etnografi

Kebudayaan Batak

Batak merupakan istilah kolektif untuk mengidentifikasi beberapa suku bangsa yang bermukim di wilayah Sumatra Utara yang memiliki kesamaan bahasa dan Kebudayaan budaya. Orang Batak terutama dikenal dengan garis keturunan marga yang terus diteruskan berkali bergenerasi

PublishedAugust 19, 2019

byDgraft Outline

kebudayaan batak
Image by Tassilo Adam / Tropenmuseum (1914-1919)

Wilayah yang dihuni mayoritas suku Batak meliputi daerah pegunungan Sumatra Utara, dengan Aceh sebagai pembatas di utara dan riau di Selatan. Mereka juga mendiami wilayah pegunungan di antara pantai Timur Sumatra utara dan Pantai Barat. Sisanya menyebar di pelosok negeri hingga ke luar negara.

Istilah Batak adalah penyederhanaan merujuk pada enam suku bangsa yang dipercaya memiliki hubungan historis. Suku bangsa yang disebut Batak; Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing, pada kenyataannya memiliki budaya yang beragam. Bahkan, tidak mungkin rasanya menggambarkan Batak sebagai satu kelompok budaya.

Kebudayaan Batak sangat rumit, kompleks dan sebagian masih misteri. Mereka juga terus berubah bersama arus peradaban. Orang Batak kini telah menjadi Kristen atau Muslim, meninggalkan daerah kelahiran untuk tinggal di kota-kota besar seperti jakarta atau Medan, walaupun masih ada lainnya yang tinggal di desa dengan nyaman.

Di sisi lain, di tengah kehidupan dan kebudayaan Batak yang sangat dinamis, orang Batak masih tetap mempertahankan identitas yang jelas dan dapat dikenali.

Si Raja Batak Leluhur Batak ; Banyak versi yang menyebutkan asal-usul bangsa Batak. Tapi Umumnya Orang Batak hampir Sepakat (terutama Orang Toba), berdasarkan Tambo Batak (cerita leluhur Batak), semua suku bangsa yang disebut Batak kini, berasal dari nenek moyang yang sama yaitu Si Raja Batak.

Table of contents

Open Table of contents

Asal Usul Orang Batak

Bangsa Batak Dalam Lintas Sejarah

Meskipun Batak memiliki sistem penulisan yang sangat tua, tidak ada sumber tertulis tentang sejarah asal-usul Batak. Naskah Batak yang disebut pustaha itu kebanyakan berisi mantra yang digunakan oleh para Datu untuk ritual dan doa.

Tapi Sedikitnya dapat diketahui bahwa bagian selatan daerah Batak mendapat pengaruh Hindu-Buddha sejak abad ke-6 Masehi. Walaupun Orang Batak tidak terlalu mengenal masa lalu Hindu-Buddha mereka, lebih dari 10 Candi ditemukan di wilayah Mandailing. Candi-candi di Padang Lawas dari periode yang sama bahkan cukup terjaga.

Selain bangunan Candi, Pengaruh Hindu-Buddha juga hadir dalam bentuk tulisan, bahasa Sanskerta dan mitologi yang banyak kesamaan dengan wilayah Jawa.

Di abad ke-11 ada komunitas Tamil yang tinggal di Barus, komunitas perdagangan yang menjadi mercusuar di sepanjang Pantai Barat. Periode ini menunjukkan bahwa baik wilayah pesisir dan pedalaman Sumatra Utara telah terlibat dalam hubungan yang luas.

Marco Polo juga tercatat tiba di Barus pada tahun 1233. Namun setelahnya, Sumatra Utara seolah menghilang dari arus Informasi dan baru muncul kembali pada akhir abad ke-18 yaitu dalam catatan-catatan etnografi yang cenderung tertarik pada hal-hal aneh-ajaib dan dalam babak sejarah Perang Padri.

Wilayah Batak benar-benar seolah tertutup untuk dunia luar. Bahkan orang Eropa harus menunggu hingga pertengahan abad ke-19 untuk bisa menyaksikan pesona Danau Toba yang melegenda.

Dari Melayu Tua (Proto Malayan) ; Beberapa dugaan menyebut bangsa Batak berasal dari keturunan ras Proto Melayu yang bermigrasi melalui jalur Thailand ribuat tahun lalu.

Pembagian Wilayah Batak

Suku Batak terdiri dari sub suku bangsa yang mendiami wilayah berbeda di Sumatra Utara. Mereka juga berbicara dengan logat dan dialek bahasa Batak bahasa yang berbeda:

  1. Suku bangsa Angkola mendiami wilayah Angkola dan Sipirok, sebagian wilayah Sibolga dan Batang Toru dan bagian utara Padang Lawas. Suku bangsa Angkola menggunakan Bahasa Batak logat Toba.
  2. Suku bangsa Karo mendiami daerah dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Serdang, dan Dairi. Orang Karo menggunakan bahasa Batak Logat Karo.
  3. Suku bangsa Mandailing mendiami wilayah Mandailing, Pakatan, Ulu, dan wilayah Selatan Padang Lawas. Suku bangsa Mandailing menggunakan Bahasa Batak logat Toba.
  4. Suku bangsa Pakpak mendiami sebagian besar wilayah Dairi, menggunakan logat Dairi.
  5. Suku bangsa Simalungun mendiami wilayah Simalungun dan menggunakan bahasa Batak Logat Simalungun.
  6. Suku bangsa Toba mendiami wilayah tepian Danau Toba, Pulau Simosir, Dataran Tinggi Toba, Asahan, Silindung, wilayah diantara Barus dan Sibolga, dan wilayah Pagae hingga Habinsaran. Suku bangsa Toba menggunakan Bahasa Batak logat Toba.

