari raya Galungan dan Kuningan yang jatuh pada hari Rabu dan Sabtu dari uku galungan dan uku kuningan. Secara umum, ritual dan upacara keagamaan orang Bali dapat dibagi dala lima kategori upacara ( panca yadnya ):

  1. Manusia Yadnya, meliputi upacara yang berhubungan dengan siklus hidup dari masa kanak-kanak hingga dewasa.
  2. Dewa Yadya, upacara penghormatan terhadap dewa-dewa di kuil-kuil umum.
  3. Resi Yadnya, upacara yang berkenaan dengan pentahbisan (pengukuhan) pendeta, juga disebut mediksa.
  4. Pitra Yadnya, upacara yang ditujukan kepada roh dan leluhur meliputi upacara kematian hingga penyucian roh ( nyekah atau memukur).
  5. Buta Yadnya, upacara yang ditujukan kepada Kala dan Buta atau roh-roh yang dianggap dapat mengganggu.

Penyelenggaraan upacara yang sifatnya besar dilakukan oleh sulinggih pemimpin agama yang telah dilantik menjadi pendeta. Sebutan pemimpin agama juga tergantung pada kasta asalnya. Pendanda adalah pendeta kasta brahhmana, dan Resi adalah pendeta kasta ksatria.

Tempat pemujaan umum seperti kuil-kuil di desa atau banjar biasanya dijaga dan dipimpin oleh pemangku yang telah dikukuhkan dan melalui serangkaian upacara pentahbisan.

Keyakinan mereka, upacara, dan perayaan telah membimbing kehidupan orang Bali dari sejak dilahirkan hingga membentuk paduan yang mencerminkan karakter kebudayaan Bali.

Peraturan agama tidak hanya mengikat bentuk candi dan pura, tapi juga mengatur tata ruang desa, struktur rumah, dan sederet hak dan tanggung jawab dalam kehidupan mereka di Bumi ini; dari makan sampai menjelang tidur, dari berjalan hingga bertutur.

Jatakarma Samskara (Upacara Kelahiran)

Berbagai persiapan harus dilakukan untuk menyambut kelahiran seorang bayi, bahkan persiapan dimulai dari jauh waktu sejak bayi masih dalam kandungan ibu.

Serangkaian larangan bagi ibu yang sedang hamil misalnya: tidak boleh memakan makanan berasal dari hewan; tidak diperbolehkan memakan daging kerbau atau babi; jangan melihat darah atau orang yang terluka; tidak boleh melihat orang yang meninggal; dianjurkan untuk diam di rumah dengan upacara penyucian agar kelahiran bayi nantinya berjalan normal.

Bapak dari sang bayi harus dapat menghadiri kelahiran sang bayi dan menemani sang istri. Ketika sang bayi lahir, dulu, saat bayi lahir, sang bapak lah yang harus memotong ari-arinya dengan menggunakan pisau bambu. Ari-ari itu lalu disimpan.

Pada hari ke-21 setelah kelahiran, sang bayi akan dipakai-kan pakaian, seperti; gelang dari perak atau emas sesuai dengan kemampuan dan adat yang ada.

Mepandes (Upacara Meratakan Gigi)

Upacara pada masa transisi dari anak-anak menuju masa selanjutnya yang dijalankan oleh masyarakat Bali adalah upacara potong gigi atau mepandes, yaitu mengikir dan meratakan gigi bagian atas yang membentuk taring.

Tujuannya adalah untuk mengurangi sifat jahat atau buruk ( sad ripu ). Mepandes dilaksanakan oleh seorang sangging sebagai pelaksana langsung oleh seorang Pandita (Pinandita).

Pawiwahan (Upacara Perkawinan)

Upacara transisi lainnya adalah pernikahan atau Pawiwahan. Pawiwahan bagi orang Bali adalah persaksian di hadapan Sang Hyang Widi dan juga kepada masyarakat bahwa kedua orang yang yang akan menikah (mempelai) telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.

Dalam pelaksanaan pernikahan ini, akan terlebih dahulu dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya, ala-ayuning. Orang bali punya cara sendiri dalam menghitung hari dan tanggal baik sesuai dengan pertanggalan mereka.

Umumnya hari dan waktu yang baik ini dihitung oleh seorang ahli yang sangat mengerti perhitungan waktu dalam sistem penanggalan Bali. Hampir semua masyarakat masih mengenal sistem penanggalan Bali karena mereka dalam kesehariannya masih menggunakan kalender Bali.

Tempat melaksanakan pernikahan dapat dilakukan di rumah mempelai perempuan atau laik-laki sesuai dengan hukum adat setempat– desa, kala, patra)–yang Pelaksanaannya dipimpin oleh seorang Pendeta ( Pinandita ), Wasi dan atau Pemangku.

Ngaben (Upacara Kematian)

Salah satu upacara penting di Bali adalah upacara pembakaran mayat atau pengabuan yang disebut Ngaben. Selama upacara kematian ini berlangsung, gamelan, tarian, dan sesajen menyertai arak-arakan dengan sebuah “menara yang dihias” diarak dari rumah duka ke tempat pengabuan.

Ngaben bukan merupakan rangkaian akhir kehidupan manusia di Bumi, tapi layaknya roda kehidupan, Ngaben justru akan menjadi awal kehidupan seseorang yang telah meninggal.

Menurut ajaran Hindu, roh itu bersifat immortal (abadi), setelah bersemayam dalam jasad manusia, ketika manusia tersebut dinyatakan meninggal, roh akan be-reinkarnasi.

Tapi sebelumnya, roh terlebih dahulu akan melewati sebuah fase di nirwana untuk disucikan; sesuai dengan catatan kehidupan selama di bumi ( karma). Ngaben merupakan proses penyucian roh dari dosa-dosa yang telah lalu.

