etnografi

Nias

Orang Nias sangat peduli dengan kedudukan sosial dan penampilan. Di berbagai desa terdapat persaingan guna meningkatkan status, serta begitu besar mereka bersandar pada pengerahan tenaga untuk mengadakan pesta dan perayaan.

PublishedAugust 21, 2019

byDgraft Outline

Nias Sumatra
Image by Tropenmuseum

Penduduk pulau Nias saat ini hampir 800 ribu, Adat-istiadatnya bisa dibilang unik dan rumit. Nias dikenal dengan desa-desa yang memiliki struktur sosial seperti negara, rumahnya yang megah dengan gaya arsitekturnya yang khas.

Pulau seluas 5.625 km2 itu berada pada lingkaran luar sebelah barat Pulau Sumatra, membujur sekitar 156 Km dari kota Sibolga. Nama Nias berasal dari istilah Niha, yang maknanya kurang lebih sama dengan “manusia”.

Nias dalam segi budaya dapat dibagi ke dalam tiga wilayah, yaitu Nias Utara, Nias Tengah, dan Nias Selatan. Pada setiap wilayah tersebut terdapat perbedaan dari berbagai macam seni, bahasa, dan adat istiadat.

Sepintas mungkin tidak nampak berbeda, tapi sejarah membuktikan bahwa perbedaan karakteristik daerah-daerah di Nias lahir dari persaingan untuk mempertahankan dan meningkatkan kedudukan sosial.

Tradisi Megalit Nias ; Dari semua kebudayaan Nias, tradisi Megalit masih merupakan budaya yang memukau dan mengundang perhatian. Tradisi ini mengalami perubahan besar setengah abad lalu, meski demikian, mereka tidak kehilangan semangat untuk bersaing.

Table of contents

Open Table of contents

Asal Usul Orang Nias

Nias Dalam Tradisi Lisan dan Mitologi

Dalam bahasa setempat, mereka menyebut dirinya ono niha. Ono berarti anak atau keturunan, sedangkan niha artinya manusia. Nias disebut sebagai tano niha. Tano berarti “Tanah” dan Niha artinya “manusia”

Asal usul Nias yang bersumber dari hoho (tradisi lisan berbentuk syair yang dinyanyikan), menceritakan bahwa manusia pertama yang tinggal di Pulau Nias berasal dari langit yang mereka sebut Ono mbela.

Ono mbela adalah keturunan dari penguasa langit yang turun ke bumi dengan menggunakan liana lagara (pohon merambat). Konon, sebagian dari mereka ada yang bisa mencapai tanah dan sebagian lagi mengalami sedikit masalah pendaratan.

Ada yang jatuh menembus bumi dan menjelma menjadi naga penopang bumi bernama Da’o Zanaya. Ada yang jatuh ke dalam air dan menjadi hantu sungai yang disebut hadroli. Ada yang tersangkut pohon dan menjelma menjadi penguasa hutan yang disebut Sowanua / Bela.

Mereka yang jatuh ke atas tanah, masih menurut hoho, kemudian tinggal di gua-gua sehingga mendapat panggilan nadaoya yang berarti “yang tinggal di gua”.

Bukti-bukti Argeologis

Data arkeologis sedikitnya berpihak pada hoho, temuan artefak prasejarah di Gua Togi Ndrawa yang berada di Desa Lolowanu Niko‘otano-Sitoli memberikan gambaran bahwa Nias memang telah dihuni manusia yang tinggal di gua-gua ribuan tahun silam.

Hoho juga mencertiakan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan oleh Lowalangi. Lowalangi lalu menciptakan Sigaru Tora’a (pohon kehidupan) yang dari buahnya lahir Dewa Dewi dengan sifat dan fungsi berbeda.

Orang Nias membagi dunia pada tiga tingkatan, Dunia Atas (langit), Dunia Tengah (Bumi) dan Dunia Bawah. Langit memiliki sembilan tingkatan lagi dan Lowalangi tinggal pada tingkatan paling atas. Sementara dunia bawah dikuasai oleh Laturadanö, Dewa Kematian.

Untuk menghormati Lowalangi, Orang Nias menggelar upacara pengorbanan hewan. Selain itu, suku Nias juga menyembah arwah leluhur yang berdiam di dalam berbagai benda seperti patung, batu, atau pepohonan.