Untuk menyatakan kesatuan wilayah atau teroterial, Suku Batak mempunyai beberapa istilah yang menyangkut wilayah tempat tinggal dan pola perkampungan mereka:

Unit politik utama orang Batak adalah desa dan perkampungan. Unit-unit politik yang lebih besar tidak ada di antara orang Batak, meskipun keadaan dapat memaksa mereka untuk membangun aliansi dengan desa-desa lain. Hubungan kekerabatan tetap menjadi landasan utama untuk menjalin hubungan persahabatan.

Marga dalam Kebudayaan Batak

Sistem Kekerabatan dan Sosial

Di banyak masyarakat, juga di antara orang Batak, sulit untuk memisahkan wilayah sosial dan politik. Baik kehidupan sosial dan prestise status politik sebagian besar didasarkan pada hubungan kekerabatan. Kelompok sosial yang paling penting di Kebudayaan Batak adalah Marga (Toba) atau Merga (Karo).

Marga adalah klan atau kelompok kerabat patrilineal yang memiliki hubungan satu sama lain melalui hubungan geneologis dan atau pernikahan secara eksogami. Marga berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan diantara mereka.

Eksogami artinya tidak diperbolehkan menikah dengan seseorang yang memiliki Marga yang sama, seseorang harus menemukan pasangan di marga lain. Dengan cara ini, jaringan kerabat dan kewajiban terbentuk; sebuah mekanisme kuat yang menyatukan kebudayaan Batak kemudian.

Setiap marga memiliki dua jenis hubungan dengan marga lainnya. Marga pemberi gadis disebut hulahula (atau Puang di Pakpak) dan memiliki status lebih tinggi daripada marga yang mengambil istri, disebut Boru di antara orang Toba (atau Berru di pakpak).

Ini berarti bahwa pada waktu-waktu tertentu suatu Marga memiliki posisi hierarki yang lebih tinggi, dibandingkan dengan keluarga lain, dan pada lain waktu mereka memiliki posisi yang lebih rendah.–bisa menjadi sub klan.

Tidak ada pemimpin dalam kekerabatan Marga atau Raja dalam kebudayaan Batak yang berkuasa atas semua orang Batak. Si Singa Mangaraja jelas menunjukkan bagaimana politik kekerabatan Marga dapat digunakan untuk meningkatkan status dan pengaruh seseorang sehingga mempunyai kedudukan yang dihormati dan dipercayai oleh banyak marga.

Nama Marga Batak

Marga adalah identitas. Seorang Batak bahkan cukup mengetahui banyak hal dari seorang Batak lain hanya dengan tahu Marga-nya; dari mana dia berasal, sifat-tabiat hingga kedudukan sosial. Walaupun cenderung stereotip tapi begitulah kenyataan.

Menurut buku “Leluhur Marga Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.

Marga pada Batak Karo terdapat lima marga, yaitu marga Karo-karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Parangin-angin. Dari lima marga tersebut terdapat sub marga lagi. Total submarganya ada 84.

Adapun Batak Toba yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba, pada dasarnya berasal dari tiga kelompok utama: Borbor, Lontung dan Sumba. Beberapa nama Marga pada suku Batak Toba yaitu Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede

Pada suku Batak Pakpak, Jumlah Marganya lebih dari 50 diantaranya, Sitongkir, Tinambunan, Sambo, Dabutar, Kaloklo dan lainnya.

Lalu pada Batak Simalungun terdapat empat marga yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba. Konon merupakan hasil Harungguan Bolon (permusyawarahan besar) untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan.

Sementara pada Batak Mandailing beberapa marganya antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut.

Mengadopsi Marga Batak ; Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak dengan orang Batak, maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (yang lain). Proses Adopsi ini juga berlaku bukan hanya untuk menikah saja. Pemberian Marga sebagai Gelar kehormatan juga kerap dilakukan.

Sistem Kekerabatan Orang Batak

Pernikahan Suku Batak

Pernikahan orang Batak adalah peristiwa penting. Hadiah dipertukarkan dan negosiasi diperlukan untuk menentukan jumlah barang yang benar untuk diberikan. Beberapa barang sudah diberikan sebelum pernikahan dan beberapa mengikuti bertahun-tahun kemudian.

Secara umum, Toba membedakan barang-barang pria, yang disebut piso dan barang-barang wanita, ulos. Piso berasal dari keluarga mempelai pria dan diberikan kepada keluarga mempelai wanita dan ulos pergi sebaliknya.

Piso adalah sebilah senjata pedang pendek istilah ini lebih jauh dikaitkan dengan logam-logam berharga. sedangkan Ulos adalah kain, dan merujuk pada hamparan sebidang tanah.

Perkawinan ideal dalam suku Batak adalah seorang laki-laki yang menikahi perempuan saudara laki-laki Ibunya. Dengan demikian, tidak terjadi perkawinan antara satu marga dan juga menghindari pernikahan dengan anak perempuan dari saudara perempuan pihak ayah.