Oleh karena itu, orang Bali tidak menganggap kematian sebagai akhir dari segalanya, kematian merupakan bagian dari fase kehidupan yang baru. Seperti yang tercantum dalam Bhagavadgita,“akhir dari kehidupan adalah kematian dan awal dari kematian adalah kehidupan”.

Gunung dalam Kebudayaan Bali

Dalam alam keyakinan orang Bali, gunung mempunyai kedudukan penting. Gunung sebagai kosmos bahkan dipercaya menjadi unsur yang dominan dalam keyakinan dan arsitektur mereka.

Bagian penting dari ritual keagamaan yang berhubungan dengan gunung di Bali, adalah upacara yang dilakukan di gunung Agung, Sebagai gunung tertinggi dan dianggap sebagai ‘pusat bumi’.

Di kaki gunung Agung terdapat Pura Besakih. Selain perayaan dan upacara tahunan yang diatur oleh kalender keagamaan, di Pura ini juga digelar upacara untuk penyucian alam semesta yang disebut Eka Dasa Rudra, setiap 100 tahun sekali.

Kosmologi dan simbolisasi gunung dalam arsitektur Bali dapat dilihat pada bentuk dan struktur arsitektur Candi atau karakteristik gerbang yang dibuat menyerupai menara ada yang berlekuk menyerupai dua bagian piramida yang terpisah dan menggambarkan dua bagian gunung, satu bagian gunung Agung dan lainnya perwujudan gunung Batur.

Simbol umum lainnya adalah meru ; puluhan bahkan ratusan bangunan yang seperti pagoda itu berdiri di tempat-tempat suci, dan di pelataran candi. Bangunan didirikan pada lapisan batu yang memiliki serangkaian bentuk atap menyerupai tumpang piramida itu ditutup oleh daun palem hitam.

Gunung Mahameru

Gunung Mahameru atau Meru mempunyai kedudukan yang juga istimewa dalam kehidupan keagamaan orang Bali. Mahameru menggambarkan arti penting sebagai inti dari kehidupan; dari sanalah para Dewa mengatur kehidupan di Bumi.

Dalam filsafat Hindu Bali, tanpa adanya satu warna, maka mustahil bagi warna lainnya dapat melakukan fungsi dan tugasnya dengan baik dan benar. Catur Warna terjadi siklus saling memberi jika keempat golongan dapat memenuhi kewajibannya.

Tidak ada Warna yang lebih baik dari Warna lainnya, semuanya sejajar dalam rangkaian sistem kerja di masyarakat. Keempat Warna tidak didapat sejak lahir atau bersifat turun temurun, maka statusnya dapat diubah.

Seseorang yang lahir dalam keluarga Brahmana dapat menjadi seorang Sudra jika nyatanya ia tidak memiliki keluasan wawasan tentang kerohanian dan lebih terampil sebagai penyelenggara pekerja lapangan.

Untuk mencapai tujuannya masing-masing, maka keharmonisan dan keseimbangan antar Warna harus terus dijaga. Ketimpangan yang terjadi dalam satu Warna, maka kekusutan sistem masyarakat yang akan didapat.

Wangsa dan Kasta

Sedangkan yang dinamakan Wangsa dalam bahasa Sankskreta berarti bangsa, ras, atau etnik. Karena itu, sifatnya jelas turun temurun. Hal ini dalam sistem sosial politik sering dikaitkan dengan kasta. Kasta berasal dari bahasa Portugis, Casta diambil dari bahasa Latin Castus yang berarti suci.

Sudra tidak termasuk dalam Tri Wangsa. Sudra juga disebut jaba (luar), yang berarti golongan di luar ketiga kasta tersebut. Sedangkan pendapat lainnya menyebut bahwa Sudra masuk ke dalam Wangsa, yang kemudian istilah ini dinamakan Catur Wangsa.

Wangsa membentuk kasta, maka atribut itupun diwariskan turun temurun. walaupun Kejanggalan tidak sedikit terjadi, misalnya seorang berkasta Brahmana berprofesi sebagai warna Sudra, demikian sebaliknya. Selain itu, karena ini bersifat prestise, maka dilarang terjadi perkawinan silang antar kasta.

Hal ini telah membudaya hingga masa-masa berikutnya. Terlebih ketika keempat kasta tersebut menurunkan atribut turun temurun yang melekat pada nama seseorang. Untuk seseorang yang berkasta Brahmana, ia beserta turunannya otomatis mendapat gelar Ida Ayu (perempuan) dan Ida Bagus (laki-laki).

Untuk kasta Ksatriya yang pada masa itu bekerja di pemerintahan, otomatis keturunannya mendapat gelar Anak Agung. Sementara bagi kasta Weisya akan menyandang gelar Gusti Bagus (laki-laki) dan Gusti Ayu (perempuan).

Sedangkan kasta Sudra tidak memiliki gelar khusus, orang-orang berkasta Sudra hanya diberi penanda menurut urutan kelahiran: Wayan (anak pertama), Made (anak kedua), Nyoman (anak ketiga), dan Ketut (anak keempat). Jika seseorang memiliki anak lebih dari empat maka nama anaknya kembali pada urutan pertama. Dan hal inilah yang terjadi hingga sekarang.

Subak Bali

Subak merupakan organisasi adat petani di Bali, yang terutama dikenal karena metodenya yang khas dalam mengelola sistem pengairan (irigasi), terutama sawah.

Lebih dari sekedar organisasi adat yang mengatur tata kelola pengairan, Subak mewakili sejumlah dimensi kearifan lokal, dari mulai lanskap, nilai budaya, organisasi kemasyarakatan, hingga sistem kepercayaan yang unik.

