etnografi

Dayak

Kebudayaan Dayak itu sendiri terdapat keragaman yang besar antara suku yang satu dengan yang lainnya dari sudut upacara-upacara, kesenian, bahasa, arsitektur rumah, dan adat – budaya lainnya.

PublishedAugust 27, 2019

byDgraft Outline

Borneo 1900
Image by Tropenmuseum

Dayak sebagai nama kolektif, terdiri dari beberapa sub-suku, di antaranya; Dayak Ngaju, Punan, Ma’anyan. Dayak Katingan, Dayak Ot, Ot Siauw, Ot Mondai, Or Paridan, Ot Danum dan masih banyak lagi.

Meskipun beragam suku-nya, kini orang Dayak memiliki asosiasi atau perkumpulan yang menyatukan dan menjadi sarana komunikasi antar suku bangsa yakni Kongres Persatuan Dayak.

Penulisan nama “Dayak” tanpa hurup “k” (Daya) disepekati pada tahun 1947 setelah kongres persatuan Dayak (PD) di Sanggau. Kurangnya pemberitaan dan faktor sosialisasi, nama Dayak masih digunakan daripada Daya.

Antara orang Dayak memang ada persamaan unsur-unsur kebudayaan. misalnya pada sistem kekerabatan yang ambilineal/bilineal (menghitung garis kerabat dari pihak ayah dan ibu). Bahasa yang digunakan, peralatan dan perlengkapan, mata pencaharian, Upacara-upacara dan unsur keagamaan.

Bahasa dayak Ngaju dianggap bahasa persatuan di Kalimantan Tengah. Bahasa yang memiliki kesamaan dengan sebagian besar orang Dayak di selatan dan tenggara sehingga dikelompokkan sebagai bahasa Barito.

Kalimantan ;Dalam bahasa setempat, Kalimantan berarti pulau yang memiliki sungai-sungai besar: kali berarti ‘sungai’, dan mantan berarti ‘besar’. Pada masa sebelumnya, pulau ini juga dikenal dengan nama Brunai, Borneo, Tanjung Negara, dan dengan nama setempat Bagawan, Bawi, Lewu, Telo.

Table of contents

Open Table of contents

Religi dan Kepercayaan

Sistem Kepercayaan Orang Dayak

Orang Dayak secara garis besar dapat dibedakan atas empat bagian berdasarkan religinya, yaitu golongan yang menganut agama Pribumi (kaharingan), Islam, Katolik, dan Protestan.

Agama Kaharingan

Kaharingan berasal dari bahasa Sangiang (Dayak lama); “ Haring ” berarti hidup. Juga berasal dari Danum Kaharingan (air kehidupan). Kaharingan dapat diartikan sebagai kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatalla Langit.

Ranying, merupakan nama yang mengacu kepada Zat Tunggal Yang Mutlak, Dewa tertinggi. Dalam keyakinan dan kebudayaan Dayak Ngaju, Agama Kaharingan telah ada semenjak awal penciptaan, yaitu saat Ranying menciptakan semesta.

Sebagai agama, Kaharingan dianut oleh masyarakat Dayak Meratus yang berada di Kalimantan Selatan, oleh Dayak Tunjung, Benuaq (Kalimantan Timur), Dayak Ngaju yang berada di Kalimantan Tengah, Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan Siang.

Kaharingan juga dianut oleh Dayak Uud Danum (Ot Danum) di Embalau dan Serawai (Kalimantan Barat) yang menggelar upacara penguburan kedua (Tiwah).

Sebagai agama leluhur, Kaharingan sangat erat kaitannya dengan aktivitas keseharian masyarakat Dayak pada masa lalu, baik dalam upaya merambah hutan, berladang, berburu, dan kehidupan sosial mereka lainnya

Dahulu, orang-orang non-Dayak menyebut agama Kaharingan sebagai agama Tempon, “ agama heiden ” dan juga “ agama helo ” (agama lama). Nama Kaharingan baru populer pada pertengahan abad ke-20.

Kaharingan nyatanya mampu berkembang hingga sekarang. Mereka mempunyai tempat ibadah “resmi” yang dinamakan Balai Basarah (Balai Kaharingan). Kitab suci pedoman kehidupan diantaranya Panaturan, Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (tatacara berdoa), Pemberkatan, Perkawinan, dan Buku Penyumpahan atau Pengukuhan (Pengambilan sumpah pengukuhan jabatan).

Agama Kaharingan juga mendefinisikan waktu ibadah rutin yang biasanya dilakukan setiap hari Kamis atau pada malam Jumat. Sedangkan untuk hari raya merujuk pada ritual penting agama Kaharingan yaitu upacara Tiwah dan Basarah.

Pohon Batang Haring

Kaharingan sendiri berarti “tumbuh” atau “hidup”. Agama Kaharingan sering dilambangkan dengan Batang Haring atau Batang Gring yang berarti Pohon Kehidupan. Filosofis Keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Sebuah triangulasi.