Rangkaian Pernikahan Batak

Diantara suku bangsa lain di Indonesia, Perkawinan suku Batak adalah yang paling rumit. Mengikat hubungan antara kaum kerabat laki-laki dengan kaum kerabat wanita. Bahkan dalam tradisi masyarakat lama, Laki-laki tidak bebas memilih pasangannya.

Rangkaian pertama sebagai pembuka adalah Mangariksa dan Pabangkit Hata. Mangariksa adalah kunjungan dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak wanita, lalu dilanjutkan dengan proses Pabangkit Hata atau lamaran.

Inisiatif melamar diambil oleh kerabat si laki-laki dengan mengirimkan utusan resmi ke rumah gadis. Kunjungan lamaran ini disebut Nugkuni oleh orang Karo atau Ngembah Belo Selembar. Orang Toba menyebutnya Marhusip.

Rangkaian kedua adalah Marhori-Hori Dinding, yaitu membicarakan lebih lanjut mengenai rencana perkawinan serta pestanya.

Ketiga adalah Patua Hata, yakni para orang tua memberikan petuah atau nasihat sebagai bekal kepada kedua mempelainya nanti. Proses ini merupakan proses yang amat serius.

Keempat adalah rangkaian yang dinamakan Marhata Sinamot ( Ngembah Manuk bagi orang Karo) yakni pihak pria mendatangi pihak wanita untuk membicarakan perundingan yang menyangkut:

Lalu dilanjutkan dengan rangkaian keenam yakni Martumpol, yaitu penandatanganan surat perstejuan kedua belah pihak.

Kemudian rangkaian ketujuh adalah Martonggo Raja, yaitu seremoni atau pernikahan yang akan digelar. Prosesi ini memberitahukan kepada masyarakat mengenai pernikahan yang akan digelar.

Rangkaian kedelapa n adalah Manjalo Pasu-pasu Parbagosan, yaitu pemberkatan kedua pengantin yang dilakukan oleh pihak gereja bila agama mereka adalah Kristen Protestan. Prosesi ini merupakan hal yang terpenting dan tak boleh dilewatkan karena orang Batak adalah penganut Kristen yang taat.

Rangkaian terakhir adalah pesta perkawinan. Marunjuk/menghuti dalah bahasa Toba (Pesta Unjuk). Petuturen atau Endemu Bayu di bahasa Karo. Prosesi ini merupakan rangkaian terakhir dari keseluruhan rangkaian pernikahan.

Seputar Pernikahan Batak

Selain perkawinan dengan prosedur yang disebutkan, orang Toba juga mengenal mangalua yaitu perkawinan yang terjadi karena tidak ada kesesuaian kedua belah pihak. Laki-laki akan membawa perempuan kemudian baru memngirim utusan pemberitahuan. Upacara manuruk-nuruk akan dilakukan jika perkawinan dengan prosedur ini.

Ada juga perkawinan levirat, yaitu perkawinan antara janda dengan keluarga dekat suami. Dalam bahasa Karo Lakoman, Mangabia dalam bahasa Toba.

Lakoman tiaken jika janda tersebut kawin dengan saudara almarhum suaminya. Lakoman ngalihken senina, jika kawin dengan saudara tiri almarhum. dan Lakoman ku nandena jika kawin dengan anak saudara almarhum suaminya.

Sebagian besar rumah tangga suku Batak bersifat monogami. Walaupun hukum adat Batak tidak melarang melakukan poligami atau Poligini. Poligini merupakan sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan.

Pola menetap sesudah menikah pada suku Batak umumnya virilokal; tinggal menetap pada keluarga suami. Walaupun ada juga uxorilokal, yaitu tinggal menetap pada keluarga perempuan yang dalam budaya batak disebut hanela.

Poligini Suku Batak ; Jika seorang Batak menjadi istri kedua ( manindi ) maka ia dan anak-anaknya sama sekali tidak berhak atas segala harta yang ada. Namun rumah tangga yang tidak bisa memiliki anak adalah alasan yang lazim dipakai untuk melakukan poligini.

Kepercayaan dan Religi Batak

Sistem Kepercayaan, Agama dan Ritual

Toba dan Karo adalah orang Kristen, sedangkan Mandailing (dan Angkola) di selatan adalah Muslim. Sejarah panjang kelompok-kelompok ini, termasuk kontak dengan misionaris Kristen atau dengan tetangga langsung mereka (Aceh dan Minangkabau yang Islam) mengidentifikasikan perkembangan budaya dan religi yang sangat berbeda di wilayah batak.

Kristen dan Islam kendati merupakan agama mayoritas suku Batak saat ini, dua agama tersebut merupakan kebaruan. Hindu dan Buddha lebih dulu menyapa Sumatra Utara seiring dengan perkembangan kerajaan-kerajaan di Sumatra pada abad ke-6. Namun, kepercayaan ini nyaris tidak populer setelahnya. Walaupun demikian, konsepsi kepercayaan Hindu-Buddha tersinkretis dalam kepercayaan Batak lama.

Baru pada abad ke-19 orang Batak mengadopsi berbagai agama baru (Kristen, Katolik, Islam) yang bertahan hingga sekarang dan oleh karenanya, kita masih bisa melihat eklektika dengan kepercayaan lama.

Orang Batak juga masih ada yang menganut konsepsi agama lama, salah satunya dikenal sebagai Permalim ( Ugamo Malim ). Permalim awalnya adalah kelompok yang berusaha menjaga wilayah dan tradisi Batak Lama. Ugamo artinya alam spiritual ( ngolu partondion ) ada juga yang menyamakan dengan agama, sementara Malim artinya suci.