Karena keunikan dan keluhuran nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO), mengakuinya sebagai salah satu warisan dunia.

Subak beranggotakan para pemilik dan penggarap, yang terlibat dalam pemanfaatan air irigasi dari satu sumber tertentu, baik itu empelan (bendungan), sungai, mata air, maupun air tanah.

Sebagai sarana pengairan, secara fisikal, sistem irigasi dalam Subak Bali adalah sebagai berikut:

Selayaknya sebuah organisasi, Subak Bali memiliki struktur kepengurusan. Jumlah jabatan kepengurusan bergantung pada besar kecilnya suatu Subak.

Dalam Subak yang besar, Prajuru (pengurus) terdiri dari Pekaseh (ketua), Petajuh (wakil ketua), Penyarikan (sekretaris), Patengan atau Juru Raksa (bendahara), dan Saya (pembantu khusus). Subak-subak yang besar biasanya dibagi kembali ke dalam sub-Subak, yang disebut dengan Tempek.

Prajuru Subak, kecuali Juru Arah dan Saya, dipilih oleh anggota Subak dalam satu rapat yang diselenggarakan khusus. Para pengurus tersebut menjabat untuk periode tertentu, yang umumnya lima tahun

Anggota Subak, yang umumnya disebut krama Subak, dibedakan menjadi tiga:

Selain fasilitas dalam teknis pengairan, Subak juga memiliki sarana yang diperuntukan bagi upacara-upacara keagamaan, yakni berupa pura, dengan berbagai tingkatan. Pura dalam lingkungan subak yang paling umum adalah Pura Bedegul.

Subak Abian ; Selain untuk sawah, sistem Subak juga telah diterapkan pada pertanian ladang, yang disebut sebagai Subak Abian. Kata “ abian ” sendiri dalam bahasa setempat diartikan sebagai “kebun”.

Sistem Gotong Royong di Bali

Mesilih-bahu. mesilih bahu berasal dari dua kata dasar, yaitu: silih =pinjam, dan bahu =bahu (secara harfiah) dalam konteks ini yang dimaksudkan adalah bahu binatang ternak yang biasa digunakan dalam pertanian, semisal sapi dan kerbau.

Dengan begitu, kata mesilih-bahu ini berarti saling pinjam binatang ternak antar satu petani dengan yang lainnya, biasanya dilakukan dalam kerja sama pengolahan tanah (pertanian) di sawah maupun tegalan.

Meslisi. Kata ini berarti saling bergantian membantu. Pada intinya, meslisi ini sama dengan mesilih-bahu yaitu sama sama bekerja sama meminjamkan ternak dan membantu sesama petani, namun yang membedakan adalah dari jumlah peserta anggota kerjasama di mana dalam meslisi berjumlah antara 2-5 orang dan berasal dari umur yang sebaya serta tidak terpatok pada sesama desa, melainkan bisa dengan petani dari desa tetangga.

Metulung. Tulung berarti tolong atau bantu. Dalam konteksnya, metulung berarti membantu seseorang yang sedang berada dalam keadaan bencana, malapetaka, atau kecelakaan. Metulung sifatnya spontan.

Ngrombo. rombo yang berarti bantu. Kerja sama terjadi karena ketidakmampuan tertentu, misalnya karena usia lanjut, atau jenis pekerjaan terlalu berat. Kerombo (artinya orang yang dibantu), pengrombo (artinya orang yang membantu), romboan (artinya menunjuk status seseorang sebagai penerima bantuan).

Ngajakang. Kata ini berasal dari kata ajak, artinya mengajak. Ngajakang adalah adanya suatu inisiatif dari pihak yang akan mengharapkan bantuan (yang memunyai kerja) untuk mengajukan permintaan ( ngajak ) kepada pihak-pihak yang akan membantu.

Ngedeng. Berasal dari kedeng, artinya tarik. Ngedeng berarti menarik bantuan, baik berupa bantuan tenaga maupun materi. Ngedeng biasanya terjadi hanya sesama anggota kelompok tertentu.

Kegiatan ini berlaku dalam berbagai bidang, seperti:

Ngoopin. Kata ini berasal dari kata dasar oop, artinya bantu. Bantuan dalam kerjasama ini berbentuk tenaga kerja. Bentuk ngoopin ini sendiri bisa bersifat spontan atau direncanakan sesuai kebutuhan.

Kulkul, Alat Komunikasi Tradisional Bali

Apabila terdengar suara-nya maka itu pertanda bagi siapapun yang mendengar untuk berkumpul. Panggilan tersebut bisa karena kesepakatan sebelumnya atau karena situasi mendadak.

Kulkul adalah alat bunyian yang umumnya terbuat dari kayu dan atau bambu. Di setiap kelompok masayarakat tradisional Bali biasanya terdapat setidaknya sebuah kulkul yang diletakkan pada sebuah bangunan yang disebut “ Bale Kulkul ”, tepatnya cukup tinggi dan digantungkan pada sudut depan pekarangan pura atau banjar.

Kulkul memunyai fungsi yang berkaitan erat dengan kegiatan dan fungsi banjar. Tanda Pertemuan, Tanda Pengerahan Tenaga Kerja, Tanda Gejala atau Bencana Alam dan tanda lainnya sesuai dengan kode-kode yang sebelumnya disepakati atau diberitahukan.

Selain di Bali, Kulkul–yang lazimnya disebut dengan kentongan–hampir terdapat di seluruh pelosok kepulauan Indonesia dan dijadikan alat komunikasi tradisional oleh masyarakat Indonesia pada masa lalu.

Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, kulkul lebih populer dengan nama “ Tongtong ”. Sedangkan pada zaman sebelumnya, kulkul disebut sasih atau bulan yaitu berupa tabuhan dengan lubang memanjang yang terbuat dari bahan perunggu; Nekara Perunggu.

Ada empat jenis kulkul yang dikenal masyarakat Bali yaitu Kulkul Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusa, dan Kulkul Hiasan. Kulkul Dewa adalah kulkul yang digunakan saat upacara Dewa Yadnya. Kulkul Dewa dibunyikan apabila akan memanggil para dewa.

Kulkul Bhuta adalah kulkul yang digunakan saat upacara Bhuta Yadnya. Kulkul Bhuta dibunyikan apabila akan memanggil para Bhuta Kala guna menetralisir alam semesta sehingga keadaan alam menjadi aman dan tenteram.

Kulkul Manusa adalah kulkul yang digunakan untuk kegiatan manusia, baik itu rutin maupun mendadak. Kulkul Manusa terbagi atas tiga yaitu Kulkul Tempekan, Kulkul Sekeha-sekeha, dan Kulkul Siskamling.

Kulkul Hiasan disebut karena kulkul ini diberi hiasan-hiasan untuk menambah keindahannya. Biasanya kulkul ini dianggap sebagai barang antik oleh wisatawan yang datang ke pulau Bali, sering dijadikan oleh-oleh atau buah tangan.

Seni dan Tradisi

Tarian, Pertunjukan, dan Hiburan

Orang Bali berkesenian untuk menyenangkan Dewa. Musik, Tarian, dan juga Patung adalah tiga bidang kesenian yang menjadi pusat konsentrasi eksplorasi dan kreativitas seni masyarakatnya.

Bali merupakan tempat lahirnya salah satu ragam gamelan yang mengagumkan. Dalam kebudayaan Bali, gamelan sangat penting untuk kegiatan budaya-sosial, dan keagamaan mereka. Saat ini sedikitnya ada 20 jenis ansambel berbeda di Pulau Bali.

Sebagian besar berkait erat dengan seni pertunjukan; yang lain untuk mengiringi upacara adat dan keagamaan. Gamelan ditemani oleh instrumen musik lainnya seperti: gong, saron, ceng-ceng, gambang, dll. Komposisi gamelan berubah sesuai wilayah dan jenis pertunjukan yang digelar.

Suara gamelan Bali berdengung di seantero Pulau. Di pura, di kota, desa, alun-alun, di pasar, istana hingga panggung-panggung pentas dunia.

Selain seni musik Gamelan Bali, tarian-tarian Bali merupakan seni pertunjukan yang menarik perhatian. Tari Bali tidak selalu memiliki alur. Tujuan utama penari adalah melakukan setiap tahap gerak dengan penuh ungkapan.

Di Bali terdapat berbagai jenis tarian dengan fungsi yang berbeda-beda misalnya untuk upacara-upacara keagamaan, menyambut tamu, pertunjukkan drama atau musikal, dan masih banyak lagi.

Keindahannya terutama terletak pada dampak visual dan gerak yang mujarad dan digayakan. Beberapa contoh terbaik dari tarian Bali ini adalah Tari Pendet, Tari Gabor, Tari Baris, Tari Sanghyang, dan Tari legong.

Tari Pendet, Tari Gabor, Tari Baris, dan Tari Sanghyang berperan penting dalam kegiatan keagamaan dan digolongkan jenis tarian suci ( wali ) atau tarian upacara, sedangkan Tari Legong ditarikan dalam acara yang tidak memiliki kaitannya dengan keagamaan. Tari-tari ini diiringi gamelan pelog–gamelan gong kebyar– dengan berbagai gubahan dan sususan nada.

Selain tari Tari Pendet, Tari Gabor, Tari Baris, Tari Sanghyang, dan Tari legong, tarian lainnya yang tak kalah terkenal adalah tari Kecak, juga tari Jauk.

Tari Pendet

Tari Pendet merupakan tarian selamat datang, ungkapan kegembiraan, kebahagiaan, dan rasa syukur melalui gerak indah dan lembut. Tarian ini dilakukan oleh sepasang atau sekelompok penari. Umumnya tidak lebih dari lima orang.

Pada masa lalu, pendet merupakan tarian yang digelar di pura untuk menyambut dan memuja dewa-dewi yang berdiam di pura atau turun ke dunia selama upacara odalan.

Beberapa seniman di pulau Bali merubah Tarian Pendet menjadi “tarian ucapan selamat datang”. I Wayan Beratha (1961) dan I Wayan Rindi (1967) dua orang koreografer yang menggubah tarian pendet modern yang kita kenal sekarang.

Meskipun tari pendet hari ini dikenal sebagai tari penyambut wisatawan, Tari pendet tetap mengandung anasir sakral-religius yang menyertakan muatan-muatan keagamaan yang kental.

Tari Legong

Tari Legong kerap dianggap sebagai lambang keindahan Bali. Ciri khas tarian ini adalah penarinya membawa kipas. Keindahan tarian Legong terletak pada hubungan selaras antara penari dan gamelan.

Gamelan yang mengiringi tari Legong adalah Gamelan Semar Pagulingan. Beberapa Lakon yang biasa dipentaskan dalam Legong bersumber pada cerita rakyat misalnya cerita Malat yang mengisahkan Prabu Lasem, cerita Kuntir dan Jobog yang mengisahkan Subali Sugriwa, kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa, dan lain sebagainya.

Legong mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasi) oleh gamelan yang mengiringi. Diduga kata legong berasal dari kata “ leg ” yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan “ gong ” yang berarti instrumen pengiringnya artinya gamelan.