Pohon Batang Haring dengan Balanga atau Kataladah (guci/pot/wadah) itu menyimbolkan dua dunia yang berbeda tetapi terikat oleh satu kesatuan yang berhubungan dan membutuhkan. Dunia atas dilambangkan dengan pohon dan dunia bawah yang dilambangkan melalui guci.

Sementara buah yang terdapat pada Batang Haring itu melambangkan umat manusia. Buah Batang Haring yang menghadap arah atas dan bawah adalah pengingat bagi manusia agar senantiasa menghargai dua sisi yang berbeda dengan seimbang.

Tempat bertumpu Batang Haring dinamakan Pulau Batu Nindan Tarung. Pulau tempat kediaman manusia pertama kali sebelum diturunkan ke bumi.

Di bagian puncaknya terdapat burung enggang dan matahari yang merupakan lambang-lambang dari Ranying Hatalla Langit, sumber segala kehidupan. Dengan demikian manusia diingatkan bahwa dunia yang sekarang ini adalah tempat tinggal sementara karena tempat asal manusia yang sebenarnya berada di dunia atas, Lawu Tatau.

Roh Leluhur dan Roh Alam

Secara sepintas Agama Kaharingan sering dikaitkan dengan keyakinan yang mempercayai “banyak Dewa”. Seperti dewa yang menguasai tanah, dewa penguasa sungai, penguasa pohon, penguasa batu, dan dewa-dewa yang berkuasa di tempat atau kejadian lainnya. Banyak yang tidak tahu kalau kepercayaan ini juga percaya kepada satu penguasa tertinggi.

Orang Dayak memang percaya bahwa alam sekitar hidupnya dipenuhi oleh makhluk lain, makhluk halus atau roh-roh yang disebut ganan menempati hutan, batu, tiang rumah, hingga air yang juga mempunyai sebutannya sendiri.

Roh juga dapat dibagi dalam beberapa golongan, roh baik diantaranya sangiang dan nayu nayu. Roh jahat misalnya talon dan kambe. Juga ada Roh Nenenk Moyang yang disebut Liau.

Menurut kepercayaan Dayak, jiwa (hambaruan) yang telah mati ketika meninggalkan tubuh akan menjadi Liau yang sementara tinggal di bumi menempati beberapa objek sebelum kembali kedunia roh ( Lewu ) dan selanjutnya tinggal bersama Ranying.

Mereka juga percaya adanya hantuen yaitu seseorang yang memiliki dua ala; bisa menjadi manusia dan roh jahat sekaligus (jadi-jadian). Hantuen ditakuti terutama karena mencari mangsa korban terutama bayi yang baru dilahirkan.

Upacara dan Ritual

Kepercayaan terhadap Roh leluhur dan roh alam terwujud dalam upacara dan ritual keagamaan. Ada ritual upacara yang diselenggarakan pada waktu tertentu, dan ada juga ritual pemberian sesajian.

Ritual dan upacara penting dalam kehidupan orang Dayak juga melambangkan suatu rangkaian lingkaran kehidupan, seperti upacara menyambut kelahiran, upacara memandikan bayi untuk pertama kali, memotong rambut bayu, upacara saat seorang dewasa, pernikahan, dan kematian.

Saat orang dayak meninggal, jenazah-nya dikubur dahulu dalam peti yang disebut raung, kuburan tersebut dianggap kuburan sementara. Jika waktunya tepat, kuburan digali dan digelar ritual upacara tiwah.

Dalam ritual upacara tiwah, tulang belulang kerabat yang telah meninggal digali untuk kemudian dipindahkan ke sebuah bangunan berukir indah yang disebut sandang. Sandang inilah yang dianggap tempat pemakaman selamanya.

Pada kebudayaan Dayak Ma’anyan, tiwah juga disebut sebagai ritual pembakaran jenazah. Sebelum ditempatkan pada bangunan yang disebut tambak, Tulang atau jenazah terlebih dahulu dikremasi.

Tiwah terkadang dilangsungkan berhari-hari hingga minggu. Dalam upacara tiwah ada ritual sansana bandar saat balian (pemimpin upacara) menyenandungkan dongeng-dongeng, mitologi dan silsilah kuno.

Balian (pendeta atau dukun) juga dianggap bisa menyembuhkan seseorang yang menderita sakit dengan cara mengusir roh jahat yang menyebabkan seseorang itu sakit.

Gerak-gerik Balian untuk menakut-nakuti roh jahat seperti mengulurkan lidah sepanjang-panjangnya, atau menampilkan wajah yang menakutkan. Balian memakai rompi yang dihiasi degan sulaman manik-manik dengan wujud Hampatong yang disebut Sambang Sawit

Ritual Pada Pertanian ; Selain ritual upacara yang terbatas pada lingkungan keluarga, juga terdapat upacara yang menyangkut kehidupan masyarakat yang lebih luas. Misalnya upacara yang bersangkut-paut dengan pertanian seperti ritual naik dango dan gawai. Namun ritual pertanian yang melibatkan tarian hudoq merupakan yang meriah. Upacara ditujukan menyuburkan tanah, melindungi dari hama, dan mendapatkan hasil yang berlimpah.