Sumber utama untuk mengetahui kepercayaan Batak lama adalah kitab-kitab kuno batak yang disebut pustaha. Selain berisi cerita tambo, buku yang terbuat dari kulit kayu ini juga berisi konsepsi kepercayaan orang Batak di masa lalu.

Pencipta dan Dewa Dewa Batak

Alam semesta beserta isinya dalam kepercayaan Batak lama diciptakan oleh Debata / Dibata ( Debata Mulajadi na Balon / Ompung ), orang Karo menyebutnya Dibata Kaci Kaci.

Orang Karo membagi dunia Dibata dalam tiga kedudukan atau alam kekuasaan: dibata di atas, dibata di tengah dan dibata di teruh (bawah).

Batara Guru sebagai Dewa Karo utama adalah Dewa Dunia Atas, dia menikahi Teruh, yang adalah Dewi Dunia Bawah. Bumi, seperti yang kita kenal sekarang, belum ada. Putra Batara Guru yang bernama Banoa Koling lah yang menciptakan bumi (Dunia Tengah). Putra Batara Guru lainnya adalah Paduka Aji merupakan Dewa Dunia Bawah.

Orang Karo juga mengenal dewa penguasa lain, yaitu penguasa matahari yang dipanggil Sinimataniari dan penguasa bulan, Beru Dayang.

Kepercayaan Toba Meskipun tentu saja ada kesamaan dengan pandangan kepercayaan Karo, ada juga banyak perbedaan. Dewa utama Toba adalah Mula Jadi Na Bolon. Dia tinggal di Dunia Atas dan memiliki tiga putra: Batara Guru, Mangalabulan dan Soripada.

Dunia Bawah adalah tempat tinggal Naga Padoha (ular naga). Berbeda dengan Karo, Orang Toba menyebut bahwa Si Boru Deak Parujar yang menciptakan bumi, ia anak Batara Guru, orang tua Si Raja Batak, nenek moyang semua Batak.

Tondi dan Begu

Bagi banyak orang Batak, para Dewa dianggap terlalu jauh untuk memperhatikan manusia. Dewa-dewa bahkan tidak memiliki dampak besar pada praktik keagamaan Batak. Tidak ada persembahan yang diberikan kepada para Dewa dan banyak orang Batak tidak memiliki pengetahuan rinci tentang dunia Dewa.

Praktik keagamaan mereka jauh lebih terkait dengan roh dan makhluk perantara. Roh dianggap dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari dan ketika mereka tidak bahagia, dapat mengancam dan bahkan membunuh manusia. Karenanya persembahan harus dibawa kepada mereka dan bukan kepada Dewa ‘yang lebih tinggi’.

Tondi adalah jiwa-kehidupan. Tondi diberikan kepada seseorang sebelum kelahirannya oleh Dewa Mula Jadi Na Bolon. Tondi ini yang menentukan sebagian besar kehidupan seseorang.

Selain manusia, tanaman dan hewan juga memiliki Tondi. Benda-benda tertentu juga dipercaya memiliki Tondi walaupun dalam jumlah yang berbeda. Untuk semua yang hidup, pertimbangan pertama adalah menjaga agar Tondi dalam jumlah yang tepat dan selalu bahagia berada dalam tubuhnya.

Ketika seorang Batak mati, tondi meninggalkan tubuh dan begu dibebaskan. Jika Tondi didefinisikan sebagai jiwa-kehidupan, Begu dapat dimaknai sebagai jiwa-kematian seseorang.

Begu juga disebut tondi ni na mate, “ Tondi orang yang sudah meninggal”. Akan tetapi, yang lebih umum tampaknya adalah kepercayaan bahwa pada saat kematian seseorang, Tondi kembali ke dunia atas dan Begu adalah esensi roh yang lain.

Setiap orang, baik pria maupun wanita, menjadi begu pada saat kematian. Begu harus disenangkan dengan saji-sajian ( pelean ). Begu yang dihormati baik di dunia roh dan manusia adalah Begu Sumangat. Karenanya Begu dari nenek moyang disebut sumangat ni ompu.

Sombaon adalah begu yang dihormati dan ditakuti. Begu tertinggi dalam dunia roh menguasai pegunungan dan hutan. Solobean dan Silan adalah begu yang menguasai dan menghuni tempat-tempat tertentu. Begu Ganjang Ganjang adalah begu yang berbahaya dan mencelakakan.

Begu dan Hierarki Jiwa yang Mati

Status Begu seseorang dapat diubah dengan menyelenggarakan horja, ritual pesta besar dengan persembahan babi, sapi, dan atau kerbau, Begu dari anggota keluarga yang telah meninggal dapat mengubah hierarki di dunia roh; seorang begu bisa menjadi sumangat atau bahkan sombaon. Untuk setiap jenjang kenaikan hierarki, sebuah pesta harus diselenggarakan; Makam leluhur yang sudah bertahun-tahun akan digali untuk acara ini dan tulang belulang kembali dikuburkan ketika pesta selesai.

Datu; Pemimpin Agama dan Ritual

Datu memainkan peran penting dalam alam kepercayaan masyarakat Batak. Orang Karo menyebutnya sebagai guru. Pengetahuan tentang ritual dan dunia roh adalah hak prerogatif seorang Datu atau Guru.