Legong dipengaruhi oleh Tari Sanghyang dan Tari Gambuh. Gambuh sendiri merupakan Sendratari yang berasal dari pra-Islam Jawa. Cerita yang paling umum dipakai sebagai lakon ialah cerita Panji.

Tari Legong memiliki aturan gerak yang ketat. agem (posisi gerak dasar), Tangkis (gerakan peralihan), Tandang (cara bergerak), Tangkep (ekspresi). Namun Ciri yang sangat kuat dalam tari Legong adalah gerakan mata dan ekspresi penarinya.

Macam-Macam Tari Legong:

Legong Lasem (Kraton) Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang Legong dan seorang condong. Condong tampil pertama kali, lalu menyusul dua Legong yang menarikan Legong lasem. Repertoar dengan tiga penari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri).

Legong Jobog dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah dari cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog).

Legong Legod Bawa. Tari ini mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tatkala mencari rahasia Dewa Syiwa.

Legong Andir (Nadir). Mengambil cerita Calonarang yang merupakan ciri khas tari Legong di desa Tista (Tabanan).

Legong Kuntul. Legong ini menceritakan sepasang kuntul yang asyik bercengkerama.

Sang Hyang Legong atau Topeng Legong. Tari Legong yang penarinya menggunakan topeng. Gerakan para penari Legong topeng sangat gemulai, tanpa satupun gerakan cepat.

Selain jenis diatas, ada juga Legong Smaradahana, Legong Sudarsana, Legong Playon dan Legong Untung Surapati. Sejak abad ke-19 Legong tidak lagi menjadi Seni dan kesenian Istana. Legong juga dipentaskan dan dinikmati di desa-desa.

Tari Kecak

Tari kecak biasa disebut tari Cak atau Api ( Fire Dance ) merupakan tari pertunjukan massal yang cenderung sebagai sendratari yaitu seni drama dan tari.

Tari Kecak seluruhnya menggambarkan seni peran dari “Lakon Pewayangan” seperti Rama Sita dan tidak secara khusus digunakan dalam ritual agama hindu seperti pemujaan, odalan dan upacara lainnya.

Tarian Kecak berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar, melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat.

Tidak sulit untuk mengambil definisi atau kenapa tari ini disebut Tari Kecak. Ketika penari laki-laki menari kan tarian tersebut, terdengar kata “cak…cak…cak” dari sanalah kata Kecak diambil.

Seorang akan bertindak sebagai pemimpin yang memberikan nada awal seorang lagi bertindak sebagai penekan yang bertugas memberikan tekanan nada tinggi atau rendah seorang bertindak sebagai penembang solo, dan seorang lagi akan bertindak sebagai ki dalang yang mengantarkan alur cerita.

Tari Topeng Telek

Termasuk Jenis tari wali (sakral dan suci) yang dipentaskan di Pura-pura sebagai sarana meminta keselamatan dunia. Untuk mengusir merana (hama-penyakit), sasab (penyakit pada manusia) serta marabahaya yang mengacaukan harmonisasi dunia.

Topeng Telek, dianggap tetamian (warisan) yang pantang untuk tidak dipentaskan. Di Banjar Adat Gelgel, Telek dipentaskan dua kali setahun di Pura Dalem Guru. Setiap kali Telek dipentaskan, seluruh krama menyaksikan untuk memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Sementara di Desa Adat Jumpai, Telek dipentaskan dua kali dalam satu bulan di Pura Penataran Dalem Cangkring, Pura Taman Sari dan Pura Dalem Katu lampa.

Tarian Telek dibawakan oleh empat penari pria truna bunga (akil balik). Topeng Telek bukan tarian lepas (tidak berdiri sendiri) tetapi dirangkaikan dengan tari Jauk, topeng Penamprat, Batara Gede (barong), Rarung dan Batara Lingsir (rangda). Rangkaian yang berpadu membangun satu-kesatuan cerita dengan durasi sekitar dua jam.

Tari Kebyar Duduk

Tari ini disebut Kebyar Duduk oleh karena sebagian besar gerak-gerakan tarinya dilakukan dalam posisi duduk dengan kedua kaki menyilang (bersila). Tari kebyar duduk disebut juga dengan tari Kebyar Terompong jika dimainkan memakai instrument Terompong.

Tari Kebyar duduk digubah oleh I Ketut Mario tahun 1925. Seperti halnya tarian Baris, tari Kebyar adalah tarian tunggal. Jika Tari Baris mengilustrasikan gerakan-gerakan kesatria Bali. Tarian Kebyar penekannya adalah eksplorasi penari pada nuansa musik dengan ekpresi dan gerakan .

Tari Kupu-kupu Tarum

Gerak Tari Belibis menunjukkan penampilan yang menarik dan harmonis. Penarinya mempunyai sayap sehingga gerakannya yang menyerupai burung belibis. Tari belibis dibawakan oleh 7 orang perempuan.

Tarian belibis digubah oleh dua orang yang terlibat, dan dua orang tersebut berbeda komposisi. Pertama Swasthi Wijaya Bandem sebagai koreografi dan I Nyoman Windha sebagai komposernya.

Tari Belibis

Tari kupu-kupu (Kupu-Kupu Tarum) diciptakan oleh I Wayan Beratha tahun 60-an. Tarian group yang ditarikan oleh lima orang atau lebih, menggambarkan gerak kupu-kupu yang terbang dan hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya.

Busana penari didominasi warna biru tua ( tarum ). Warna lainnya seperti kuning emas, dan hijau tua serta mahkota yang berkilauan dengan pernak-pernik keemasan, menggambarkan keindahan kupu-kupu di alam bebasnya.

Gerakannya gemulai serta komposisinya dinamis, menjadikan tarian kupu- sedikit berbeda dengan tarian Bali lainnya dan terkesan lebih modern. Meski tidak sepenuhnya meninggalkan kekhasan budaya Bali.