Sistem Kekerabatan Dayak

Kekerabatan, Pernikahan dan Sosial

Orang Dayak berkerabat secara bilineal (berkerabat dengan pihak ayah dan ibu). Namun kekerabatan mereka dipengaruhi oleh pihak kerabat mana yang lebih kuat memengaruhi identitas, sehingga tidak jarang hanya akan berkerabat pada salah satu pihak saja. Kekerabatan seperti ini disebut ambilineal.

Orang Dayak dahulu tinggal di rumah rumah panjang (Rumah Betang atau Rumah Lamin) yang dihuni oleh beberapa keluarga inti (batih). Rumah dayak ialah sebuah rangkaian rumah yang dibagi yang dibagi ke dalam petak dihuni oleh keluarga-keluarga inti, jumlahnya bisa mencapai 50 petak.

Kekerabatan orang Dayak juga timbul berdasarkan Utrolokal yaitu kebebasan aturan adat yang mengizinkan kepada mereka yang baru menikah untuk memilih tinggal menetap di dekat keluarga suami atau istri.

Karenanya, kekerabatan terbentuk diantara mereka yang tinggal berdekatan atau dalam satu rumah komunal membentuk ikatan kekerabatan ambilineal kecil yang menghitung kekerabatan sampai dengan tiga generasi.

Di luar dari ketiga keturunan ke atas dan ke bawah ini sudah dianggap jauh (tidak termasuk keluarga batih) yang disebut bubuhan. Dan jika lebih luas lagi disebut oloh atau uluh yang artinya suku, misalnya: oloh Ma’anyam atau oloh Ngaju.

Perkawinan Orang Dayak

Dalam hal perkawinan, Orang Dayak memiliki ketentuannya tersendiri. Ada perkawinan yang boleh dilakukan dan ada pula perkawinan yang dilarang. Ada yang dinilai idel, ada juga yang sumbang.

Bentuk perkawinan yang ideal dan amat diinginkan adalah perkawinan di antara dua orang sepupu yang kakek-kakeknya adalah saudara kandung atau disebut hajenan.

Perkawinan antara saudara sepupu yang ibunya saudara sekandung dan perkawinan cross cousin juga dianggap baik. Perkawinan endogami dengan sesama oloh dan masih ada hubungan keluarga juga baik.

Sementara perkawinan yang dianggap sumbang adalah Sala horoi yaitu perkawinan sepupu yang ayah-ayahnya saudara kandung ( patri-parallel cousin ).

Perkawinan dengan generasi yang berbeda seperti paman dan keponakan-nya dianggap sangat buruk. Jika terjadi Incest atau hubungan dengan anggota keluarga perlu diadakan upacara menghapus dosa. Si pendosa harus makan dari tempat makan babi, dan merangkak dihadapan warga desa.

Hatamput atau ngungkung wawei merupakan perkawinan beda suku. Secara adat hal ini diizinkan asalkan bersedia tunduk kepada adat mereka. Jika seorang pria-nya berasal dari adat lain, maka dia akan terlebih dahulu mengikuti ritual sehingga dianggap bagian dari suku dayak, baru setelah itu diperbolehkan menikah.

Rangkaian Adat Pra-Pernikahan Dayak

Seorang anak laki-laki yang mencapai umur 20 tahun (18 tahun untuk perempuan), biasanya akan dicarikan jodoh oleh orang tuanya. Pada masa lalu, Orang tua dayak benar-benar berkuasa penuh atas pemilihan jodoh dari anaknya.

Pernikahan didahului dengan acara lamaran, Jika yang mencari jodoh itu anaknya, maka biasanya orang tua si pemuda akan datang ke rumah si gadis menyerahkan hakumbang auch ; uang lamaran setelah menerangkan maksud kedatangan.

Orang tua si Gadis kemudian akan menentukan dan melakukan penyelidikan untuk mengetahui latar belakang dan sifat keseharian calon menantu mereka. hakumbang auch akan dikembalikan jika dianggap tidak memenuhi syarat.

Jika diterima, maka akan diresmikan dalam acara pertunangan yang sepenuhnya akan ditanggung pihak perempuan. Acara pertunangan akan membicarakan rencana pernikahan terutama perundingan mengenai pesta dan mas kawin ( palaku ) yang harus diserahkan pihak laki-laki.

Perundingan akan menghasilkan keputusan yang disebut surat pisek atau surat kontrak. Ada kalanya pernikahan batal digelar jika pihak laki-laki tidak sanggup memenuhi palaku yang diajukan pihak perempuan. Perkawinan akan digelar sesuai kesepakatan, biasanya tiga bulan hingga tiga tahun.

Selain Mas kawin, Pihak laki-laki juga membawa bahalai (kain atau sarung), wewangian cincin emas, dan sebagainya. Juga diharuskan memberi saput; uang persembahan kepada saudara laki-laki si gadis dan penangkalan kepada kakak perempuan si gadis jika belum menikah.