Persembahan hasil bumi, ternak, dan tuak, ditujukan bagi roh para leluhur dan alam. Ritual lainnya hadir pada upacara kematian dan pesta-pesta yang digelar oleh kaum bangsawan.

Leluhur dan Roh

Saat seseorang meninggal, jenazah ditempatkan di sebuah altar yang terlebih dahulu dihias dengan daun dan diberi wewangian, tujuannya agar kedatangan arwah-nya kelak, jika kembali ke kampung atau rumah, dikenali berdasarkan wewangian tersebut.

Orang Nias akan menggelar upacara dan ritual kematian serta penguburan dengan nyanyian, pesta dan tari-tarian yang dapat berlangsung berhari-hari.

Selama upacara tidak diperbolehkan ada kegiatan selain berkabung dan kedukaan. Jasad biasanya akan dikuburkan pada hari ketiga ditemani dengan barang berharga. Sebuah patung kayu yang disebut adu dibuat agar arwah tinggal di dalamnya.

Patung adu juga ditempatkan di dekat rumah, dan persembahan atau sesajen makanan sesekali diletakkan di altarnya. Orang yang masih hidup mencoba berhubungan dengan roh karena berbagai alasan, yang utaman adalah meminta bantuan untuk mendatangkan keberuntungan.

Berubah dan Berubah

Seiring masuk dan berkembangnya kepercayaan baru (Kristen dan Islam), maka simbol-simbol dan praktik yang merupakan kepercayaan lama, mulai menghilang, termasuk ritual dalam kematian dan penguburan.

Budaya dan Identitas

Sistem sosial, Upacara dan Pesta

Kurang lebih hanya lima pulau besar yang menjadi perhatian utama di Nias; Pulau Nias, Tanah Bala, Tanah Masa, Pulau Tello, dan Pulau Pini. Dari kelima pulau besar itu, Pulau Nias lah yang memiliki penduduk yang cukup padat dan menjadi pusat dari kegiatan ekonomi serta pemerintahan.

Kebudayaan Nias dikenal dengan arsitekturnya yang khas. Bangunan besar dengan atap menjulang merupakan ciri tersendiri. Jalan-jalan di desa-desa Nias berlapis batu berukuran besar, dan kebudayaan megalit yang masih kuat.

Kekhasan budaya Nias justru tercermin lewat tata atur sosial dan adat yang melingkupi berbagai kehidupan. Struktur sosial yang pada gilirannya memengaruhi arsitektur, seni dan juga berkaitan dengan alam kepercayaan mereka.

Status Sosial dan Kedudukan

Orang Nias di masa lalu terbagi menjadi tiga golongan, bangsawan, rakyat biasa dan Sawuyu atau “budak”. Meski kini struktur sosial itu telah ditinggalkan, namun pengaruhnya masih terasa sangat kuat.

Semua keluarga bangsawan di Nias dianggap berasal dari keturunan Hia, leluhur yang konon turun dari dunia atas ke tempat yang dikenal sebagai Sifalagao di Gomo, Nias Tengah.

Dari segi kekerabatan, orang Nias mengikuti garis keturunan laki-laki (patrilineal). Terdapat sistem Marga yang berfungsi sebagai tanda garis keturunan dan muasal seseorang.

Yang disebut bangsawan umumnya mereka yang dipercaya merupakan keturunan para pendiri desa. Rakyat biasa sayangnya hanya dapat merunut silsilah mereka sampai beberapa generasi. Terlebih Sawuyu yang dahulu berasal dari luar desa.

Kedudukan seorang Bangsawan tercermin dari sebutan mereka: Salaha (yang tinggi) atau Si’ulu (yang di atas), sedang rakyat biasa disebut sihono (si seribu) atau sato (umum).

Bahkan dalam keseharian, bangsawan dan bukan akan mudah dikenal. Mereka memiliki rumah yang besar, pakaian yang terbaik dengan tutup kepala paling tinggi, dan mereka memilih duduk di tempat paling tinggi saat upacara.