Tari Manukrawa

Dari Sejarahnya, tari Manukrawa diambil dari tari klasik Bali yang dipadukan dengan gerakan tari dari Jawa dan Sunda, dipadu dan dimodifika sesuai dengan tuntutan keindahan.

Tarian manuk rawa pertama diciptakan pada tahun 1980-an oleh I Wayan Dibia (koreografer), dan I Wayan Beratha (komposer). Sebelum menjadi sebuah tari lepas, tari Manukrawa merupakan bagian dari sendratari Mahabharata “ Bale Gala-Gala ”.

Tarian dibawakan oleh sekelompok penari wanita (antara lima sampai tujuh orang). Tarian kreasi baru ini menggambarkan perilaku sekelompok burung (manuk) air (rawa) sebagaimana yang dikisahkan didalam cerita Wana Parwa dari Epos Mahabharata.

Tari Sanghyang Bali

Tari Sanghyang dahulu ditarikan sebagai tarian dalam upacara sakral yang berfungsi menenangkan dan mengusir roh halus dan jahat serta berkomunikasi dengan alam yang mengandung kekuatan magis.

Dalam keadaan sehari-hari, tari-tarian tradisional yang sakral seperti itu tidak dapat dinikmati di sembarang tempat dan waktu, berbeda halnya dengan tarian yang sudah dimodifikasi menjadi tontonan umum seperti tari barong, legong, baris, tari kecak dan sebagainya.

Tari Sanghyang ada beberapa jenisnya antara lain Sanghyang Dedari, Sanghyang Dewa, Sanghyang Deling, Sanghyang Dangkluk, Sanghyang Penyalin, Sanghyang Celeng, Sanghyang Medi, Sanghyang Bumbung, Sanghyang Kidang, Sanghyang Janger, Sanghyang Sengkrong dan Sanghyang Jaran.

Secara umum Tari Sanghyang berfungsi untuk mengusir wabah penyakit yang sedang melanda suatu desa (daerah) ataupun sebagai sarana pelindung terhadap ancaman dari kekuatan magis hitam (black magic).

Tari yang merupakan sisa-sisa kebudayaan pra Hindu ini biasanya ditarikan oleh dua gadis yang masih kecil (belum dewasa) dan dianggap masih suci.

Mereka, calon penari Sanghyang harus menjalankan beberapa pantangan, seperti tidak boleh lewat di bawah jemuran pakaian, tidak boleh berkata jorok dan kasar, tidak boleh berbohong, tidak boleh mencuri dan sebagainya, serta harus mengikuti petunjuk dan tata tertib desa yang telah ditentukan.

Penari Sanghyang pada waktu menari tersebut dalam keadaan tidak sadar ( in trance ) seperti kemasukan roh. Mula-mula calon penari dengan kerudung putih kepalanya diasapi dengan kemenyan dan nyanyian suci mengalun mengiringi upacara awal. Untuk menjaga agar dua penari ini tidak jatuh ketika memasuki alam tidak sadar, ditugaskan dua orang wanita.

Kerudung putih akan dibuka setelah penari tadi sudah nadi (kehilangan kesadaran). Dalam keadaan seperti inilah mereka menari-nari, kadang-kadang di atas bara api dan selanjutnya keliling desa dengan maksud mengusir wabah penyakit. Biasanya atraksi ini dilakukan pada malam hari sampai tengah malam.

Jenis dan Variasi Tari Sanghyang

Setiap kabupaten bahkan juga desa mempunyai ciri khas masing-masing. Misalnya pada jenis Tari Sanghyang Dedari, umumnya ditarikan oleh seorang atau dua gadis, melalui upacara pedudusan (pengasapan) yang diiringi dengan nyanyian atau kecak dengan musik gending pelebongan. Penari Sanghyang diarak memakai joli (tandu).

Di Desa Pesangkan, Karangasem ada variasi lain yaitu dua gadis penari menari di atas sepotong bambu yang dipikul, sedang di Kabupaten Bangli penari Sanghyang menari di atas pundak seorang laki-laki, Jenis tari seperti ini juga dikenal dengan nama Tari Sanghyang Dewa.

Selain itu dikenal juga dengan nama Tari Sanghyang Deling. Tari ini ditarikan oleh dua gadis dengan membawa deling (boneka dari daun lontar) yang dipancangkan di atas sepotong bambu. Deling ini dianggap dapat kemasukan roh suci lalu diarak sambil menari.

Sanghyang Deling dulu terdapat di sekitar danau Batur. Gamelan (musik) yang dipergunakan sangat sederhana yaitu hanya seruling dan gendang. Sekarang tarian ini sudah tidak dijumpai lagi di tempat tersebut. Namun demikian tarian yang hampir sama dengan Sanghyang Deling dapat dijumpai di Tabanan dan diberi nama Sanghyang Dangkluk.

Ada pula Tari yang mempergunakan rotan sehingga disebut Tari Sanghyang Penyalin (penyalin berarti rotan). Tari ini ditarikan oleh seorang laki-laki dan sambil mengayun-ayunkan sepotong rotan panjang dalam keadaan tidak sadar, tetapi di Bali utara tarian ini ditarikan oleh seorang gadis (daha) dengan pakaian tari.

Di Desa Pesangkan dan Duda. Karangasem ada lagi jenis Tari yang digemari oleh anak-anak, yang disebut Tari Sanghyang Celeng (celeng “berarti, babi). Tarian ini ditarikan oleh seorang anak-laki yang berpakaian serat ijuk berwarna hitam. Ia menari dan menirukan gerakan-gerakan jalannya seekor babi, berkeliling desa dengan maksud mengusir roh jahat yang mengganggu ketenteraman desa.