Datu bertanggung jawab untuk interpretasi yang benar dari aturan dan pelaksanaan ritual tertentu, termasuk pilihan tanggal yang tepat untuk melakukannya.

Pengetahuan itu dituliskan panjang lebar dalam pustaha, buku-buku dari kulit kayu yang tidak boleh dibaca sembarang orang. Aksara yang digunakan berasal dari aksara kawi Jawa-Kuno. Instruksi tertulis juga dapat ditemukan pada tabung bambu atau Tongkat.

Seorang Datu, bukan hanya perantara dunia lain atau penangkal roh jahat. Datu juga dinilai mampu mensiasati masalah-masalah sosial dan ekonomi, yang pastinya dengan cara-cara ajaib dan gaib.

Untuk keperluan ritual atau menawarkan perlindungan, Datu menggunakan beragam objek. Dari mulai wadah untuk menyimpan zat ajaib dan benda langka hingga jimat teks yang dituliskan di berbagai media.

Namun, objek ritual yang paling mencolok adalah tongkat-nya. Seringkali Tongkat Sakti itu memiliki dekorasi dan diukir dengan indah, menunjukkan bahwa benda tersebut memang objek ritual yang penting dan penuh dengan makna simbolis.

Ada dua jenis Tongkat Sakti: tunggal panaluan dan tunggal malehat. Dahulu, tongkat tersebut juga berfungsi sebagai lambang kelompok. Bahkan sebuah desa tidak diakui secara resmi jika tidak memiliki sebuah tongkat Sakti. Kini Tongkat yang diasosiasikan sebagai lambang kebudayaan Batak in tersimpan di banyak Museum.

Spesialisasi Datu ; Orang Karo mengenal Datu atau guru dengan beberapa spesialisasi-nya, diantaranya: penyembuh dan peramu obat-obatan, penyembuh penyakit mental, spesialis kalender hari baik atau buruk, peramal nasib, perantara antara yang hidup dan yang mati, spesialis mantra sihir, pencipta ramuan sihir, ahli sihir hitam, spesialis pembuat jimat, dan Datu yang siap melawan Begu yang mendatangkan bencana.

Kematian dalam Kebudayaan Batak

Ritual dan Upacara Kematian

Kematian di antara orang Batak tidak pernah merupakan masalah individu, atau masalah keluarga. Kematian selalu melibatkan kelompok kerabat besar. Pesta diselenggarakan, hewan disembelih, musik dan tarian digelar.

Ritual penguburan sangat beragam di antara orang Batak. Perbedaan terjadi selain karena daerah yang berbeda juga karena status sosial. Ritual pemakaman di satu desa yang sama dapat berbeda sesuai dengan status keluarga. Kematian yang dianggap tidak wajar juga diperlakukan dengan cara lain.

Ada beberapa jenis kematian dalam kebudayaan Batak. Kematian orang tua yang telah memenuhi kewajiban hidup mate saur matua dianggap yang utama dan sangat berbeda dibandingkan dengan ritual kematian seorang wanita yang meninggal saat melahirkan.

Upacara adat kematian Batak umumnya diklasifikasikan berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan ( mate di bortian ) maka ia belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati)

Bila mati ketika masih bayi ( mate poso-poso ), mati saat anak-anak ( mate dakdanak ), mati saat remaja ( mate bulung ), dan mati saat sudah dewasa namun belum menikah ( mate ponggol ), semuanya mendapat perlakuan adat.

Mayat ditutupi selembar ulos. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan ulos untuk mate dakdanak dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu).

Mate saur matua -lah yang menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Ada juga mate saur matua bulung yakni mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga dan bahkan telah bercicit.

Rangkaian Upacara Kematian Batak

Ketika seorang Batak meninggal, pihak-pihak kerabat segera mengadakan martonggo (musyawarah keluarga). Membahas persiapan pengadaan upacara dan pesta. Upacara ini penting untuk memungkinkan Begu memasuki dunia orang mati yang terhormat,juga menunjukkan status sosial keluarga yang ditinggalkan.

Martonggo melibatkan dalihan natolu terdiri dari pihak hulahula (kelompok keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok teman atau saudara se-marga), dan pihak boru (kelompok dari pihak marga suami). Dongan sahuta (Tetangga dan masyarakat setempat) turut hadir sebagai pendengar.

Saur matua (Upacara Kematian) dilaksanakan pada siang hari. Ketika seluruh pelayat telah datang dan memberikan penghormatan, dilakukan ritual jambar.

Jambar terdiri dari: juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat.

Jambar juhut dan jambar hepeng bersifat jamuan, sedangkan jambar hata adalah kata penghiburan kepada keluarga almarhum ( hasuhuton ). Setiap pergantian jambar hata, diselingi jambar tor-tor atau manortor (menarikan tarian tor-tor ).

Urutan jambar hata dimulai dari hulahula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha.

Pada kesempatan manortor pihak tulang (saudara laki-laki ibu almarhum), menyelimutkan ulos ragi idup langsung ke badan mayat. Bona tulang ( hulahula dari pihak marga saudara laki-laki nenek almarhum) dan bona ni ari ( hulahula dari pihak marga ibu kakek almarhum) membawa ulos sibolang ) yang dikembangkan di atas peti mayat, tanda kasih sayang yang terakhir.

Kemudian pihak hulahula secara khusus mangulosi (menyematkan ulos ) kepada pihak boru dan hela (menantu) sebagai simbol pasupasu (berkat). Pihak hulahula juga mengulosi istri / suami yang ditinggalkan dengan ulos sampetua.