Monogami adalah Pilihan ; Perkawinan orang Dayak umumnya Monogami (menikah hanya dengan satu orang). Poligami jarang sekali ditemukan, hal ini selain karena pengaruh agama nasrani, juga karena besarnya palaku dan kebutuhan lain untuk menyelenggarakan perkawinan.

Seni dan Tradisi

Tarian, Pertunjukan, dan Arsitektur

Hudoq; Topeng Pelindung

Topeng Hudoq adalah topeng perwujudan. Beberapa menyebut topeng dibuat untuk menakuti roh-roh jahat yang membawa malapetka, sebagai penolak bala; untuk melindungi masyarakat terhindar dari pengaruh-pengaruh yang kurang baik.

Topeng Hudoq diwujudkan dengan bentuk mata yang besar, mulutnya yang dibuka lebar, dan dengan gigi-giginya yang mencolok. Warna yang umumnya dipakai untuk wilayah muka adalah putih, lingkaran mata dan mulut hitam dan merah.

Ada topeng Hudoq yang hanya memakai dua warna saja yaitu putih dan hitam. Ada juga topeng yang berwarna asli kayu dengan garis-garis mata, hidung dan mulut berwarna putih.

Bagian rambut dari ijuk hitam kaku yang menghias kepala bagian depan, kumis, dan jenggot, serta ada juga yang menghiasi bagian hidung; keluar dari lubang hidung. Di bagian Kepala, ada yang diberi hiasan bulu burung enggan putih dan hitam ditusukkan di atas kepala yang beranyam rotan.

Topeng-topeng itupun punyai telinga yang panjang dan tegak vertikal. Ada yang diberi anting-anting panjang, ada juga yang diberi bandulan anting dari perunggu.

Dalam alam kepercayaan Dayak, Hudoq diturunkan oleh Tamai Oi ke bumi dalamm berbagai bentuk perwujudan yang masing-masing mempunyai tugas berbeda.

Hudoq yang tugasnya sebagai pemimpin dalam mengawasi kehidupan masyarakat Dayak, disebut sebagai Hudoq Uling. Hudoq ini wujudnya menyerupai manusia dengan bibirnya yang tebal dengan ekspresi seolah-olah sedang berbicara.

Sebagai pemimpin, Hudoq Uling mempunyai beberapa orang pengawal diantaranya yaitu Hudoq Urung Inang Berang yang wujudnya menyerupai manusia, bermuka bulat, dengan matanya besar. Hudoq yang wujudnya menyerupai burung enggang dan Hudoq yang menyerupai anjing.

Hudoq yang berupa burung enggang disebut Hudoq Urang Tinggung, mempunyai sifat bijaksana dan merupakan pembantu Hudoq Uling yang paling setia. Hudoq ini mempunyai hidung yang panjang seperti paruh.

Dalam kepercayaan dan kebudayaan Dayak, burung enggang merupakan perwujudan Dewa yang memberikan perlindungan dan memberi berkah kesuburan tanah pertanian sehingga panen mereka berlimpah nan berhasil.

Hudoq yang menyerupai anjing disebut sebagai Hudoq Urungh Haag. Jenis Hudoq binatang selain Hudoq burung enggang dan anjing, ada juga Hudoq dalam wujud babi.

Di antara Hudoq tersebut ada Hudoq lain yang dianggap “tertinggi” yang kedudukan sebagai raja yaitu Hudoq Murung Magaaq. Wujud Hudoq ini adalah Naga. Naga dipercayai merupakan perwujudan dari Dunia Bawah.

Walaupun pada umumnya Hudoq itu laki-laki, diantaranya ada juga Hudoq perempuan; di dalam kelompok Hudoq–disamping Hudoq Raja–juga ada Hudoq Ratu. Hudoq ratu ini disebut sebagai Hudoq Urung Kuwau, ada juga yang menyebutnya Hudoq Rooh.

Penggambaran wanita tampak pada hiasannya telinga yang panjang, lubang telinga itu diberi anting ada juga yang diberikan bandul. Perhiasan di telinga semacam ini lazim dipakai oleh wanita Dayak–yang menunjukkan status sosial pemakainya.

Patung Hampatong

Hampatong dalam kebudayaan Dayak adalah patung kayu yang melambangkan leluhur, Dewa, dan Penjaga. Patung-patung perwujudan itu lebih jauh menggambarkan tentang para Dewa Dunia Atas, Tengah, dan Dunia Bawah.

Patung perwujudan manusia terdiri dari dua jenis laki-laki dan perempuan merupakan cerminan keseimbangan dunia. Laki-laki dan perempuan dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat sakral dan profan–kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Hampatong yang berukuran kecil disebut Karohei Tatau. Sedangkan yang berukuran besar disebut Tajahan dan Pataho.