Dalam jenis yang sama di Bali utara dikenal juga Tari Sanghyang Memedi (memedi berarti mahluk halus). Penarinya berpakaian istri daun atau pohon padi sehingga menyerupai memedi. Penari Sanghyang Memedi juga menari dengan tidak sadarkan diri setelah diisapi dengan kemenyan.

Di Desa Sanur Denpasar mempunyai Tari yang hanya ditarikan pada malam bulan purnama yang disebut dengan Tari Sanghyang Bungbung, dengan mempergunakan potongan bambu yang diberi lukisan orang sebagai pelengkap. Tari ini ditarikan oleh seorang wanita yang juga dalam keadaan tidak sadar.

Jenis lainnya yaitu Tari Sanghyang Kidang, yang hanya dijumpai di Bali utara, ditarikan oleh seorang wanita. Dalam keadaan tidak sadar penari menirukan gerakan-gerakan seekor kidang (kijang). Tarian ini diiringi dengan nyanyian bersama tanpa mempergunakan alat musik.

Tari Sanghyang yang sudah mengalami perkembangan dan perubahan dan dikenal luas sampai sekarang adalah Tari Sanghyang Janger. Dulu tarian ini bersifat sakral, namun kemudian mengalami perubahan dan menjadi Tari Janger yang diiringi dengan cak. Tari ini dapat disaksikan luas seluruh pelosok Pulau Dewata dengan makna yang sudah berbeda.

Selain itu dikenal pula Tari Sanghyang Sengkrong. Tarian ini ditarikan oleh seorang anak laki-laki yang juga dalam keadaan tidak sadar. Disebut Sanghyang Sengkrong diperkirakan dari kata songkrong yang berarti kain putih panjang yang dipergunakan menutup rambut yang terurai yang biasanya dipakai oleh leyak-leyak (manusia jadian) di Bali.

Tari Sanghyang yang juga dikenal luas di Bali adalah Tari Sanghyang Jaran (kuda). Penyebarannya hampir pada setiap kabupaten. Penarinya biasanya terdiri dari dua laki-laki. Bentuk kuda yang dipergunakan bervariasi. Di Bali selatan terbuat dari kayu dan rotan dengan ekor pucuk kelapa dan penari meniru gerakan kuda dalam keadaan tidak sadar. Di Bali utara penarinya memakai topeng kuda dan diiringi dengan kecak.

Di Desa Unggasan, Kuta Kabupaten Badung, Sanghyang Jaran ditarikan secara berkala (lima hari sekali) pada bulan Nopember sampai dengan Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut diperkirakan wabah penyakit berkecamuk. Disamping itu Sanghyang Jaran sering ditarikan sebagai kaul setelah sembuh dari suatu penyakit.

Tari Barong

Tari barong banyak jenisnya, Barong singa adalah yang paling umum ditemukan di Bali. Kata barong diduga berasal dari kata bahruang yang berarti binatang beruang, binatang mitologi yang dianggap sebagai binatang pelindung.

Pertunjukan tari digelar dengan atau tanpa lakon, diiringi dengan gamelan yang berbeda-beda seperti gamelan Gong Kebyar, gamelan Babarongan, dan gamelan Batel.

Topeng Barong dibuat dari kayu dan mengambil wujud binatang mitologi: Barong Ket (berwujud singa), Barong Landung (berwujud raksasa), Barong Celeng (berwujud babi hutan), Barong Macan (macan atau harimau), Barong Naga (naga atau ular), Barongan Pilangrejo (barong berwujud singa).

Selain itu ada Barong Brutuk, Barong yang memakai bulu-bulu dari daun pisang kering (kraras) dan sangat dikeramatkan oleh masyarakat Trunyan. Ada juga Barong yang biasanya dipertunjukkan khusus pada upacara ngaben.

Magebug dan Mekare

Magebug dan Makare merupakan dua pertunjukan olah raga yang hampir sama. Seperti halnya olahraga tinju, Magebug dan Mekare mencari sasaran bagian tubuh lawan untuk memenangkan pertandingan.

Yang membedakan dengan pertandingan olah raga tinju adalah alat pemukul dan musik yang selalu mengiringi dan beberapa tarian yang diperagakan.

Megebug mempergunakan rotan sebagai alat pemukul sedangkan Mekare mempergunakan seikat daun pandan berduri. Sebagai alat pelindung, setiap pemain dibekali dengan perisai.

Magebug dikenal di Desa Seraya dan Mekare dikenal di Desa Tenganan. Desa Seraya terletak di ujung timur pulau Bali termasuk dalam Kecamatan Karangasem. Sedangkan Desa Tenganan, terletak di Kabupaten yang sama dan juga tidak jauh dari kota Amlapura.

Wisatawan lebih mengenal Mekare ini dengan sebutan perang pandan. Di Lombok permainan sejenis Magebug dikenal dengan nama perisean.

Mekare biasanya diselenggarakan pada sasih (bulan) ke lima (perhitungan bulan Bali), dalam rangkaian ngusaba sambah (upacara yang dilakukan secara berkala) di Desa Tenganan. Sebelum dimulai didahului dengan serangkaian upacara.

Jalannya Magebug dan Makare diatur oleh Dua hingga enam orang pakembar yang fungsinya kurang lebih sebagai pengatur pertandingan. Pakembar dilengkapi dengan perisai. Tugas mereka selain mengatur pertandingan, juga bertugas sebagai penjaga ketertiban .

Magebug dan Makare dilaksanakan siang hari. Magebug diiringi instrumen gamelan yang terdiri dari dua kendang, dua buah reong atau bonang, sepasang cengceng, satu kempul dan satu gong. Sedangkan Makare diiringi dengan alunan gamelan selonding.