Hulahula lalu menyampirkan ulos (sesaat secara bergantian) dengan ulos panggabei di bahu masing-masing anak laki-laki yang tertua sampai yang paling bungsu. Ulos kemudian diberikan kepada anak lelaki tertua disertai kata-kata berkat.

Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata pihak hasuhuton sebagai balasan kepada masing-masing pihak, sekaligus ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu.

Setelah pekuburan dilakukan ada ritual ungkap hombung, membicarakan harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak yang berhak.

Istilah Hombung diambil dari nama sebuah peti yang berfungsi layaknya brankas ataupun lemari. Hombung adalah peti tempat orang batak di masa lalu penyimpanan harta-nya.

Peti Mati ; Di antara orang Toba, mereka yang mampu membelinya akan dimakamkan di peti kayu atau batu. Peti mati sering sudah dibeli dan dipahat sebelum seseorang meninggal dan disimpan di bawah atap atau di luar rumah.

Seni dan Budaya Batak

Musik, Tarian, Busana, dan Arsitektur

Orang-orang Batak telah membangun rumah-rumah yang megah, ukiran dan ornamen yang indah, benda-benda ritual serta menghasilkan budaya material sehari-hari. Yang utama, Mereka adalah penenun ulung.

Ulos

Dijalin menurut komposisi Dalihan Na Tolu, Ulos memberikan kesaksian dari beberapa tema utama tentang kehidupan sosial Batak. Kain ulos ditransmisikan dari ibu ke anak perempuan. Kain menyatukan generasi dan menjalin hubungan antar klan.

Ulos berpartisipasi dalam sistem aliansi matrimonial asimetris. Tiga warna dalam ulos melambangkan jumlah klan patrilinear yang diperlukan untuk keberhasilan pernikahan dan reproduksi sosial.

Dalihan Na Tolu dari bahasa Toba, di Simalungun disebut Tolu Sahundulan memiliki makna tiga yang utama. Pertama, Hulahula, yaitu kelompok keluarga istri. Kedua, Sanina, yaitu saudara se-marga. Ketiga, Boru yaitu kelompok saudara perempuan dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan pihak ayah.

Ulos hadir dalam berbagai ritual orang batak. Dalam Pernikahan, membungkus pengantin baru dalam ulos adalah harapan untuk persatuan. Benang lungsin dikaitkan dengan domain wanita, sementara benang pakan membentuk elemen pria. Kain ulos dengan demikian membentuk jalinan yang harmonis.

Setiap ulos memiliki sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal tertentu. Ada banyak jenis kain ulos yang dikenal dan dibuat oleh masyarakat Batak. Jenis-jenis ulos menurut wilayahnya diantaranya:

Ulos si tolu tuho yang biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita, ulos suri suri yang sering dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe, ulos rujjat yang dipakai untuk pesta, ulos sadum yang memiliki warna cerah dan ulos ragi idup yang melambangkan kesuburan dan kesepakatan.

Musik dan Instrumen

Batak juga memiliki budaya musik yang hidup. Instrumen yang dominan adalah gendang (ada Taganing, Gordang, Gonrang dan juga Gondang), seruling (Sarune Bolon, Sarune Sulim, dan Sarune Bulu) dan instrumen petik (Hasapi, Hapetan dan Kulkapi).

Selain tiga utama itu, juga ada jenis instrumen musik dari logam sejenis gong (Ogung, Faritia, Aramba Panggora dan Hesek), instrumen bambu atau kayu (Garantung, Druri Dana dan Doli Doli).

Beberapa instrumen dapat digunakan dalam kombinasi satu sama lain dalam orkestra kecil. Musik dahulunya merupakan media untuk menghubungi arwah para leluhur.

Meskipun aspek religius alat musik batak sangat kuat, tapi tidak menutup diri bagi seniman untuk mengapresiasi-nya dalam seni kebaruan.

Tari-tarian Sumatra Utara

Perbendaharaan seni tari tradisional Batak meliputi berbagai jenis tari, ada yang bersifat magis, sakral, dan ada yang bersifat hiburan atau profan. Di samping tarian adat yang menjadi ritual penting dalam suatu upacara, tari sakral biasanya ditarikan oleh datu-datu.

Termasuk jenis tari batak yang sakral adalah Tari Guru dan Tari Tungkat. Para datu menarikan-nya sambil mengayunkan tongkat sakti yang disebut Tunggal Panaluan.

Tari yang bersifat hiburan ialah tari jenis pergaulan yang ditarikan pada pesta dan perayaan. Yang termasuk tari muda-mudi atau tari pergaulan Batak ini misalnya Tari Morah Morah, Tari Parakut, Tari Sipajok, Tari Patam-Patam, dan Tari Kebangkiung.

Tari Magis yang cukup dikenal dari Masyarakat Batak adalah Tari Tor Tor. Dua diantaranya yaitu tari Tor Tor Nasiaran dan Tor Tor Panaluan. Tari Tor Tor dilakukan dengan penuh kekhususan dan kekhusuan, terutama dalam acara kematian.

Selain untuk ritual Tor Tor juga untuk penyemangat jiwa dan sarana untuk penghiburan. Di masa lalu Tor Tor ditarikan sebagai bagian ritual dan upacara kematian, upacara panen, penyembuhan, dan ritual pembersihan (Tor Tor Pangurason).