Tajahan merupakan perwujudan nenek moyang atau leluhur. Sedangkan Pataho, adalah Hampatong penjaga kampung atau desa–yang biasanya diletakkan di halaman batas desa atau kampung.

Di samping itu ada patung perwujudan Dayak yang disebut Sapudu, yaitu Hampatong tempat menambatkan kerbau yang akan dikurbankan dalam upacara tiwah.

Patung Hampatong Dayak dipercaya membawa kemakmuran, kekayaan, memberikan rejeki, dan membantu hasil panen sehingga melimpah ruah.

Berbagai bentuk patung hampatong yang melambangkan Dunia Atas diwujudkan berjenis laki-laki. Hampatong yang melambangkan dunia bawah diwujudkan berjenis wanita, dan dunia tengah diwujudkan sebagai dualisme laki-laki dan wanita.

Kadang-kadang dunia tengah juga disimbolkan dengan Hampatong yang mewujud “binatang” yang seolah-olah melambangkan hubungan baik antara kehidupan manusia dan alam.

Alat Musik Garantung

Garantung adalah instrumen sejenis “gong” kecil yang berfungsi sebagai melodi saat dimainkan ansamble. Garantung dimainkan dengan alat pukul dari kayu dalam tempo cepat dengan getaran bunyi yang pendek.

Ada beberapa jenis instrumen garantung yang dikenal di Kalimantan Tengah, yaitu:

Garantung yang dimainkan adalah pertanda adanya acara yang akan digelar. Hampir dalam setiap upacara ritual kebudayaan Dayak di masa lalu, Garantung menjadi alat musik yang dominan, baik untuk mengiringi Balian (para dukun adat/pemimpin upacara) menari dan menyanyikan mantra dan untuk instrumen yang mengiringi tarian.

Garantung dihubungkan sebagai media komunikasi dengan roh-roh leluhur. Garantung juga menjadi salah satu benda berharga yang berfungsi sebagai barang adat dan dijadikan sebagai alat tukar dan persembahan saat pernikahan.

Arsitektur Hunian

Rumah Betang dan Rumah Lamin

Sebagian besar suku Dayak hidup secara komunal dan tinggal berkelompok. Rumah yang mereka bangun memiliki karakteristik tersebut, memanjang dan membentang, menampung lebih dari 30 orang.

Rumah Panjang disebut juga Rumah Betang, Rumah Lamin, atau Rumah Lou. Walaupun sama-sama Panjang, beberapa rumah itu memiliki persamaan dan banyak perbedaan terutama karena wilayah. Rumah Betang ciri khas kebudyaan Dayak di Kalimantan Tengah, Sedangkan Lamin khas Kalimantan Timur. Ada juga Rumah bubungan yang khas di kalimantan Selatan.

Ciri-ciri Rumah adat dayak yaitu berbentuk panggung dan memanjang. Panjangnya bisa mencapai 30-100 meter serta lebarnya sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Bagian dalam rumah disekat-sekat menjadi beberapa ruangan untuk setiap keluarga inti.

Kalimantan wilayahnya berawa-rawa dan terdapat banyak sungai. Tidak heran peranan pondasi dan tiang dominan dalam konstruksi bangunan. Biasanya pondai rumah orang Dayak menggunakan Kayu Kapur Naga atau Kayu Galam. Sementara tiang menggunakan kayu ulin, jumlahnya bisa mencapai 50-100 batang.

Dinding rumah menggunakan papan terbuat dari kayu ulin. Ada juga dinding menggunakan Palupuh. Sedangkan pada bagian atap terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia. Untuk masuk ke dalam rumah, ada hejot tangga yang jumlahnya ganjil dan disesuaikan dengan ketinggian.

Bentuk rumah panggung selain karena faktor kontur tanah dan wilayah, juga dianggap mampu melindungi penghuni dari binatang buas. Lebih jauh rumah panggung juga dianalogikan sebagai dunia tengah, tempat manusia tinggal.

Beberapa rumah Dayak dipenuhi ukiran dan ornamen. Warna dominan adalah kuning, putih dan hitam berpadu dengan ragam hias berbentuk salur pakis, manusia, binatang. Juga hiasan semi-abstrak dan geometris.

Bentuk ukiran naga yang tersamar melambangkan Dunia Bawah sedangkan ukiran burung enggang melambangkan Dunia Atas. Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang umumnya berbentuk manusia juga memiliki ukiran-ukiran yang khas.

Pembuatan rumah panjang memenuhi beberapa persyaratan. Hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam. Sedangkan bagian dapurnya menghadap aliran sungai.

Pada halaman rumah terdapat balai sebagai tempat menerima tamu maupun sebagai tempat pertemuan. Juga ada patahu dan sandung. Patahu berfungsi sebagai rumah pemujaan sedangkan Sandung adalah tempat pemakaman anggota keluarga yang telah melewati upacara tiwah.

Pada bagian belakang juga ada balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau, digunakan sebagai gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian. Lainnya ada Gudang tempat penyimpanan senjata yang disebut bawong.