Pakaian Adat Bali

Setidaknya ada tiga jenis pakaian Adat Bali yang umum dikenakan oleh masyarakat Bali. Pertama, pakaian adat untuk upacara keagamaan. Kedua, pakaian adat untuk upacara pernikahan. Dan, ketiga adalah pakaian adat untuk aktivitas sehari-hari. Pakaian Adat khas Bali ini juga berbeda antara yang dipakai oleh laki-laki dan perempuan.

Misalnya pemakaian sanggul ke pura oleh remaja putri. Mereka memakai sanggul atau pusung gonjer sedangkan untuk perempuan dewasa (sudah menikah) menggunakan sanggul ( pusung tagel ).

Busana Agung adalah pakaian adat Bali yang paling mewah. Pakaian adat Bali yang satu ini biasanya dipakai pada rangkaian acara pernikahan. Busana Agung mempunyai beberapa variasi tergantung tempat, waktu dan keadaan.

Kain yang digunakan dalam pakaian adat Bali yang satu ini adalah wastra wali khusus untuk upacara atau kain putih sebagai simbol kesucian. Tapi, tak jarang pula kain dalam pakaian adat Bali ini diganti dengan kain songket yang sangat pas untuk mewakili kemewahan atau prestise bagi pemakainya.

Sedangkan untuk laki-laki Bali selain menggunakan kain putih sebagai pakaian adat Bali. Mereka juga memakai kain tenunan songket kampuh gelagan atau dodot yang dipakai hingga menutupi dada. Udeng menutup kepala dan keris sebagai pelengkapnya.

Sementara, perempuan Bali sebelum menggunakan Busana adat biasanya menggunakan kain lapis dalam yang disebut sinjang tau tapih untuk mengatur langkah wanita agar tampak anggun.

Kain Gringsing

Kain gringsing Desa Tenganan dikenal sebagai tenun ikat ganda, yang berati benang pakan dan benang lungsin sudah diberi motif melalui teknik pengikatan sebelum dicelup ke dalam pewarna

Secara etimologi, gringsing berasal dari kata gring yang berarti sakit, dan sing berarti tidak. Dari gabungan kedua kata tersebut dapat diartikan “tidak sakit”, secara lebih luas gringsing dapat diartian sebagai penolak mara bahaya.

Olah karena itu, orang Tengangan memandang kain gringsing memiliki fungsi yang sangat penting dan khusus dalam bagian kebudayaan mereka.

Kain gringsing memiliki ragam motif yang variatif, jenis yang hingga saat ini dapat dilihat antara lain: Geringsing Lubeng, Geringsing Lubeng, Geringsing Cecempakan, Geringsing Cecempakan, Geringsing Isi, Geringsing Wayang, dan Geringsing Batun Tuung.

Gapura Candi Bentar dan Rumah Adat Bali

Rumah adat Bali menggabungkan elemen, nilai-nilai spiritualitas, tradisi, dan estetika, berpadu harmonis menghadirkan pesona khas kebudayaan Bali di dalamnya

Istilah Gapura Candi Bentar sendiri sejatinya merujuk pada bangunan gapura yang menjadi gerbang pada rumah-rumah tradisional Bali. Gapura tersebut terdiri dari dua buah candi serupa dan sebangun, tetapi merupakan simetri cermin, yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk ke pekarangan rumah.

Gapura tersebut tidak memiliki atap penghubung pada bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian dalam oleh anak-anak tangga yang menjadi jalan masuk.

Selain di Pulau Bali, gapura dengan tipe seperti ini juga bisa dijumpai di Pulau Jawa dan daerah Lombok. Gapura Candi Bentar pertama kali mucul pada zaman Majapahit. Di area bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah dan Yogyakarta, gerbang serupa ini juga dikenal dengan sebutan supit urang (capit udang).

Rumah bagi orang Bali adalah keseluruhan bangunan dalam pekarangan yang bisanya dikelilingi tembok ( panyengker ). Bangunan-bangunan yang dimaksud beserta masing-masing fungsinya, diantaranya:.

Rumah Bali dibangun dengan aturan Asta Kosala Kosali, yakni filosofi yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

Umumnya, sudut utara-timur adalah tempat yang lebih disucikan, sehingga diletakan ruang-ruang yang lebih dinilai suci, sedangkan sudut barat-selatan merupakan sudut yang lebih rendah derajat kesuciannya dalam tata ruang rumah, yang biasanya merupakan arah masuk ke hunian atau untuk bangunan lain seperti kamar mandi dan lain-lain.

Mata Pencaharian

Pada umumnya masyarakat Bali bermata pencaharian dari sektor pertanian, mereka bercocok tanam dengan teratur di ladang-ladang yang memiliki curah hujan cukup baik, peternakan dan bidang perkebunan ditemui juga sebagai usaha penting pada masyarakat pedesaan di Bali.

Perbedaan lingkungan alam dan iklim di wilayah Bali memengaruhi pengolahan tanah dan bercocok tanam. Di wilayah Bali Utara, curah hujan sedikit, dan lahan garapan kurang sehingga banyak menjadi wilayah perkebunan.

Beternak juga diusahakan walaupun hasilnya masih relatif kecil jika dibandingkan perikanan darat maupun laut juga menjadi sumber kehidupan. Kekinian sebagian masyarakat menggeluti bidang kerajinan meliputi anyaman, tenunan kain, ukir-ukiran, dan lain sebagainya.

Kreativitas manusia Bali dalam berbagai bidang seperti: teknik membuat patung, tarian, arsitektur, musik dan berbagai ekspresi kesenian lainnya, dengan percaya diri mereka perlihatkan ke hadapan dunia.