Harta milik seorang bangsawan jelas menandai kedudukan mereka; kekayaan itu biasanya diperoleh melalui warisan. Inilah yang menjadikan para bangsawan mampu mempertahankan kedudukan

Pesta dan Perayaan

Meski seseorang akan dihormati berdasarkan keturunan, seseorang mendapat gelar Si’ulu adalah dengan menggelar pesta dan perayaan owasa di Nias utara atau tawila di Nias Selatan

Selain untuk menunjukkan kekayaan, mereka yang menyelenggarakan ritual owasa ini akan mendapat gelar baru dan hak istimewa lainnya. Semakin banyak persembahan yang diberikan, semakin tinggi martabat terangkat dan kedudukan sosialnya terjamin di masyarakat.

Puluhan babi dikorbankan dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat sesuai peringkat. Dengan Kata lain, seseorang bangsawan selain diukur dari jumlah kekayaan yang dimiliki, juga oleh kedermawanan-nya untuk membagikan. Rakyat biasa juga diizinkan mengadakan, jika mampu.

Tidak sembarangan untuk bisa menggelar ritual owasa. Ketentuannya diatur oleh dewan adat. Hak untuk menyelenggarakan akan mempertimbangkan: Mokho (kekayaan), Molakhomi (kepemimpinan), Faasia (usia atau umur), Onekhe (kecerdasan atau kemahiran).

Pemimpin desa juga ditunjuk dan dipilih oleh dewan adat ini, Orahua adalah majelis desa yang terdiri dari para bangsawan yang berpengaruh.

Perayaan owasa sejatinya adalah ritual bagi seseorang untuk bisa sedekat mungkin dengan leluhur yang di-Dewa-kan. Pada ritual ini dikerahkan banyak orang untuk membuat tugu dan batu peringatan.

Tugu batu peringatan yang disebut osa-osa, dihias dan diukir, dibentuk dan ditatah sebagai peringatan bagi leluhurnya.

Tugu megalit akan diletakkan di depan pelataran, sebagai peringatan. Batu ini tidak hanya terdiri dari bentuk menhir, tetapi juga ada yang berbentuk bangku panjang, dan bangku bundar dan juga singgasana sebagai tempat berkumpulnya golongan kelas menengah keatas.

Tugu batu yang dipajang di depan rumah, faulu dapat menunjukkan status sosial pemiliknya. Biasanya sebagai tanda atau penghargaan atas jasanya dan jasa leluhurnya di masa lalu.

Menghapus Dosa Fondrako ; Fondrako adalah sekumpulan aturan yang dibuat ori (kumpulan desa). Pelanggaran terhadap Fondrako diyakini akan mendapat kutukan. Karenanya upacara penghapusan dosa harus dilaksanakan.

Para Prajurit Terbaik

Orang Nias merayakan berbagai upacara dan pesta dengan tarian-tarian, pertandingan, dan ritual-ritual keprajuritan. Di antara acara itu yang paling spektakuler adalah tarian perang, sebuah pertunjukan yang selalu hadir dalam setiap gelaran upacara dibawakan oleh para prajurit terbaik desa.

Perlindungan bagi Si’ulu dipercayakan pada kesatria-kesatria terbaik yang setia dan direkrut oleh para bangsawan. Mereka dilengkapi dengan berbagai persenjataan seperti pedang yang dihiasi taring dan gigi buaya. Sementara gigi harimau hanya boleh dimiliki oleh para prajurit terbaik dan pemimpin.

Prajurit Nias umumnya berpakaian serba hitam, seringkali mengenakan topeng agar wujudnya lebih mengerikan. Dahulu, para prajurit bersenjata menyambut tamu terhormat di pintu gerbang desa dan mendampingi menghadap kepala suku sebagai tindakan berjaga-jaga apabila ternyata ia adalah musuh.

Para prajurit juga menari dengan mengenakan pakaian perang lengkap pada upacara perkawinan, pemakaman, upacara panen, dan keselamatan. Konon, hal itu dipercayai dapat mengatasi dan mengusir roh jahat.

Di Nias selatan, para pemuda akan di latih melompati dinding batu hambo batu, untuk menyiapkan mereka menjadi prajurit tangguh. Tempat para pemuda latihan melompat masih dapat dijumpai di banyak desa di Nias hingga saat ini.