Gerakan Tor Tor seirama dengan iringan musik magondangi yang dimainkan menggunakan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain.

Bagaimanapun Tor Tor bertansformasi, dicoba untuk diperbaharuai, diadaptasikan atau diubah sekalipun, Tor Tor tetaplah Tor Tor yang dahulu, yang akan punya daya magis pengikat kita dengan leluhur.

Topeng Batak

Seni topeng Batak adalah karya seni rupa, patung, sekaligus seni pertunjukan. Di Karo topeng disebut gundala gundala, di Simalungun huda huda, di Pakpak Dairi mangkuda kuda.

Biasanya pertunjukan topeng melibatkan empat penari yang memainkan peran laki-laki dan satu perempuan, disertai oleh rangkong (burung) dan topeng kuda (huda huda).

dalam beberapa kelompok Batak topeng muncul untuk menemani orang yang meninggal ke dunia orang mati, juga dalam ritual yang berkaitan dengan alam, serta mengusir roh jahat.

Si Gale-gale

Si Gale-gale adalah boneka kayu yang mengambil bentuk manusia (laki-laki) lengkap dengan pakaian tradisional Batak. Dalam Ranah Seni, Si Gale-gale termasuk seni teater boneka ( puppet-theatre ).

Tiap-tiap bagian tubuhnya diberi persendian dan tali sedemikian rupa sehingga seseorang (dalang) dengan iringan musik dapat memainkannya. Balige salah satu desa orang Toba adalah tempat asal Si Gale Gale.

Saat ini Si Gale Gale juga digunakan untuk pertunjukan wisata, tetapi di masa lalu itu pertunjukan hanya digelar ketika seorang pria meninggal tanpa mempunyai keturunan.

Pertunjukan Si Gale Gale juga digunakan untuk mengusir roh jahat. Namun, tujuan yang utama membuat dan menggunakan Si Gale Gale adalah untuk berkomunikasi dengan orang yang telah meninggal.

Rumah Orang Batak

Rumah-rumah Orang Batak biasanya didirikan dengan tiang-tiang kayu dan beratap ijuk. Letaknya memanjang dari timur ke barat kira-kira 10-30 meter. Pintu rumah ada pada sisi sebelah barat dan atau timur. Pada masa lalu pintu masuk juga dibuat di bagian lantai sehingga penghuni masuk dari bawah rumah.

Pada bagian puncak atap yang menjulang, dipasang tanduk kerbau atau ornamen arca manusia. Sementara puncaknya yang lain melengkung dan membentuk setengah lingkaran. Kecenderungan ornamen nampak pada keterkaitan geometris, bunga dan komposisi berirama.

Kalamakara dibentuk dalam beberapa variasi: diukir flat atau dalam tiga dimensi, bertanduk atau dengan telinga seperti daun yang menyebar. Kalamakara yang diletakkan di ujung balok, itu menjadi metafora Naga Padoha, ular mitologi yang hidup di kedalaman dunia bawah.

Diukir di pintu lumbung dan pada ambang rumah, Boraspati ni Tano, dewi Bumi, diwakili oleh kadal yang baik hati, yang mengawasi panen. Semua pola ini melindungi rumah tangga dari cobaan yang ditimbulkan oleh roh jahat.

Tekstil dan pusaka keluarga disimpan di peti, yang juga bisa digunakan sebagai tempat tidur. Rumbi, yang diukir dalam sepotong kayu dengan gigi yang tergabung di bawah tutupnya, digunakan sebagai tempat penyimpanan beras.

Pola dan Bentuk Rumah tidak sama di seluruh wilayah Batak. Rumah Toba jelas dikenali dan jelas berbeda dari rumah Karo. Umumnya, bentuk bangunan rumah adat Batak melambangkan kerbau. Tak heran jika kita akan menjumpai kepala kerbau menghias pucuk atap.

Rumah orang Batak karo (Rumah Empat Ayo) memiliki Teras yang disebut Ture. Pada bagian depannya ada ornamen geometris dengan warna merah, putih, hitam berhias arca kalamakara.

Rumah adat Batak Karo kelihatan besar dan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah adat batak lainnya. Atapnya berlapis, terbuat dari ijuk dan biasanya ditambah dengan atap yang dibuat ayo-ayo (berbentuk segitiga).

Rumah adat daerah Simalungun juga memikat. Rumah terdiri dari beberapa bangunan dalam satu kompleks yaitu rumah bolon (rumah besar), balai bolon, rumah gorga, jemur, pantangan balai buttu, dan lesung (lumbung padi). Di kampung-kampung Simalungun ada balai buttu yang menjadi rumah penjaga.

Bangunan khas dari Mandailing diwakili oleh Bagas Gadang (Rumah Namora Natoras) dan Sapo Gadang (balai Musyawarah Adat). Bagas Godang sebagai kediaman para raja. Terletak di sebuah komplek yang sangat luas dan selalu didampingi dengan Sopo Godang. Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil, sebagaimana juga jumlah anak tangganya.

Rumah dibangun oleh keluarga inti dengan bantuan anggota keluarga lain dan tetangga. Ada juga rumah-rumah yang dimiliki oleh empat keluarga. Rumah untuk sepuluh atau bahkan dua belas keluarga juga ada. Dahulu, Kepala desa tinggal di rumah bolon di pusat desa. Rumah-rumah lain kurang lebih dikelompokkan di sekitar rumah kepala desa.