Rumah Betang memiliki Pante yaitu lantai bagian depan yang berfungsi untuk menjemur padi, pakaian, mengadakan upacara adat maupun pertemuan. Pintu masuk rumah setelah melewati Pante sesuai dengan jumlah kepala keluarga.

Tarian dan Pertunjukan

Tari-Tarian Orang Dayak

Tarian Tradisional Kalimantan jumlahnya melimpah. Fungsinya juga beragam dari mulai memperoleh kebahagiaan, kesehatan, kegembiraan, persaudaraan, menghormati tamu dan leluhur.

Berikut ini Tarian Tradisional Kalimantan yang berasal dari kebudayaan Dayak:

Tari Giring Giring

Awal mulanya Tari giring-giring merupakan tarian yang berasal dari suku dayak Ma’anyan dan dipopulerkan oleh suku tersebut. Lalu berkembang di daerah Kalimantan Tengah dan kabupaten Barito.

Kegembiraan dan luapan rasa senang banyak diwujudkan dengan berbagai cara. Salah satu cara mengungkapkan kegembiraan dan rasa senang itu adalah dengan menari. Hal itu juga yang dilakukan oleh masyarakat Kalimantan.

Salah satu cara mengungkapkan kegembiraan dan rasa senang masyarakat Kalimantan khususnya Kalimantan Tengah dan Kabupaten Barito adalah menari tari Giring-giring. Giring-giring atau bahasa masyarakat kalimantan adalah gangerang merupakan bambu yang berisi biji “piding”

Bagi masyarakat kalimantan Tengah dan kabupaten Barito, tari giring-giring merupakan luapan ekspresi atas kegembiraan dan rasa senang masyarakat tersebut.

Hal itu disimbolkan dengan cara menari tari giring-giring yaitu menghentakkan satu tongkat Gantar yang dipegang tangan kiri ke lantai sedangkan tangan kanan memegang bambu yang berisi kerikil serta di goyangkan agar tercipta bunyi yang khas.

Kaki-kaki penari mengikuti irama musik bergerak maju mundur. Ketepatan tangan dan kaki yang bergerak bersamaan merupakan bagian yang unik dan menjadi perhatian penonton dari tari giring-giring

Benda yang dibawa oleh penari yaitu bambu tipis (telang) berisi biji “piding” dan digoyangkan sehingga menciptakan nada yang ritmis adalah giring-giring.

Nama benda giring-giring menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tarian ini sehingga dinamakan tari Giring-Giring.

Kegiatan tari giring-giring banyak dilakukan pada acara perjamuan, peresmian atau acara adat yang menggambarkan rasa gembira dan rasa senang.

Tari Gelang Dadas

Tarian Gelang Dadas adalah tarian kebudayaan Dayak di Kalimantan Tengah untuk meminta kesembuhan kepada tuhan bagi masyarakat yang sakit

Gelang Dadas awalnya merupakan tarian suku Dayak guna memohon kesembuhan bagi mereka yang sakit kepada Ranying Hatala Langit (Tuhan). Biasanya juga ikut seorang Balean Dadas atau dukun perempuan.

Jika balean bawo berarti dukunnya laki-laki. Aslinya tari gelang dadas merupakan pelengkap dalam ritual penyembuhan namun kini seiring cukup banyaknya minat anak muda untuk belajar serta mempertahankan eksistensi budayanya maka tari Dadas kini dibawa ke acara penyambutan atau peresmian.

Para penari Gelang Dadas dengan memakai pakaian adat dayak yang khas penuh warna seperti hitam, putih, merah, hijau, dan kuning melakukan tarian Balean Dadas untuk memohon kesembuhan kepada Ranying Hatala langit (Tuhan) bagi mereka yang sakit. Selain itu, biasanya hadir seorang dukun perempuan atau Balean Dadas ikut dalam tarian ini.

Tidak ketinggalan beberapa aksesoris seperti gelang, kaling taring, janur dan perlengkapan lainnya balanai, lilin dan damar memberikan kesan bahwa mereka tak hanya menghibur penonton namun membuat pertunjukan sedikit bernuansa mistis.

Saat ini, tarian Gelang Dadas lebih banyak dilakukan pada saat acara-acara penyambutan atau peresmian. Hal ini mengingat bahwa tarian ini selain bagian dari ‘tradisi’ juga memiliki nilai seni pertunjukan.

Tari Tambun dan Bungai

Tari tambun dan bungai, berasal dari daerah palangkaraya, Kalimantan Tengah. Tarian ini merupakan tari yang mengisahkan kepahlawanan Tambun dan Bungai dalam mengusir musuh yang akan merampas hasil panen rakyat.

Tambun dan bungai sendiri adalah pejuang dan tokoh legenda suku dayak ot Danum Konon mereka tinggal di tengah pulau Kalimantan khususnya wilayah Kabupaten gunung Mas.

Tari Hudoq

Hudoq sering ditampilkan dalam upacara menanam maupun upacara panen. Saat upacara, penari Hudoq selain memakai topeng juga seluruh badannya ditutupi dengan berbagai hiasan terutama anyaman dedaunan.