Arsitektur dan Seni

Arsitektur, Tata Ruang, Seni dan Ekonomi

Arsitektur orang Nias terkenal akan pondasinya yang kuat, terdiri dari pengaturan yang cukup rumit dengan susunan tiang tegak – miring.

Meski tiangnya kokoh, di sisi lain bangunanmya memiliki tingkat kelenturan karena tiangnya tidak secara langsung dipancangkan ke dalam tanah melainkan tertumpu di atas pondasi batu.

Rumah-rumah Nias kebanyakan berbahan kayu yang diberi berbagai hiasan dan corak yang khas. Atap bangunan yang curam ditutupi serat-serat palem dan pada bagian atap terdapat “jendela” yang dapat dibuka, untuk memastikan sinar matahari masuk dalam ruangan serta berfungsi memberikan sirkulasi udara yang baik

Rumah-rumah orang Nias Utara dibedakan oleh denah lantai dasarnya yang khas karena berbentuk lonjong. Bagian atapnya terdiri atas struktur lebih ringan dengan bagian ruangan bawah atap yang dibuat tanpa penghalang. Hal ini memungkinkan tingkat atas dari lantainya sebagai tempat tinggal utama.

Rumah dari kepala suku atau bangsawan disebut omo sebual. Bangunan yang sangat berbeda dengan rumah kebanyakan. Omo sebual banyaknya dihias dengan simbol-simbol perang dan juga patung di sekitarnya.

Tata Ruang

Dari segi tata ruang Desa, orang Nias membangun rumah dalam dua jajar rumah (kiri dan kanan) yang mengapit jalan utama ( ewali ) dengan lantai-laintai batu sebagai alasnya.

Selain sebagai rumah untuk tempat tinggal), Orang Nias juga mengenal istilah rumah yang digunakan sebagai tempat pertemuan yang disebut bale. Letak bale ini biasanya berada di dekat rumah kepala desa, di area kosong yang cukup luas ( gorahua newali ).

Ketika masih sering terjadi peperangan dengan wilayah lain, desa biasanya akan dilindungi oleh pagar dari tiang bambu yang telah diruncingkan. parit-parit yang dalam juga digali sebagai perlindungan tambahan di belakang pagar.

Di area bagian dalam, pertahanan berupa dinding batu tebal yang hanya memiliki satu pintu masuk. Pintu yang selalu dijaga oleh prajurit-prajurit terbaik yang tinggal di rumah-rumah jaga sekitar benteng.

Di masing-masing desa terdapat batu persemayaman ( darodaro ) yang dibuat untuk menyemayamkan arwah yang telah terpisah dari jasadnya. Tugu ini dipahat dan dihiasi relief dengan rupa seperti manusia

Kehidupan dan Mata pencaharian

Orang-orang Nias sangat mahir dalam membuat patung, memahat, melukis, mengolah logam seperti emas, kuningan dan perak. Di samping itu, mereka juga menjadi nelayan, melakukan perburuan hewan, bertani-berkebun, dan beternak unggas.

Mata pencaharian orang Nias pada masa lalu sangat bergantung pada alamnya. Mereka melakukan sistem ladang berpindah. Lahan-lahan pertanian itu dibuka dan kemudian digarap untuk ditanami berbagai jenis tanaman yang berguna.

Setelah hasil kebun itu dipanen dan tanah dinilai sudah tidak lagi produktif, mereka kemudian mencari atau membuka lahan baru hingga lahan yang ditinggalkan akan menjadi subur kembali dengan sendirinya.

Orang Nias juga gemar berburu. Pada masa lalu, berburu berkaitan dengan kepercayaan bahwa pemilik segala yang terdapat di hutan adalah Bela. Maka persembahan kepada Bela dan kegiatan berburu melibatkan ritua.

Kegiatan berburu diatur oleh adat, terutama mengenai sistem pembagian kerja, bagi hasil, dan larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar ketika sedang berburu.

Orang Nias juga beternak, mereka terutama memelihara babi. Karena babi sangat penting dalam hal kebutuhan upacara adat dan kebutuhan persembahan dalam ritual keagamaan suku Nias.

Kini, orang Nias telah banyak melakukan jenis-jenis pekerjaan lainnya, tetapi bertani, berladang, dan beternak masih merupakan kegiatan utama yang mereka kerjakan.