Penghuni Rumah Batak ; Satu Rumah Batak biasanya dihuni oleh beberapa keluarga batih yang terikat oleh hubungan kekeluargaan secara patrilineal. Ada juga rumah yang dihuni secara virilokal, yaitu satu keluarga batih senior dan keluarga yunior (anak laki-lakinya yang sudah memiliki keluarga).

Mata Pencaharian di Pedesaan

Di Desa, Orang Batak bermata pencaharian dengan bercocok tanam; bertani maupun berkebun. Lahan yang digarap biasanya tanah ulayat. Setiap keluarga juga mempunyai tanah yang diwarisi secara turun temurun. Selain tanah ulayat ada juga tanah yang dimiliki perorangan.

Yang memegang hak tanah ulayat adalah huta. Hanya warga Huta dan Kuta berhak memakai tanah ini. Selain tanah ulayat, juga dikenal adanya lahan lainnya:

  1. Tanah panjaean adalah tanah yang diberikan kepada seorang laki-laki oleh orang tuanya segera sesudah ia kawin dan berumah tangga.
  2. Tanah pauseang adalah tanah yang diterima oleh seorang anak perempuan dari orang tuanya setelah ia menikah.
  3. tanah perbagian adalah tanah yang diwarisi oleh seorang anak laki-laki dari orang tuanya yang telah meninggal.
  4. Mangarimba andalah memiliki tanah dengan usaha membuka lahan sendiri di hutan.

Orang Batak mengenal sistem kerja bersama untuk menggarap lahan. Dalam bahasa Karo disebut raron, dalam bahasa Toba disebut marsiurupan. Yaitu sekelompok orang bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing orang berkerja secara bergiliran.

Sawah umumnya ditanam dan dipanen dua kali yang dalam bahasa Toba disebut marsitalolo. Ada juga sawah yang hanya setahun sekali masa panennya.

Dalam hal berkebun, mereka menanam kopi, kemenyan, nanas, tebu, sayur-sayuran ubi-ubian, pisang dan pinaka (nangka). Selain itu, ladang juga bisa untuk menanam padi ( haumatur / sawah kering).

Hasil perkebunan yang banyak dijual adalah kopi dan kemenyan. Mereka memperdagangkan kopi secara regional maupun internasional. Perdagangan kemenyan hampir sama terkenalnya dengan perdagangan barus yang dilakukan orang Batak sejak dahulu kala.

Selain pertanian, peternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak. Hewan yang diternakan antara lain kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Masyarakat yang tinggal di sekitar danau Toba sebagian hidup dengan menangkap ikan.

Sektor Kerajinan ; Orang Batak juga piawai dalam sektor kerajinan. Hasil kerajinannya yang utama adalah tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, logam, dan benda-benda lain terutama berkaitan dengan cenderamata pariwisata yang menjadi identitas kebudayaan Batak.

Kuliner Suku Batak

Dari Makanan Hingga Kudapan

Selain kaya budaya, orang Batak juga memiliki ragam jenis kuliner; mulai dari makanan, makanan pelengkap, minuman, hingga berbagai jenis kudapan atau makanan kecil dan kue-kue. Di antara berbagai jenis makanan atau kuliner khas Batak yang paling terkenal adalah saksang.

Saksang, berbahan utama daging babi. Pun kini muncul Saksang dengan bahan utama ayam atau sapi. Daging babi dipotong kecil-kecil dimasak dengan campuran rempah-rempah khas Batak, lalu dicampur dengan gota atau darah dari babi.

Masakan lain dengan campuran gota hadir pada masakan berbahan ayam; Ayam Gota. Seperti pada saksang, ayam gota juga menggunakan andaliman.

Saksang biasanya disajikan pada saat upacara adat dan pesta orang Batak. Kini Saksang juga banyak terdapat di rumah-rumah makan khas Batak.

Selain masakan berbahan utama daging, kuliner Batak juga ada yang berbahan utama ikan diantaranya adalah arsik, naniura, dengke dan naniarsikArsiki yang berbahan utama ikan mas ini berasal dari kawasan Tapanuli.

Adapun naniura merupakan makanan berbahan ikan yang disajikan tanpa dimasak (mentah). Ikan ibumbui dengan berbagai jenis rempah-rempah. Dibungkus dan dipotong-potong tapi tidak sampai terpisah.

Tuk Tuk atau Tinuktuk adalah racikan sambal khas Batak yang berasal dari Simalungun. Sambal ini berbahan kencur, jahe merah, bawah merah, bawah putih, lada hitam, kemiri, garam, bawang batak, dan buah kincung (sihala).

Kuliner lainnya adalah pelleng, berbahan utama beras. Makanan ini berasal dari Batak Pakpak. pelleng disajikan saat pesta atau peristiwa-peristiwa penting terutama di daerah pedesaaan.

Suku Batak juga memiliki kuliner jenis kue-kue atau kudapan, diantaranya lapet dan ombus ombus. Lapet terbuat dari tepung beras, kelapa, gula merah (aren), dan dibungkus dengan daun pisang. Ombus ombus, berbahan sama dengan lapet. Tapi memiliki bentuk dan rasa yang berbeda.

Jika lapet dibungkus dengan pisang dan dibentuk menyerupai limas, Ombus ombus tidak dibungkus oleh apapun, dan berbentuk bulat atau kadang kerucut. Menyantap lapet dan ombus ombus biasanya dibarengi dengan meminum secangkir kopi atau teh.