Saat upacara, Penari Hudoq akan menangkap roh benih padi yang kemudian dibawanya ke desa. Di sepanjang jalan para penari Hudoq diiringi tetabuhan gong garantung. Wilayah yang dilaluinya dianggap telah terbebas dari roh-roh jahat yang mengganggu.

Setibanya di desa ia disambut oleh penari lain yang berbaris membentuk lingkaran. Seorang Wanita kemudian membawa bulir-bulir padi dan meletakkannya ke dalam cekungan gong. Sementara itu wanita lain akan menaruh telur di tengah-tengah padi tersebut.

Kepercayaan pada burung yang dihubungkan sebagai binatang yang memberikan isyarat-isyarat tertentu. Di dalam upacara ini burung disembelih dan darahnya dipercikkan ke atas padi. Burung ini disembelih untuk memberi makan Hudoq secara simbolis.

Para wanita membuat tape ketan atau beras yang menjadi tuak. Tuak ini dalam upacara panen juga disediakan untuk penari-penari, setelah upacara selesai bersama-sama semua anggota masyarakat yang hadir mereka meminum tuak.

Lalu gong ditabuh lagi dan sederet wanita mendekati benih-benih padi kemudian mengambilnya, hal ini biasanya dipelopori oleh istri pemuka adat setempat.

Upacara diakhiri dengan kembalinya penari-penari Hudoq itu ke semak-semak tempat yang dianggap sebagai asal mereka. Upacara juga dimeriahkan oleh anak-anak yang mengiringi Hudoq dengan perasaan senang sekaligus takut.

Pada Suku Dayak Apo Kayan dan Dayak Kayan, Hudoq juga ditampilkan dalam upacara mengusir wabah penyakit yang menular. Hudoq yang diturunkan ke bumi oleh Tamay Oi itu juga ditugaskan untuk melindungi manusia dari berbagai kejadian dan pengaruh yang tidak diinginkan.

Tato orang Dayak

Dalam bahasa Dayak, tato atau tatto dikenal dengan istilah Tutang, Pantang, atau Tedak. Meski tidak semua suku Dayak mengenal tradisi tato atau menato tubuhnya. Dalam alam kepercayaan Dayak, tato dipercaya sebagai penerang jiwa si pemilik saat menuju ke alam keabadian.

Tidak sembarangan menato tubuh, tato dengan motif dan penempatan tertentu memiliki arti dan makna tersendiri. Misalnya tato di sekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut adalah ahli pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, maka menunjukkan orang tersebut semakin banyak menolong.

Lain cerita dengan suku Dayak di Kalimantan Timur, banyaknya tato pada seseorang menandakan orang tersebut sudah sering mengembara, atau pemburu ulung dll.

Dan biasanya orang dengan tato bergambar burung enggang atau burung endemik yang paling dikeramatkan di Kalimantan menunjukkan bahwa orang tersebut berasal dari kalangan bangsawan.

Bagi kaum perempuan, fungsi tato pun lebih dari sekadar menghias diri, melainkan sebagai hal-hal umum di atas dan hal-hal khusus seperti simbol penghargaan dan penanda atas kepiwaiannya dalam menenun dan menari. Sama seperti laki-laki, tidak semua perempuan dayak bertato. Misalnya perempuan Dayak Iban.

Secara umum pembuatan tato dikerjakan dalam lugaan atau rumah tukang tato dengan teknik tradisional. Alat yang digunakan antara lain terdiri dari tukul tedak untuk pemukul tato, helaan tedak sebagai bantalan, bungaan tedak dan lu tedak sebagai jarum tato.

Sebelum menggunakan jarum tato, dahulu menggunakan duri kayu karing sejenis tanaman jeruk yang panjang. Bahan tinta tato sendiri menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam.

Nilai Kehidupan dan Sosial

Nilai-Nilai, Sosial dan Ekonomi

Mata Pencaharian

Selain menanam padi, Orang Dayak juga menanam ubi-ubian, keladi, pisang, tebu, nanas dan labu-labuan. Sedangkan buah-buahan yang paling banyak mereka tanam adalah durian.

Berladang bagi Dayak adalah budaya regeneratif, dimana karet, rotan, damar dan tumbuhan lainnya ditanam pasca perladangan sebelumnya. Perladangan Berpindah dikenal oleh masyarakat Dayak sebagai pola berladang gilir balik.

Pada bulan Mei hingga Juli, mereka membersihkan lahan dan menebangi pohon. Lahan dibiarkan hingga pohon yang ditebang beserta daun-daunnya mengering. Sebelum musim hujan, semuanya itu dibakar dan abunya menjadi pupuk.

Mereka kemudia menanam benih. Untuk melindungi kebun dari gangguan hewan perusak, areal ladang dipasangi dondang atau pusi ; tombak atau panah yang secara otomatis terlepas jika pemicunya tesentuh binatang perusak.

Para peladang tradisional suku Dayak memiliki ciri khas lain dalam berladang, mereka lebih suka memanfaatkan Jekau (hutan sekunder) daripada Empak (hutan primer).

Ikan menjadi Sumber protein utama orang Dayak. Selain menangkap Ikan di sungai, mereka juga membuat tambak untuk memenuhi kebutuhannya pada ikan, dan berternak untuk memenuhi kebutuhan akan daging selain berburu.

Orang Dayak biasanya berburu selepas musim panen dan jika akan melaksanakan upacara atau pesta. Orang Dayak selain menggunakan dondang juga menggunakan sumpit ( sipet ) untuk berburu. Lonjo (tombak), ambang (parang) dan jerat juga digunakan.

Suku Dayak juga mahir dalam kerajinan. Kaum pria terampil dalam ngamboh ( pandai besi ), dan mengukir, sedangkan wanita terampil dalam menenun kapas atau kulit kayu dan menganyam kulit rotan menjadi tikar atau keranjang.

Perlindungan Alam Suku Dayak

Masyarakat Dayak di Pulau Kalimantan, secara turun temurun telah mempraktikkan upaya-upaya perlindungan terhadap keanekaragaman dan keberadaan sumber daya hayati-nya. Nilai dan metode itu tercermin dalam beberapa terminologi adat, diantaranya:

Kaleka adalah sebuah lokasi yang pada masa lalu pernah dihuni oleh nenek moyang orang Dayak dan dijadikan area perkebunan. Pohon-pohon besar berumur tua dan memiliki buah dapat dijumpai di wilyah ini .

Lokasinya dijaga dan dilindungi karena merupakan harta waris yang peruntukannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama dan menjadi tempat varietas bibit unggul.

Tajahan merupakan suatu wilayah yang “dikeramatkan”. Di lokasi biasanya didirikan tempat sesajian yang menyerupai bentuk rumah berukuran kecil dan beberapa patung.

Lokasi tajahan berada pada kawasan hutan-hutan lebat dan terkesan “angker”. Pada wilayah ini segala aktivitas seperti menebang hutan, melakukan perburuan dan lainnya dilarang secara adat.

Sepan-pahewan dalam bahasa Dayak Kenyan disebut Sungan, merupakan wilayah sumber mata air yang digunan oleh binatang. Lokasi sepan-pahewan merupakan wilayah perburuan yang senantiasa dijaga agar binatang terus berdatangan.

Pukung himba adalah kawasan hutan rimba sebagai wilayah yang tak boleh ditebang atau dieksploitasi. Ciri-ciri wilayah yang telah dijadikan pukung himba biasanya adalah daerah hutan lebat dengan pohon-pohon yang berumur sangat tua dan besar. Dihuni oleh satwa liar dan belum banyak ter-jamah manusia.

Norma dan Hukum Adat

Hukum adat masyarakat Dayak berasal dari asas musyawarah. Jadi keputusan hukum adat tidak pernah dijatuhkan oleh seorang, melainkan oleh suatu sidang yang terdiri dari dewan orang tua di bawah penghulu sebagai ketua.

Bentuk hukuman atas sebuah pelanggaran adat, kebanyakan berupa pemberian ganti kerugian alias danda. Danda terdiri dari dua bagian, yaitu pembayaran berbentuk benda-benda materiel (uang) dan berbentuk sajian kepada para dewa.

Seorang pemuda dilarang bercakap-cakap berduaan dengan seorang gadis khususnya ditempat sepi. Bila tertangkap basah akan mendapat hukuman adat dan juga diharuskan membayar denda.

Bila sedang berada di jalan kemudian bertemu dengan seorang gadis, dilarang menatap dan mengamati sekalipun dari jarak jauh. Karena apabila salah seorang keluarga si gadis remaja menyaksikan hal tersebut, akibatnya dituntut dalam rapat.

Seorang perempuan diajak bicara oleh seorang laki-laki padahal keduanya belum saling mengenal, apabila terlihat oleh ahli waris perempuan itu, maka laki-laki tersebut dapat didenda karena dianggap melanggar adat yang berlaku.

Dan Apabila seorang laki-laki mengajak satu atau dua perempuan untuk berjalan-jalan, tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada ayah si gadis, akan lebih berat lagi apabila diantara mereka tidak saling mengenal, maka si laki-laki dianggap melakukan kesalahan dan dapat dituntut dalam rapat adat.

Dalam hukum adat Dayak, jika seseorang telah dinyatakan bersalah dan harus membayar denda, namun ia tidak menerima kesalahannya dan tidak mau membayar denda, maka hukuman terberat akan dijatuhkan oleh masyarakat.

Jika terjadi kasus pembunuhan tidak sengaja, misal ada seorang yang mati terkena perangkap berburu yang di pasang seseorang dan jika yang meninggal adalah suami seorang istri atau tulang punggung keluarga maka si pembuat jebakan akan dijatuhi denda untuk menanggung kehidupan keluarga korban.